Anda di halaman 1dari 20

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PENDAHULUAN TINDAKAN PRAKTIK KMB

Disusun Oleh:

Nurul Aini Sabichiyyah

NPM 1506735212

GEDUNG A LANTAI 7 ZONA A

RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO

PROGRAM PROFESI
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2019
A. Anatomi dan Fisiologi Ginjal

Ginjal merupakan organ yang terletak pada dinding posterior abdomen terutama didaerah
lumbal, disebelah kanan dan kiri tulang belakang, dibungkus lapisan lemak yang tebal
dibelakang pritonium. Kedudukan gijal dapat diperkirakan dari belakang, mulai dari
ketinggian vertebra torakalis 12 sampai vertebra lumbalis 3. Dan ginjal kanan sedikit lebih
rendah dari ginjal kiri karena tertekan oleh hati (Silverthron, 2010).

Ginjal memiliki ukuran panjang 12-13 cm, lebar 6 cm dan tebal 1,5-2,5 cm. Pada orang
dewasa berat ginjal mencapai 140-150 gram. Bentuk ginjal seperti kacang dan sisi
dalamnya atau hilus menghadap ketulang belakang, serta sisi luarnya berbentuk cembung.
Apabila ginjal dipotong secara vertikal, maka di dalam ginjal akan terlihat suatu bagian
yang disebut korteks. Korteks merupakan bagian ginjal yang di dalamnya terdapat atau
terdiri dari korpus renalis atau malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus
kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis. Pembuluh darah ginjal semuanya masuk
dan keluar melalui hilus. Di atas setiap ginjal menjulang kelenjar suprarenal. Setiap ginjal
dilingkupi kapsul tipis dan jaringan fibrus yang membungkusnya, dan membentuk
pembungkus yang halus serta di dalamnya terdapat struktur-struktur ginjal. Struktur ginjal
warnanya ungu tua dan terdiri dari bagian kapiler disebelah luar, dan medulla disebelah
dalam. Bagian medulla tersusun atas 15 sampai 16 bagian yang berbentuk piramid, yang
disebut sebagai piramid ginjal. Puncaknya mengarah ke hilus dan berakhir di kaliks, kaliks
akan menghubungkan dengan pelvis ginjal (Kim E. Barret, 2010; Silverthron, 2010).

Gambar 1.1 Penampang Ginjal Secara Vertikal (Saladin, 2014)

Struktur mikroskopik ginjal tersusun atas banyak nefron yang merupakan satuan fungsional
ginjal. Kira–kira terdapat 1,3 juta nefron dalam setiap ginjal manusia (Kim E. Barret, 2010).
Nefron terdiri dari korpus renalis/Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul Bowman),
tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, tubulus kontortus distal yang bermuara pada
tubulus pengumpul. Di sekeliling tubulus ginjal tersebut terdapat pembuluh kapiler,yaitu
arteriol (yang membawa darah dari dan menuju glomerulus) serta kapiler peritubulus (yang
memperdarahi jaringan ginjal) Berdasarkan letaknya nefron dapat dibagi menjadi: (1)
nefron kortikal, yaitu nefron di manakorpus renalisnya terletak di korteks yang relatif jauh
dari medula serta hanya sedikit saja bagian lengkung Henle yang terbenam pada medula,
dan (2) nefron juxta medula, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di tepi medula,
memiliki lengkung Henle yang terbenam jauh ke dalam medula dan pembuluh-pembuluh
darah panjang dan lurus yang disebut sebagai vasa rekta (Kim E. Barret, 2010; Saladin,
2014).

Ginjal diperdarahi oleh arteri dan vena renalis. A. renalis merupakan percabangan dari aorta
abdominal, sedangkan v.renalis akan bermuara pada vena cava inferior. Setelah memasuki
ginjal melalui hilus, a.renalis akan bercabang menjadi arteri sublobaris yang akan
memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen superior, anterior-
superior, anterior-inferior, inferior serta posterior. Arteri renalis yang membawa darah
murni dari aorta abdominalis ke ginjal dan bercabang-cabang di ginjal dan membentuk
arteriola aferen (arteriola aferentes), serta masing-masing membentuk simpul di dalam
salah satu glomerulus. Pembuluh eferen kemudian tampil sebagai arteriola eferen (arteriola
eferentes), yang bercabang-cabang membentuk jaring kapiler disekeliling tubulus
uriniferus. Kapiler-kapiler ini kemudian bergabung lagi untuk membentuk vena renalis,
yang membawa darah ke vena kava inferior. Maka darah yang beredar dalam ginjal
mempunyai dua kelompok kapiler, yang bertujuan agar darah lebih lama disekeliling
tubulus urineferus, karena fungsi ginjal tergantung pada hal tersebut (Kim E. Barret, 2010;
Saladin, 2014).

Ginjal memiliki fungsi yaitu: (1) Filtrasi atau menyaring dan membersihkan darah dari zat-
zat sisa metabolisme tubuh; (2) mengeksresikan zat yang jumlahnya berlebihan; (3)
reabsorbsi (penyerapan kembali) elektrolit tertentu yang dilakukan oleh bagian tubulus
ginja; (4) menjaga keseimbangan asam basa dalam tubuh; (5) menghasilkan zat hormon
yang berperan membentuk dan mematangkan sel- sel darah merah (SDM) di sumsum
tulang; dan (6) fungsi hemostasis Ginjal berupa mengatur pH, konsentrasi ion mineral, dan
komposisi air dalam darah (Kim E. Barret, 2010; Saladin, 2014).
Gambar 1.2 Penampang Mikroskopik Ginjal (Saladin, 2014)

B. Pengertian CKD
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah salah satu penyakit ginjal tahap akhir. CKD
merupakan gangguan fungsi renal yang bersifat progresif dan irreversible. Dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
elektrolit yang menyebabkan uremia atau retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah (Suzanne C. Smeltzer, 2010).
Penyakit gagal ginjal kronis atau CKD disebabkan penurunan fungsi ginjal. Tingkat
keparahan penurunan fungsi ginjal diklasifikasikan berdasarkan laju filtrasi glomerulus.
Adapun derajat keparahan dapat dilihat dalam di bawah ini (Suzanne C. Smeltzer, 2010).
Derajat Penjelasan GFR
(ml/mn/1.73m2)
Stage 1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau ↑ ≥ 90
Stage 2 Kerusakan ginjal dengan GFR ↓ ringan 60-89
Stage 3 Kerusakan ginjal dengan GFR ↓ sedang 30-59
Stage 4 Kerusakan ginjal dengan GFR ↓ berat 15-29
Stage 5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

Gambar 1.3 Cara menghitung GFR (Porth, 2014)


C. Etiologi

1. Glomerulonefritis: Primer dan sekunder (Porth, 2014; Suzanne C. Smeltzer, 2010;


Workman, 2013; Sharon L. Lewis, 2014).
- Glomerulonefritis adalah peradangan ginjal bilateral, biasanya timbul pasca infeksi
streptococcus. Manifestasinya adalah proteinuria dan atau hematuria.
- Untuk glomerulonefritis akut, gangguan fisiologis utamanya dapat mengakibatkan
ekskresi air, Na dan zat-zat nitrogen berkurang, sehingga timbul edema dan azotemia.
Peningkatan aldosteron menyebabkan retensi air dan Na. Penyebab kerusakan ginjal
diduga adanya kompleks antigen (unsur membran plasma streptokokal spesifik)-antibodi
dalam darah dan bersirkulasi ke dalam glomerulus, kemudian terperangkap dalam
membran basalis. Selanjutnya komplemen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan
peradangan yang menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan trombosit. Fagositosis
dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endotel dan membran basalis glomerulus
(GBM), sehingga terjadi proliferasi sel endotel. Semakin meningkatnya kebocoran
(kerusakan) kapiler glomerulus, menyebabkan protein dan sel darah merah keluar
bersama urin
- Untuk glomerulonefritis kronik, biasanya timbul tanpa diketahui asal usulnya. Ditandai
dengan kerusakan glomerulus secara progresif lambat, akan tampak ginjal mengkerut,
berat lebih kurang 50 gram dengan permukaan bergranula. Ini disebabkan jumlah nefron
berkurang karena iskemia, karena tubulus mengalami atropi, fibrosis interstisialis dan
penebalan dinding arteri. Menurut stadium penyakitnya, gejala yang mungkin timbul
antara lain poliuria atau oliguria, protenuria, hipertensi, azotemia progresif, dan kematian
akibat uremia.

2. Penyakit ginjal herediter & congenital (Porth, 2014; Suzanne C. Smeltzer, 2010;
Workman, 2013; Sharon L. Lewis, 2014).
- Penyakit ginjal polikistik
Ditandai dengan kista-kista multiple yang berisi cairan jernih atau hemoragik, bilateral
yang mengadakan ekspansi dan lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim
ginjal normal akibat penekanan. Kista tersebut mudah terjadi komplikasi seperti infeksi
berulang, hematuria, poliuria, dan mudah membesar.

- Asidosis tubulus ginjal


Gangguan ekskresi H+ dari tubulus ginjal/kehilangan HCO3- dalam kemih walaupun GFR
yang memadai tetap dipertahankan. Akibatnya timbul asidosis metabolik (pH urin diatas
5,3 dan pH tubuh dibawah 5,3). Konsentrasi osmotik urin dan konservasi K + terganggu,
sehingga menimbulkan hipokalemia dan poliuri. Asidosis kronis menyebabkan
mobilisasi garam Ca++ dari tulang dan hiperkalsiuria. Sehingga dapat menyebabkan
osteomalasia (dewasa) atau penyakit rakitis dan hambatan pertumbuhan (anak-anak).
Garam-garam Ca++ dapat mengalami pengendapan secara difus pada parenkim ginjal
(nefrokalsinosis) atau dalam sistem pengumpul, yang menyebabkan timbulnya batu.
Pengendapan CaHPO4 pada ginjal ditunjukkan oleh rendahnya kadar sitrat urine (yang
secara normal menghambat kristalisasi) dan peningkatan pH urine. Akhirnya gagal ginjal
dapat terjadi.

3. Hipertensi esensial (Porth, 2014; Suzanne C. Smeltzer, 2010; Sharon L. Lewis, 2014).
Merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal. Sebaliknya GGK
dapat menyebabkan hipertensi melalui mekanisme retensi Na dan H2O, pengaruh
vasopressor dari sistem renin angiotensin dan defisiensi prostaglandin, keadaan ini
merupakan salah satu penyebab utama GGK, terutama pada populasi bukan orang kulit
putih. Dampak hipertensi lama pada organ ginjal adalah terjadi arteriosklerosis ginjal yang
menyebabkan nefrosklerosis benigna. Gangguan ini merupakan akibat langsung iskemia
karena penyempitan lumen pembuluh darah intrarenal. Ginjal dapat mengecil, biasanya
simetris, dan mempunyai permukaan yang berlubang-lubang dan bergranula. Penyumbatan
arteria dan arteriol (aferen adalah yang paling sering terjadi) akan menyebabkan kerusakan
glomerulus, sehingga seluruh nefron rusak. Pelepasan renin juga semakin meningkatkan
tekanan darah tersebut sehingga perubahan lokal akan semakin meluas desertai
pembentukan trombus, perdarahan glomerulus, infark seluruh nefron, dan kematian yang
cepat dari semua sel ginjal.

4. Uropati obstruktif (Suzanne C. Smeltzer, 2010; Workman, 2013; Sharon L. Lewis, 2014).
Obstruksi aliran urine yang terletak di sebelah proksimal vesika urinaria dapat
mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal dan ureter. Hal ini saja
sudah cukup untuk mengakibatkan atrofi hebat pada parenkim ginjal (hidronefrosis). Di
samping itu, obstruksi yang terjadi di bawah vesika urinaria sering disertai refluk
vesikoureter dan infeksi pada ginjal. Penyebab umum obstruksi ginjal adalah jaringan parut
ginjal atau uretra, batu, neoplasma, BPH, kelainan kongenital pada leher vesika urinaria dan
uretra serta penyempitan uretra.

5. Infeksi saluran kemih dan ginjal (pielonefritis) (Porth, 2014; Suzanne C. Smeltzer, 2010;
Workman, 2013).
- ISK dinyatakan bila terdapat bakeriuria yang bermakna (mikroorganisme patogen 105/ml
pada urine pancaran tengah yang dikumpulkan dengan benar)
- ISK bagian atas adalah pielonefritis akut dan ISK bagian bawah adalah uretritis, sistitis,
dan prostatitis. Sistitis akut dan pielonefritis akut jarang berakhir sebagai gagal ginjal
progresif.
- Pielonefritis kronik adalah cidera ginjal progresif yang menunjukkan kelainan
parenkimal pada pemeriksaan IVP, disebabkan oleh infeksi berulang/infeksi menetap
pada ginjal.
- Diperkirakan bahwa kerusakan ginjal pada pielonefritis kronik/nefropati refluks,
diakibatkan oleh refluks dari kandung kemih yang terinfeksi kedalam ureter kemudian
masuk kedalam parenkim ginjal. Menurut teori hemodinamik intrarenal atau hipotesa
hiperfiltrasi, infeksi awal penyebab kerusakan nefron mengakibatkan kompensasi
peningkatan tekanan kapiler glomerulus dan hiperperfusi pada sisa nefron yang masih
relatif normal. Hipertensi intraglomerulus ini yang menyebabkan menimbulkan cedera
pada glomerulus dan akhirnya menyebabkan sklerosis.
- Pada pielonefritis kronik, karena menyerang interstisial medula maka kemampuan ginjal
untuk memekatkan urin sudah mengalami kemunduran pada awal perjalanan penyakit
sebelum terjadi kemunduran GFR yang bermakna. Akibatnya, poliuri, nokturia, dan urin
berberat jenis rendah merupakan gejala dini yang menonjol. Akibatnya akan kehilangan
banyak garam melalui urin. Pielonefritis kronik lanjut sering memperlihatkan gejala
azotemia, meskipun perkembangan sampai menjadi gagal ginjal biasanya bersifat
progresif lambat.
- Organisme penyebab infeksi antara lain: E. Coli, golongan proteus, klebsiella,
enterobacter, dan pseudomonas serta oranisme gram positif staphylococcuc
saprophyticus

6. Nefropati diabetik (lesi yang terjadi di ginjal pada diabetes melitus) (Porth, 2014; Suzanne
C. Smeltzer, 2010; Workman, 2013; Sharon L. Lewis, 2014).
- Glomerulosklerosis diabetik difus adalah lesi yang paling sering terjadi, terdiri dari
penebalan difus matriks mesangial dengan bahan eosinofilik disertai penebalan membran
basalis kapiler.
- Kelainan non glomeroulus pada nefropati diabetik adalah nefritis tubulointertitial kronik,
nekrosis papilaris, hialinosis arteri aferen dan eferen, serta iskemia.

7. Nefropati toksik (Porth, 2014; Suzanne C. Smeltzer, 2010; Workman, 2013; Sharon L.
Lewis, 2014).
Ginjal rentan terhadap efek toksik, obat-obatan, dan bahan-bahan kimia karena :
a. ginjal menerima 25% dari curah jantung sehingga sering dan mudah kontak dengan zat
kimia dalam jumlah besar
b. interstisium yang hiperosmotik memungkinkan zat kimia dikonsentrasikan pada daerah
yang relatif hipovaskular
c. ginjal merupakan jalur ekskresi obligatorik untuk sebagian besar obat, sehingga
insufisien ginjal mengakibatkan penimbunan obat dan meningkatkan konsentrasi dalam
cairan tubulus

D. Patofisiologi

Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan
irreversibel dari berbagai penyebab diantaranya infeksi, penyakit peradangan, penyakit
vaskular hipertensi, gangguan jaringan penyambung, gangguan kongenital dan herediter,
penyakit metabolik (DM, Hipertiroidisme), Nefropati toksik (penyalahgunaan analgesik),
nefropati obstruktif (saluran kemih bagian atas dan saluran kemih bagian bawah). Pada saat
fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein yang normalnya di ekskresikan
kedalam urine menjadi tertimbun didalam darah, sehingga terjadinya uremia dan
mempengaruhi sistem sistem tubuh, akibat semakin banyaknya tertimbun produk sampah
metabolik, sehingga kerja ginjal akan semakin berat (Workman, 2013; Suzanne C.
Smeltzer, 2010).
Masalah yang muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dan penurunan jumlah glomeruli
yang dapat menyebabkan penurunan klirens. Substansi darah yang seharusnya dibersihkan,
tetapi ginjal tidak mampu untuk memfiltrasinya. Sehingga mengakibatkan kadar kreatinin
serum, nitrogen, urea darah (BUN) meningkat. Ginjal juga tidak mampu mengencerkan
urine secara normal. Sehingga tidak terjadi respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan
masukan cairan dan elektrolit sehingga terjadi tahanan natrium dan cairan (Suzanne C.
Smeltzer, 2010).

Asidosis metabolik dapat terjadi karena ketidakmampuan ginjal mengekspresikan muatan


asam yang berlebihan terutama amoniak (NH3) dan mengabsorpsi bikarbonat. Anemia,
terjadi akibat berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan eritropoisis pada
sumsum tulang menurun, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam
suasana uremia toksik, defisiensi besi, asam folat dan lain-lain akibat nafsu makan yang
berkurang, perdarahan paling sering pada saluran cerna dan kulit (Suzanne C. Smeltzer,
2010).

Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat terjadi karena gangguan dalam metabolismenya.


Penurunan filtrasi glomerulus dapat mengakibatkan peningkatan kadar fosfat serum dan
penurunan kadar serum kalsium. Sehingga menyebabkan perubahan bentuk tulang.
Penyakit tulang dan penurunan metabolisme aktif vitamin D karena terjadi perubahan
kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon sehingga menyebabkan
osteodistrofi (penyakit tulang uremik) (Suzanne C. Smeltzer, 2010).

E. Manifestasi Klinis

Pada chronic kidney disease setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka
pasien akan menunjukkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala
tergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, dan kondisi lain yang mendasari.
Suzanne C. Smeltzer, (2010) menyatakan manifestasi yang terjadi pada chronic kidney
disease antara lain terjadi pada sistem kardiovaskuler, dermatologi, gastrointestinal,
neurologis, pulmoner, muskuloskletal dan psiko-sosial, adalah sebagai berikut:
1. Kardiovaskuler
a. Hipertensi, yang diakibatkan oleh retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem
renin angiotensin aldosteron.
b. Gagal jantung kongestif.
c. Edema pulmoner, akibat dari cairan yang berlebih.
d. Pitting edema (kaki, tangan, sekrum).
e. Edema periorbital dan pembesaran vena leher.
2. Dermatologi seperti pruritis, yaitu penumpukan urea pada lapisan kulit; warna kulit
abu-abu mengkilat, kulit terang dan bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan
rapuh, rambut tipis dan kasar.
3. Gastrointestinal, seperti anoreksia atau kehilangan nafsu makan, mual sampai
dengan terjadinya muntah, nafas berbau amonia, ulserasi dan perdarahan pada mulut,
konstipasi dan diare, perdarahan dari saluran GI.
4. Neuromuskuler, seperti terjadinya perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu,
kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai,
rasa panas pada telapak kaki, perubahan perilaku.
5. Pulmoner, seperti adanya suara napas chreckles, sputum kental dan liat, pernapasan
dangkal, pernapasan kussmaul, sampai terjadinya edema pulmonal.
6. Muskuloskletal seperti terjadinya fraktur karena kekurangan kalsium dan
pengeroposan tulang akibat terganggunya hormon dihidroksi kolekalsi feron; kram
otot, dan kekuatan otot hilang.
7. Psikososial seperti terjadinya penurunan tingkat kepercayaan diri sampai pada harga
diri rendah (HDR), ansietas pada penyakit dan kematian.

F. Komplikasi
Chronic Kidney Disease (CKD) dapat menyebabkan beberapa komplikasi, antara lain
sebagai berikut (Suzanne C. Smeltzer, 2010) :
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme, dan masukan
diit berlebih.
2. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin angiotensin
aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar
alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia.

G. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Fisik Organ Terkait
Menurut Porth, (2014); Suzanne C. Smeltzer, (2010); Workman, (2013); Sharon L.
Lewis, (2014).
a. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien dari
compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi rate naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan
reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau
terjadi peningkatan berat badan karena kelebian cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga,
hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan
pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot bantu
napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada paru
(rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada
jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang, dan
Capillary Refil lebih dari 1 detik.
j. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat / uremia,
dan terjadi perikarditis.

2. Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium/Diagnostik)


Menurut Porth, (2014); Suzanne C. Smeltzer, (2010); Workman, (2013); Sharon L.
Lewis, (2014).

a. Pemeriksaan laboratorium
1) Urin
- Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/24jam (oliguria), atau urine tidak ada
(anuria).
- Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus /
nanah, bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat, sedimen kotor, warna
kecoklatan menunjukkan adanya darah, miglobin, dan porfirin.
- Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan
ginjal berat).
- Osmolalitas: Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular,
amrasio urine / ureum sering 1:1.
2) Klirens kreatinin mungkin agak menurun.
menilai klirens kreatinin yang dihitung menggunakan rumus Kockcroft-Gault
sebagai berikut:
Tes Klirens Kreatinin (TKK) Laki-laki = (140-Umur) x Berat Badan (BB)
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
Tes Klirens Kreatinin (TKK) Perempuan = 0,85 x TKK laki-laki

3) Natrium: Lebih besar dari 40 Emq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium.
4) Protein: Derajat tinggi proteinuria (3-4+), secara kuat menunjukkan kerusakan
glomerulus bila sel darah merah (SDM) dan fregmen juga ada.
5) Darah
- Kreatinin
Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL diduga tahap
akhir (mungkin rendah yaitu 5).
- Hitung darah lengkap
Hematokrit menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang dari 7-8 g/dL.
- SDM (Sel Darah Merah): Waktu hidup menurun pada defisiensi eritropoetin
seperti pada azotemia.
- GDA (Gas Darah Analisa): pH, penurunan asidosis metabolik (kurang dari
7,2) terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksekresi
hidrogen dan amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat
menurun PCO2 menurun.
- Natrium serum: Mungkin rendah, bila ginjal kehabisan natrium atau normal
(menunjukkan status dilusi hipernatremia).
- Kalium: Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan
selular (asidosis), atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap
akhir, perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEq atau
lebih besar.
- Magnesium terjadi peningkatan fosfat, kalsium menurun.
- Protein (khususnya albumin), kadar serum menurun dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan,
atau penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial.
- Osmolalitas serum lebih besar dari 285 mosm/kg, sering sama dengan urine.
b. Pemeriksaan radiologis, menurut Porth, (2014); Suzanne C. Smeltzer, (2010);
Workman, (2013); Sharon L. Lewis, (2014).

1) Ultrasono grafi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya
masa , kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
2) Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis.
3) Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4) EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam
basa.
5) KUB foto digunakan untuk menunjukkan ukuran ginjal / ureter / kandung kemih
dan adanya obtruksi (batu).
6) Arteriogram ginjal adalah mengkaji sirkulasi ginjal dan megidentifikasi
ekstravaskuler, massa.
7) Pielogram retrograd untuk menunjukkan abormalitas pelvis ginjal.
8) Sistouretrogram adalah berkemih untuk menunjukkan ukuran kandung kemih,
refluk kedalam ureter, dan retensi.
9) Pada pasien CKD pasien mendapat batasan diit yang sangat ketat dengan diit
tinggi kalori dan rendah karbohidrat. Serta dilakukan pembatasan yang sangat
ketat pula pada asupan cairan yaitu antara 500-800 ml/hari.
10) Pada terapi medis untuk tingkat awal dapat diberikan terapi obat anti hipertensi,
obat diuretik, dan atrapit yang berguna sebagai pengontol pada penyakit DM,
sampai selanjutnya nanti akan dilakukan dialisis dan transplantasi.

H. Pelaksanaan Medik Umum


Menurut Porth, (2014); Suzanne C. Smeltzer, (2010); Workman, (2013); Sharon L. Lewis,
(2014):
1. Mencegah memburuknya fungsi ginjal
- Cegah obat-obatan nefrotoksik
- Cegah deplesi volume cairan ekstrasel
- Cegah elektrolit imbalance
- Pembatasan ketat konsumsi protein (0,6-0,8 gr/kg BB/hari)
- Hindari penggunaan media kontras pemeriksaan tertentu
2. Pendekatan terhadap penurunan fungsi ginjal progresif lambat
- Mengurangi gejala uremia/azotemia
- Koreksi factor reversible
- Kontrol hipertensi
- Pengobatan yang tepat
- Cegah infeksi
- Pendidikan kesehatan
3. Terapi lain : Dialisa dan transplantasi
I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Aspek Tanda dan Gejala
Aktivitas dan istirahat  Gejala : Kelelahan ekstermitas, kelemahan, malaise
 Tanda : Kelemahan otot, kehilangan tonus,
penurunan rentang gerak
Sirkulasi  Gejala : Riwayat hipertensi lama atau berat,
palpitasi; nyeri dada (angina).
 Tanda : Hipertensi ; DVJ, nadi kuat, edema jar.
Umum & pitting pada kaki, telapak tangan.
Disritmia jantung. Nadi lemah halus, hipotensi
ortostatik menunjukkan hipovolemia, yang jarang
pd penyakit tahap akhir, Friction rub pericardial
(respon terhadap akumulasi sisa. Pucat; kulit
coklat kehijauan, kuning, kecendrungan
perdarahan.
Integritas Ego  Gejala : Stres, perasaan tidak berdaya, tak ada
harapan, masalah finansial dan hubungan, tak ada
kekuatanPerubahan pada bising usus.
 Tanda : Ansietas, menolak, takut, marah, mudah
terangsang, perubahan kepribadian.
Eliminasi  Gejala : Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria
(gagal tahap lanjut), abdomen kembung, diare atau
konstipasi.
 Tanda : Perubahan warna urine, kuning pekat,
merah, coklat, berawan oliguri, dapat menjadi
anuri.
Makanan/ Cairan  Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual, muntah,
nyeri ulu hati, rasa metalik tak sedap pada mulut
(pernafasan ammonia) Penambahan berat badan
cepat (edema), penurunan berat badan
(malnutrisi). Penggunaan Diuretik.
 Tanda : Perubahan turgor kulit, edema, ulserasi
gusi, perdarahan gusi/lidah. Penurunan otot,
penurunan lemak subkutan, penampilan tak
bertenaga. Distensi abdomen/asites
Neurosensori  Gejala : Sakit kepala, kesemutan, penglihatan
kabur. Kram otot/kejang; sindrom ‘kaki gelisah’,
kebas rasa terbakar pada telapak kaki.
Kebas/kesemutan dan kelemahan, khususnya
ekstermitas bawah (neuropati perifer).
 Tanda : Gangguan status mental, cth: penutunan
lapang perhatian, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau,
penurunan tingkat kesadaran, stupor, koma.
Penurunan DTR. Tanda Chvostek dan trousseau
positif. Kejang, fasikulasi otot, aktivitas kejang.
Rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
Pernapasan  Gejala : Nafas pendek; dispnea nocturnal
paroksismal; batuk dengan/tanpa sputum kental
dan banyak.
 Tanda : Takipnea, dispnea, peningkatan
frekuensi/kedalaman (pernafasan kusmaul). Batuk
produktif dengan sputum merah muda, encer
(edema paru).
Keamanan  Gejala : Kulit gatal; ada/berulangnya infeksi.
 Tanda : Pruritus, Demam (sepsis,
dehidrasi);normotermia dapat secara actual terjadi
peningkatan pada pasien yang mengalami suhu
tubuh lebih rendah dari normal (efek GGK/depresi
respon imun). Petikie, area ekimosis pada kulit,
fraktur tulang; defosit posfat kalsium (kalsifikasi
metastatik) pada kulit, jaringan lunak, sendi;
keterbatasan gerak sendi.
Nyeri atau kenyamanan  Gejala : Nyeri panggul, sakit kepala; kram
otot/nyeri kaki (memburuk pada malam hari).
 Tanda : Prilaku berhati-hati/distraksi, gelisah.
Seksualitas  Gejala : Penurunan libido; amenorea; infertilitas.

Interaksi Sosial  Gejala : Kesulitan menentukan kondisi, contoh:


tak mampu bekerja, mempertahankan fungsi peran
biasanya dalam keluarga.

Penyuluhan/  Gejala : Riwayat DM keluarga (resiko tinggi


Pembelajaran untuk gagal ginjal), penyakit polikistik, nefritis
herediter, kalkulus urinaria. Riwayat terpajan
toksin, contoh: obat, racun lingkungan.
Penggunaan antibiotik nefrotoksik saat
ini/berulang.

2. Diagnosa
Diagnosa keperawatan pada masalah CKD menurut Doenges (2000), dan Carpenito (2006)
adalah sebagai berikut :
a. Kelebihan volume cairan b.d. penurunan haluaran urin, retensi cairan dan natrium
sekunder terhadap penurunan fungsi ginjal.
b. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d katabolisme protein,
pembatasan intake (diet), anoreksi, mual, muntah, dan effect uremia yang
mengakibatkan malnutrisi protein – kalori.
c. Potensial infeksi berhubungan dengan penekanan sistim imun akibat uremia.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, uremia, dan penurunan fungsi
ginjal.
e. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan efek uremia,
gangguan status metabolic, edema, kulit kering, pruritus.
f. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan
volume cairan, ketidakseimbangan elektrolit.
3. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan CKD
a. Kelebihan volume cairan b.d. penurunan haluaran urin, retensi cairan dan natrium
sekunder terhadap penurunan fungsi ginjal
Ditandai dengan :
 Edema anasarka (seluruh badan masih bengkak, muka terlihat sembab)
 Asites
 Sesak napas
 Hasil X-Ray menunjukkan edema paru
Tujuan : Tidak terjadi kelebihan volume cairan dan mempertahankan berat tubuh ideal
tanpa kelebihan cairan.
Kriteria Hasil: Keseimbangan Cairan
 Keseimbangan volume cairan pada klien tercapai dibuktikan dengan input dan output
seimbang, tanda vital dalam batas normal, berat badan stabil, berkurang/tidak ada
edema, tidak sesak napas, hasil X-ray tidak menunjukkan edema.
Intervensi Rasional
Mandiri
a. Monitor tanda vital Overload cairan disertai dengan perubahan
tanda vital seperti takikardi, takipnea
dengan/tanpa dispnea, hipertensi, peningkatan
CVP ditandai dengan distensi JVP
b. Kaji tanda kesadaran selidiki perubahan mental, adanya gelisah
akibat edema. Edema cerebral menyebabkan
gangguan berpikir, bingung dan cemas
c. Pantau, kaji tanda dan lokasi edema. Mengevaluasi derajat edema. Edema mungkin
Pitting edema, ukur lingkar abdomen dapat tergeneralisir atau terlokalisir di area
untuk mengkaji asites tertentu. Edema dependant biasanya terjadi
pada lansia.
d. Auskultasi paru dan bunyi jantung Bunyi napas crackles dan bunyi jantung S3
merupakan indikasi dari overload cairan.
e. Timbang berat badan tiap hari Memantau edema. Edema ditandai dengan
peningkatan berat badan yang drastis dengan
cepat atau tiba-tiba. Penambahan BB 1 kg =
penambahan cairan 1 L
f. Monitor, catat dan hitung intake dan Mencegah kelebihan cairan bertambah parah.
outake tiap 24 jam Kebutuhan cairan klien harus dihitung dengan
tepat agar sesuai input. Output dipantau sebagai
evaluasi/indikator keberhasilan terapi.
g. Monitor haluaran dan BJ urin Penurunan fungsi ginjal menyebabkan
penurunan haluaran urin dan BJ urin
h. Batasi intake cairan sesuai kebutuhan klien Mengatasi kelebihan cairan
i. Berikan posisi semi fowler Gravitasi mendukung pengembangan paru
dengan merendahkan diafragma dan
memindahkan cairan ke kavitas abdomen yg
lebih rendah. Membantu mengurangi dispnea
dan asites
j. Monitor kecepatan infus Intake cairan via IV berpotensi menambah
volume cairan
k. Anjurkan klien untuk bedrest Bedrest membantu diuresis dan mengurangi
edema
l. Ajarkan latihan napas dalam dan batuk Edema pulmonal berpotensi menimbulkan
efektif komplikasi pernapasan.
m. Berikan perawatan mulut tiap 2-4 jam Melembabkan mukosa mulut yg kering karena
retriksi cairan
n. Bantu untuk duduk di kursi atau di tepi Memonitor kemampuan untuk mentoleransi
tempat tidur selama 20 menit, 2-3 kali aktifitas tanpa sesak napas atau kelelahan
sehari
Kolaborasi
a. Bantu dalam mengidentifikasi/ mengatasi Merujuk pada faktor pendukung atau
penyebab, misalnya perbaiki perfusi ginjal predisposisi untuk menentukan treatment
sesuai kebutuhan
b. Monitor hasil lab: Na, kreatinin urin, Na Kelebihan cairan berdampak pada
serum, kalium serum, Hb/ Ht, BUN keseimbangan elektrolit, penurunan Hb/Ht,
CCT dan peningkatan BUN
c. Berikan diet rendah sodium Mengurangi retensi cairan karena sodium
bersifat mengikat cairan dan menambah rasa
haus
d. Rongent Dada Mengetahui adanya edema pulmonal
e. Berikan obat sesuai indikasi dan monitor
respon klien Membantu untuk diuresis, sehingga
 Loop diuretik : Furosemid (Lasix) membantu mengatasi kelebihan cairan.
 Thiazide diuretik: hydrochlorothiazide Observasi efek terapeutik untuk
(Esidrix) menentukkan efek dari pengobatan dan efek
 Potasium-sparing diuretik: samping yang mungkin timbul seperti :
spironolactone Hipokalemia dll.
 Untuk klien disertai Sindrom Nefrotik
dapat diberikan obat kostikosteroid
seperti prednison, prednisolon
b. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d katabolisme protein,
pembatasan intake (diet), anoreksi, mual, muntah, dan effect uremia yang
mengakibatkan malnutrisi protein – calori.
Ditandai dengan :
 Mual, muntah
 BB turun 10 % atau lebih
 Tonus otot lemah
 Kadar Hb rendah, protein serum rendah (albumin, globulin)
 Proteinuria, glukosuria
Tujuan : mempertahankan intake dan status nutrisi klien adekuat
Kriteria Hasil : Keseimbangan Nutrisi
 berat badan normal , tidak ditemukan edema, albumin dalam batas normal.
Intervensi Rasional
Mandiri
a. Pantau dan timbang berat badan tiap hari Mengidentifikasi kekurangan nutrisi. Untuk
b. Kaji pola diet nutrisi menentukkan diet yang tepat bagi pasien.
c. Kaji status nutrisi
d. Pantau konsumsi makanan dan cairan
e. Kaji muntah dan mual Keadaan – keadaan seperti ini akan
meningkat kehilangan kebutuhan nutrisi.
f. Sediakan makanan kesukaan klien yang Meningkatkan kebutuhan nutrisi klien sesuai
sudah dimodifikasi dalam batasan diet dan diet .
tentukan waktu makan bersama klien
g. Berikan diet rendah protein, rendah natrium Membantu mengurangi kelebihn cairan
dan tinggi kalori
h. Ciptakan lingkungan yang menyenangkan Membantu dalam meningkatkan nafsu makan
selama makan
i. Beri makan dengan porsi kecil tapi sering. Porsi kecil membantu dalam menambah
intake makakana
j. Pertahankan oral hygiene dan oral care Mengurangi ketidaknyamanan dari stomatitis
sebelum dan sesudah makan oral, rasa tidak enak di mulut yang
mempengaruhi input makanan

Kolaborasi
a. Pemeriksaan lab BUN, albumin serum, Menentukkan diet yang tepat bagi pasien.
transferin, natrium, kalium.
b. Kolaborasi dengan ahli gizi, berikan kalori Kerjasama dengan profesi lain akan
tinggi rendah protein meningkatan hasil kerja yang baik. Pasien
dengan CKD butuh diit yang tepat untuk
perbaikan keadaan dan fungsi ginjalnya.
c. Berikan obat sesuai indikasi dan pantau Untuk mengevaluasi kemungkinan efek
respon klien, seperti zat besi, kalsium, Vit sampingnya.
D, Vit B kompleks, anti emetik.
c. Potensial infeksi berhubungan dengan penekanan sistim imun akibat uremia.
Tujuan : klien terhindar dari infeksi
Kriteria Hasil : tidak ada infeksi atau komplikasi
Intervensi Rasional
Mandiri
a. Kaji terhadap adanya tanda- tanda infeksi. Mendeteksi lebih awal adanya infeksi.
b. Monitor temperatur tiap 4 – 6 jam,. Uremia mungkin terselubung dan biasanya
diikuti dengan peningkatan temperatur
dicurigai adanya infeksi.
c. Monitor data laboratorium: darah, urine, Status hipermetabolisme seperti adanya
kultur sputum. Monitor serum Kalium infeksi dapat menyebabkan peningkatan
serum kalsium.
d. Pertahankan tekhnik antiseptik selama Mencegah terjadinya infeksi.
perawatan dan lakukan universal precaution.
e. Pertahankan kebersihan diri, status nutrisi Kebiasaan hidup yang sehat membantu
yang adekuat dan istirahat yang cukup. mencegah infeksi
Kolaborasi
a. Pemberian obat antibiotik sesuai indikasi
dan dosis serta memantau efek samping
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, uremia, dan penurunan fungsi
ginjal.
Tujuan : Mempertahankan aktifitas klien sesuai toleransi
Kriteria Evaluasi : klien mampu berpatisipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi.
Intervensi Rasional
Mandiri
a. Kaji tingkat kelelahan, tidur , istirahat Menentukan masalah klien terkait aktivitas
dan istirahat
b. Kaji factor yang menimbulkan keletihan. Mengatasi faktor penyebab keletihan
c. Kaji kemampuan toleransi aktivitas Mengetahui aktivitas apa yang dapat
dilakukan mandiri, dan yang memerlukn
bantuan
d. Rencanakan periode istirahat adekuat Mengoptimalkan terapi
e. Berikan bantuan ADL dan ambulasi Mencegah keletihan dan dispnea
f. Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi, bantu
jika keletihan terjadi
g. Anjurkan aktivitas alternatif sambil Mencegah sesak napas (dispnea) terjadi
istirahat.
h. Anjurkan untuk beristirahat setelah dialisis.

e. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan efek uremia, gangguan
status metabolic, edema, kulit kering, pruritus.
Tujuan : Menjaga keutuhan integritas jaringan dan membran mukosa
Kriteria Evaluasi: Keutuhan Kulit/Jaringan
 Kulit klien utuh, hangat, utuh, turgor baik, tidak ada lesi
 Klien menunjukkan perilaku/teknik untuk mencegah kerusakan atau cedera kulit

Intervensi Rasional
Mandiri
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, Mengindikasikan daerah yang minim
turgor, vaskuler, ekimosis, infeksi sirkulasi, infeksi atau ada luka yang mengarah
pada dekubitus

b. Pantau intake & output cairan, hidrasi kulit Mendeteksi adanya dehidrasi atau
dan membrane mukosa overdehidrasi yang mempengaruhi sirkulasi
dan integritas kulit di tingkat sel
c. Kaji terhadap adanya petechie dan purpura. Perdarahan yang abnormal sering
dihubungkan dengan penurunan jumlah dan
fungsi platelet akibat uremia.
d. Monitor lipatan kulit dan area yang edema. Area- area ini sangat mudah terjadinya injuri.
e. Ubah posisi tiap 2 jam, pindahkan klien Menurunkan tekanan pada daerah edema,
dengan perlahan, beri bantalan pada jaringan dengan perfusi buruk, untuk
tonjolan tulang dengan bantal, beri mengurangi
pelindung siku dan tumit.
f. Beri perawatan kulit, batasi sabun, olesi Mempertahankan kelembaban kulit
lotion, salep, krim (analin, aquaphor).;
tangani area edema dengan hati-hati
g. Jaga kulit tetap kering dan bersih. Mengurangi iritasi kulit dan resiko kerusakan
Pertahanan linen kering dan bebas keriput. kulit
h. Kaji keluhan gatal
i. Anjurkan klien menggunakan kompres Mengatasi ketidaknyamanan dan mengurangi
lembab dan dingin untuk memberikan resiko injuri kulit
tekanan pada area pruritus, pertahankan
kuku pendek.
j. Anjurkan menggunakan pakaian katun dan Mencegah iritasi kulit secara langsung dan
longgar membantu evaporasi kelembaban kulit
Kolaborasi
k. Berikan kasur / busa dekubitus Mengurangi lamanya tekanan pada jaringan
dimana dapat membatasi perfusi sel, potensi
iskemik/nekrosis.
f. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan
volume cairan, ketidakseimbangan elektrolit.
Tujuan : Klien dapat mempertahankan curah jantung yang adekuat
Kriteria evaluasi: Status Sirkulasi
 TD dan HR dalam batas normal.
 Nadi perifer kuat dan capillary refill < 3 detik
 Dispneu tidak ada

Intervensi Rasional
Mandiri
a. Auskultasi bunyi jantung, evaluasi adanya, Bunyi jantung S3/S4 dengan nada tertahan,
dispnea, edema perifer/kongesti vaskuler takikardia, denyut jantung tidak teratur,
takipnea, dispnea, ronki, mengi, dan edema /
distensi jugular menunjukkan HF.
b. Kaji adanya hipertensi, awasi TD, Hipertensi yang signifikan dapat terjadi
perhatikan perubahan postural saat karena gangguan pada sistem renin-
berbaring, duduk dan berdiri angiotensin-aldosteron (disebabkan oleh
disfungsi ginjal). Hipotensi ortostatik dapat
terjadi karena defisit cairan intravaskular,
respon terhadap efek obat antihipertensi, atau
tamponade perikardial uremik.
c. Kaji adanya nyeri dada, lokasi, radiasi, Sekitar setengah dari pasien dialisis CRF
beratnya, apakah berkurang dengan inspirasi mengembangkan perikarditis, berpotensi
dalam dan posisi telentang untuk risiko efusi perikardial / tamponade.
d. Observasi EKG, frekuensi jantung Mengetahui kondisi kelistrikan jantung
e. Evaluasi nadi perifer, pengisian kapiler, Adanya hipotensi mendadak, pulsasi
suhu, sensori dan mental paradoksal, tekanan nadi sempit, denyut nadi
perifer berkurang / tidak ada, distensi
jugularis, pucat, dan penurunan mental yang
cepat menunjukkan tamponade, yang
merupakan keadaan darurat medis.
f. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap Kelemahan dapat dikaitkan dengan HF dan
aktivitas. anemia.
g. Pertahankan tirah baring Membantu mengurangi edema dan mencegah
keletihan
Kolaborasi
a. Pantau hasil pemeriksaan lab: Elektrolit Ketidakseimbangan dapat mengubah
(Na, K, Ca, Mg), BUN, creatinin, foto konduksi listrik dan fungsi jantung.
rontgen dada
b. Berikan oksigen dan obat-obatan sesuai Mengurangi resistensi pembuluh darah
indikasi. sistemik dan / atau pelepasan renin untuk
mengurangi beban kerja miokard dan
- Obat antihipertensif, contoh : Prozin membantu dalam pencegahan HF dan / atau
(minipres), captopirl (capoten), klonodin MI.
(catapres), hidralazin (apresolinie).
g. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis, dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber-sumber informasi
Tujuan : Klien paham akan kondisi/proses penyakit dan pengobatan
Kriteria Evaluasi : Regimen Terapeutik:
 Klien berpartisipasi dalam proses belajar
 Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi / prognosis dan aturan terapuetik,
 Melakukan prosedur dengan benar
 Perubahan perilaku hidup

Intervensi Rasional
Mandiri
Kaji ulang pengetahuan klien tentang proses Memberikan dasar pengetahuan dimana klien
penyakit/prognosis dapat membuat keputusan .
Kaji ulang pembatasan diet
Diskusi masalah nutrisi/diet tinggi karbohidrat, Mengatasi kelebihan cairan
Rendah protein, rendah natrium sesuai indikasi
Diskusikan terapi obat, nama obat, dosis, Untuk memperoleh efek terapeutik yang
jadwal, manfat dan efek samping diharapkan dan mencegah komplikasi
Diskusikan tentang pembatasan cairan
Diskusikan pembatasan aktivitas dan Mengurangi edema
melakukan aktivitas yang diinginkan secara
bertahap.
Kaji ulang tindakan mencegah perdarahan: Mengurangi resiko yang berhubungan dengan
sikat gigi halus gannguan faktor pembekuan darah atau
penurunan jumlah platelet
Tekankan perlunya perawatan evaluasi, Pemantauan rutin fungsi ginjal dan
pemeriksaan laboratorium. keseimbangan elektrolit diperlukan untuk
menyesuaikan resep diet, pengobatan dan /
atau membuat keputusan tentang pilihan
mungkin seperti dialisis / transplantasi.
Diskusikan atau kaji ulang penggunaan obat,
dorong pasien untuk mendiskusikan semua
obat
Identifikasi gejala yang memerlukan intervensi
medik contoh penurunan pengeluaran urine,
peningkatan berat badan tiba – tiba, adanya
edema, letargi, perdarahan, tanda infeksi serta
gangguan mental
Referensi:

Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2013). Medical-surgical nursing: Patient-centered


collaborative care. Missouri: Elsevier Saunders.

Kim E. Barret, Susan M. B., Scott B., & Heddwen L. B. (2010). Ganong's Review of Medical
Physiology. United States: The McGraw-Hill Companies.
Porth, S. C. (2014). Porth's Pathophysiology Concepts of Altered Health States 9th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Saladin, Kenneth S. (2014). Anatomy & Physiology: The Unity of Form And Function. New
York: McGraw-Hill Education.
Sharon L. Lewis, Shannon R. D., & Margaret McLean H. (2014). Medical-Surgical Nursing:
Assessment and Management of Clinical Problems 9th ed. Canada: Elsevier In
Silverthron DU. Human physiologi. 5th ed. US: Pearson Education, Inc; 2010
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Brunner & Suddarth's:
Textbook of medical-surgical nursing. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai