Anda di halaman 1dari 117

TUTURAN TOLEA DALAM RITUAL PESTA ADAT MOSEHE

WONUA SUKU TOLAKI MEKONGGA DI KABUPATEN KOLAKA:


KAJIAN SEMIOTIKA

TOLEA UTTERENCE IN THE RITUAL OF MOSEHE WONUA CUSTOM


PARTY OF MEKONGGA TOLAKI TRIBE IN KOLAKA REGENCY
A SEMIOTIC REVIEW

TESIS

SULTAN
P0500212408

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
TUTURAN TOLEA DALAM RITUAL PESTA ADAT MOSEHE WONUA
SUKU TOLAKI MEKONGGA DI KABUPATEN KOLAKA:
KAJIAN SEMIOTIKA

TOLEA UTTERENCE IN THE RITUAL OF MOSEHE WONUA CUSTOM


PARTY OF MEKONGGA TOLAKI TRIBE IN KOLAKA REGENCY
A SEMIOTIC REVIEW

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister


Pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin
Program Studi Ilmu Linguistik

DI Susun dan diajukan oleh

SULTAN

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

ii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Sultan

Nomor Mahasiswa : P0500212408


Program studi : Ilmu Linguistik

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini


benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis
ini hasil karya orang lain, saya bersediah menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.

Kolaka, 1 Maret 2018


Yang menyatakan,

SULTAN

iii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil Alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah karena rahmat, karunia dan kekuatan yang dilimpahkan sehingga

tesis ini akhirnya terselesaikan. Semoga shalawat dan salam senantiasa

tercurah pada Rasulullah SAW, juga kepada keluarga Beliau, para

sahabat dan orang-orang mukmin yang senantiasa istiqamah meniti jalan

hidup ini hingga akhir.

Tesis ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat utama meraih

gelar Magister Linguistik Pascasarjana Unhas sekaligus sebagai

persyaratan yang harus dipenuhi sebelum pelaksanaan penelitian di

lapangan terkait judul “Tuturan Tolea dalam Ritual Pesta adat Mosehe

Wonua Suku Tolaki Mekongga di Kabupaten Kolaka: Kalian Semiotika”

Tesis ini terwujud berkat uluran tangan dari setiap orang yang

memberikan sumbangsih, baik berupa dukungan, bantuan, bimbingan,

maupun bantuan berupa materi kepada penulis.

Terima kasih untuk Ayahanda dan Ibunda yang telah memberikan

samudera cinta dan kasih sayangnya serta keikhlasan dalam

membesarkan, mendidik, serta doa restu yang tak henti-hentinya diberikan

kepada penulis. Untuk itu, penulis mengucapkan terimah kasih dan juga

penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof Dr. Tadjuddin Maknun, S.U. selaku Ketua Komisi Penasihat dan

pembimbing pertama atas ketulusan hati dan kesabarannya dalam


membimbing penulis dan memberikan masukan dalam penyelesaian

tesis ini;

2. Dr. Ikhwan M. Said.,M. Hum. selaku Pembimbing Kedua yang

mencurahkan waktu dan pikiran untuk membimbing penulis dalam

penyusunan tesis ini;

3. Terima kasih dan penghargaan yang tak ternilai kepada Prof. Dr. H.

Muhammad Darwis, M.S., Dr. H. Nurhayati, M.Hum dan Dr. Hj, Ery

Eswary., M.Hum selaku penguji yang turut memberikan saran

sehingga tesis ini menjadi lebih baik daripada sebelumnya;

4. Prof. Dr. Akin Duli, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Hasanuddin;

5. Bapak dan ibu dosen se-Unhas, terkhusus pengasuh mata kuliah pada

Program Studi Linguistik atas curahan ilmu pengetahuannya selama

masa studi dan memberikan kemudahan kepada penulis selama

mengikuti pendidikan di Universitas Hasanuddin;

6. Bapak dan Ibu tenaga administrasi di Pascasarjana dan Fakultaas Ilmu

Budaya;

7. Pemerintah Kabupaten Kolaka yang telah memberikan izin dan

mendukung segala upaya dalam kelengkapan pemerolehan data dan

tahap penyelesaian tesis ini;

8. Saudara-saudaraku Muh Suyuti dan Syarifuddin. Semua kasih sayang,

doa, dan dukungannya;


9. Sahabat-sahabat terbaik dan tercinta mahasiswa Pascasarjana

Linguistik Angkatan 2012 atas dukungan moral dan spritualnya yang

selalu berbagi canda tawa dan dukanya selama menempuh studi

hingga waktu yang tidak ditentukan;

10. Firman Saleh, S.S., S.Pd., M. Hum, Husni Binti Salam, S.Pd., M,Hum,

Suparman, S.S., M.Hum yang selalu setia dan hadir lebih dari teman,

saudara, yang senantiasa memberikan semangat, doa, serta setia

menemani dalam keadaan suka dan duka berjuang semangat 45 jatuh

bangun menyelesaikan tesis ini;

11. Teman-teman Program Studi Linguistik, ELS, dan Bahasa Indonesia

serta rekan-rekan seperjuangan, semangat dan kebersamaan dalam

suka dan duka takkan terlupakan;

12. semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa usaha yang semaksimal

mungkin guna menghasilkan karya terbaik memang tak pernah luput dari

kasalahan. Seperti halnya dengan tesis ini yang tentunya tak lepas dari

berbagai kekurangan dan belum mendekati nilai kesempurnaan. Oleh

karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengaharapkan kritik

dan saran yang sifanya membangun dari segala pihak guna perbaikan

tesis ini ke tahap yang selanjutnya.

Makassar, 1 Maret 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebudayaan lokal ialah pandangan yang menyeluruh bagi suatu

etnik tertentu menyangkut pandangan hidup, sikap, dan sistem nilai dalam

kehidupannya. Dengan kata lain, kebudayaan suatu etnik merupakan

instrumen atau alat dalam kehidupan masyarakatnya dengan nilai-nilai

yang terkandung dalam kebudayaannya menjadi patokan sekaligus tujuan

hidupnya. Salah satu wujud kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat

Kendari, yakni tuturan yang diungkapkan oleh pemangku adat masyarakat

setempat. Tuturan yang diungkapkan tidak serta merta diketahui makna

yang terkandung dalam tuturannya tersebut. Pada sisi yang sama,

masyarakat sebagai pelaku kebudayaan kurang menumbuhkan rasa

tanggung jawab diri sebagai pewaris tradisi. (Mattulada, 1985:12).

Kota Kolaka terdiri dari beberapa suku, salah satunya adalah suku

bangsa Tolaki. Suku ini merupakan suku asli di daratan Sulawesi

Tenggara, selain Muna dari Pulau Muna dan suku Buton yang berasal dari

Pulau Buton. Sekitar abad ke-10, daratan Sulawesi Tenggara memiliki dua

kerajaan besar, yaitu Kerajaan Konawe (wilayah Kabupaten Konawe) dan

Kerajaan Mekongga (wilayah Kabupaten Kolaka). Secara umum, kedua

kerajaan ini serumpun dan dikenal sebagai suku Tolaki.

Salah satu tradisi yang masih hidup dari dulu hingga kini di

Kabupaten Kolaka adalah Mosehe Wonua. Hal tersebut merupakan suatu


tradisi suku Mekongga yang dilaksanakan secara besar-besaran, ramai

penuh hikmat dan sakral sehingga diharapkan masyarakat ikut terlibat di

dalamnya, termasuk seluruh utusan yang mewakili negerinya (daerah)

masing-masing dari seluruh kerajaan Mekongga, bahkan tokoh adat,

masyarakat, agamawan, pemerintah sipil, dan militer. Mereka akan larut

bersama dalam pesta prosesi upacara Mosehe Wonua.

Mosehe Wonua ini sangat erat hubungan dengan Tolea dan Kalo

Sara. Pada ritual ini, tanpa Tolea dan Kalo Sara kegiatan Mosehe Wonua

tidak bisa terlaksana karena dalam hal ini Kalo Sara merupakan lambang

pemersatu dan perdamaian yang sangat sakral dan tetap dipandang

keramat oleh suku Mekongga yang selalu tampil dalam berbagai bentuk

upacara ritual atau upacara adat dalam kehidupan suku tersebut.

Ritual Mosehe Wonua dilaksanakan apabila ada suatu peristiwa

yang menimpa negeri atau fenomena alam yang merugikan manusia,

misalnya terjadi bencana alam, gagal panen pada tanaman, timbulnya

wabah penyakit, tidak adanya keserasian dan keselarasan dalam

kehidupan manusia di bumi ini. Akibat dari semua itu sering timbulnya

permusuhan dan kekacauan. Dengan demikian, melalui pelaksanaan ritual

adat Mosehe Wonua sebagai kepercayaan tradisi leluhur masyarakat

Mekongga diharapkan agar Ombu (Tuhan Yang Maha Kuasa) berkenan

menerima ritual adat tersebut bagi kepentingan keselamatan orang

banyak sehingga mendapat berkat dan rahmat dari Allah SWT.


Prosesi ritual Mosehe Wonua dihadiri berbagai macam lapisan

masyarakat, tetapi mereka tidak bisa mengambil bagian penting dalam

ritual tersebut, khususnya tuturan yang diungkapkan oleh Tolea yang juga

sebagai tokoh penggunaan Kalo Sara. Kalo Sara hanya dapat digunakan

oleh tokoh adat yang dikenal dengan nama Tolea. Tolea adalah tokoh

adat yang diangkat sebagai juru penerang adat karena kepandaiannya

dalam menjelaskan sesuatu, dianggap mampu berbicara dalam berbagai

urusan-urusan penting dalam kehidupan sehari-hari, dan berhak

membawa Kalo Sara, serta berbicara atas nama hukum adat dengan

menggunakan Kalo Sara dalam berbagai urusan pada masyarakat

Mekongga.

Di tengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan suku

Mekongga terdapat satu simbol peradaban yang dapat mempersatukan

berbagai masalah atau persoalan, termasuk mengangkat martabat dan

kehormatan. Benda yang dijadikan sebagai simbol dalam kehidupan

masyarakat setempat disebut Kalo Sara. Kebudayaan Mekongga ini lahir

dari budi dan tercermin sebagai cipta rasa dan karsa, serta melandasi

ketentraman, kesejahteraan, kebersamaan, juga kehalusan pergaulan

dalam bermasyarakat yang sebelumnya diawali oleh tuturan Tolea.

Sejak dahulu hingga saat ini tuturan Tolea dalam tradisi Mosehe

Wanua tetap terjaga, sebab digunakan dalam ritual yang sangat sakral.

Benda ritual tetap digunakan oleh masyarakat Mekongga berupa Kalo

Sara sebagai simbol tertinggi dalam masyarakat tersebut. Dahulu, Kalo


Sara dijadikan sebagai alat perdamaian dalam menyelesaikan selisih

paham antara kelompok masyarakat dalam soal politik. Seiring

perkembangan jaman, oleh para keturunan raja, Kalo Sara tidak hanya

digunakan sebagai alat perdamaian, tetapi telah mengalami perluasan

fungsi sebagai alat dalam upacara pelantikan raja dan alat komunikasi

antara raja dengan rakyat. Orang yang memegang dan menyimpan kalo

sara adalah Tolea. Tolea menuturkan tuturan yang memiliki makna dalam

ritual Mosehe Wanua.

Tuturan yang diungkapkan oleh tokoh masyarakat atau Tolea dapat

dikatakan sangat sakral. Kalo Sara diperlakukan sebagai alat komunikasi

antara satu golongan dengan golongan lain, antara satu keluarga dengan

keluarga lain, dan individu dengan individu lainnya yang disajikan oleh

Tolea.

Berdasarkan paparan di atas, peneliti tertantang untuk

mengungkapkan tuturan Tolea sebagai sebuah bentuk tradisi yang berupa

simbol dan menyiratkan makna tersendiri dalam kehidupan suku

Mekongga. Tuturan Tolea dan makna, serta fungsi Kalo Sara seharusnya

diketahui oleh masyarakat sebagai suku Tolaki, sebab masyarakat

setempat tidak mengetahui makna dan fungsi tuturan tersebut. Kenyataan

yang ada, masyarakat setempat tidak mengetahui makna tuturan dan

benda Kalo Sara serta fungsinya. Simbol-simbol dalam Kalo Sara memiliki

makna tersendiri. Oleh karena itu, seharusnya semua masyarakat suku

Mekongga dapat mengetahui bentuk dan makna simbol yang terdapat


dalam tuturan Tolea pada ritual Mosehe Wanua. Pada kenyataannya,

beberapa anggota masyarakat suku Mekongga, khususnya generasi

muda tidak mengetahui bentuk dan makna dari simbol-simbol yang

terdapat dalam tuturan Tolea tersebut. Jadi, dengan adanya penelitian ini

diharapkan dapat mengetahui makna dan fungsi tuturan Tolea dalam ritual

Mosehe Wanua suku Mekongga di Kabupaten Kolaka yang tersirat di balik

pemakaian simbol tersebut. Tolea merupakan tokoh adat yang berfungsi

sebagai tokoh adat yang mempunyai peran penting dan tokoh utama

dalam ritual Mosehe Wanua. Berdasarkan pemaparan di atas, maka

peneliti merasa tertantang untuk melakukan penelitian yang berjudul “

Tuturan Tolea dalam Ritual Pesta Adat Mosehe Wanua Suku Tolaki

Mekongga di Kabupaten Kolaka dengan Kajian Semiotika”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, ada beberapa masalah

dalam penelitian yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana makna tuturan Tolea dalam ritual Mosehe Wonua di

Kabupaten Kolaka?

2. Bagaimana fungsi tuturan Tolea dalam ritual Mosehe Wonua di

Kabupaten Kolaka?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, tujuan penelitian

ini antara lain:


1. Mendeskripsikan makna tuturan Tolea dalam ritual Mosehe Wonua di

Kabupaten Kolaka.

2. Mendeskripsikan fungsi tuturan Tolea dalam ritual Mosehe Wonua di

Kabupaten Kolaka.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi kepada

berbagai pihak, baik secara teoretis maupun secara praktis.

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat:

a. Memberikan pemahaman makna simbol dan nilai budaya Kalo Sara

dalam ritual Mosehe Wonua sebagai pedoman hidup untuk

terciptanya ketertiban sosial dan moral dalam kehidupan

bermasyarakat suku Mekongga di Kabupaten Kolaka.

b. Menambah khasanah pengetahuan tentang makna simbol Kalo

Sara dalam ritual Mosehe Wonua masyarakat Mekongga.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat:

a. Sebagai bahan masukan kepada pemerintah Kabupaten Kolaka

tentang pembinaan dan pemeliharaan nilai-nilai tradisional yang

bermanfaat.
b. Membantu melestarikan adat istiadat daerah dalam rangka

pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional.

c. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat pembaca agar dapat

mengetahui makna simbolik benda-benda dalam adat suku

Mekongga di Kabupaten Kolaka.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Relevan

Hasil penelitian mengenai makna dan simbol secara umum sudah

cukup banyak dilakukan. Beberapa Hasil penelitian mahasiswa yang

dapat dijadikan referensi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Suparman (2013) membahas ritual pascapemakaman masyarakat

Tangru dengan judul tesis “Makna dan Simbol Tuturan Ritual

Pascapemakaman Masyarakat Tangru Suatu Kajian Semiotik”. Penelitian

yang dilakukan oleh Suparman ini difokuskan pada konteks sosial, teks

lisan, dan konteks situasi dalam ritual pascapemakaman Tangru. Dalam

temuannya, Suparman menemukan bahwa pada prosesi pascapanen

terdapat beberapa proses ritual masyarakat Tangru, yakni sebuah proses

yang mengikuti tradisi sholat lima waktu dalam ajaran Islam. Proses-

proses yang dimaksud antara lain proses pertama dinamakan karuen bala

batu (waktu subuh), kedua (waktu duhur), ketiga pangpituanna (waktu

asar), keempat sangpulukaserana (waktu magrib) dan kelima

pangpatangpuluanna (waktu isak). Proses ritual tersebut terdapat teks

yang berbeda-beda dalam setiap tuturan serta konteks yang berbeda

dalam prosesi ritual tersebut.

Pardosi (2008) meneliti masalah Umpasa Pada Masyarakat Toba

dengan judul "Makna Simbolik Umpasa, Sinamot, dan Ulos pada Adat

Perkawinan Batak Toba”. Temuan Pardosi antara lain makna simbol


penggunaan umpasa pada upacara adat perkawinan Batak Toba, yaitu

sebagai sarana komunikasi bagi utusan pembicara dari kelompok yang

berkompoten pada saat upacara berlangsung. Selain itu, umpasa

digunakan sebagai sarana berkomunikasi untuk bermohon kepada Tuhan

Yang Maha Esa agar diberikan hagabeon (memiliki putra dan putri),

hamoraon ‘memiliki kekayaan harta benda’, hasangapon ‘memiliki wibawa

dan terpandang’, dan saur matua ‘panjang umur dan dapat mencapai cita-

cita’.

Selanjutnya, Supramono (2007) dengan judul penelitian “Makna

Warak Ngendog dalam Tradisi Ritual Dugderan di Kota Semarang”.

Tujuan penelitian Supramono, yaitu mengidentifikasi, memahami, dan

menjelaskan penyelenggraan ritual Dugderan dan penciptaan Warak

Ngendog dalam rangka memenuhi estetis masyarakat Semarang. Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Supramo, yaitu Warak Ngendok

diperlakukan sebagai teks dalam semiotika. Melalui analisis semiotika

terdapat nilai-nilai estetis simbolis dalam karya Warak Ngendok sebagai

sebuah karya pluralis dan diciptakan dalam konteks budaya Jawa dan

Islam serta Tiongkok.

Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini

lebih mendeskripsikan bentuk-bentuk Kalo Sara dan menguraikan fungsi

dan makna simbol Kalo Sara tersebut dalam ritual Mosehe Wonua dalam

masyarakat suku Mekongga.


B. Tinjauan Pustaka

Pembahasan teori yang diuraikan penulis, didasarkan pada

penentuan skala prioritas objek penelitian ialah mengetahui Makna dan

Fungsi tuturan Tolea dalam ritual Mosehe Wonua yang ada dalam etnik

Mekongga, sehingga teori yang mendukung untuk menjelaskan

fenomena-fenomena dalam kegiatan ritual atau upacara adat.

1. Semiotika

Berbicara mengenai simbolis maka kita berbicara tentang tanda

yang juga berarti berbicara tentang semiotika. Secara etimologis semiotik

yang biasa disebut dengan kata semiotika berasal dari kata Yunani, yaitu

semeion yang berarti ‘tanda’. Tanda pada masa itu masih bermakna suatu

hal yang menyelimuti sesuatu adanya hal lain. Semiotik dalam bidang ilmu

pengetahuan dapat diartikan sebagai cabang ilmu yang berurusan dengan

pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannnya

seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda. Semiotik

merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-

peristiwa, dan seluruh kebudayaan sebagai tanda (Van Zoest, 1993:1).

Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya, dan makna

(meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda.

Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi. Hjelmslev

(Muhibbin, 2006:18) mendefinisikan tanda sebagai suatu keterhubungan

antara wahana ekspresi (expression plan) dan wahana isi (content plan).

Tanda, dalam pandangan Pierce adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi
(cultivated). Tanda hadir dalam proses interpretasi (semiosis) yang

mengalir. Kajian semiotika dapat dapat dibedakan menjadi dua jenis,

yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Semiotika

komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda, sedangkan

semiotika signifikasi memberikan tekanan pada teori tanda dan

pemahamannya dalam suatu konteks tertentu (Sobur, 2006:15).

Semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang

berhubungan dengannya seperti cara berfungsinya, hubungannya dengan

tanda-tanda lain, pengirimnya dan penerimaannya oleh mereka yang

menggunakannya (Sudjiman, 1992:5). Semiotika adalah ilmu yang

mengkaji tentang tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang

hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda yaitu sesuatu yang harus

kita beri makna (Hoed, 2008:5).

Teeuw (1984:6), seorang ahli sastra, mendefinisikan semiotik

adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya

menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan

aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi

yang khas di dalam masyarakat manapun. Semiotik merupakan cabang

ilmu yang relatif masih baru, penggunaan tanda dan semua yang

mengenai tanda dipelajari secara lebih terstruktur dalam bidang semiotik

pada abad kedua puluh kemudian berkembang hingga sekarang ini.

Hoed (2011:27) mengatakan bahwa para ahli semiotika modern

telah dipelopori oleh dua nama yaitu seorang linguis yang berasal dari
Swiss bernama Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang filsuf

Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce (1839-1914). Peirce

menganggap model analisisnya dengan semiotik dan istilah tersebut telah

digunakan untuk ilmu tentang tanda. Paham de Saussure berbeda dengan

paham Peirce dalam teorinya, tetapi keduanya tetap mengacu pada tanda.

Lahirnya semiotika tidak dapat dilepaskan dari bayangan

strukturalisme yang mendahuluinya dalam perkembangan ilmu

pengetahuan budaya. Perkembangan dari strukturalis ke semiotika dapat

dibagi dua, yakni yang sifatnya melanjutkan sehingga ciri-ciri

strukturalismenya masih sangat kelihatan dan yang sifatnya mulai

meninggalkan sifat strukturalisme untuk lebih menonjolkan kebudayaan

sebagai sistem tanda.

Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan

manusia. Artinya, semua yang hadird alam kehidupan kita dilihat sebagai

tanda, yakni sesuatu yang harus diberi makna. Para strukturalis, merujuk

pada Ferdinand de Saussure (dalam Hoed, 2008:3), melihat tanda

sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercitra dalam kognisi seseorang)

dan makna (atau isi, yakni yang dipahami oleh manusia pemakai tanda).

De Saussure menggunakan istilah penanda (significant) untuk segi bentuk

suatu tanda, dan pertanda (signife) untuk segi maknanya. Ferdinand de

Saussure adalah bapak linguistik asal perancis yang mengemukakan teori

tentang tanda linguistik (perancis : signe linguistique). Menurut Ferdinand

de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu (1) yang
diartikan (Perancis : signifie’, Inggris : signified) dan (2) yang mengartikan

Perancis : significant, Inggris : signifier). Artinya (signifie’, signified)

sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau makna dari sesuatu tanda

bunyi sedangkan yang mengartikan (signifiant atau signifier) adalah tidak

lain dari bunyi-bunyi itu, yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang

bersangkuktan. Jadi, dengan kata lain setiap tanda linguistik terdiri dari

unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam

bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk/mengacu kepada sesuatu

yang referen yang merupakan unsur luar bahasa (ekstralingual).

De Saussure juga mengajukan konsep signé (tanda) untuk

menunjukkan hubungan antarsignifié (yang ditandai dan significant (yang

menandai). Signifié adalah makna atau konsep dari signifiant yang

berwujud bunyi-bunyi bahasa. Signifié dan signifiant sebagai signé

linguistique adalah satu kesatuan yang merujuk pada satu referen yaitu

sesuatu, berupa benda atau hal yang diluar bahasa.

Umpamanya tanda yang dieja (meja). Tanda ini terdiri dari unsur

makna atau yang diartikan ‘meja’ (Inggris : table) dan unsur bunyi atau

yang mengartikan dalam wujud runtutan fonem (m, e, j, a). Lalu tanda

(meja) ini, yang lain dalam hal ini terdiri dari unsur makna dan unsur

bunyinya mengacu kepada suatu referen yang berada di luar bahasa,

yaitu sebuah meja, sebagai salah satu perabot rumah tangga. Kalau kata

(meja) adalah sebagai hal yang menandai (tanda-linguistik), maka sebuah

(meja) sebagai perabot ini adalah hal yang ditandai.


Sebetulnya dalam bidang semantik istilah yang biasa digunakan

untuk tanda-linguistik itu adalah leksem (Chaer 1995:31). sedangkan

istilah kata, yang lazim didefenisikan sebagai satuan bahasa yang dapat

berdiri sendiri dan terjadi dari morfem tunggal atau gabungan morfem

(dalam Chaer 1995:31) adalah istilah dalam bidang gramatikal.

Hubungan antara kata dan maknanya bersifat arbitrer yakni tidak

ada hubungan wajib antara deretan fonem pembentuk kata itu dengan

maknanya namun, hubungannya bersifat konvensional. yang disepakati

oleh setiap anggota masyarakat suatu bahasa untuk mematuhi hubungan

itu sebab kalau tidak, komunikasi verbal yang dilakukan akan mendapat

hambatan. Oleh karena itu, dapat dikatakan, secara sinkronis hubungan

antara kata dan maknanya (atau lebih tepat lagi: makna sebuah kata)

tidak akan berubah. Secara diakronis ada kemungkinan biasa berubah

sesuai dengan perkembangan budaya dan masyarakat yang

bersangkutan.

Bagi Peirce (dalam Anwar, 2008:3) semiotika adalah proses

simbolisasi atau representasi (semiosis). Proses adalah dinamika yang

terpadu di dalamnya tiga unsur dinamis, yakni tidak lengkap, tidak final,

dan tidak pasti. Peirce mendefenisikan tanda sebagai representasi

terhadap sesuatu bahwa ia mampu menyampaikan sebagian sisi atau

dayanya kepada orang lain. Peirce merujuk kepada doktrin formal

tentang tanda-tanda, jadi yang menjadi dasar dari semiotika adalah

konsep tentang tanda.


Dalam konteks semiotika, Geertz (Soekanto, 1993:VI-VII)

menawarkan cara menafsirkan kebudayaan dengan cara memaparkan

konfigurasi atau sistem simbol-simbol bermakna secara mendalam dan

menyeluruh. Geertz berkesimpulan bahwa simbol-simbol yang tersedia di

kehidupan umum sebuah masyrakat yang sesungguhnya menunjukkan

bagaimana para warga masyarakat yang bersangkutan melihat, merasa,

dan berpikir tentang dunia mereka serta bertindak berdasarkan nilai-nilai

yang sesuai. Bagi Greetz, kebudayaan adalah semiotik; hal-hal yang

berhubungan dengan simbol-simbol yang tersedia di depan umum dan

dikenal oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Simbol adalah suatu

yang perlu ditangkap maknanya dan pada giliran berikutnya dibagikan

oleh dan kepada warga masyarakat serta diwariskan kepada anak cucu.

Patteda (2001:29) menyatakan bahwa terdapat Sembilan macam

jenis semiotika yang dikenal sekarang yaitu:

a. Semiotika analitik, yakni semiotika yang menganalisis sistem

tanda. Semiotika ini berobjekkan tanda dan menganalisisnya

menjadi ide, objek, dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai

lambing, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam

lambang yang mengacu kepada objek tertentu.

b. Semiotika deskriptif, yakni semiotika yang memperhatikan sistem

tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang

sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang, misalnya,


langit yang mendung menandakan bahwa hujan tidak lama lagi

akan turun, dari dahulu hingga sekarang tetap saja seperti itu.

c. Semiotika faunal (zoonsemiotic), yakni semiotika yang khusus

memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh Hewan.

Hewan biasanya menghasilkan tanda untuk berkomunikasi

antara sesamanya, tetapi juga sering menghasilkan tanda yang

dapat ditafsirkan oleh manusia. Misalnya, seekor ayam yang

berkotek-kotek menandakan ayam itu telah bertelur atau ada

sesuatu yang ia takuti.

d. Semiotika kultural, yakni semiotika yang khusus menelaah

sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat

tertentu. Telah diketahui bahwa masyarakat sebagai makhluk

sosial memiliki sistem budaya tertentu yang secara turun-

menurun dipertahankan dan dihormati. Budaya yang terdapat

dalam masyarakat yang juga merupakan sistem itu,

menggunakan tanda-tanda tertentu yang membedakannya

dengan masyarakat lain.

e. Semiotika naratif, yakni semiotika yang menelaah sistem tanda

dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore)

f. Semiotika natural, yakni semiotika yang khusus menelaah sistem

tanda yang dihasilkan oleh alam. Air sungai keruh menandakan

di hulu telah turun hujan. Alam yang tidak bersahabat dengan

sahabat, misalnya banjir atau tanah longsor, sebenarnya


memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah

merusak alam.

g. Semiotika normatif, yakni semiotika yang khusus menelaah

sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-

norma, misalnya rambu-rambu lalu lintas. Di ruang kereta api

sering dijumpai tanda yang bermakna dilarang merokok.

h. Semiotika sosial, yakni semiotika yang khusus menelaah sistem

tanda yang dihasilkan manusia yang berwujud lambing, baik

lambing kata maupun lambang yang berwujud kata dalam satuan

yang disebut kalimat. Dengan kata lain, semiotika social

menelaah sistem tanda yang terdapat dalam bahasa.

i. Semiotika struktural, yakni semiotika yang khusus menelaah

sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.

Pendapat-pendapat di atas menyatakan bahwa semiotika

merupakan kajian yang berhubungan dengan tanda. Benda

merupakan sebuah sistem tanda yang memiliki makna. Oleh karena

itu, semiotik dapat dijadikan suatu pendekatan terhadap pengkajian

tanda pada suatu benda.

2. Semiotika Peirce

Charles Sanders Peirce adalah seorang filsuf Amerika yang

gagasannya paling orisinal dan multidimensioanl. Peirce yang nama

panjangnya adalah Charles Shander Peirce yang lahir pada tahun 1839
dan mengkhiri pengabdiannya didunia semiotika pada tahun 1914, namun

apa yang telah dia torehkan tetap abadi hingga kini. Bagi teman-teman

sejamannya Peirce terlalu baik dalam kehidupan bermasyarakat, teman-

temannya membiarkannya dalam kesusahan dan meninggal dalam

kemiskinan. Peirce banyak menulis, tetapi kebanyakan tulisannya bersifat

pendahuluan, sketsa dan sebagian besar tidak diterbitkan sampai ajalnya.

Perhatian untuk karya-karyanya tidak banyak diberikan oleh teman-

temannya, sebab idenya yang sedikit (Zoest, 1996).

Pierce terkenal dengan teori tandanya. Di dalam lingkup semiotika,

Pierce seringkali mengulang-ulang pernyataannya mengenai tanda bahwa

secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang (Alex

Sobur, 2005:39). Charles Sanders Pierce, seorang ahli filsafat dari

Amerika, menegaskan bahwa kita hanya dapat berfikir dengan sarana

tanda. Sudjiman dan Zoest, (1966:vii) mengatakan bahwa “sudah pasti

bahwa tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi”.

Peirce selain seorang filsuf juga seorang ahli logika dan Peirce

memahami bagaimana manusia berfikir dan bernalar. Peirce akhirnya

sampai pada keyakinannya yang menyatakan bahwa manusia berpikir

dengan dan dalam tanda. Maka diraciklah sebuah ilmu, yaitu ilmu tanda

yang ia sebut semiotik. Semiotika baginya sama dengan logika. Secara

harafiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda”. Di samping itu

ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi, semakin lama ia


semakin yakin bahwa segala sesuatu adalah tanda artinya setidaknya

sesuai cara eksistensi dari apa yang mungkin (Zoest, 1993:10).

Peirce membagi tanda berdasarkan sifat ground menjadi tiga

kelompok yakni qualisigns, sinsigns dan legisigns. Qualisigns adalah

tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contoh, sifat

merah merupakan qualisgins karena merupakan tanda pada bidang yang

mungkin. Sinsigns adalah tanda yang merupakan tanda atas dasar

tampilnya dalam kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak

dilembagakan merupakan sinsigns. Sebuah jeritan bisa berarti kesakitan,

keheranan atau kegembiraan. Legisigns adalah tanda-tanda yang

merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah

konvensi, sebuah kode. Tanda lalu lintas adalah sebuah legisigns.

Oleh karena itu Peirce berpendapat bahwa tanda tidak hanya

representatif, tetapi juga interpretatif. Teori Peirce tentang tanda

memperlihatkan pemaknaan tanda seagai suatu proses kognitif dan bukan

sebuah struktur. Proses seperti itu disebut semiosis.

Peirce juga mengemukakan bahwa pemaknaan suatu tanda

bertahap-tahap. Ada tahap kepertamaan (firstness) yakni saat tanda

dikenali pada tahap awal secara prinsip saja. Firstness adalah keberadaan

seperti apa adanya tanpa menunjuk ke sesuatu yang lain, keberadaan dari

kemungkinan yang potensial. Kemudian tahap ‘kekeduaan’ (secondness)

saat tanda dimaknai secara individual; kemudian ‘keketigaan’ (thirdness)

saat tanda dimaknai secara tetap sebagai kovensi. Konsep tiga tahap ini
penting untuk memahami bahwa dalam suatu kebudayaan kadar

pemahaman tanda tidak sama pada semua anggota kebudayaan tersebut.

Setiap tanda selalu memperoleh pemaknaan awal yang dikenal

dengan istilah denotasi dan konotasi oleh Barthes disebut sistem primer,

Kemudian pengembangannya disebut sistem sekunder. Sistem sekunder

ke arah ekspresi disebut metabahasa atau bermakna ganda.Para ahli

semiotika jenis ini tanpa merasa keliru dalam bidang metodologi,

mencampurkan analisis mereka dengan pengertian-pengertian dari dua

aliran hermeutika yang sukses zaman itu, yakni Psikoanalisis dan

Marxisme (Zoest, 1993:5).

Adanya kesadaran bersama terhadap sistem kebahasaan, sistem

kode dan pemakaiannya, lebih lanjut juga menjadi dasar dalam

komunikasi antar sesama anggota masyarakat bahasa itu sendiri. Dalam

kegiatan komunikasinya, misalnya antara penutur dan pendengar, sadar

atau tidak, pastilah dilakukan identifikasi. Identifikasi tersebut dalam hal ini

tidak terbatas pada tanda kebahasaan, tetapi juga terhadap tanda berupa

bunyi prosodi, kinesik, maupun konteks komunikasi itu sendiri. Dengan

adanya identifikasi tersebut komunikasi itu pun menjadi sesuatu yang

bermakna baik bagi penutur maupun bagi penanggapnya.

Konsep dasar dari Peirce, terutama yang berhubungan dengan

kategori tanda (sign) dan kemungkinan aplikasinya secara sederhana,

memang menarik siapapun dari lintas disiplin ilmu apapun untuk dipelajari.
Tulisan-tulisan Peirce lebih bersifat umum, tetapi mendasar untuk konsep

tanda.

Pengikut Peirce seringkali membedakan antara semiotik dari

semiologi. Mereka menyebut Semiotik untuk aliran Peirce, dan semiologi

sebagai khas aliran Saussure. Mengenai hal ini, pernah ada seseorang

yang menjelalaskan bahwa Saussure sebenarnya memperhatikan aspek

sosial di belakang penandaan, sementara Peirce lebih tertuju pada “the

logic of general meaning”. Peirce memang punya intens yang kuat dalam

pemahaman tentang logika. Sebagai seorang filsuf dan ahli logika, Peirce

berkehendak untuk menyelidiki bagaimana proses bernalar manusia..

Teori Peirce tentang tanda dilandasi oleh tujuan besar, sehingga tidak

mengherankan apabila dia menyimpulkan bahwa semiotik tidak lain dan

tidak bukan adalah sinonim bagi logika itu sendiri.

Bahasa dalam perspektif semiotika hanya dalam satu sistem tanda-

tanda (System of Signs). Dalam wujudnya sebagai suatu sistem, pertama-

tama, bahasa adalah sebuah institusi sosial yang otonom, yang

keberadaannya terepas dari individu-individu pemakainya. Menurut

Saussure, bahasa merupakan salah jaringan tanda. Secara khusus tanda-

tanda kebahasaan memiliki karakteristik primordial, yakni besifat linier

(penanda) dan arbitre (petanda).

Dengan kata lain, bahasa merupakan suatu sistem konvensi,

sistem tanda-tanda yang konvensional. Tanda-tanda yang arbitre serta

konvensional ini kemudian oleh Peirce secara khusus disebut Simbol.Oleh


sebab itu, dalam terminologi Peirce, bahasa dapat dikatakan juga sebagai

sistem simbol lantaran tanda-tanda yang membentuknya bersifat arbitre

dan konvensional.

3. Trikotomi Peirce

Tanda dan denotatum yang diungkap oleh Peirce memfokuskandiri

pada tiga aspek tanda yaitu ikonik, indeksikal dan simbol. Pembagian

tanda trikotomi ini menurut Peirce sangat fundamental. Ikonik adalah

sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan

bentuk obyeknya.

Peirce dalam (Alex Sobur. 2005) mengungkapkan bahwa, Ikon

merupakan tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya

bersifat bersamaan bentuk alamiah, atau dengan kata lain, ikon adalah

hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan.

Indeks merupakan tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah

antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab

akibat, serta tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Simbol

merupakan tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda

dengan petandanya.

Ikon merupakan tanda yang didasarkan pada keserupaan atau

kemiripan di antara representaen dan objeknya, entah objek itu betul-betul

eksis atau tidak. Akan tetapi, sesungguhnya ikon tidak semata-mata

mencakup citra-citra “realistis” seperti pada foto atau lukisan, melainkan


juga pada grafis, skema, peta geografis, persamaan-persamaan

matematis, bahkan metafora.

Indeks adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda

yang mengisyaratkan petandanya. Indeks merupakan tanda yang memiliki

kaitan fisik, eksistensial, atau kausal di antara representamen dan

objeknya sehingga seolah-olah akan kehilangan karakter yang

menjadikannya tanda jika objeknya dihilangkan atau dipindahkan. Indeks

adalah hubungan langsung antara sebuah tanda dan objek yang kedua-

duanya dihubungkan. Indeksmerupakan tanda yang hubungan

eksisitensialnya langsung dengan objeknya.

Simbol adalah penanda yang melaksanakan fungsi sebagai

penanda yang kaidahnya secara kovensi telah lazim digunakan dalam

masyarakat. Simbol merupakan tanda yang representamennya menunjuk

kepada objek tertentu tanpa motivasi. Simbol adalah tanda yang memiliki

hubungan dengan objeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau

aturan. Makna dari suatu simbol ditentukan oleh suatu

persetujuan bersama, atau diterima oleh umum sebagai suatu kebenaran.

4. Makna

Pengertian makna dalam sense dibedakan dari (meaning- bahasa

inggris) di dalam semantik. Menurut Kridalaksana (1993:132), bahwa

makna merupakan maksud pembicaraan, pengaruh suatu bahasa dalam

pemahaman resepsi atau prilaku manusia; hubungan dalam arti

kepadanan antara bahasa dan luar bahasa atau antara ujaran dan semua
lambang yang ditujukannya, dan cara menggunakan lambang-lambang

bahasa. Menurut Palmer dalam Djajasudarma (1993:3), bahwa makna

hanya menyangkut intra bahasa. Sejalan dengan pendapat tersebut,

Lyons (1992:158) menyebutkan bahwa mengkaji atau memberikan makna

suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan

hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda dari

kata-kata lain. Menurut Samsuri (1983) garis hubungan antara:

makna ------------ ungkapan ------------ makna

Mempelajari makna pada hakikatnya berari bagaimana, setiap

pemakai bahasa dalam suatu masyarakat bahasa dapat saling mengerti.

Dalam hal ini, untuk menyusun sebuah kalimat yang dapat dimengerti,

sebagian pemakai bahasa dituntut agar menaati kaidah gramatikal,

sebagian lagi tunduk pada kaidah pilihan kata menurut sistem leksikal

yang berlaku di dalam suatu bahasa.

Menurut Wallece dan Chaef dalam Djajasudarma (1993:5),

mengungkapkan pula bahwa berfikir tentang bahasa, sebenarnya

sekaligus melibatkan makna. Dalam KBBI (2008:864), makna yaitu

maksud pembicara atau penulis; pengertian yang diberikan kepada suatu

bentuk kebahasaan. Kridalaksana (2008:148), menyatakan bahwa makna

adalah hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara

bahasa dan alam di luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang

ditujukannya.
Makna sebuah kalimat sering kali tidak bergantung pada sistem

gramatikal dan leksikal saja, tetapi bergantung pada kaidah wacana.

Makna sebuah kalimat yang baik pilihan katanya dan susunan

gramatikalnya sering tidak dapat dipahami tanpa memperhatikan

hubungannya dengan kalimat lain dalam sebuah wacana.

Pada hakikatnya mempelajari makna berarti mempelajari

pemakaian bahasa dalam suatu masyarakat. Makna bahasa dalam suatu

masyarakat dipengaruhi oleh pandangan hidup dan sikap anggota

masyarakat yang bersangkutan.

Aspek-aspek makna menurut Pateda (2001:88) antara lain :

a. Pengertian (sense)

Sense berarti hubungan antara bahasa dan dunia kenyataan

manusia. Banyak kata dalam sebuah bahasa maknanya tidak

bisa di ungkapkan secara mendalam karena suatu kata

mempunyai keterbatasan menjelaskan diri sendiri. Kondisi inilah

yang sering melahirkan diskomunikasi antara penerima pesan

dengan pengirim pesan.

b. Nilai rasa (feeling)

Berbahasa pada dasarnya berhubungan dengan perasaan.

Artinya, pada saat kita mengucapkan kata-kata mempunyai nilai

rasa bagi orang yang menangkap pesan itu.

c. Nada (tone)
Nada dalam bahasa dapat bermakna sikap/tinggi rendahnya

suara dalam menyampaikan informasi. Aspek makna ini lebih

banyak dinyatakan oleh hubungan antara pembicara dengan

pendengar, antara penulis dengan pembaca. Hubungan tersebut

menentukan sikap yang tercermin dalam kata-kata yang

digunakan sehingga muncullah yang disebut nilai rasa.

d. Maksud (intention)

Aspek makna tersebut merupakan maksud senang/tidak senang/

efek usaha keras yang dilaksanakan Shipley dalam Pateda

(2001:95). Biasanya ketika menyatakan sesuatu ada maksud

yang diinginkan.

Dalam hal ini makna intention dapat diartikan bahwa makna tujuan

yang kita ungkapkan pasti memiliki tujuan tertentu . Misalnya bertujuan

agar lawan bicara mengubah kelakuan (tindakan) yang tidak dinginkan

oleh kita.

Makna merupakan suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis

dalam batas-batas unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya.

Makna adalah hubungan bahasa dengan bahasa luar yang disepakati

bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti. Batasan

tentang makna sangat sulit ditentukan karena setiap pemakai bahasa

memiliki kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai

sebuah ujaran atau kata.


5. Simbol

Langer (1976:60) mengatakan bahwa kebutuhan akan simbolisasi

adalah kebutuhan mendasar yang dimiliki oleh manusia. Menurutnya,

fungsi pembentukan simbol ini adalah satu di antara kegiatan-kegiatan

dasar manusia, seperti makan, melihat dan bergerak. Ini adalah proses

fundamental dari pikiran dan berlangsung setiap waktu.

Secara etimologis simbol berasal dari kata Yunani “sym-ballein”

yang berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan

dengan suatu ide. Ada pula yang menyebutkan “symbolos” berarti tanda

atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Spradley

(dalam Sobur, 2006:155).

Menurut Spradley (Sobur, 2006:156) simbol adalah objek atau

peristiwa apa pun yang menunjuk pada sesuatu. Biasanya simbol bersifat

metonimi, yaitu menggunakan nama untuk benda lain yang beraosiasi

atau menjadi atribut dari benda tersebut. Misalnya, “si kawat gigi” untuk

seseorang yang menggunakan kawat gigi. Simbol juga biasanya bersifat

metafora, yaitu menggunakan kata atau ungkapan lain untuk objek atau

konsep lain berdasarkan kias atau persamaan. Misalnya, julukan “kutu

buku” untuk orang pintar yang tidak pernah terpisah dari buku-buku

pelajarannya.

Simbol dapat muncul dari berbagai konteks dan dapat digunakan

untuk berbagai tujuan. Ada banyak simbol yang bisa kita saksikan dalam

kehidupan sehari-hari, mulai dari hal-hal kecil, seperti cara berpakaian.


Status sosial seseorang dapat dilihat berdasarkan cara berpakaiannya,

misalnya cara berpakaian yang mewah dan glamor melambangkan

kekayaan orang tersebut.

Menurut Hartoko dan Rahmanto (dalam Sobur, 2006:157), simbol

dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu:

a. Simbol-simbol universal, berkaitan dengan arketipos, misalnya tidur

sebagai lambang kematian.

b. Simbol kultural yang dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan

tertentu.

c. Simbol individual yang biasanya dapat ditafsirkan dalam konteks

keseluruhan karya seorang pengarang.

Bruke (dalam Sobur, 2006:165) mengatakan bahwa menjadikan

kemanapuan penggunaan simbol manusia sebagi landasan definisnya

tentang manusia: manusia adalah hewan pengguna simbol (pembuat

simbol, penyalahgunaan simbol).

Sebagai pengguna dan penafsir simbol, manusia terkadang

irasional dengan menganggap seolah-olah ada kemestian atau ada

hubungan alamiah antara suatu simbol dengan yang disimbolkan.Simbol

yang berlaku atau dipakai oleh suatu kelompok tentunya bisa saja

berbeda dengan simbol yang digunakan kelompok lainnya. Dengan

demikian sangat mungkin jika suatu kelompok tidak mengerti dengan

simbol-simbol yang berlaku dalam kelompok lain. Oleh karena itu, sangat

penting untuk mengetahui, setidaknya mempelajari makna dari simbol-


simbol kebudayaan tertentu, mengingat semakin besarnya peluang untuk

melakukan komunikasi antarbudaya.

Kebudayaan sebagai sebuah sistem keteraturan dari makna dan

simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol tersebut indivu-indivu

mendefinisikn dunia mereka, mengekspresikan persamaan mereka, dan

buat perasaan-perasaan mereka dan membuat peniliaan mereka.

Suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang

terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk

simbol tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan

mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap tehadap

kehidupan.

Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-

simbol, kata Spradley (dalam Sobur, 2006:121). Pengetahuan

kebudayaan lebih dari suatu kumpulan simbol, baik istilah-istilah rakyat

maupun jenis-jenis simbol lain. Semua simbol, baik kata-kata yang

terucap, sebuah objek atau suatu peristiwa merupakan bagian dari suatu

simbol (Sobur, 2006:177).

Dalam kehidupan sehari-hari simbol seringkali disamakan dengan

lambang. Simbol atau lambang merupakan sesuatu yang digunakan untuk

menggantikan sesuatu yang lainnya berdasarkan kesepakatan suatu

kelompok orang.
6. Tuturan Ritual

Ritual menurut Kamus Besar Bahasa Indoneisa diartikan sebagai

upacara keagamaan, ritual diartikan sebagai serangkaian tindakan

keagamaan atau magis dengan urutan yang didasarkan pada tradisi.

Berdasarkan konteks pemakaian dan diksi (pilihan kata), serta

berbagai komponen pendiri lainnya, tampak bahwa tuturan ritual berbeda

dengan tuturan biasa. Menurut Fox (1986:102) bahasa ritual secara khas

berbeda dengan bahasa sehari-hari. Pada bagian lain, Fox mengatakan

bahwa bahasa ritual mendapatkan sebagain besar ciri puitiknya dengan

penyimpangan-penyimpangan sistematis terhadap bahasa sehari-hari.

Bahasa ritual memiliki bobot atau isi budaya (cultural content) yang

mestinya dijelaskan secara tekstual, kontekstual, dan kultur.

Konsep ritual juga sering memanfaatkan metafora. Pemanfaatan

metafora ini dapat menbangun makna tertentu, yang menjadikan tuturan

berkarismah dan bertuah. Penggunaan metafora menjadikan arti yang

dimaksudkan menyimpang dari arti leksikal sehingga menciptakan

kekaburan. Kakaburan tersebut memberi tempat bagi konteks budaya

dalam memaknai bahasa dalam tuturan ritual. Ada beberapa ciri-ciri

tuturan ritual, sebagai berikut: 1. Mempunyai bentuk (termasuk diksi dan

persajakan yang cenderung tetap); 2. Dituturkan oleh orang-orang

tertentu; 3. Dituturkan pada tindakan ritual yang bersuasan sakral; 4.

Digunakan untuk berkomunikaksi dengan Ilahi dan para leluhur sehingga

umunya bersifat monolog; dan 5. Bahasanya cenderung berdaya magis.


Menurut Hadi (1999:29-30) ritual merupakan suatu bentuk

perayaan yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama

ditandai dengan sifat khusus, yang menimbulkan rasa normal atau seperti

biasa yang dirasakan oleh semua manusia dan yang luhur dalam arti

merupakan suatu pengalaman yang suci. Berkaitan dengan hal tersebut

ritual kematian adalah upacara memanjatkan doa keselamatan kepada

mendiang. Ritual kematian masyarakat Tangru merupakan suatu upacara

berupa serangkaian tindakan yang dilakukan sekelompok orang menurut

adat kebiasaaan setempat, yang menimbulkan rasa hormat yang luhur

sebagai suatu pengalaman suci.

Endaswara (2003:175) mengklasifikasi ritual menjadi dua. Pertama,

ritual krisis hidup, artinya ritual yang berhubungan dengan krisis hidup

manusia. Manusia pada dasarnya akan mengalami krisis hidup, ketika

masuk dalam peralihan. Pada masa ini, dia akan masuk dalam lingkup

krisis karena terjadi perubahan tahapan hidup termaksud dalam lingkup ini

antara lain kelahiran, pubertas dan kematian. Kedua, ritual gangguan,

yakni ritual sebagai negosiasi dengan roh agar tidak menggangu hidup

manusia. Ritual semacam ini dalam masyarakat Mandar sering

diwujudkan dalam tradisi selamatan.

Tradisi ritual tersebut di atas, ternyata memiliki fungsi bagi

keberlangsungan hidup di antaranya:

a. Ritual akan mampu mengintegrasikan dan menyatukan rakyat

dengan memperkuat kunci dan nilai utama kebudayaan melampaui


dan di atas individu dan kelompok, berarti ritual menjadi alat

pemersatu atau interaksi.

b. Ritual juga menjadi sarana pendukung untuk mengungkapkan

emosi khususnya nafsu-nafsu negative; dan

c. Ritual akan mampu melepaskan tekanan-tekanan sosial.

Seperti yang telah dikemukakan oleh Koentjaraningrat (2004:147)

bahwa sistem upacara merupakan wujud kelakuan dan religi dan

seluruh sistem upacara itu terdiri atas aneka macam upacara yang

bersifat harian, musiman dan kadang kala. Dalam sistem upacara

keagamaan terkandung empat aspek, yaitu (1) tempat upacara

keagamaan, (2) tempat pelaksanaan upacara, (3) waktu

pelaksanaan upacara, dan (4) benda-benda dan peralatan upacara

serta orang yang melakukan dan memimpin jalannya upacara.

7. Tradisi Lisan

Tradisi lisan dengan demikian, menghubungkan generasi masa

lalu, sekarang dan masa depan. Tradisi lisan itu diturunkan dari generasi

ke generasi. Dalam kehidupan sehari-hari, pemikiran, perkataan, dan

perilaku secara individu dan kelompok adalah implementasi senyatanya

dari teks-teks lisan itu. Kusni (dalam Sedyawati, 1996:5) menegaskan

bahwa tradisi lisan bisa dipandang sebagai rangkaian berkesinambungan

dari dokumen sejarah, yang kemudian dapat dijadikan sebagai bukti

sejarah; sejarah berkelangsungan hidup dan kehidupan suku bangsa


Tradisi lisan adalah wacana yang disampaikan secara lisan,

mengikuti tatacara adat istiadat yang telah memola dalam suatu

masyarakat. Kandungan isi wacana tersebut dapat meliputi berbagai hal:

berbagai jenis cerita maupun berbagai ungkapan seremonial dan ritual.

8. Nilai dalam Kebudayaan

Tentang nilai Kleden (dalam Suparman, 2013:23) berpendapat

bahwa nilai sama dengan makna. Nilai atau makna dimaksud

berhubungan dengan kebudayaan atau secara lebih khusus berhubungan

dengan dunia simbolik dalam kebudayaan. Menururt pandangan ini, nilai

terkait dengan pengetahuan, kepercayaan, simbol dan makna.

Koentjaraningrat (1994:34) mengatakan bahwa ritual budaya adalah

lapisan pertama dari kebudayaan yang ideal dan adat. Nilai-nilai budaya

tersebut memberi konsep tentang hal-hal yang paling bernilai dalam

keseluruhan kehidupan masyarakat. Sebuah sistem niali budaya terdiri

atas konsep-konsep yang hidup dan tumbuh dalam alam pikiran sebagai

warga masyarakat yang sangat berkaitan erat dengan prinsip-prinsip yang

mereka anggap sangat bernilai dalam hidup.

Masyarakat dapat dilihat sebagai suatu organisasi sosial yang

kompleks, terdiri atas nilai-nilai dan norma-norma, pranata-pranata dan

aturan-aturan untuk mewujudkan tingkah laku, yang secara bersama-

sama dimiliki oleh para warga masyarakat yang bersangkutan.

Keterkaitan dengan nilai budaya, nilai memiliki elemen konsepsi

yang mendalam dari diri manusia itu sendiri, antara lain: emosi, perasaan,
kenyakinan-kenyakinan. Sehingga nilai budaya yang ada dalam suatu

masyarakat mampu atau lebih diutamakan dari nilia-nilai lainnya, yang

dapat dijadikan kerangka acuan dalam berprilaku. Nilai budaya memiliki

konsep sitem yang bermacam-macam, selain itu juga memiliki tingkat-

tingkat nilai aturan-aturan khsus atau umum. Semuanya itu dengan

sendirinya menyususn suatu sistem nilai budaya yang kompleks. Dalam

kaitan ini Koentjaraningrat (1994:25) menegaskan bahwa suatu nilai

budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.

Berdasarkan pedoman ini dapat ditafsirkan bahwa, sistem nilai budaya

kuat meresap dan berakar dalam jiwa suatu masyarakat, sehingga sulit

diubah dalam waktu yang singkat.

Djajasudarma (1993:136) mengartikan makna sebagai pertautan

antara unsur dalam suatu bahasa. Makna merupakan esensi dari studi

bahasa. Jika demikian, pemakaian bahasa, termasuk tuturan ritual

masyarakat Tangru dipandang sebagai identitas yang memiliki makna. Di

samping makna, pemakaian bahasa ritual menyiratkan nilai budaya di

balik makna yang dimaksud. Nilai budaya bersifat abstrak yang menjadi

pedoman bertutur dan berbudaya berdasarkan prinsip dalam berprilaku.

Nilai itu bukan berupa benda atau unsur dari benda, melainkan sifat dan

kualitas yang dimiliki objek tertentu yang dikatakan baik.


9. Fungsi Bahasa

Salah satu aspek penting dari bahasa ialah aspek fungsi bahasa.

Secara umum fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi, bahkan

dapat dipandang sebagai fungsi utama dari bahasa.

Kata komunikasi atau bahasa Inggris communication berasal dari

kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti

“sama”. Maksudnya adalah sama makna. Jika dua orang terlibat dalam

komunikasi, misalnya dalam, maka komunikasi akan terjadi atau

berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang

dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan

itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan kata lain,

mengenai bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan

oleh bahasa itu.

Dilihat dari perspektif kebahasaan, istilah komunikasi mencakup

makna mengerti dan berbicara, mendengar dan merespon suatu tindakan.

Komunikasi dalam bentuk ujaran mungkin wujudnya berupa kalimat

afirmatif, kalimat bertanya, kalimat negasi seperti tidak atau bukan begitu;

atau kalimat permohonan dan doa.

Menurut Finocchiaro (dalam Wardihan, 2004:40) fungsi bahasa

terbagi atas lima kelompok yakni:

a. Personal, yaitu fungsi bahasa untuk menyatakan diri. Ukurannya

adalah hal yang disampaikan itu berasal dari diri atau bukan.
b. Interpersonal, yaitu fungsi bahasa yang menyangkut hubungan

antarpenutur atau antarpersona. Fungsi bahasa yang demikian

diarahkan untuk membina hubungan sosial.

c. Direktif, yaitu merupakan fungsi bahasa untuk mengatur orang lain.

Penutur berharap dengan fungsi direktif adalah dampak tindakan

orang lain yang diharapkannya.

d. Referensial, yaitu fungsi bahasa untuk menampulkan suatu referen

(benda yang disebut atau ditunjuk) dengan menggunakan bahasa.

Dengan fungsi itu pemakai bahasa mampu mebicarakan apa saja

yang berkenan dengan lingkungannya.

e. Imajinatif, yaitu fungsi bahasa untuk menciptakan sesuatu dengan

iamjinasi. Karya-karya sastra seperti prosa, puisi, cerpen, novel dan

roman-roman merupakan karya-karya yang lahir berkat fungsi

bahasa sebagai alat untuk berimajinasi.

f. Metalinguistik, yaitu ujaran berfungsi dan memmusatkan perhatian

pada sandi atau kode-kode yang dipergunakan

g. Puitik, memusatkan perhatian kepada bagaimana caranya suatu

pesan disandikan atau ditulis dalam sandi dengan

mengistimewakan nilai-nilai estetiknya.

Tokoh lain yang membicarakan fungsi bahasa adalah Halliday

(dalam Wardihan, 2004:1973). Ia mengungkapkan tujuh fungsi bahasa

yakni:
1) Fungsi Instrumental, yaitu fungsi bahasa untuk mengatur

lingkungan, yakni menciptakan situasi atau peristiwa tertentu.

Dalam konteks itu, bahasa mengemban sebagai alat.

2) Fungsi representasional, yaitu fungsi bahasa untuk dapat

menghadirkan dunia nyata. Fakta dan khazanah ilmu pengetahuan

tidak akan terkomunikasi jika tidak dinyatakan dengan bahasa.

3) Fungsi interaksional, yaitu fungsi yang mengacu pada fungsi

bahasa sebagai alat untuk berinteraksi. Fungsi ini yang ditampilkan

Halliday ini mirip dengan fungsi interpersonal yang ditampilkan oleh

Finocharo.

4) Fungsi personal, yakni fungsi bahasa yang menyiratkan makna

bahasa merupakan alat untuk menyampaikan diri, menyatakan

pribadi.

5) Fungsi heriustik, yaitu fungsi bahasa yang dimanfaatkan untuk

memperoleh ilmu pengetahuan.

6) Fungsi imajinatif, yaitu fungsi bahasa yang dapat digunakan untuk

berimajinasi atau menciptakan sesuatu.

7) Fungsi regulatori, yaitu bahasa yang mengemban tugas

memelihara atau mengontrol keadaan atau peristiwa.


Sementara itu Titus, Smith, dan Nolan membagi fungsi bahasa

ke dalam empat fungsi, yaitu:

1) Fungsi kognitif

Bahwa bahasa berfungsi menerangkan suatu kebenaran, seperti

bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat.

2) Fungsi emotif

Bahwa bahasa berfungsi menerangkan aspek emosi atau

perasaan terdalam manusia.

3) Fungsi imperatif

Bahasa berfungsi memerintah atau mengontrol suatu perilaku,

seperti bahasa komando dalam kemiliteran.

4) Fungsi seremonial

Adalah fungsi menghormati orang lain, berdoa dan ritual lainnya.

Popper (Suparman, 27:2012) adalah seorang filsuf Barat abad

ke-20, mengatakan bahwa bahasa memiliki empat fungsi. Keempat

fungsi bahasa tersebut, ialah :

1) Fungsi ekspresif

Merupakan proses pengungkapan situasi dalam ke luar. Pada

manusia menjadi suatu ungkapan diri pribadi.

2) Fungsi signal

Merupakan level lebih tinggi dan sekaligus mengadakan fungsi

ekspresif, pada manusia tanda menyebabkan reaksi, sebagai

jawaban atas tanda.


3) Fungsi deskriptif

Mengadakan fungsi ekspresif dan signal. Ciri khas fungsi ini ialah

bahwa bahasa itu menjadi suatu pernyataan yang bisa benar, bisa

juga salah.

4) Fungsi argumentatif

Bahasa merupakan alat atau media untuk mengungkapkan

seluruh gagasan manusia, termasuk dalam berargumentasi di

dalam mempertahankan suatu pendapat dan juga untuk

meyakinkan orang lain dengan alasan-alasan yang valid (sahih)

dan logis.

Nababan (1993:38) seorang linguis Indonesia, membagi fungsi

bahasa sebagai komunikasi dalam kaitannya dengan masyarakat dan

pendidikan menjadi empat fungsi, ialah :

1) Fungsi Kebudayaan

Bahasa sebagai sarana perkembangan kebudayaan, jalur penerus

kebudayaan, dan inventaris ciri-ciri kebudayaan.

2) Fungsi kemasyarakatan

Nababan mengklasifikasikan fungsi kemasyarakatan bahasa ke

dalam dua bagian yaitu: berdasarkan ruang lingkup maksudnya,

mengandung ‘bahasa nasional’ dan ‘bahasa kelompok’. a) Bahasa

nasional berfungsi sebagai lambang kebanggaan, lambang

identitas bangsa; alat penyatuan berbagai suku bangsa dengan

berbagai latar belakang sosial budaya dan bahasa, dan sebagai


alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya. b) Bahasa

kelompok ialah bahasa yang digunakan oleh kelompok yang lebih

kecil dari suatu bangsa, seperti suku bangsa atau suatu daerah

subsuku, sebagai lambang identitas kelompok dan alat

pelaksanaan kebudayaan kelompok itu.

3) Fungsi perseorangan

Nababan menjelaskannya berdasarkan pada hasil kajian Haliday

(1976) yang telah membuat klasifikasi kegunaan pemakaian

bahasa atas dasar observasi yang terus menerus terhadap

penggunaan bahasa oleh anaknya sendiri. Klasifikasi untuk

bahasa anak-anak terdiri dari enam fungsi yaitu: a) instrumental,

b) menyuruh, c) interaksi, d) kepribadian, e) pemecahan masalah

(heuristik), dan e) khayal.

4) Fungsi pendidikan

Fungsi pendidikan dari bahasa didasarkan pada banyaknya

penggunaan bahasa, didasarkan pada banyaknya penggunaan

bahasa dalam pendidikan dan pengajaran, mencakup empat

fungsi yaitu a) fungsi integratif; b) fungsi instrumental; c) fungsi

kultural; dan d) fungsi penalaran.

Dari fungsi-fungsi yang diungkapakan para ahli tersebut, jelaslah

bahwa dengan bahasa itulah manusia berkata, bercakap-cakap,

melakukan interaksi dan komunikasi, mengungkap isi pikirannya,

mengungkap segala gejolak yang ada dalam perasaannya, dan


berargumentasi. Dengan demikian, manusia dengan bahasa menjadi

meningkat martabatnya, baik di sisi Tuhan maupun sesama umat

manusia. Karena itulah, sampai kapan pun tidak akan bisa melepaskan

diri dari dari adanya bahasa sebagai suatu yang mesti ada.

Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa di antara fungsi bahasa

ialah sebagai alat untuk mengomunikasikan suatu gagasan kepada orang

lain, setiap gagasan yang dihasilkan seseorang tidak akan diketahui oleh

khalayak manakala tidak dikomunikasika melalui bahasa.

Bahasa juga tidak saja sebagai alat komunikasi untuk

mengantarkan proses hubungan antar manusia, tetapi juga bahasa pun

mampu mengubah seluruh kehidupan manusia. Artinya, bahwa bahasa

merupakan salah satu aspek terpenting dari kehidupan manusia.

Sekelompok manusia atau bangsa yang hidup dalam waktu tertentu tidak

akan bertahan jika dalam bangsa tersebut tidak ada bahasa. Kearifan

Melayu mengatakan: “Bahasa adalah cermin budaya bangsa, hilang

budaya maka hilang bangsa”. Jadi bahasa adalah sine qua non, suatu

yang mesti ada bagi kebudayaan dan masyarakat manusia, karena itu,

siapa pun orangnya akan senagtiasa melakukan relasi yang erat dengan

bahasa.

10. Mitos

Kata mitos berasal dari bahasa Yunani, mythos, yang berarti ‘kata’,

‘ujaran’, ‘kisah tentang dewa-dewa’. Sebuah mitos adalah narasi tokoh-

tokohnya adalah dewa, para pahlawan, dan mahluk mistis, plotnya


berputar disekitar asal-muasal benda-benda atau disekitar makna benda-

benda dan latarnya adalah dunia metafisika yang dilawankan dengan

dunia nyata. Mitos merupakan suatu sistem pengetahuan metafis untuk

menjelaskan asal-usul, tindakan dan karakter manusia selain fenomena

dunia (Danesi, 2008:46).

Barthes (2003:122) menyebutkan mitos adalah suatu jenis tuturan

Sebagai sebuah tuturan, tentulah ia merupakan sebuah rentetan bahasa,

Bathes juga mendeskripsikan bahwa mitos termasuk sebuah sistem

komunikasi yang dengan demikian dia adalah sebuah pesan yang

kemudian tak mungkin dapat menjadi sebuah objek, sebuah konsep, atau

sebuah ide, karena mitos adalah sebuah mode penandaan, yakni sebuah

bentuk.

Mitos akan selalu hidup di dalam suatu kelompok masyarakat

tertentu dan akan member pengaruh terhadap pola tingkah laku dan

pandangan masyarakat tersebut. Ini mengisyaratkan bahwa bentuk mitos

yang ada dalam kelompok berbeda-beda. Walaupun demikian, dapat

dipastikan bahwa mitos memiliki sifat mudah berubah dan tak bisa

dikekang (Culler, 2002:55).


C. Kerangka Pikir

Masyakat Kolaka memiliki beberapa suku di daerah tersebut, salah

satunya adalah suku Mekongga. Terdapat beberapa ragam budaya yang

dimiliki masyarakat setempat, salah satu tradisinya yakni ritual yang

disebut Mosehe Wonua. Ritual tersebut tidak terlepas dari benda yang

sangat sakral dan dijadikan sebagai cagar budaya yang disebut dengan

Kalo Sara. Kalo Sara merupakan salah satu hukum adat yang dijadikan

sebagai pemersatu dan simbol perdamaian yang sangat sakral dalam

masyarakat Mekongga dengan perantara Tolea yakni orang yang

berperan sebagai pembicara dalam setiap ritual yang dilakukan. Tuturan

Tolea menuturkan bahasa yang sangat sakral dalam tradisi Mosehe

Wonua. Dalam penelitian ini, akan dibatasi pada penelitian mengenai

bentuk, fungsi dan makna dari simbol Kalo Sara. Pada kegiatan ini

masyarakat Mekongga dengan ritual Mosehe Wonua menggunakan Kalo

Sara sebagai benda sakral dan memiliki bentuk, fungsi dan makna simbol

dalam ritual Mosehe Wonua. Adapun penjabaran kerangka pikir dapat

dilihat pada bagan di bawah ini.


Bagan kerangka pikir

Ritual
Mosehe Wonua

Tuturan Tolea

Makna Tuturan Fungsi


Tolea Tuturan Tolea
- Denotasi - Religi
- Konotasi - Budaya
- Simbol - Sosial

Makna dan Fungsi Tuturan


Tolea dalam Ritual Mosehe
Wonua
D. Definisi Operasional

1. Tolea adalah tokoh adat yang diangkat sebagai juru penerang adat

karena kepandaiannya dalam menjelaskan sesuatu, dianggap mampu

berbicara dalam berbagai urusan-urusan penting dalam kehidupan

sehari-hari, dan berhak membawa Kalo Sara, serta berbicara atas

nama hukum adat dengan menggunakan Kalo Sara dalam berbagai

urusan pada masyarakat Mekongga.

2. Mosehe Wanua adalah suatu tradisi suku Mekongga yang

dilaksanakan secara besar-besaran, ramai penuh hikmat dan sakral

sehingga diharapkan masyarakat ikut terlibat di dalamnya, termasuk

seluruh utusan yang mewakili negerinya (daerah) masing-masing dari

seluruh kerajaan Mekongga, bahkan tokoh adat, masyarakat,

agamawan, pemerintah sipil, dan militer.

3. Kalosara adalah Benda yang dijadikan sebagai simbol dalam

kehidupan masyarakat setempat di tengah-tengah kehidupan sosial

kemasyarakatan suku Mekongga terdapat satu simbol peradaban

yang dapat mempersatukan berbagai masalah atau persoalan,

termasuk mengangkat martabat dan kehormatan.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Segala

permasalahan diidentifikasi, dibahas, dan dikaji secara mendalam.

Selanjutnya, diperoleh gambaran atau penjelasan tentang hal-hal yang

berhubungan dengan fenomena permasalahan. Dengan menggunakan

metode deskriptif, berarti penelitian dilakukan semata-mata hanya

berdasarkan fakta yang ada atau fenomena secara empiris hidup pada

penuturnya. Dengan metode deskriptif akan didapatkan deskripsi data

secara alamiah. Langkah selanjutnya, yaitu melakukan pengumpulan data

dengan cara pencatatan, penelaan data, pengklasifikasian data,

penganalisaan data, dan penyimpulan data.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian, Kabupaten Kolaka. Wilayah Kabupaten Kolaka

merupakan daerah yang representatif, sangat mendukung untuk

dijadikan tempat penelitian. Daerah Kolaka juga merupakan daerah

yang memiliki ciri khas dalam pemertahanan adat istiadatnya,

masyarakatnya masih menjalankan tradisi sesuai dengan aturan adat

yang berlaku.
2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan Juni 2015 hingga akhir April 2016.

Jika pengumpulan data dari nara sumber atau informan serta sumber

lain yang dibutuhkan sudah dianggap lengkap, penelitian diakhiri

sampai pada waktu itu juga.

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah semua tuturan dalam acara

ritual pesta adat suku Tolaki Mekongga di Kabupaten Kolaka. Sample

adalah tuturan Tolea dalam acara ritual pesta adat Mosehe Wonua

suku Tolaki Mekongga di Kabupaten Kolaka.

D. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah tuturan asli pemangku

adat (Tolea) yang di laksanakan dalam kegiatan adat Mosehe Wonua di

Kabupaten Kolaka.

E. Teknik Pengumpulan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah

observasi. Observasi dilakukan untuk mendengarkan tuturan yang

dituturkan oleh pelaksana adat pada saat ritual berlangsung.

Pengamatan langsung ini sangat diperlukan mengingat data yang

dibutuhkan berupa data lisan yang dituturkan oleh pada saat ritual

berlangsung.
Penelitian ini juga menggunakan teknik simak. Teknik simak

diterapkan dengan melakukan penyimakan pada saat acara adat

berlangsung.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengungkapkan dan membahas mengenai ritual adat

Kalo Sara ini, peneliti menggunakan beberapa cara dalam

mengumpulkan data, yaitu:

a. Teknik rekam yaitu merekam sejumlah bentuk dan simbol Kalo

Sara.

b. Teknik catat, dilakukan dengan mencatat informasi tambahan dari

penyelenggara adat.

c. Wawancara, baik secara formal maupun informal. Wawancara ini

bertujuan memperkuat apa yang telah didapat dari observasi

langsung.

F. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan sebuah proses mengorganisasikan dan

mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar

sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja

seperti yang disarankan oleh data.

Dari rumusan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pertama-tama

dengan mengorganisasikan semua data yang telah diperoleh. Data yang

terkumpul banyak sekali dan terdiri dari catatan lapangan, komentar


peneliti, gambar, foto, dokumen berupa laporan, biografi, artikel dan

sebagainya.

Setelah data dari lapangan terkumpul dengan menggunakan

metode pengumpulan data di atas, peneliti akan mengolah dan

menganalisis data tersebut dengan menggunakan analisis secara

deskriptif-kualitatif. Analisis deskriptif-kualitatif merupakan sebuah teknik

yang menyajikan dan menginterpretasikan makna serta maksud dari data-

data yang telah terkumpul dengan memberikan perhatian dan merekam

sebanyak mungkin aspek situasi yang diteliti pada saat itu sehingga

diperoleh gambaran secara umum dan menyeluruh tentang keadaan yang

sebenarnya.

Tujuan deskriptif ini adalah membuat deskripsi, gambaran atau

lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-

sifat, serta hubungan antarfenomena yang diselidiki di masyarakat dalam

sebuah bentuk tulisan.

Analisis data dilakukan secara terstruktur, dari awal pengumpulan

hingga melakukan analisis data.

1. Berawal dari pengumpulan data pada saat observasi hingga

pewawancaraan dengan merekam serta mencatat data yang diperoleh

dari informan di lapangan.

2. Setelah keseluruhan data dibutuhkan terkumpul, langkah selanjutnya,

yakni menganalisis data dengan menyusun, memilih, dan memilah data

yang sesuai dengan tujuan penelitian.


3. Kemudian, memaknai tuturan Tolea secara denotatif kemudian makna

konotatif kemudian secara keseluruhan dimaknai sesuai dengan

bahasa yang menjadi tanda memiliki makna simbol.

4. mendeskripsikan seluruh data yang diperoleh berupa tulisan yang

bersifat ilmiah secara teratur dan sistematis.

Analisis data penelitian ini yakni dengan pendekatan kualitatif

menurut Spradley (1997) yang dilakukan dalam tiga tahap, yaitu:

1. Analisis data sebelum di lapangan

Menurut Spradley (1997:35) Analisis dalam tahap ini dilakukan

terhadap data hasil studi pendahuluan atau data sekunder yang

digunakan peneliti untuk menentukan fokus penelitian. Akan tetapi, fokus

penelitian pada tahap ini masih bersifat sementara dan berkembang

setelah peneliti melakukan penelitian di lapangan. Dalam penyusunan

proposal, peneliti menentukan fokus penelitian untuk mencari sumber data

termasuk karakteristiknya.

2. Analisis data selama di lapangan

Pada tahap ini, analisis data dilakukan dengan mengumpulkan data

secara langsung melalui wawancara atau observasi. Misalnya pada saat

wawancara berlangsung, peneliti sudah melakukan analisis terhadap

jawaban dari responden. Apabila peneliti belum mendapatkan jawaban

yang diinginkan dari responden, maka peneliti bisa melanjutkan

pertanyaan lagi sampai batas tertentu diperoleh data yang valid (Spradley,

1997:35).
3. Analisis setelah pengambilan data di lapangan

Pada tahap akhir, analisis data dibagi menjadi beberapa bagian, a)

analisis domain, yakni memberi gambaran umum dari data observasi dan

menyeluruh dari objek penelitian, b) analisis taksonomi, yaitu penjabaran

secara rinci dari analisis domain melalui observasi terfokus, c) analisis

komponensial, yaitu mencari komponen spesifik pada setiap detail struktur

internal, dan d) analisis tema kultural, yaitu mencari hubungan. Analisis

data merupakan bagian sangat penting dalam penelitian ini karena dari

analisis ini diperoleh temuan, baik temuan substantif maupun formal.

Selain itu, analisis data kualitatif sangat sulit karena tidak ada pedoman

baku, tidak berproses secara liniar, dan tidak ada aturan-aturan yang

sistematis.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Ditemukan di lokasi penelitian sebagian dari masyarakat yang

datang dari desa-desa yang jauh di sepanjang sungai besar Konaweha.

Usia mereka bervariasi dari empat puluhan hingga enam puluhan tahun.

Hampir semua dari masyarakat yang dimaksud merupakan laki-laki yang

perokok berat hingga asap benar-benar memenuhi ruangan. Apabila

ditelusuri dari segi strata sosialnya, mereka dari kalangan masyarakat

biasa, tapi dalam strata adat masyarakat Mekongga di Sulawesi Tenggara

mereka orang-orang istimewa dengan menyandang nama Tolea dan

Pabitara.

Tolea berarti juru runding adat khususnya dalam kegiatan

peminangan atau pernikahan yang sebagian orang dinilai terlampau rumit.

Peminangan atau Mowawo Niwule merupakan salah satu bagian dari

prosesi perkawinan masyarakat suku Tolaki di Sulawesi Tenggara. Dalam

melakukan upacara peminangan kedua belah pihak diwakili oleh juru

bicara masing- masing yaitu tolea untuk juru bicara pihak laki-laki dan

pabitara untuk juru biacara pihak perempuan. Menggunakan bahasa adat

yang literer dan formal dalam menjalankan adat yang bertujuan untuk

memperindah dan mempertegas maksud penutur kepada mitra tutur

dalam tradisi itu.


Tolea bisa juga disepadankan dengan diplomat, sebab tidak

terbatas pada urusan perkawinan saja, melainkan urusan adat lainnya

seperti perselisihan antara keluarga, kawin lari, hingga perselisihan antara

etnis. Peran tolea begitu besar dalam kehidupan bermasyarakat

etnis Tolaki di Sulawesi Tenggara. Tolea menjadi mediator saat

masyarakat yang bermasalah, bahkan antara pemerintahan yang

berselisih.

Para tolea dan pabitara tak sekedar datang dan duduk, tapi

semangat belajar dan berunding bersama wakil dari pembesar Lembaga

Adat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara, menjadi pemandangan

jarang terlihat belakangan ini. Bisa jadi inilah kegiatan yang pertama

dilaksanakan semenjak pengukuhan pertama kali pengurus Lembaga

Adat Tolaki Sulawesi Tenggara.

Para tolea dan pabitara sengaja berkumpul dalam salah satu

bentuk upacara adat yang bersama-sama untuk satu tujuan yakni

menyatukan kembali persepsi bersama tentang tata cara menjalankan

adat istiadat etnis Tolaki yang dinilai sudah mulai jarang dipraktekkan di

zaman sekarang seiring perkembangan jaman. Pertemuan tersebut

setidaknya tergambar semangat yang kuat dari para tolea dan pabitara.

Antusias para pemangku adat di desa ini begitu kuat untuk turut

mendukung jalannya kegiatan. Mereka bahkan ada yang rela datang dari

jauh di desa di bagian hilir sungai Konaweha menunju Desa Porabua,


Kecamatan Uluiwoi, Kabupaten Kolaka, tempat dilaksanakannya kegiatan

pesta adat.

Mengumpulkan para Tolea memang tidaklah gampang. Selain

tempat domisili mereka yang cukup jauh di pelosok, pekerjaan para

pemangku adat ini memang cukup padat. Sehari mereka bisa melayani

banyak kegiatan adat, khususnya acara peminangan dan perkawinan,

sehingga membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk mendapatkan

konfirmasi kesediaan mereka berkumpul. Namun, bukan hanya soal

kesiapan para Tolea dan yang menjadi kendala, melainkan masih

rendahknya kepedulian pihak pihak atas kegiatan yang berbau budaya

istiadat. Termasuk dukungan dari pemerintah daerah yang masih

memandang kegiatan hanyalah pelengkap. Di sisi lain para pelaku adat di

lembaga adat Tolaki juga dinilai masih rendah kepedulian.

Sebelum menggelar perundingan adat, para Tolea terlebih dahulu

menjalani prosesi Tinodeha atau pelaksanaan sumpah adat, yang dipandu

oleh Bapak Arsamid Al Ashur, pengurus dewa pimpinan pusat Lembaga

Adat Tolaki. Prosesi Tinodeha ini disakralkan, dimana para Tolea

diharuskan memegang ambahi atau tikar yang diatasnya diletakkan Kalo

Sara.

Secara harfiah, Kalo adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran,

cara-cara mengikat yang melingkar, dan pertemuan-pertemuan atau

kegiatan bersama di mana para pelaku membentuk lingkaran. Kalo dapat

dibuat dari rotan, emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun
pandan, bambu dan dari kulit kerbau. Pembuatan kalo pada dasarnya

adalah dengan jalan mempertalikan atau mempertemukan kedua ujung

dari bahan-bahan tersebut pada suatu simpul. Kalo meliputi osara (adat

istiadat) yang berkaitan dengan adat pokok dalam pemerintahan,

hubungan kekeluargaan-kemasyarakatan, aktivitas agama- kepercaya-an,

pekerjaan-keahlian dan pertanian (Tarimana 1993: 20).

Ada berbagai jenis Kalo, yang dikenal luas adalah yang terbuat dari

rotan, kain putih dan anyaman. Lingkaran rotan adalah simbol dunia atas,

kain putih adalah simbol dunia tengah dan wadah anyaman adalah symbol

dunia bawah. Kadang-kadang juga ada yang mengatakan bawah

lingkaran rotan itu adalah simbol matahari, bulan dan bintang-bintang;

Kain putih adalah langit dan wadah anyaman adalah simbol permukaan

bumi. Mereka juga mengekspresikan bahwa lingkaran rotan adalah simbol

Sangia Mbu’u (Dewa Tertinggi), Sangia I Losoanooleo (Dewa di Timur)

dan Sangia I Tepuliano Wanua (Dewa penguasa kehidupan di bumi), dan

wadah anyaman adalah simbol Sangia I Puri Wuta (Dewa di Dasar Bumi).

Kalo juga merupakan simbol manusia: lingkaran rotan adalah

simbol kepala manusia, kain putih adalah simbol badan dan wadah

anyaman adalah simbol tangan dan kaki (angota). Demikianlah konsep

kalo pada pola pikir dan mentalitas Tolaki menyangkut seluruh aspek

kehidupan mereka.

Kalo juga merupakan ekspresi konsepsi orang Tolaki mengenai

unsur-unsur manusia, alam, masyarakat dan hubungan selaras


antarmanusia dengan unsur-unsur tersebut, termasuk dalam komunitas

serta pola permukiman, organisasi kerajaan, adat dan norma agama yang

mengatur tata kehidupan mereka. Akhirnya dapat dikatakan bahwa kalo

melambangkan keselarasan dalam kesatuan-persatuan antara segala hal

yang bertentangan dan tampak bertentangan dalam alam tempat berhuni

manusia Tolaki. Melihat apa yang dapat disumbangkan konsep kalo

tersebut bagi pengembangan filsosofi arsitektur permukiman rakyat, sudah

sepantasnya untuk diketahui lanjut dari manakah asal-usul Kalo Sara.

Bertolak dari pemikiran dan justifikasi bahwa hukum adat memiliki

hubungan fungsional yang sangat erat dengan dinamika dan gerak

sejarah di tubuh masyarakat hukum adat, maka posisi hukum adat yang

bersumber dari satu latar belakang sejarah yang telah muncul bertendensi

ke arah pemahaman dan penafsiran yang berbeda-beda dapat memicu

perpecahan internal kesatuan masyarakat hukum adat itu sendiri.

Lembaga Adat Tolaki memandang perkembangan hidup manusia

semakin cepat bergerak maju dengan berbagai ilmu pengetahuan dan

teknologi yang canggih, sementara itu masyarakat senior hukum adat

berangsur-angsur hilang di telan zaman dan tulisan pedoman tidak ada

yang mereka tinggalkan. Perkembangan yang terjadi membawa pengaruh

terhadap pola pikir dan pergeseran tata nilai budaya, pada gilirannya

generasi penerusnya akan kehilangan jejak di saat generasi penuturnya

sudah habis terkubur bersama tuturannya.


Menurut Arsamid Al Ashur, pengurus dewan pimpinan pusat

Lembaga Adat Tolaki, perkembangan kebudayaan Tolaki mengikuti

perjalanan hidup manusia dari generasi yang satu ke generasi berikutnya.

Dampak dari pekembangan yang terjadi adalah pergeseran tata nilai. Ada

tradisi dari leluhur yang hilang dan sudah tidak diketahui, tetapi ada hal

baru yang muncul dan menurut penyesuaian lalu dibudayakan.

Baginya, pengetahuan dalam bentuk penuturan, akan berakhir dan

hilang ditelan masa, ketika penuturnya meninggal, tuturan akan terkubur

bersama penuturnya. Saat itu generasi penerusnya akan kehilangan jejak

dan kebudayaan leluhurnya akan punah.

Upaya pelestarian yang berjalan selama ini adalah penanganan

berbagai urusan adapt yang muncul di masyarakat oelh para pelaku

adapt, kendati banyak diantaranya yang tidak karismatik, tidak memiliki

pengetahuan yang cukup tentang adapt istiadat dan belum dikukuhkan

/disumpah serapahi, tetapi hanya bermodalkan bakat dan kemauan.

Penanganan suatu urusan adat, ada yang berdasarkan kehendak

dan kepentingan yang punya urusan, juga ada yang menurut pendapat

pelaku adat. Faktor itulah yang kemudian menimbulkan terjadinya

perbedaan wujud dan tata cara pelaksanaan antara lingkungan tentu

dengan lingkungan umumnya.

Hasil temu budaya tahun 1996 telah banyak masalah hukum adat

yang mendapat pembenaran di atas kebenaran, namun belum menyentuh

seperti yang diharapkan.Perkembangan budaya Tolaki terus berkembang


secara pesat seama kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Meskipun

pedoman hasil temu budaya tahun 1996 sudah sementara berjalan,

walaupun belum merata di seluruh wilayah hukum budaya Tolaki, tetapi

bila diamati secara seksama telah terdapat beberapa ketentuan yang

dianggap sudah tidak sesuai dengan situasi dan perkembangan yang

terjadi. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka peninjauan penyesuaian

dipandang perlu dilakukan.

Rentetan prosesi dalam pesta adat yang menjadi tradisi

masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara terdapat tuturan yang

diungkapkan Tolea dalam tradisi itu, tuturan tersebut disajikan sebagai

berikut:

Bentuk tuturan Tolea dalam ritual Mosehe Wonua masyarakat Mekongga di

Sulawesi Tenggara.

Teks Tuturan pada Ritual Mosehe Wonua

Tabea inggomiu pak Bupati ulu sala, mandarono olipu wonua i


Kolaka, la pinoko owosenggu pinoko lalo inggu ronga wakili,
tabea inggomiu wakele bupati, la ladumisioro tinamuako teeni
pamarenda owose, lapinoko ronga walimiu.

Iye inggomiu pak bupati ulu sala mandarano olipu petumbuno


wonua tusatongano olipu, lamenggokooro meita mendo tooro nde
pekulaso mendongano olipu wonuai i kolaka, l mendongano
toono dadio i wonuai kolaka, laa tudu inggomiu sara owose, sara
pamarenda, sara mbe paramisi, membo kulaloi lako keinggomiu
keno lando osala pewali niru ku toono dadio, inggomiu odisi
pamarenda, nggo mohu nggo mondiso, osala, tewali, nirukun
toono dadio.

Iyee inggomiu Pak Bupati ronga inggomiu wakili bupati,


Ki inggo to meruhu aki mo rongo rongo meteo olu pohu
pondisomiu, iye inggomiu mberato ke ikeni masimanggu lako
ilaha miu iye inggomiu.

Bokeo

Tabea inggomiu odisi pamarenda, owose pak bupati, wakili bupati


tabea inggomiu bokeo anakia owose wonuai mekongga, monguni
tarimakasi lako hano miu. Iyye inggomiu mbera anakia owose se
nusantara, iyye inggomiu mbera mokole ronga susunano bokeo
anakia i mekongga.

iyye inggomiu inalolo ina luwako la la panggano ronga perehu


rehu ano, i podedai ariya ku to masima ke ito mongoni paramisi,
inedisi pamarenda la ito pohu uno tini sono tewali niru kundo to
onggoto moko lako pasipole ohawo la otuando tola mende
konggo mende perimbu, ni inono pasipole topoko lakoito.

Iyye inggomiu ina lolo ina luwuako la la mendo otoro, la la


tekonggo mbera toka ikeni kula mekodunggo iko miu, ilako keeto
pasipole.

`1. Makna Tuturan Tolea

a. Tuturan Pembuka

Dialog 1

Tabea inggomiu pak Bupati ulu sala,


mandarono olipu wonua i Kolaka,
la pinoko owosenggu pinoko lalo inggu ronga wakili,

tabea inggomiu wakele bupati,

la ladumisioro tinamuako teeni

pamarenda owose
(T1) Tabea I inggo I miu I Bupati I ulu I sala
Yang terhormat I kita I bersama I Bupati I kepala I pemimpin

(yang terhormat Bapak Bupati sebagai kepala pemimpin)

(T2) Mandarano I olipu I wonua I i I Kolaka


Berkuasa I wilayah I tempat I di I Kolaka
(yang berkuasa di wilayah Kolaka)

(T3) La I pinoko I owosenggu I pinoko I lalo I inggo I ronga


ada | Agung | yang dibesarkan | Agung | yang | kita | bersama

(Kita menyambut keberadaan Raja yang diagungkan secara


bersama)

(T4) Tabea | inggo | miu I wakele | Bupati


yang terhormat | kita | bersama | wakil | Bupati
(yang kami hormati wakil Bupati)

(T5) La | ladumisioro | tinamuako | teeni


ada | mewakili | dikatakan | kuasa
(yang berkuasa)

(T6) Pamarenda | owose


Pemerintah | yang berkuasa
(pemerintah yang berkuasa)
Pada tuturan di atas dimaksudkan sebagai penghormatan dan

penghargaan bagi Pak Bupati dan wakil Bupati sebagai ulu sala ‘kepala

pemimpin’ di wilayah Mekongga Kabupaten Kolaka. Pada data (T1) dan

(T4), menggunakan kata tabea ‘yang terhormat’ merupakan kata pembuka

atau kata yang selalu dipakai untuk mengawali sebuah percakapan atau

tuturan.

Tuturan pembuka atau pondorambuu pada ritual Mosehe Wonua ini

memperlihatkan tuturan yang terstruktur atau beruntutan dalam setiap

kalimatnya. Setiap kalimat yang disajikan dalam tuturan pembuka oleh

tolea (pembicara) tersebut mengandung bahasa sopan yang

menggunakan intonasi yang halus yaitu penekanan kata tabea ‘yang

terhormat’ salah satunya terlihat pada contoh kalimat: (T1) Tabea

inggomiu Pak Bupati ulu sala ‘yang terhormat Bapak Bupati sebagai

kepala pemimpin’.

Konteks pada dialog pertama pada saat menuturkan tuturan

pembuka (Tolea berinteraksi dengan Raja Mekongga, Bapak Bupati, dan

Wakil Bupati beserta sanak saudara, mereka saling berhadapan dan

benda kalo sara digenggam oleh tolea sebagai wujud mediasi

penghubung dialog antara raja atau Bapak Bupati dengan Tolea).

Kemudian, Raja Mekongga bersama yang lainnya menyambut sambutan

tolea sebagai tanda penerimaan permintaan izin dalam melanjutkan ritual

tersebut.
Pada tuturan pembuka atau pondorambu pada ritual mosehe

wonua, selain ditujukan kepada kepada pemerintah selaku penguasa

kampung atau wilayah juga pesan tersebut ditujukan kepada tamu yang

hadir pada acara tersebut yang terdapat pada kalimat berikut:

(T7) La | pinoko | ronga | wali | miu


ada | agung | bersama | keluarga | bersama

(yang dihormati beserta keluarganya)

Tuturan yang diungkapkan oleh Tolea dalam tradisi Mosehe Wanua

masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara merupakan ungkapan

yang dalam tuturannya menyapa semua pihak yang diagungkan dalam

prosesi ritual ini. Dari awal tuturannya, Tolea menyapa satu persatu

dewan adat, pihak tertinggi dalam pemerintahan, dan tamu-tamu besar

yang lain yang hadir dalam ritual Mosehe Wanua yang dilakukan

masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara.

Pada tuturan pembuka yang diungkapkan Tolea dalam ritual

Mosehe Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara ini

merupakan tanda yang menjadi simbol yang menyiratkan makna bagi

masyarakat setempat. Tuturan yang diungkapkan Tolea dalam ritual ini

telah diketahui secara saksama oleh masyarakat, namun secara tidak

sadar masyarakat sudah membentuk sebuah konvensi atau kesepakatan

yang telah diyakini bersama sebagai sebuah kebenaran yang mutlak.


b. Tuturan Inti

Dialog 2

Iye inggomiu pak bupati ulu sala


mandarano olipu petumbuno wonua tusatongano
olipu,

lamenggokooro meita mendo tooro nde pekulaso


mendongano olipu wonuai i kolaka,

l mendongano toono dadio i wonuai kolaka,

laa tudu inggomiu sara owose,

sara pamarenda, sara mbe paramisi, membo


kulaloi lako keinggomiu keno lando osala pewali
niru ku toono sdadio,

inggomiu odisi pamarenda,

nggo mohu nggo mondiso, osala, tewali, niruku


toono dadio.

ki inggo to meruhu aki mo rongo rongo meteo


olu pohu pondisomiu

(T8) iye I inggoI miu I Pak I Bupati I ulu I sala


Penegas | kita | bersama | bapak | bupati | kepala | pemimpin
(yang kami hormati Bapak Bupati sebagai Kepala Pemimpin)

(T9) mandarano I olipu I petumburo I wonua I tusatongaro I


berkuasa | wilayah | sebagai pemimpin | tempat | sebagai
(sebagai pemimpin yang berkuasa di wilayah tersebut)
(T10) la | menggokooro | meita | mendo | tooro | nde | pekulaso |

mendongano | olipu | wonua | i | Kolaka

ada | yang berdiri | tinggi | bumi | di | Kolaka

(orang yang memiliki kedudukan tinggi di Kolaka)

(T11) i | mendongano | toono | dadio | i | wonua I


kolaka
itu | di tengah wilayah | orang | banyak | di |bumi | Kolaka

(banyak orang yang menghuni wilayah Kolaka)

(T12) Laa | tudu | inggo | miu | sara | owose

Turun | adat | kita | bersama | aturan | besar

(aturan adat yang disepakati bersama)

(T13) sara | pamarenda | sara | mbeparamisi | mombokulaloi | lako

Aturan | pemerintah | aturan | permisi | permohon | menghormati

| teruntuk

(T14) ke | inggo | miu | keno | lando | osala | pewali | niru | ku

| toono | dadio |

sudah | kita | bersama | kalau | petunjuk |

dilaksanakan | dijalani | untuk | orang | banyak |

(petunjuk yang dilaksanakan bersama)


(T15) ki I inggo I to I meruhu I aki I mo rongo I rongo I meteo I olu I

pohu I pondisomiu,

Makna yang ingin disampaikan pada tuturan inti di atas, berisi

tentang aturan atau petunjuk adat yang bertujuan agar masyarakat

mematuhi atau menghormati adat mosehe wonua.

Ritual Mosehe Wonua ini bermula dari aturan Raja yang berkuasa

Kerajaan Mekongga terdahulu dan masih dilaksanakan oleh masyarakat

sekarang. Kegiatan adat ini diselenggarakan 5 tahun sekali sebagai

kebiasan oleh masyakarat Mekongga dengan maksud meminta atau

memohon perlindungan atau keselamatan dari bencana alam.

Tuturan yang disampaikan oleh Tolea bermakna perintah, yaitu

menghimbau agar masyarakat mematuhi aturan adat ritual Mosehe wonua

tersebut sebagai panutan atau petunjuk dalam kehidupan bermasyarakat.

Seperti yang terdapat pada (T12), (T13), dan (T14).

Penggalan tuturan Tolea yang menjadi bagian tuturan inti yang

diungkapkan dalam ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga

Sulawesi Tenggara, menjadi sebuah pegangan atau pedoman yang

menjadi landasan atau dasar dalam menjalankan tradisi atau ritual

Mosehe Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara.

Semua tuturan yang diungkapkan Tolea pada penggalan bagian inti ini

menjadi suatu yang dianggap sakral dari segi histori dan ideologi

masyarakat setempat.
Pada tuturan inti yang diungkapkan Tolea dalam ritual Mosehe

Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara ini merupakan

tanda yang menjadi simbol yang dalam tuturan tersebut menyiratkan

makna yang sangat diyakini oleh masyarakat setempat. Tuturan yang

diungkapkan Tolea dalam ritual ini telah diketahui secara saksama oleh

masyarakat, namun masyarakat setempat tidak mengetahui makna yang

terkandung dari tanda yang terkandung dalam tuturan tersebut. Keyakinan

masyarakat sudah membentuk sebuah konvensi atau kesepakatan yang

telah diyakini bersama sebagai sebuah kebenaran yang mutlak.

c. Tuturan Penutup

Dialog 3

Tabea inggomiu odisi pamarenda, owose pak


bupati, wakili bupati

tabea inggomiu bokeo anakia owose wonua i


mekongga, monguni tarimakasi lako hano miu.

Iyye inggomiu mbera anakia owose se nusantara,

iyye inggomiu mbera mokole ronga susunano


bokeo anakia i mekongga.

iyye inggomiu inalolo ina luwako la la panggano


ronga perehu rehu ano, i podedai ariya ku to
masima ke ito mongoni paramisi, inedisi
pamarenda la ito pohu uno tini sono tewali niru
kundo to onggoto moko lako pasipole ohawo la
otuando tola mende konggo mende perimbu, ni
inono pasipole topoko lakoito.
Iyye inggomiu ina lolo ina luwuako la la mendo
otoro, la la tekonggo mbera toka ikeni kula
mekodunggo iko miu, ilako keeto pasipole.

(T16) tabea | inggo | miu | bokeo | anakia | owose I wonua | i |

mekongga

Yang dihormati | bersama | kita | Raja | anak Raja |


besar | bumi | di | Mekongga

(Yang dihormati Raja kita di bumi Mekongga)

(T17) monguni | tarimakasi | lako | hano | miu

Meminta | terima kasih | kepada | sama | kita|

(meminta terima kasih kepada kita)

(T18) Iye | inggo | miu | mbera | anakia | owose | se |

nusantara

Penegas | bersama | kita | sampai | raja | besar | di | Nusantara


terkumpul | sampai | disini | saya | sampaikan (sampai disini
penyampaikan saya kepada Raja dan nusantara sekalian)

(T19) iye | inggo | miu | mbera | mokole | ronga

susunano | bokeo | anakia | i | mekongga.

Iye | kita | bersama | sampai | wakili | bersama | susunan |


para | raja | di | Mekongga
(T20) Iyye | inggo | miu | ina lolo | ina luwuako

| la | mendo | otoro

Penegas | kita | bersama | semuanya | kita penegas | kita |

bersama | duduk | bersama

(semuanya kita bersama duduk bersama)

(T21) la | tekonggo | mbera | toka | ikeni | kula mokodunggo | iko |

miu | ilako | keeto | pasipole |

terkumpul | sampai | disini | saya | sampaikan | kepada


| semua | kepada kita | laksanakan | urusan |

(saya sampaikan hadirin sekalian untuk melaksanakan segala

urusan).

Tuturan Tolea diakhir yang merupakan tuturan penutup, bagian

tuturan Tolea yang menjadi bagian tuturan akhir atau penutup yang

diungkapkan dalam ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga

Sulawesi Tenggara merupakan bentuk pemujaan terhadap leluhur yang

menciptakan dan menghadirkan tradisi yang masih hidup hingga kini,

selain itu tuturan Tolea tersebut merupakan bentuk penghargaan yang

setinggi-tingginya terhadap raja dan petinggi pemerintahan yang hadir

dalam ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi

Tenggara. Dalam tuturan akhirnya, tolea mengungkapkan rasa terima

kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang

hadir dalam tradisi Mosehe Wanua ini pada masyarakat Tolaki di

Mekongga Sulawesi Tenggara.


Tuturan penutup yang diungkapkan Tolea dalam ritual Mosehe

Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara ini merupakan

tanda yang memiliki makna dan menjadi simbol bagi masyarakat

setempat. Tuturan yang diungkapkan Tolea dalam ritual ini telah diketahui

secara saksama oleh masyarakat, namun masyarakat setempat tidak

mengetahui makna yang terkandung dari tanda yang terkandung dalam

tuturan penutup tersebut. Keyakinan masyarakat sudah membentuk

sebuah konvensi atau kesepakatan yang telah diyakini bersama sebagai

sebuah kebenaran mutlak yang dianut oleh masyarakat setempat.

2. Fungsi Tuturan Tolea dalam Ritual Mosehe Wonua

a. Fungsi Religi

Fungsi religi yang sangat menonjol dalam upacara ritual Mosehe

Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara adalah bentuk

keyakinan masyarakat adanya pengaruh leluhur dan adat disetiap

jalannya prosesi.

Yang menarik dari penelitian budaya terhadap roh leluhur, ternyata

dapat merasuk kepada manusia lain. Roh tersebut ada yang mau

membantu hidup manusia dan ada juga mengganggu hidup manusia. Roh

yang menyusup ke manusia lain dapat menyebabkan manusia kesurupan.

Bahkan, roh tersebut juga dapat merasuk ke dalam benda-benda tertentu.

Roh yang masuk ke sebuah benda akan menyebabkan kesaktian atau

kesakralan benda tersebut.


Ditegaskan bahwa fungsi religi asli yang dinamakan agama primitif

sesungguhnya akan menjadi obyek penelitian budaya yang menarik. la

telah mencoba mengembangkan studi tentang religi melalui aspek sosial

dan psikologis. Studi sosiologis dikembangkan dari pandangan budaya

religi. Termasuk dalam kajian dia adalah masalah takhayul dan berbagai

kekuatan supranatural dalam masyarakat tertentu.

Orientasi penelitian religi dapat dipusatkan pada tigal hal, yaitu: (1)

berhubungan dengan keyakinan religi atau emosi keagamaan, (2)

berhubungan dengan sikap manusia terhadap alam gaib, (3) berhubungan

dengan upacara religi (Kcentjaraningrat, 1990:58). Ketiga hal ini selalu

terkait satu sama lain karena terpengaruh oleh kebudayaan yang

bersangkutan. Kendati demikian, seorang peneliti dapat menitik beratkan

pada salah satu orientasi untuk mempertajam kajiannya, dan pada suatu

saat juga dapat mengaitkan ketiganya. Yang penting, peneliti mampu

mengurai penelitiannya dengan mencocokkan pada teoriteori religi masa

lalu. Kemungkinan besar, teori religi masa lalu telah atau kurang relevan

dengan religi masa kini, jelas diperlukan penyesuaian.

Fungsi religi yang terbungkus dalam sebuah ideologi yang hidup di

tengah-tengah masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara. Hal ini

menjadi keyakinan yang mutlak dianggap suatu kebenaran yang harus

diketahui dan dipatuhi. Oleh Sebab itu, dalam tradisi Mosehe Wanua yang

dilakukan masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara bukan tanpa teropong

religious yang terdapat dalam prosesi adat tersebut. Kepercayaan yang


dibangun menjadi landasan masyarakat dan merupakan ideologi dalam

menjalankan rentetan prosesi dalam tradisi Mosehe Wanua.

b. Fungsi Budaya

Di bawah ini bentuk teks yang menggambarkan percakapan antara

Tolea dengan para tamu.

(Sambil duduk hormat, Tolea menundukkan kepala sebagai tanda hormat

kepada Raja dan pemimpin wilayah sambil mengucapkan teks tuturan

yang bermakna permohonan izin serta menjelaskan aturan-aturan yang

terdapat pada kegiatan adat), seperti yang tergambar pada teks dibawah

ini:

(T22) tabea inggomiu bokeo anakia owose wonua i


mekongga

(Yang dihormati Raja kita di bumi Mekongga)

(T23) laa I tudu I inggomiu I sara I owose

(aturan adat yang disepakati bersama)

(T24) ke I inggomiu I keno I lando I osala I pewali


niru ku I toono I dadio

(petunjuk (ritual) yang akan dilaksanakan


bersama)
(T25) Iyye I inggomiu I ina I lolo I ina I luwuako I la I mendo I otoro I
la I tekonggo I mbera I toka I ikeni I kula I mekodunggo I iko
miu I ilako I keeto I pasipole.

(Yang terhormat yang berada ditempat ini, saya sampaikan


permohonan izin untuk melanjutkan urusan)

Pada teks (T22), (T 23), dan (T24) merupakan bagian dari teks

tuturan Tolea atau juru bicara adat merupakan orang terpilih yang

memahami bagaimana proses, aturan, syarat yang harus dilakukan dalam

ritual tersebut. Tuturan pembuka yang dituturkan Tolea berisi tentang

penghormatan atas kehadiran Raja, Bapak Bupati, dan Wakil Bupati

beserta sanak saudara yang secara bersama menyaksikan pelaksanaan

ritual MW. Tujuan Tolea memberikan permohonan izin kepada raja dan

pemimpin wilayah agar masyarakat yang menyaksikan ritual tersebut

mengetahui bahwasanya kerajaan mekongga dahulu memiliki kerajaan

yang berkuasa dan bijaksana. Keberadaan Kalo Sara pun menjadi

lambang atau simbol yang sakralnya. Masyarakat pun memahami bahwa

keberadaan benda kalo sara yang menjadi mediasi sakral tersebut, acara

ritual akan terlaksanakan dengan baik dan lancar.

Tuturan di atas menggambarkan bahwa sebelum pelaksanaan

ritual Mosehe Wonua para petinggi negeri, pemangku adat dan sampai

pada masyarakat untuk hadir bersama untuk terjun langsung dalam

pelaksanaan ritual yang akan diadakan. Tuturan tersebut juga

menggambarkan bahwa bagaimana kebersamaan para petinggi,


pemangku adat, dan masyarakat dalam melestarikan budaya ini akan

terus tetap terjaga.

Fungsi budaya dapat dilihat dari kekuatan yang mengikat pada

masyarakat Mekongga dan pendukung budaya tersebut yang

keberakarannya ada dalam jiwa dan perilaku masyarakat Mekongga.

Pada tuturan pembuka, isi dan penutup oleh Tolea menuturkan

sesuatu dengan maksud memberikan pemahaman kepada masyarakat

bahwa adat yang berlaku di Mekongga ini merupakan adat yang harus

dipatuhi aturannya dan ditakuti segala hal yang berbau sakral. Tuturan

yang diungkapkan Tolea dalam upacara ritual Mosehe Wanua masyarakat

Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara mengandung makna budaya di

dalamnya, sebab memberikan penanaman masyarakat setempat atas

kesadarannya untuk melestarikan budaya yang hidup dari nenek moyang

atau leluhur hingga kini. Ragam budaya yang berbentuk ritual atau pesta

adat menjadi kekayaan tersendiri yang dimiliki masyarakat setempat yang

tidak dimiliki oleh suku lain. Selain menjadi asahan ingatan bagi

masyarakat pelaku, juga diperuntukkan kepada pemegang kebijakan

untuk upaya pelestarian yang lambat laun akan punah.

Upacara ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki Mekongga

Sulawesi Tenggara bagi warga termasuk remaja dan anak-anak secara

langsung dapat mengambil alih atau mewarisi berbagai norma-norma

sosial, di samping nilai-nilai budaya luhur yang terkandung dalam upacara

ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara.


Secara psikologis pengalaman di masa kecil biasanya akan

meninggalkan kesan cukup dalam sehingga anank-anak tumbuh menjadi

dewasa. Sehubungan dengan itu mereka yang memperhatikan dan

menyimak tuturan Tolea melalui pelaksanaan tradisi Mosehe Wanua

dengan sendirinya akan mengetahui tentang berbagai sikap positif,

norma-norma sosial serta nilai-nilai luhur yang sejak lama tumbuh dan

berkembang dalam masyarakatnya.

Selain itu, melalui upacara ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki

di Mekongga Sulawesi Tenggara yang dihadiri oleh segenap lapisan

masyarakat, maka seluk beluk pelaksanaan upacara itu sendiri secara

langsung dapat terekam dalam pikiran mereka. Dengan demikian secara

berangsur-angsur tata cara pelaksanaan upacara tersebut ditransmisikan

dari satu generasi kegenerasi berikutnya, melalui pengalaman individual

masing-masing peserta upacara.

c. Fungsi Sosial

Tradisi upacara ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki Mekongga

Sulawesi Tenggara melibatkan partisipasi aktif dari berbagai lapisan

masyarakat, antara lain para petani setempat, aparat pemerintahan, iman

Desa, tokoh Adat, aparat bidang sosial dan budaya, aparat bidang

pendidikan dan kebudayaan, dan lain sebagainya.

Berikut ini adalah bentuk teks yang menggambarkan maksud dari

makna kebersamaan yang dituturkan oleh Tolea dan diperdengarkan

dengan seksama oleh para tamu.


(T26) Iyye inggomiu ina lolo ina luwuako la la mendo otoro

(semuanya kita bersama duduk bersama)

(T27) la pinoko owosenggu pinoko lalo inggo ronga

(Kita menyambut keberadaan Raja yang diagungkan secara

bersama)

(T28) iye inggomiu mbera mokole ronga susunano bokeo


anakia i mekongga.

(secara bersama kita mematuhi susunan aturan di Mekongga)

(T29) Iyye | inggo | miu | ina lolo | ina luwuako | la | lmendo | otoro

(semuanya kita bersama duduk bersama)

(T30) Iye inggomiu mbera anakia owose senusantara

(sampai disini penyampaikan saya kepada Raja dan nusantara

sekalian).

Pada tuturan di atas dapat digambarkan bahwa pembicara adat

menyampaikan bahwa mereka duduk bersama-sama tanpa memandang

stratifikasi atau tingkatan dalam pemeritahan atau pun dalam adat

tersebut. Gambaran tuturan juga menjelaskan bahwa ritual ini hendaknya

dilakukan secara bersama-sama mulai dari pra ritual sampai dengan

setiap ritual yang dilaksanakan sehingga kebersamaan dapat terjalin erat

dan mencapai kesepakatan dan tujuan sesuai harapan yang diinginkan.


Nilai-nilai sosial mengakar kuat dalam masyarakat dan tidak pernah

berakhir, karena ditunjang oleh sistem sosial yang terbentuk sejak anak-

anak, remaja dan orang tua. Pelaksanaan Tradisi upacara ritual Mosehe

Wanua masyarakat Tolaki Mekongga Sulawesi Tenggara menjadi ajang

silatuhrahim, kebersamaan, kesetaraan, kekeluargaan serta hubungan

antara masyarakat. Upacara Mosehe Wanua ini, menciptakan hubungan

antara masyarakat setempat dan masyarakat di luar wilayah Mekongga di

Sulawesi Tenggara.
B. Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis data, maka ditemukan bentuk tuturan

pada setiap bagian teks tuturan Tolea dalam tradisi mosehe wanua

masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara. Tuturan tersebut

memiliki kekhasan-kekhasan yang mengandung makna dan fungsi bagi

masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara.

Manfaat yang terkandung dalam teks tuturan Tolea dalam tradisi

mosehe wanua masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara tidak

dapat diabaikan dan sepelekan karena tuturan tersebut merupakan

ungkapan yang dimiliki masyarakat daerah setempat yang tidak

sembarang diungkapkan siapa saja dan waktu yang tidak tentu namun

diungkapkan oleh orang yang memiliki peranan dan strata tinggi bagi

masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara yang diteruskan dari

generasi ke generasi sesuai dengan penilaian dan kebutuhannya dalam

ritual dan pesta adat. Maksudnya bahwa tuturan ini merupakan ungkapan

yang sangat sakral oleh seluruh masyarakat setempat. Tuturan yang

diungkapkan Tolea dalam tradisi Mosehe Wonua masyarakat Tolaki di

Mekongga Sulawesi Tenggara yang mengandung nilai-nilai kehormatan

dan penghargaan tersendiri di mata masyarakat Tolaki di Mekongga

Sulawesi Tenggara.
1. Makna Tuturan Tolea
a. Tuturan Pembuka

Tuturan pembuka merupakan teks yang dituturkan oleh Tolea atau

juru bicara yang dalam tuturannya mengandung permohonan izin kepada

pihak-pihak yang diagungkan dalam membuka atau memulai kegiatan

ritual Mosehe Wanua pada masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi

Tenggara. Pada bagian ini, Tolea yang menjadi juru bicara adat

masyarakat setempat dalam ritual Mosehe Wanua mengungkapkan

tuturan yang dinyatakan dalam prosesi tradisi masyarakat Tolaki di

Mekongga Sulawesi Tenggara.

Masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara menjadikan

tuturan yang diungkapkan Tolea pada awal atau tuturan pembukanya

merupakan sebuah simbol. Menurut Peirce dalam trikotominya,

mengungkapkan bahwa simbol merupakan konvensi atau kesepakatan

bersama yang berlaku dalam komunitas atau masyarakat tertentu dengan

meyakini kebenaran atas apa yang telah disepakati. Pada tuturan

pembuka yang diungkapkan Tolea dalam ritual Mosehe Wanua

masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara adalah tanda yang

merupakan simbol penghormatan dalam ritual tersebut.


b. Tuturan Inti

Pada bagian tuturan inti merupakan bagian inti dari ritual mosehe

wanua yang merupakan lanjutan dari tuturan pembuka. Pada tuturan inti

juru bicara adat (tolea) mengawali pembicaraannya bermaksud untuk

menyampaikan sepatah kata kepada Raja Mekongga, Bapak Bupati, dan

wakil Bupati serta sanak saudara yang diagungkan untuk melanjutkan

ritual dari mosehe wonua sebagai wujud penghormatan dan permohonan

izin atau restu baik untuk melanjutkan ritual yang dianggap inti pada dialog

ini untuk diperdengarkan oleh seluruh masyarakat Tolaki. Setiap kata yang

dituturkan oleh tolea dalam kegiatan adat atau penyucian suatu wilayah

atau dikenal sebagai Mosehe Wonua ini tidak pernah mengalami

perubahan tuturan seperti yang tergambar pada tuturan dibawah ini:

Makna yang ingin disampaikan pada tuturan inti tersebut, berisi

tentang aturan atau petunjuk adat yang bertujuan agar masyarakat

mematuhi atau menghormati adat mosehe wonua.

Ritual Mosehe Wonua ini bermula dari aturan Raja yang berkuasa

Kerajaan Mekongga terdahulu dan masih dilaksanakan oleh masyarakat

sekarang. Kegiatan adat ini diselenggarakan 5 tahun sekali sebagai

kebiasan oleh masyakarat Mekongga dengan maksud meminta atau

memohon perlindungan atau keselamatan dari bencana alam.

Tuturan yang disampaikan oleh Tolea bermakna perintah, yaitu

menghimbau agar masyarakat mematuhi aturan adat ritual Mosehe wonua


tersebut sebagai panutan atau petunjuk dalam kehidupan bermasyarakat.

Seperti yang terdapat pada (T12), (T13), dan (T14).

Penggalan tuturan Tolea yang menjadi bagian tuturan inti yang

diungkapkan dalam ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga

Sulawesi Tenggara, menjadi sebuah pegangan atau pedoman yang

menjadi landasan atau dasar dalam menjalankan tradisi atau ritual

Mosehe Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara.

Semua tuturan yang diungkapkan Tolea pada penggalan bagian inti ini

menjadi suatu yang dianggap sakral dari segi histori dan idiologi

masyarakat setempat.

Masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara menjadikan

tuturan yang diungkapkan Tolea pada inti atau tuturan yang paling penting

merupakan sebuah simbol yang memiliki makna. Menurut Peirce,

mengungkapkan bahwa simbol merupakan konvensi atau kesepakatan

bersama yang berlaku dalam komunitas atau masyarakat tertentu dengan

meyakini kebenaran atas apa yang telah disepakati. Pada tuturan inti yang

diungkapkan Tolea dalam ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki di

Mekongga Sulawesi Tenggara merupakan simbol kepatuhan dalam

ritual.

Siapa saja yang hadir dalam ritual Mosehe Wanua masyarakat

Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara harus mematuhi segala bentuk

aturan adat yang berlaku bagi masyarakat setempat. Segala bentuk

anjuran dan larangan yang berlaku dalam ritual harus diikuti oleh semua
yang hadir dalam ritual Mosehe Wanua ini. Kepatuhan yang dijalankan

diperuntukkan kepada tradisi yang telah dibangun nenek moyang, selain

itu bentuk kepatuhan juga diperuntukkan pada aturan adat jalannya

prosesi serta kepatuhan terhadap dewan adat dan para petinggi

pemerintahan yang hadir dalam ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki

di Mekongga Sulawesi Tenggara.

c. Tuturan Penutup

Bentuk tuturan yang diungkapkan oleh Tolea dalam ritual Mosehe

Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara merupakan

penggalan tuturan yang dikategorikan sebagai tuturan penutup. Tuturan

penutup merupakan tuturan akhir dari tuturan yang diungkapkan Tolea

pada ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi

Tenggara.

Pada tuturan penutup, Tolea menuturkan permohonan izin kepada

raja, dewan adat, bupati, dan wakil bupati dengan bahasa yang halus

yang dilalamnya menyiratkan makna yang dalam tuturannya dipahami

oleh semua pihak yang terlibat dalam prosesi ritual Mosehe Wanua

masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara.

Tuturan Tolea diakhir yang merupakan tuturan penutup, bagian

tuturan Tolea yang menjadi bagian tuturan akhir atau penutup yang

diungkapkan dalam ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga

Sulawesi Tenggara merupakan bentuk pemujaan terhadap leluhur yang


menciptakan dan menghadirkan tradisi yang masih hidup hingga kini,

selain itu tuturan Tolea tersebut merupakan bentuk penghargaan yang

setinggi-tingginya terhadap raja dan petinggi pemerintahan yang hadir

dalam ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi

Tenggara. Dalam tuturan akhirnya, tolea mengungkapkan rasa terima

kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pijhak

yang hadir dalam tradisi Mosehe Wanua ini pada masyarakat Tolaki di

Mekongga Sulawesi Tenggara.

Tuturan penutup yang diungkapkan Tolea dalam ritual Mosehe

Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara ini merupakan

tanda yang memiliki makna dan menjadi simbol bagi masyarakat

setempat. Tuturan yang diungkapkan Tolea dalam ritual ini telah diketahui

secara saksama oleh masyarakat, namun masyarakat setempat tidak

mengetahui makna yang terkandung dari tanda yang terkandung dalam

tuturan penutup tersebut. Keyakinan masyarakat sudah membentuk

sebuah konvensi atau kesepakatan yang telah diyakini bersama sebagai

sebuah kebenaran mutlak yang dianut oleh masyarakat setempat.

Masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara menjadikan

tuturan yang diungkapkan Tolea pada bagian penutup atau akhir yang

juga penting untuk disampaikan dan didengar oleh semua yang hadir di

pesta adat tersebut. Tuturan penutup Tolea itu merupakan sebuah simbol

yang memiliki makna. Menurut Peirce, mengungkapkan bahwa simbol

merupakan konvensi atau kesepakatan bersama yang berlaku dalam


komunitas atau masyarakat tertentu dengan meyakini kebenaran atas apa

yang telah disepakati. Pada tuturan penutup Tolea dalam ritual Mosehe

Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara merupakan

simbol penghargaan.

Bagi masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara

senantiasa memberikan penghargaan kepada leluhur, Raja, Petinggi

Pemerintahan, dewan adat serta tokoh masyarakat yang hadir dan

melaksanakan tradisi Mosehe Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga

Sulawesi Tenggara. Penghargaan sangat penting dalam prosesi ini,

ungkapan penghargaan diselipkan dalam tuturan Tolea yang diungkapkan

pada bagian akhir atau tuturan penutup yang menjadi tanda yang

bermakna penghargaan.

Tuturan yang diungkapkan Tolea dalam tradisi Mosehe Wanua

masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara tidak hanya

diungkapkan begitu saja, namun dibalik tuturannya disetiap bagian

merupakan tanda yang berupa simbol yang didalamnya tersirat makna

yang telah dijalankan turun temurun dari generasi ke generasi.

2. Fungsi Tuturan Tolea dalam Ritual Mosehe Wonua

Ritual merupakan suatu rangkaian adat yang dilakukan sebagian

masyarakat dalam mencapai suatu tujuan simbolis. Pada ritual Mosehe

Wanua memiliki makna tersendiri pada setiap teksnya. Adapun fungsi


yang tergambar pada teks tuturan dalam ritual Mosehe Wanua sebagai

berikut:

a. Fungsi Religi

Fungsi religi yang sangat menonjol dalam upacara ritual Mosehe

Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara adalah bentuk

keyakinan masyarakat adanya pengaruh leluhur dan adat disetiap

jalannya prosesi.

Ada perbedaan makna religi yang perlu diketahui sebagai peneliti

dan pembaca. Pertama, religi adalah agama yang berdasarkan wahyu

Tuhan Karena itu, religi tidak bisa dijangkau oleh daya pikir manusia dan

apalagi dicari kebenarannya. Batasan semacam ini pun sebenarnya tidak

keliru, tetapi yang menarik bagi peneliti budaya bukan pada hal tersebut,

melainkan religi dalam pengertian luas. Kedua, religi dalam arti luas berarti

meliputi variasi pemujaan, spiritual, dan sejumlah praktek hidup yang telah

bercampur dengan budaya, misalkan saja tentang magi, nujum, pemujaan

pada binatang, pemujaan pada benda, kepercayaan atau takhayul, dan

sebagainya.

Religi dalam pengertian kedua tersebut telah menarik perhatian,

karena di dalamnya terdapat muatan budaya yang unik. Oleh karena itu,

penulis bisa menerima pemahaman tentang religi, ada dua paham:

pertama religi sebagai bagian hidup kesusilaan manusia dan memiliki nilai

susila yang tinggi. Gagasan yang memaknai religi sebagai tergolong

dalam alam hidup manusia. Religi kedua ini menghendaki tiga kebenaran
utama, yaitu: percaya bahwa Tuhan ada, percaya kepada hukum

kesusilaan alamiah, dan pada roh yang abadi. Dari dua konsep religi

semacam ini, pada kenyataannya pengertian kedua yang menarik

perhatian peneliti budaya. Apalagi, kalau religi kedua tersebut telah

bercampuraduk (sinkretis) dengan kepercayaan, akan semakin menggoda

kita.

Pengertian religi terkait pula istilah mitos. Menurut E.B. Taylor

dalam buku Primitive Culture telah memaparkan lebih jauh, terutama

tentang kepercayaan masyarakat pada roh dan dewa. Kepercayaan

tersebut dinamakan juga menamakan spiritisme. Animisme percaya pada

dua macam roh, yaitu roh manusia atau pun binatang dan roh bukan

manusia dan binatang. Dari dua dogma ini terlihat bahwa kepercayaan

manusia terhadap soul dan spirit menjadi perhatian peneliti budaya.

Keduanya memiliki pengaruh dan kekuatan tertentu bagi hidup manusia,

terutama menguasai hidup manusia sesudah mati.

Yang menarik dari penelitian budaya terhadap roh leluhur, ternyata

dapat merasuk kepada manusia lain. Roh tersebut ada yang mau

membantu hidup manusia dan ada juga mengganggu hidup manusia. Roh

yang menyusup ke manusia lain dapat menyebabkan manusia kesurupan.

Bahkan, roh tersebut juga dapat merasuk ke dalam benda-benda tertentu.

Roh yang masuk ke sebuah benda akan menyebabkan kesaktian atau

kesakralan benda tersebut.


Dengan demikian, animisme dapat diartikan sebagai kepercayaan

manusia kepada roh leluhur. Kepercayaan itu, esensinya juga ke arah

Tuhan. Bentuk kepercayaan tersebut, menurut Taylor dapat

terejawantahkan ke dalam doa spiritual dan korban. Korban merupakan

bagian penghormatan (hadiah) kepada roh agar mau membantu hidup

manusia. Korban merupakan perantara keinginan manusia. Atas dasar itu,

persoalan religi menjadi menarik perhatian beberapa ahli dan menjadi titik

poin perhatian ahli budaya religi juga berpusar pada eksistensi Tuhan.

Tuhan adalah pusat dari aktivitas ritual manusia. Manusia bersikap kreatif

dalam “mencari” Tuhan, yang terpantul pada budaya asli. Yang dimaksud

budaya asli, adalah hasil kreativitas manusia karena sedikit ada

kegoncangan batin. Batin manusia tergoda tentang persoalan alam

semesta dan Tuhan.

Ditegaskan bahwa fungsi religi asli yang dinamakan agama primitif

sesungguhnya akan menjadi obyek penelitian budaya yang menarik. la

telah mencoba mengembangkan studi tentang religi melalui aspek sosial

dan psikologis. Studi sosiologis dikembangkan dari pandangan budaya

religi. Termasuk dalam kajian dia adalah masalah takhayul dan berbagai

kekuatan supranatural dalam masyarakat tertentu.

Orientasi penelitian religi dapat dipusatkan pada tigal hal, yaitu: (1)

berhubungan dengan keyakinan religi atau emosi keagamaan, (2)

berhubungan dengan sikap manusia terhadap alam gaib, (3) berhubungan

dengan upacara religi (Kcentjaraningrat, 1990:58). Ketiga hal ini selalu


terkait satu sama lain karena terpengaruh oleh kebudayaan yang

bersangkutan. Kendati demikian, seorang peneliti dapat menitik beratkan

pada salah satu orientasi untuk mempertajam kajiannya, dan pada suatu

saat juga dapat mengaitkan ketiganya. Yang penting, peneliti mampu

mengurai penelitiannya dengan mencocokkan pada teoriteori religi masa

lalu. Kemungkinan besar, teori religi masa lalu telah atau kurang relevan

dengan religi masa kini, jelas diperlukan penyesuaian.

Arah dari penelitian religi adalah pada sistem religi yang menjadi

salah satu unsur kebudayaan. Sistem religi ini muncul dari sebuah emosi

religi, yaitu getaran spiritual atau batin manusia. Emosi ini akan

mendorong semua tindakan budaya spiritual yang kadangkadang bersifat

sakral. Emosi ini akan terkait dengan sistem keyakinan, seperti

kepercayaan pada roh halus, roh leluhur, dewan dan sebagainya. Di

samping itu, emosi juga akan berhubungan dengan ritual religi yang

menyangkut tempat, waktu, dan benda-benda tradisi. Unsur-unsur ritual

religi juga sangat banyak yang perlu mendapat perhatian, antara lain

sesaji, doa-doa, mantra, nyanyian, laku, semadi, dan sebagainya.

Fungsi religi yang terbungkus dalam sebuah ideologi yang hidup di

tengah-tengah masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara. Hal ini

menjadi keyakinan yang mutlak dianggap suatu kebenaran yang harus

diketahui dan dipatuhi. Oleh Sebab itu, dalam tradisi Mosehe Wanua yang

dilakukan masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara bukan tanpa teropong

religious yang terdapat dalam prosesi adat tersebut. Kepercayaan yang


dibangun menjadi landasan masyarakat dan merupakan ideologi dalam

menjalankan rentetan prosesi dalam tradisi Mosehe Wanua.

b. Fungsi Budaya

Budaya menjadi cara hidup yang dimiliki bersama dan diwariskan

dari generasi ke generasi oleh sebagian orang dalam masyarakat

Mekongga di Sulawesi Tenggara. Makna budaya yang terlihat pada ritual

Mosehe Wanua sangat dihormati dan dipatuhi karena ritual Mosehe

Wanua merupakan suatu rangkaian adat yang sakral yang dilakukan

untuk penyucian suatu negeri.

Susunan kegiatan dilaksanakan secara beruntutan. Pelaksanaan

kegiatan ritual Mosehe Wanua diawali dengan prosesi penyambutan tamu

dengan menampilkan tarian khas mekongga. Setelah itu, prosesi adat

dilanjutkan dengan melakukan percakapan atau dialog antara Tolea atau

juru bicara dengan para tamu yang secara bersama membuka dan

menyaksikan berlangsungnya kegiatan ritual Mosehe Wanua. Di bawah ini

bentuk teks yang menggambarkan percakapan antara Tolea dengan para

tamu.

(Sambil duduk hormat, Tolea menundukkan kepala sebagai tanda hormat

kepada Raja dan pemimpin wilayah sambil mengucapkan teks tuturan

yang bermakna permohonan izin serta menjelaskan aturan-aturan yang

terdapat pada kegiatan adat),

Tuturan pembuka yang dituturkan Tolea berisi tentang

penghormatan atas kehadiran Raja, Bapak Bupati, dan Wakil Bupati


beserta sanak saudara yang secara bersama menyaksikan pelaksanaan

ritual MW. Tujuan Tolea memberikan permohonan izin kepada raja dan

pemimpin wilayah agar masyarakat yang menyaksikan ritual tersebut

mengetahui bahwasanya kerajaan mekongga dahulu memiliki kerajaan

yang berkuasa dan bijaksana. Keberadaan Kalo Sara pun menjadi

lambang atau simbol yang sakralnya. Masyarakat pun memahami bahwa

keberadaan benda kalo sara yang menjadi mediasi sakral tersebut, acara

ritual akan terlaksanakan dengan baik dan lancar.

Ragam budaya yang berbentuk ritual atau pesta adat menjadi

kekayaan tersendiri yang dimiliki masyarakat setempat yang tidak dimiliki

oleh suku lain. Selain menjadi asahan ingatan bagi masyarakat pelaku,

juga diperuntukkan kepada pemegang kebijakan untuk upaya pelestarian

yang lambat laun akan punah.

Upacara ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki Mekongga

Sulawesi Tenggara bagi warga termasuk remaja dan anak-anak secara

langsung dapat mengambil alih atau mewarisi berbagai norma-norma

sosial, di samping nilai-nilai budaya luhur yang terkandung dalam upacara

ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara.

Secara psikologis pengalaman di masa kecil biasanya akan

meninggalkan kesan cukup dalam sehingga anank-anak tumbuh menjadi

dewasa. Sehubungan dengan itu mereka yang memperhatikan dan

menyimak tuturan Tolea melalui pelaksanaan tradisi Mosehe Wanua

dengan sendirinya akan mengetahui tentang berbagai sikap positif,


norma-norma sosial serta nilai-nilai luhur yang sejak lama tumbuh dan

berkembang dalam masyarakatnya.

Selain itu, melalui upacara ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki

di Mekongga Sulawesi Tenggara yang dihadiri oleh segenap lapisan

masyarakat, maka seluk beluk pelaksanaan upacara itu sendiri secara

langsung dapat terekam dalam pikiran mereka. Dengan demikian secara

berangsur-angsur tata cara pelaksanaan upacara tersebut ditransmisikan

dari satu generasi kegenerasi berikutnya, melalui pengalaman individual

masing-masing peserta upacara.

c. Fungsi Sosial

Suku Tolaki Mekongga, dilihat dari sisi sosial pada tradisi upacara

ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki Mekongga Sulawesi Tenggara

arti kebersamaan merupakan hal paling utama yang harus dipahami

dalam menjalin sebuah kebersamaan dalam suatu wilayah. Menjalin

kebersamaan dengan memelihara perdamaian, keyakinan, budaya,

komunikasi, dan lain sebagainya. Makna kebersamaan merupakan

sebuah ikatan yang terbentuk karena adanya rasa kekeluargaan dan

persaudaraan yang lebih dari sekedar bekerja sama atau hubungan

profesional biasa.

Tradisi upacara ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki Mekongga

Sulawesi Tenggara melibatkan partisipasi aktif dari berbagai lapisan

masyarakat, antara lain para petani setempat, aparat pemerintahan, iman


Desa, tokoh Adat, aparat bidang sosial dan budaya, aparat bidang

pendidikan dan kebudayaan, dan lain sebagainya.

Perwujudan solidaritas dalam rangka pelaksanaan Tradisi upacara

ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki Mekongga Sulawesi Tenggara,

antara lain tercermin pada pola kerjasama baik untuk persiapan

pelaksanaan prosesi maupun biaya penyelenggaraan upacara tersebut.

masing-masing memberikan sumbangan sesuai kemampuannya. Selain

itu proses penetapan waktu pelaksanaan upacarapun ditentukan melalui

forum pertemuan pendapat, untuk mengambil kata sepakat dan ini

dilakukan melalui upacara adat.

Pada ritual Mosehe Wanua, makna kebersamaan tergambar jelas

pada suku Tolaki Mekongga. Kerja sama masyarakat Mekongga dalam

melestarikan kebudayaan sangat terlihat jelas pada pelaksanaan ritual

Mosehe Wanua maupun keberadaan benda sakral yang bernama Kalo

Sara. Mereka menghargai dan memahami secara bersungguh-sungguh

hasil budaya yang dihasilkan nenek moyang mereka. Berikut ini adalah

bentuk teks yang menggambarkan maksud dari makna kebersamaan

yang dituturkan oleh Tolea dan diperdengarkan dengan seksama oleh

para tamu.

Nilai-nilai sosial mengakar kuat dalam masyarakat dan tidak pernah

berakhir, karena ditunjang oleh sistem sosial yang terbentuk sejak anak-

anak, remaja dan orang tua. Pelaksanaan Tradisi upacara ritual Mosehe

Wanua masyarakat Tolaki Mekongga Sulawesi Tenggara menjadi ajang


silatuhrahim, kebersamaan, kesetaraan, kekeluargaan serta hubungan

antara masyarakat. Upacara Mosehe Wanua ini, menciptakan hubungan

antara masyarakat setempat dan masyarakat di luar wilayah Mekongga di

Sulawesi Tenggara.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Melalui hasil analisis data ditemukan bentuk tuturan pada setiap

bagian teks Tolea dalam tradisi Mosehe Wanua masyarakat Tolaki di

Mekongga Sulawesi Tenggara yakni tuturan pembuka, tuturan inti dan

tuturan penutup. Makna tuturan Tolea disetiap tahapan tuturan yaitu

Masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara menjadikan tuturan

yang diungkapkan Tolea pada awal atau tuturan pembukanya merupakan

sebuah simbol. Pada tuturan pembuka yang diungkapkan Tolea dalam

ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara

adalah tanda yang merupakan simbol penghormatan dalam ritual

tersebut.

Masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara menjadikan

tuturan yang diungkapkan Tolea pada inti atau tuturan Pada tuturan inti

yang diungkapkan Tolea dalam ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki di

Mekongga Sulawesi Tenggara merupakan simbol kepatuhan dalam

ritual.

Pada bagian penutup atau akhir yang juga penting untuk

disampaikan dan didengar oleh semua yang hadir di pesta adat tersebut.

Tuturan penutup Tolea itu merupakan sebuah simbol yang memiliki

makna. Pada tuturan penutup Tolea dalam ritual Mosehe Wanua

92
masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara merupakan simbol

penghargaan.

Fungsi yang terdapat pada tuturan dalam ritual Mosehe Wanua

yakni fungsi religi, fungsi budaya, dan fungsi sosial. Fungsi religi yang

sangat menonjol dalam upacara ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki

di Mekongga Sulawesi Tenggara adalah bentuk keyakinan masyarakat

adanya pengaruh leluhur dan adat disetiap jalannya prosesi. Upacara

ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki Mekongga Sulawesi Tenggara

bagi warga termasuk remaja dan anak-anak secara langsung dapat

mengambil alih atau mewarisi berbagai norma-norma sosial, di samping

nilai-nilai budaya luhur yang terkandung dalam upacara ritual Mosehe

Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara. Suku Tolaki

Mekongga, dilihat dari sisi sosial pada tradisi upacara ritual Mosehe

Wanua masyarakat Tolaki Mekongga Sulawesi Tenggara arti

kebersamaan merupakan hal paling utama yang harus dipahami dalam

menjalin sebuah kebersamaan dalam suatu wilayah. Menjalin

kebersamaan dengan memelihara perdamaian, keyakinan, budaya,

komunikasi, dan lain sebagainya. Fungsi social dan kebersamaan

merupakan sebuah ikatan yang terbentuk karena adanya rasa

kekeluargaan dan persaudaraan yang lebih dari sekedar bekerja sama

atau hubungan profesional biasa.


B. SARAN

Berdasarkan kajian di atas, diharapkan penelitian-penelitian tentang

kebahasaan perlu ditingkatkan sebagai bentuk pendokumentasian

bahasa-bahasa lokal khususnya bahasa arkais yang dimana masyarakat

masih kurang faham akan hal tersebut.

Hal ini sebagai bentuk apresiasi kekayaan intelektual dan

pelestarian budaya, karena bahasa adalah bagian dari budaya, serta

pelestarian nilai-nilai dan pengimplementasiannya harus berkembang

secara beriringan.

Diharapkan penelitian ini menjadi dasar dan panduan untuk

melanjutkan penelitian dengan sudut pandang dan pisau analisis yang

berbeda, sehingga memberikan khazanah baru dan sumbangsi pemikiran

dari hasil penelitian yang dilakukan.


DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Ahyar. 2008. Semiotika Sastra. Makassar: UNM.

Arifin, Latuma. 2002. “Kronologis Terbentuknya Suku dan Kerajaan


Mekongga: Kolaka”. Tidak diterbitkan.

Barthes, Roland. 2003. Mythologies, atau mitologi Roland Barthes, terj.


Cristian Ly. Jakarta : Dian Aksara Press.

. 2007. Petualangan Semiologi. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.

Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta:


Rineka Cipta.
Culler, Jonathan. 2002. Barthes : A Very Short Introduction, atau Seri
Pengangkat Singkat Barthes, terj. Ruslani. Yogyakarta : Jendela
Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia: ILMU Gosip, Dongeng dan
Lain-Lain. Jakarta: Grafiti.

Danesi, Marcel. 2004. Messages, Sign, and Meaning: A Basic Textbook in


Semiotics and Communication Theory. Canada: Canadian
Scholars’ Press Inc.
Depdikbud. 2007. Kamus Besar Bahasa Iindonesia Edisi Ketiga. Jakarta:
Balai Pustaka.

Djajasudarma, Fatimah. 1993. Metode Linguistik Ancangan Metode


Penelitian dan Kajian. PT Refika Aditama. Bandung

. 1993. Semantik I Pengantar ke arah Ilmu Makna.


Bandung: Refika Aditama

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:


Pusaka Widyatama.

Fox, James. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan Karangan


Mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: Djambatan.

Hadi, Sumandiyo. 1999. Seni dalam Ritual Agama. Jakarta: Yayasan


untuk Indonesia.

Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan dinamika Sosial Budaya. Depok:


Komunitas Bambu.
Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan.
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Langer. Susanne. 1976. Problem of Arts. Edition-6. New York: Charles
Sribners Sons.

Mazi, Ali. 2004. Peranan Nilai-nilai Budaya Lokal dalam Pelaksanaan


Pembinaan Teritorial di Sulawesi Tenggara. Kendari: Tanpa
Penerbit.

Mattulada.1985. Latoa: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi-Politik.


Makassar: LEPHAS.

Maknun, Tajuddin. 2012. Nelayan Makassar Kepercayaan, Karakter.


Identitas. Makassar.

Muhibbin, Ahmad. 2006. Konstruksi Wacana Elastisitas Budaya Jawa


Analisis Semiotik Terhadap Acara Campursari Tambane Ati TVRI
Jawa Timur

Nababan, P.W.J. 1993. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta:


Gramedia

Pardosi, Jhonson. 2008. “Makna Simbolik Umpasa, Sinamot, dan Ulos


pada Adat Perkawinan Batak Toba”. Logat Vol IV No. 2 Oktober.

Pateda, Mansoer. 2001. Kosakata dan Pengajarannya. Flores: Nusa


Indah.

Saleh, Firman. 2012. Bentuk dan Makna Isi Walasuji dalam Pesta
Perkawinan Masyarakat Bugis. Sidrap

Samsuri. 1983. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.

Sedyawati, Edi. 1996. Kedudukan Tradisi Lisan dalam Ilmu-Ilmu Sosial


dan Ilmu-Ilmu Budaya dalam Warta ATL. Jurnal Pengetahuan dan
Komunikasi Peneliti dan Pemerhati Tradisi Lisan. Edisi II Maret,
Jakarta: ATL.

Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.
Soekanto, Soerjono. 1993. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur
Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sudjiman, Panuti. 1992. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Utama.

Suparman. 2013. “Makna dan Simbol Tuturan Ritual Pascapemakaman


Masyrakat Tangru suatu Tinjauan Semiotik” (Tesis) Makassar:
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Taalami, La Ode. 2009. Kearifan Lokal dan Kebudayaan Masyarakat


Mekongga. Jakarta: Granada.

Teeuw, A. 1984. Khasanah Sastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Kamus Besar


Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.

Wardihan. 2004. Pengantar Linguistik. Makassar: Fakultas dan Sastra


Indonesia Universitas Negeri Makassar.

Aart, Van Zoest. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa
yang Kita Lakukan dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
LAMPIRAN
Dialog part I

Tabea inggomiu pak Bupati ulu sala, mandarono olipu wonua i Kolaka, la
pinoko owosenggu pinoko lalo inggu ronga wakili, tabea inggomiu wakele
bupati, la ladumisioro tinamuako teeni pamarenda owose, lapinoko ronga
walimiu.

Mohon permisi kepada bapak bupati kolaka pemerintah tertinggi dikolaka


yang kami hormati bersama wakil bupati kolaka yang sedang bertindak
sebagai pemerintah tertinggi bersama ibu.

Iye inggomiu pak bupati ulu sala mandarano olipu petumbuno wonua
tusatongano olipu, lamenggokooro meita mendo tooro nde pekulaso
mendongano olipu wonuai i kolaka, l mendongano toono dadio i wonuai
kolaka, laa tudu inggomiu sara owose, sara pamarenda, sara mbe
paramisi, membo kulaloi lako keinggomiu keno lando osala pewali niru ku
toono dadio, inggomiu odisi pamarenda, nggo mohu nggo mondiso, osala,
tewali, nirukun toono dadio.

Mohon permisi bapak bupati kolaka pemerintah tertinggi d kolaka yang


berada ditengah orang banyak dikolaka, telah tiba kepada kalian adat
tertinggi, adat pemerintah etika memohon izin ,kami lanjutkan kepada
kalian jika ada jalan untuk semua orang,kepada kalian pemerintah
setempat untuk menunjukan jalan untuk dijalani kesemua orang.

Iyee inggomiu Pak Bupati ronga inggomiu wakili bupati,

ki inggo to meruhu aki mo rongo rongo meteo olu pohu pondisomiu, iye
inggomiu mberato ikeni masimanggu lako ilaha miu iye inggomiu.

Yang kami hormati bapak bupati bersama wakil bupati kolaka,

Kami akan menunggu apa saja yang bapak tunjukan dan sepakati kepada
kami,sampai disinilah yang kami sampaikan kepada kalian.
Dialog part II

Tabea inggomiu odisi pamarenda, owose pak bupati, wakili bupati tabea
inggomiu bokeo anakia owose wonuai mekongga, mongOni tarimakasi
lako hano miu. Iyye inggomiu mbera anakia owose se nusantara, iyye
inggomiu mbera mokole ronga susunano bokeo anakia i mekongga.

Mohon permisi kepada pemerintah tertinggi bpk bupati kolaka,wakil bupati


kolaka memohon berkenan bangsawan bokeo tertinggi di wilayah
mekongga,mengucapkan terimakasih kepada kalian.Mohon permisi
kepada kalian semua bangsawan tertinggi di nusantara,yang kami hormati
semua sesepuh kerajaan dan susunan raja bokeo bangsawan di
mekongga.

iyye inggomiu inalolo ina luwako la la panggano ronga perehu rehu ano, i
podedai ariya ku to masima ke ito mongoni paramisi, inedisi pamarenda la
ito pohu uno tini sono tewali niru kundo to onggoto moko lako pasipole
ohawo la otuando tola mende konggo mende perimbu, ni inono pasipole
topoko lakoito.

Yang kami hormati kepada semuanya tanpa terkecuali yang memiliki


pangkat dan jabatan dan tempat tertinggi,bersama ini kita dengarkan
bahwa kami telah memohon isin,kepada pemerintah setempat,telah ada
petunjuk untuk melanjutkan urusan ini apa yang sudah menjadi
tanggungjawab kita untuk dilangsungkan acara tersebut,inilah acara yang
akan dilangsungkan.

Iyye inggomiu ina lolo ina luwuako la la mendo otoro, la la tekonggo mbera
toka ikeni kula mekodunggo iko miu, ilako keeto pasipole.

Yang terterhormat semua adalah semuanya yang sementara duduk, yang


berkumpul sampai disini saja saya sampaikan, silahkan kita laksanakan
urusan.
Bagian I
Kata Arti

Tabea yg di hormati

Inggomiu Kita

ulu sala sebagai pemimpin

mandarono yang berkuasa

olipu daerah wilayah

wonua Bumi

ia Yang

pinoko pejabat tinggi

lalo inggu dengan ini

ronga Bersama

la ladumusioro yang mewakili

tinamuako yang dikatakan

teeni Sebagai

pamarenda Pemerintahan

owose Besar

walimui Ibu

petumbuno sebagai pemimpin


tu satongano sebagai yg berkuasa

lamenggokooro yg berdiri duduk yg tinggi

meita tinggi

mendo otoro Duduk

Nde pekulaso Diantara

mendongano di tengah wilayah

toono Orang

dadio Banyak

laa tudu turun adat

sara Aturan

momboku laloi Menghormati

lako teruntuk kita

keinggomiu Kita

keno kalau

lando ada

osala Jalan atau petunjuk

tewali Untuk dilaksanakan

niruku Dijalani orang banyak

nggo Yang kami laksanakan


mohu Mengiyakan

mondiso Menunjuk

niruku Yang kami akan jalani

to meruhu kami mundur

aki Kami

mo rongo ronggo Mendengar

meteolo Menunggu

pohu Penglihatan

pondiso Petunjuk

mberato Sampai

ka ikeni di sini

masimanggu Permohonan

lako Teruntuk

miu sama kita


Bagian 2

Kata Arti

Bokeo

anakia Raja

monguni Meminta

lako Kepada

hano Sama

inalolo semuanya

Ina luwuako Semuanya

La la panggano yang berkedudukan

Perehu rehu duduk

ano anu

I podedei yang mendengar

ariyakuto sudah memohon

masima permisi

Ke ito sudah memohon

mongoni meminta

inedisi sama pemerintah


La ito sebagai pemimpin

pohu Petunjuknya

tini sono yang dia tunjukkan

Tewali niru kundo Yang biasa dilaksanakan

to onggoto Kita

mokolako laksanakan

Pasipole Urusan

To poko Kita laksanakan

lakaoito Laksanakan

luwuako Semuanya

tekonggo Terkumpul

mberatoka Sampai di sini

Ikeni kula Saya sampaikan

Moko dunggo Saya sampaikan

Iko miu Kepada semua

I lako Kepada kita

Keito Kita laksanakan

Pasipole urusan

Anda mungkin juga menyukai