Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN HEWANI


ACARA IV
TEKNOLOGI PEMBUATAN MINYAK IKAN

Disusun oleh :
Kelompok 6
Andrea Setiawan (H0917018)
As-Salamah Khorumatusy Syifa (H0917022)
Hidayatus Solechah (H0917039)
Rafika Andriyati Nur Annisa (H0917068)
Vanessa Gema Elisabeth (H0917084)
Yuvia Audy S (H0917087)

PROGRAM STUDI ILMU TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019
ACARA IV

TEKNOLOGI PEMBUATAN MINYAK IKAN

A. TUJUAN
Tujuan praktikum Teknologi Pengolahan Pangan Hewani “Teknologi
Pembuatan Minyak Ikan” ini adalah:
1. Mahasiwa mampu mengetahui proses pembuatan minyak ikan.
2. Mahasiswa mampu mengetahui besar beberapa parameter fisik minyak
ikan yaitu besar rendemen, warna, derajat kekentalan dan densitas
minyak.
3. Mahasiwa mampu mengetahui besar parameter kimiawi minyak ikan
yaitu titik beku minyak ikan.

B. TINJAUAN PUSTAKA
Minyak ikan merupakan komponen lipida yang terdapat dalam
jaringan tubuh ikan dan sudah diekstraksi dalam bentuk minyak yang
mengandung asam lemak (Estiasih et al., 2009). Sumber utama minyak ikan
yang digunakan di beberapa negara produsen minyak ikan diantaranya
adalah ikan kod, ikan herring, dan beberapa ikan pelagis lainnya, dan sangat
jarang yang menggunakan ikan hiu (Maulana et al., 2014). Berdasarkan data
statistika, pada tahun 2011 diketahui nilai impor Indonesia terhadap minyak
ikan sebesar 4.666 ton dengan nilai nominal 17.555 juta dolar Amerika.
Sedangkan nilai ekspornya sendiri adalah sebesar 183,407 ton atau setara
dengan 589,132 juta dolar Amerika (KKP, 2012).
Terdapat beberapa cara untuk mendapatkan minyak ikan, antara lain
dengan metode ekstraksi dengan pelarut. Ekstraksi dengan pelarut
merupakan metode umum yang digunakan dalam menentukan total lipida.
Prinsip kerja dari ekstraksi dengan pelarut adalah dengan melarutkan
minyak dalam pelarutnya. Ekstraksi yang berbeda bervariasi dalam efisiensi
ekstraksi lipida sehingga jumlah lemak yang dihasilkan juga berbeda
(Ramalhosa et al., 2012). Cara lainnya adalah dengan wet rendering.
Ekstraksi minyak menggunakan metode wet rendering adalah pemasakan
kulit ikan dengan uap air panas. Uap air panas dapat merusak struktur sel
adiposa (Estiasih et al., 2009). Suhu tinggi akan mendenaturasi protein lebih
banyak sehingga dinding sel lebih mudah ditembus oleh minyak sebaliknya
menurut Nugroho et al. (2014) bahwa penggunaan suhu rendah
mendenaturasi protein lebih sedikit sehingga dinding sel sulit ditembus oleh
minyak.
Karakteristik minyak ikan dapat ditentukan dengan menghitung
nilai parameter oksidasi baik primer maupun sekundernya karena
menentukan standar kualitas minyak ikan yang dihasilkan. Berdasarkan
International Fish Oil Standards (IFOS 2011) bahwa standar minyak ikan
meliputi bilangan peroksida ≤3,75 meq/kg, nilai anisidin ≤15 meq/kg, total
oksidasi ≤20 meq/kg dan bilangan asam ≤2,25 mg KOH/g (Huli et al.,
2014). Apabila kandungan asam lemak bebas yang diatas batas maksimal,
maka dapat diperbaiki melalui proses pemurnian dengan metode netralisasi
hingga kandungan asam lemak memenuhi persyaratan (Rasyid, 2003).
Minyak ikan yang berkualitas adalah minyak ikan yang kaya akan
asam lemak yang bermanfaat bagi kesehatan. Asam lemak omega 3 adalah
asam lemak tidak jenuh ganda yang mempunyai ikatan rangkap banyak,
ikatan rangkap pertama terletak pada atom karbon ketiga dari gugus metil
omega, ikatan rangkap berikutnya terletak pada nomor atom karbon ketiga
dari ikatan rangkap seblumnya. Gugus metil omega adalah gugus terakhir
darirantai asam lemak. Omega-3 merupakan salah satu asam lemak tak
jenuh yang esensial bagi tubuh dan dibutuhkan terutama bagi penderita
kolesterol tinggi, juga dapat mencegah CVD (Cardiovascular Disease) dan
untuk optimal tumbuh-kembang anak jika dikonsumsi sesuai anjuran yang
telah ditentukan (Diana, 2012).
EPA dan DHA merupakan jenis omega-3 yang paling dominan pada
minyak ikan. EPA dan DHA ini tidak diproduksi oleh ikan, melainkan oleh
tumbuhan laut seperti alga. Kandungan EPA dan DHA dalam ikan
disebabkan karena ikan tersebut mengkonsumsi alga yang mengandung
kedua asam lemak tersebut dominan pada minyak ikan. EPA dan DHA ini
tidak diproduksi oleh ikan, melainkan oleh tumbuhan laut seperti alga.
Kandungan EPA dan DHA dalam ikan disebabkan karena ikan tersebut
mengkonsumsi alga yang mengandung kedua asam lemak tersebut.
Konsumsi EPA dan DHA dalam jangka waktu panjang terbukti berdampak
positif terhadap penderita penyakit jantung koroner, yaitu mampu
menurunkan resiko kematian mendadak hingga 45 % jika dibandingkan
terhadap penderita yang tidak mengkonsumsi EPA dan DHA. EPA dan
DHA juga bermanfaat terhadap penyembuhan gejala keloid, menurunkan
kolesterol dalam darah khususnya LDL, anti agregasi platelet, dan anti
inflamasi (Harris, 2004).

C. METODOLOGI
1. Alat
a. Baskom
b. Blender
c. Botol
d. Corong Pemisah
e. Erlenmeyer
f. Gelas beaker
g. Gelas Ukur
h. Kain Saring
i. Kertas Saring
j. Kompor Listrik
k. Panci
l. Pisau
m. Sendok
n. Spatula
o. Tabung reaksi
p. Talenan
q. Termometer
r. Timbangan
s. Tube

2. Bahan
a. Air
b. Es batu
c. Garam grasak
d. Ikan Patin
e. Minyak kelapa sawit

3. Cara kerja
a. Pembuatan Minyak Ikan

Gambar 4.1 Diagram Alir Pembuatan Minyak Ikan


b. Analisis Rendemen

Gambar 4.2 Diagram Alir Analisis Rendemen Minyak Ikan

c. Analisis Berat Jenis

Gambar 4.3 Diagram Alir Analisis Berat Jenis Minyak Ikan


d. Penentuan Titik Beku

Gambar 4.4 Diagram Alir Penentuan Titik Beku Minyak Ikan

D. PEMBAHASAN

Estiasih dkk. (2009) menyatakan minyak ikan merupakan


komponen lipida yang terdapat dalam jaringan tubuh ikan yang telah
diekstraksi dalam bentuk minyak yang mengandung asam lemak. Selain itu,
minyak ikan juga diartikan dengan minyak yang dihasilkan melalui proses
ekstraksi minyak pada bahan ikan. Minyak ikan yang berkualitas adalah
minyak ikan yang kaya kandungan omega-3 yang merupakan asam lemak
tak jenuh esensial pada tubuh. Kandungan utama minyak ikan terutama
asam eikasopentanoat (EPA) dan asam dokosaheksanoat (DHA) sangat
bermanfaat bagi kesehatan tubuh sebagai penurun kadar trigliserida dan
kadar kolesterol darah, membentuk eksanoit dan menurunkan trombosis
(Suseno dkk., 2013).
Minyak ikan yang berkualitas berdasarkan International Fish Oil
Standards (IFOS) ditentukan dengan nilai parameter oksidasi baik primer
maupun sekunder. Parameter oksidasi meliputi nilai peroksida (PV) ≤ 5,00
meq/kg, nilai anisidin ≤ 20,00 meq/kg, total oksidasi ≤ 26,00 meq/kg dan
bilangan asam lemak bebas ≤ 1,50 % (IFOS 2014). Minyak ikan yang
berkualitas adalah minyak ikan yang kaya akan asam lemak yang
bermanfaat bagi kesehatan. Omega-3 merupakan salah satu asam lemak tak
jenuh yang esensial begi tubuh dan dibutuhkan terutama bagi penderita
kolesterol tinggi. EPA (eicosapentaenoic acid) dan DHA (docosahexaenoic
acid) merupakan jenis Omega-3 yang paling dominan pada minyak ikan.
EPA dan DHA ini tidak diproduksi oleh ikan, melainkan oleh tumbuhan laut
seperti alga. Kandungan EPA dan DHA dalam ikan disebabkan karena ikan
tersebut mengonsumsi alga yang mengandung kedua asam lemak tersebut.
Oleh karena itu, jenis ikan herbivora seperti ikan lemuru dan ikan teri
memiliki kandungan EPA dan DHA yang lebih tinggi dibandingkan ikan
karnivora seperti ikan hiu, ikan tuna, dan layaran. Minyak ikan yang
dihasilkan oleh ikan hiu memiliki kandungan skuelena yang tinggi. Hal ini
dikarenakan ikan hiu merupakan sumber skuelena terbesar, yaitu antara 20
– 80% (Maulana et al., 2014).
Metode pembuatan minyak ikan patin menurut Hastarini dkk, (2012) yaitu;

1. Preparasi bahan
Preparasi yang dilakukan yaitu proses filet meliputi penimbangan,
pencucian, pemfiletan, penyiangan, pengeratan/perapian filet
(trimming), pelepasan kulit, pencucian, dan penimbangan.
2. Ekstraksi Minyak Ikan
Ekstraksi minyak ikan terhadap daging dilumatkan kemudian ditambah
air dengan perbandingan 1:3 dan direbus dengan suhu 70℃ selama 15
menit. Setelah dilakukan perebusan, lumatan disaring dengan kain
hingga didapatkan yield berupa cairan. Cairan yang didapatkan masih
dalam bentuk emulsi yaitu campuran antara minyak, air dan padatan,
sehingga dilakukan proses pemisahan menggunakan corong pisah untuk
memisahkan minyak dari bahan–bahan lainnya. Padatan yang didapat
dari hasil penyaringan di press, kemudian cairan yang didapatkan
dicampurkan kedalam cairan yang akan dipisahkan menggu na kan
corong pisah. Minyak ikan patin kasar yang didapatkan dimasukkan di
dalam botol berwarna gelap dan kemudian disimpan pada suhu -18ºC.
3. Pemurnian Minyak Ikan
Minyak ikan patin kasar yang diperoleh kemudian diproses lebih lanjut
untuk mendapatkan minyak ikan patin murni. Proses pemurnian ini
meliputi tahapan proses pemanasan, penambahan adsorben dan
penyaringan vakum. Proses pemucatan dilakukan dengan
menambahkan adsorben (bentonit) sebesar 1% dari berat minyak pada
saat suhu mencapai 55–60ºC kemudian pemanasan dilanjutkan hingga
mencapai suhu 80ºC selama 30 menit. Selanjutnya minyak disaring
menggunakan penyaring vakum dan berat minyak yang dihasilkan
ditimbang sebagai rendemen minyak ikan patin murni.

Produksi minyak ikan di Indonesia tidak hanya bersumber dari


bahan baku ikan secara langsung, tetapi dapat juga diperoleh dari hasil
samping proses. Rendemen daging yang dapat dimanfaatkan dalam
pengolahan ikan patin hanya sebesar 49%, sisanya sebesar 51% merupakan
limbah yang terdiri atas kepala, kulit, jeroan dan tulang Limbah memiliki
potensi untuk diolah menjadi produk yang lebih bernilai ekonomis, seperti
minyak ikan. bagian jeroan mengandung lemak sebesar 93,92%, jeroan
merupakan bagian yang paling kaya lemak daripada bagian tubuh ikan patin
lainnya (Kamini, 2016).
Sumber utama minyak dari limbah pengasapan ikan patin adalah
lemak abdomen yang merupakan bagian dari isi perut ikan patin, lemak
abdomen yang didapat kemudian diigunakan sebagai bahan baku minyak
ikan. Ekstraksi minyak ikan dari limbah (lemak perut) pengolahan ikan
patin asap dilakukan secara dry rendering (pemanasan) mengacu pada
metode (Damongilala 2008) dengan modifikasi. Lemak abdomen
dipisahkan dari isi perut ikan patin, dicuci bersih dan ditiriskan, kemudian
dipotong kecil-kecil, dan dipanaskan menggunakan hotplate selama 5 jam
pada suhu 70ºC. Lemak perut setelah dipanaskan disaring menggunakan
kain saring hingga diperoleh yield berupa cairan (minyak kasar/crude oils).
Minyak ikan patin kasar yang diperoleh kemudian disimpan dalam botol
gelap dan selanjutnya dilakukan tahapan pemurnian (Ayu, 2019).
Minyak ikan yang dihasilkan dari hasil samping pengolahan ikan
sardin kalengan (Suseno, 2013). Minyak ikan tersebut diperolah setelah ikan
melalui proses perebusan atau pengukusan, pengepresan, pengeringan, dan
pemisahan (Suseno dan Saraswati, 2015). Estiasih (2009), melaporkan
bahwa ikan lemuru sebanyak 1.000 kg dapat menghasilkan 230 kg tepung
ikan dan 200 kg minyak ikan dan sebanyak 1.176 ton per tahun di Indonesia.
Minyak ikan yang dihasilkan dari hasil samping pengolahan ikan sardin
memiliki peluang besar untuk dijadikan minyak ikan murni yang memiliki
banyak manfaat.
Tabel 4.1 Hasil Rendemen Minyak Ikan Patin Kasar

Massa Massa Massa botol


Kelompok Sampel Rendemen
sampel ikan botol isi kosong
Shift 1 1000 gr 282,3 gr 217,3 gr 6,5%
Ikan patin
Shift 2 1500 gr 389,5 gr 217,3 gr 11,48%
Sumber : Laporan sementara
Berdasarkan data pada Tabel 4.1, diperoleh hasil rendemen minyak
ikan patin dengan variasi massa sampel ikan 1000 gr dan 1500 gr yaitu
masing-masing 6,5% dan 11,48%. Nilai rendemen pada ikan patin dengan
massa 1500 gr lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rendemen sampel
ikan patin dengan massa 1000 gr. Hasil rendemen tersebut menunjukkan
bahwa semakin tinggi nilai rendemen yang dihasilkan, maka nilai minyak
yang dihasilkan semakin banyak. Suhu berpengaruh terhadap pecahnya
dinding matrik dalam membran sel jaringan lipid, sehingga semakin tinggi
suhu ekstraksi, maka rendemen yang dihasilkan semakin besar. Peningkatan
nilai rendemen juga terjadi secara signifikan dengan bertambahnya lama
ekstraksi (Kamini dkk., 2016). Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan
oleh Hastari dkk. (2012), diperoleh hasil rendemen minyak ikan patin
sebesar 25,60% dengan menggunakan suhu 80oC selama 20 menit.
Perbedaan nilai rendemen yang dihasilkan pada praktikum lebih
sedikit jika dibandingkan dengan teori, hal ini kemungkinan terjadi karena
kurangnya suhu dan waktu yang digunakan selama berlangsungnya proses
ekstraksi. Metode ekstraksi dapat mempengaruhi rendemen minyak ikan
patin. Dengan penambahan air sebagai variasi konsentrasi dapat
menyebabkan minyak yang akan keluar dari hasil ekstrasi minyak ikan akan
sedikit terhambat atau tidak dapat optimal. Dengan kata lain besar
penambahan air berbanding terbaik dengan rendemen yang dihasilkan,
sehingga semakin banyak air yang ditambahkan pada proses pembuatan
minyak ikan maka rendemen yang dihasilkan semakin sedikit (Kamini dkk.,
2016).
Tabel 4.2 Hasil Pengamatan Warna dan Derajat Kekentalan Minyak Ikan
Patin Kasar

Kelompok Sampel Warna Derajat kekentalan


Kontrol Minyak sawit ++ +
Shift 1 Minyak ikan patin 1:2 +++ +++
Shift 2 Minyak ikan patin 1:3 +++ ++
Sumber LLaporan sementara
Keterangan :
Warna Derajat kekentalan
+ = Putih + = Sangat encer
++ = Putih kekuningan ++ = Encer
+++ = Kuning cerah +++ = Kental
++++ = Kuning gelap ++++ = Sangat kental
Berdasarkan data pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa warna pada
sampel minyak ikan patin 1:2 dan minyak ikan patin 1:3 memilki warna
yang lebih cerah (kuning cerah) dari pada minyak sawit (putih kekuningan)
sebagai kontrol. Warna minyak ikan terlihat lebih kuning karena minyak
ikan masih mengandung senyawa-senyawa pengotor, zat warna atau
pigmen dan menyerap sebagian cahaya sehingga warna minyak dapat
berupa orange kekuningan hingga coklat. Perubahan warna pada minyak
disebabkan oleh adanya pigmen yang larut pada minyak. Pigmen yang
terlarut dalam minyak dapat mengalami kerusakan oksidasi sehingga dapat
mengubah warna minyak (Sikorska et al., 2007). Pada minyak sawit
warnanya lebih cerah karena telah dilakukan proses bleching yaitu proses
mereduksi pigmen warna (pheophytin dan karotenoid), yaitu dengan
melakukan penambahan bleaching earth (BE) (Taylor, 2005). Penambahan
materi bleaching earth (BE) ini dilakukan tergantung dari kualitas Crude
Palm Oil (CPO) awal (Basiron, 2005). Tujuan dari penambahan bleaching
earth (BE) adalah untuk menyerap pengotor yang masih terdapat di dalam
minyak, seperti logam berat, air, komponen yang tidak larut minyak,
karotenoid, dan sebagian pigmen lainnya. Sehingga perlu dilakukan
pemurnian pada minyak ikan. Sedangkan derajat kekentalan pada minyak
ikan patin 1:2 lebih kental jika dibandingkan dengan minyak ikan patin 1:3
yang memiliki derajat kekentalan encer dan kontrol minyak ikan sawit yang
derajat kekentalannya sangat encer. Tingkat kekentalan pada minyak ikan
tersebut dikarenakan masih terdapat komponen-komponen pengotor yang
terdapat pada minyak ikan. Sehingga perlu dilakukan proses refinery
meliputi pengikatan gum (degumming), pemucatan (bleaching) dengan
bleaching earth, dan penghilangan beberapa komponen (deodorisasi)
(Jonathan, 2016).

Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Berat Jenis Minyak Ikan Patin


Densitas
Volume
Kel Sampel a (gr) b (gr) b-a (gr) minyak
tube (ml)
(gr/cm3)
Kontrol Minyak sawit 1,1532 2,8517 1,7065 2 0,85325
Minyak ikan
Shift 1 1,1002 2,5405 1,4403 2 0,72015
patin 1:2
Minyak ikan
Shift 2 1,1961 2,8865 1,6904 2 0,8452
patin 1:3
Sumber : Laporan sementara
Keterangan :
a = Massa tube kosong
b = Massa tube kosong + minyak
b-a = Massa minyak
Berdasarkan data pada Tabel 4.1, diperoleh hasil densitas pada
minyak ikan patin 1:2 dan minyak ikan patin 1:3 yaitu masing-masing
0,72015 gr/cm3 dan 0,8452 gr/cm3, hasil densitas tersebut tidak berbeda jauh
dengan nilai densitas pada sampel kontrol minyak sawit yaitu 0,85325
gr/cm3. Massa minyak ikan pada perbandingan (1:3) lebih besar jika
dibandingkan dengan perbedaan (1:2). Hal ini tentu saja mengakibatkan
perbedaan nilai densitasnya. Densitas yang massa sampel minyak ikannya
lebih tinggi memiliki nilai densitas yang lebih besar. Namun perbedaan nilai
densitasnya tidak terlalu signifikan. Besarnya nilai densitas pada minyak
ikan patin tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Amril dkk.
(2016) bahwa pada hasil uji minyak ikan patin didapat nilai densitas sebesar
0,8924 gr/cm3. Hal ini menunjukkan bahwa nilai densitas yang didapat telah
sesuai dengan teori. Nilai densitas tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti suhu, massa dan volume. Semakin tinggi nilai massa maka nilai
densitas akan semakin besar.

Tabel 4.4 Hasil Pengamatan Titik Beku Minyak Ikan Patin Kasar
Kelompok Sampel Titik beku (oC)
Kontrol Minyak sawit 21,12 - 23,55
Shift 1 Minyak ikan patin 1:2 10
Shift 2 Minyak ikan patin 1:3 2
Sumber : Laporan sementara
Berdasarkan data pada Tabel 4.4, diperoleh hasil pengamatan titik
beku pada minyak ikan patin 1:2 dan minyak ikan patin 1:3 dengan satu
sampel kontrol yaitu minyak kelapa sawit. Menurut Wulandari dkk. (2011),
titik beku minyak sawit berada pada suhu 21,12 - 23,55oC. Sedangkan titik
beku minyak ikan patin 1:2 dan minyak ikan patin 1:3 masing-masing yaitu
10 dan 2 oC. Hasil tersebut menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan
antara titik beku pada minyak sawit dengan titik beku minyak ikan patin.
Sehingga hasil pengamatan tidak sesuai dengan teori karena nilai titik beku
yang diperoleh terpaut sangat jauh.

E. KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum Teknologi Pengolahan Pangan Hewani


Acara IV “Teknologi Pembuatan Minyak Ikan”, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:

1. Minyak ikan patin didapatkan melalui proses pemisahan daging dengan


bagian lainnya, penimbangan, penggilingan, penambahan aquadest,
pemanasan, penyaringan, pengepresan, dan pemurnian minyak ikan.
2. Berdasarkan hasil praktikum, diperoleh rendemen pada minyak ikan
patin perbandingan 1:2 sebesar 6,5%, dengan hasil pengamatan
warnanya kuning cerah, kental, dan berat jenisnya sebesar 0,72015
gr/cm3. Sementara pada minyak ikan patin perbandingan 1:3
rendemennya sebesar 11,48%, berwarna kuning cerah, derajat
kekentalannya encer, dan berat jenisnya sebesar 0,8452 gr/cm3.
3. Berdasarkan hasil praktikum, diperoleh titik beku pada minyak ikan
patin dengan perbandingan 1:2 titik bekunya sebesar 100C dan pada
perbandingan 1:3 titik bekunya sebesar 20C.
DAFTAR PUSTAKA

Amril, Ari Ridha., Irdoni., Nirwana. 2016. Sintesis Bio-Pelumas dari Minyak
Limbah Ikan Patin dengan Pengaruh Kecepatan Pengadukan dan Suhu
Reaksi. Jom F.TEKNIK Vol 3 (1) : 1-6.
Ayu, Dewi Fortuna, Andarini Diharmi, dan Akhyar Ali. 2019. Karakteristik minyak
ikan dari lemak abdomen Hasil Samping Pengasapan Ikan Patin (Pangasius
hypophthalmus). JPHPI Vol 22 (1): 187-197
Diana, Fivi Melva. 2012. Studi Literatur: Omega 3. Jurnal Kesehatan Masyarakat,
Maret 2012-September 2012, Vol. 6, No.2
Estiasih T, Ahmadi Kgs, Nisa CF, dan Kusumastuti F. 2009. Optimasi kondisi
pemurnian asam lemak omega-3 dari minyak hasil samping penepungan tuna
(Thunnus sp) dengan kristalisasi urea. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan.
20(2):135-142.
Estiasih T. 2009. Minyak Ikan, Teknologi dan Penerapannya untuk Pangan dan
Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Harris, W.S. 2004. Review: fish oil supplementation: evidence for health benefits,
Cleveland Clinic. J. of Medicine, 71(3):208-219
Hastarini, Ema., Dedi Fardiaz., Hari Eko Irianto., Slamet Budijanto. 2012.
Karakteristik Minyak Ikan dari Limbah Pengolahan Filet Ikan Patin Siam
(Pangasius hypopthalmus) dan Patin Jambal (Pangasius djambal). Agritech.
Vol. 32(4): 403- 410.
Huli, La Ode, Sugeng Heri Suseno, Joko Santoso. 2014. Kualitas Minyak Ikan Dari
Kulit Ikan Swangi. JPHPI 2014, Volume 17 Nomor 3
International Fish Oil Standard [IFOS]. 2014. Fish Oil Purity Standars. Amerika.
Jonathan, Alan Christian. 2016. Proses Pemurnian Minyak Kelapa Sawit Di PT
Salim Ivomas Pratama TBK Tanjung Priok, Jakarta Utara. Laporan Kerja
Praktek. Universitas Katolik Soegijapranata.
Kamini., Pipih Suptijah., Joko Santoso., dan Sugeng Heri Suseno. 2016. Ekstraksi
Dry Rendering dan Karakterisasi Minyak Ikan dari Lemak Jeroan Hasil
Samping Pengolahan Salai Patin Siam. JPHPI Vol.19(3).
Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2012. Statistik ekspor hasil perikanan, Buku
2, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Jakarta: 428hlm
Maulana, Indra T., Sukraso, dan Sophi Damayanti. 2014. Kandungan Asam Lemak
Dalam Minyak Ikan Indonesia. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis.
Vol. 6, No. 1: 121-130
Nugroho AJ, Ibrahim R, Riyadi PH. 2014. Pengaruh perbedaan suhu pengukusan
(steam jacket) terhadap kualitas minyak dari limbah usus ikan nila
(Oreochromis niloticus). Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil
Perikanan 3(1):21-29
Ramalhosa MJ, Paiga P, Morais S, Alves RM, Matos CD, Oliveira MB. 2012. Lipid
content of frozen fish: Comparison of different extraction methods and
variability during freezing storage. Food Chemistry 131:328–336.
Rasyid, A. 2003. Asam Lemak Omega 3 dari Minyak Ikan, Oseania, 28(3) :11-16.
Sikorska, E., Caponio F., Bilancia MT., Summo C., Pasqualone A., Khmelinskii
IV., Sikorski M. 2007. Changes in Colour of Extravirgin Olive Oil During
Storage. Polish Journal of Food and Nutrition Sciences Vol 57(4): 495-498.
Suseno SH, Nurjanah, Faradiba T. 2013. Profil asam lemak dan kestabilan produk
formulasi minyak ikan dan habbatussauda. Jurnal Pengolahan Hasil
Perikanan Indonesia. 16(2): 142-149..
Taylor, D. R. 2005. Bleaching. In: Bailey’s Industrial Oil and Fat Products 6th ed.
(Ed. F. Shahidi). A John Wiley & Sons, Inc. New Jersey.
Wulandari, Nur., Tien R. Muchtadi., Slamet Budijanto., dan Sugiyono. 2011. Sifat
Fisik Minyak Sawit Kasar dan Korelasinya dengan Atribut Mutu. Jurnal
Teknologi dan Industri Pangan Vol. 22(2): 177-183.

Anda mungkin juga menyukai