Anda di halaman 1dari 7

Tidak mendapati pemaparan sistematis tentang bagaimana bisa mengkombinasikan segitiga

dari ketiga pendekatan teoritis pokok hukum, alih-alih berfokus pada dua aspek saja. Cotterell
(2003:132-6) mendiskusikan kritik penting Fuller (1969) terhadap positivisme dalam
kaitannya dengan tradisi common law. Dalam prosesnya, ia membuat beberapa ulasan berarti
yang perlu dianalisis lebih jauh dan pembacaan baru atas karya penting Fuller terkemudian
dalam sebuah konteks global. Khususnya , penekanan Fuller atas hakikat prosesual hukum,
gagasannya bahwa interaksi manusia memberikan tujuan kepada termanifestasi sebagai
“kerja kolaboratif yang muncul dari pandangan bernakar tentang urusan manusia” (Cotterrel,
2003: 134) menunjukkan fokus kepada proses-proses dinamis sosio-hukum. Mendapati
padanan mencolok dengan pemikiran common law tradisional, Cotterrel (2003:135-6)
menyoroti bangkitnya kembali hukum adat sebagai elemen sentral dalam tulisan-tulisan
Fuller di kemudian hari:

Hukum adat, menurut Fuller, terwujud dari pola-pola interaksi sosial mapan yang
menghasilkan struktur stabil berupa harapan-harapann di mana orang-orang bisa
bekerja sama, berunding, berencana dan bertindak. Ilmu sosial menunjukkan betapa
pentingnya struktur-struktur stabil ini –seringkali jauh lebih penting daripada yang
dihasilkan oleh hukum tetapan.

Alur pemikiran ini, yang berfokus pada harapan-harapan,perlu ditelaah lebih jauh. Freeman
(2001:139) menekankan keperluan untuk mengkaji hukum dalam konteks disiplin ilmu
lainnya, tetapi tetap tidak jelas mengenai bagaimana hal ini harus dilakukan. Cotterrel (2004)
baru-baru ini telah memperbarui upaya mengeksplorasi ”komunitas” dalam kaitannya dengan
hukum. Unger (1976:251 ff.) secara eksplisit berfokus pad adat; dalam faktanya ia
menyerukan kepulangan kembali ke hukum adat atau masyarakat kesukuan dan penegasan
kembali soal-soal komunitarian, menekankan “logika situasi” sebagai model penjelasannya
(h. 255). Ini bukannya tidak mirip dengan “kekhasan-situasi” yang diusulkan oleh studi ini.
Sebuah pendekatan berfokus-pluraritas perlu tetap terbuka bagi perspektif-perspektif sosio-
hukum seperti itu dan perlu membangun ruang bagi sebuah perspektif yang berlainan dan
ketidaksepakatan atas nilai-nilai dasar menjadi model teoretis. Di sini pula, klaim-klaim
idealisme universalisasi dan partikularisme realistis beradu kepada dan tidak memungkinkan
adanya kompromi simpel.

Bahkan para warga dari sistem hukum yang dianggap termaju di dunia, dalam masyarakat
liberal modern Barat, merasa perlu memperjuangkan rulw of law dan sekaligus merasa
mustahil meraihnya, lantaran adanya pengalaman bersama berupa perasaan dikitari oleh
ketidakadilan tanpa mengetahui di mana letak keadilan “Unger (1976:175). Menilik
“pengamatan Unger (1976:174) tentang “ketiadaan tatanan yang bisa mengisyaratkan
kegagalan permanen untuk mempertimbangkan interaksi yang dinamis sistemik, dan dengan
begitu luwe dan terbuka, dari segenap tiga elemen pokok pembuatan-hukum. Unger
(1976:249) menekankan bahwa “tidak ada perilaku yang mengandung makna terlepas dari
konteks sosialnya” dan menyerupkannya dengan bahasa sebagai sebuah “patrimoni kolektif”
(h. 249). Roberto Unger (1976:262-3) mengambil kesimpulan berikut dua usulan untuk
memahami kohesi sosial:
Kita bisa mengusahakan sebuah konsepsi umum mengenai ikatan sosial yang
mensintesiskan doktrin-doktrin legitimasi dan instrumentalisme untuk menghindari
kelemahan masing-masingnya atau kita bisa sama sekali tidak mengupayakan tesis
komprehensif karena sia-sia dan mencoba memastikan keadaan di mana masing-
masing pertimbangan tentang tertib sosial paling tepat berlaku.

Unger (1976:262) juga menawarkan jalan tengah, namun pada akhirnya mempertanyakan
“kemampuan kita untuk menguniversalisasikan pengalaman komunitas: (h.265) dan
mendapati “tidak adanya jaminan untuk bisa menjawab secara komplet persoalan teoretis
tertib sosial| (h. 265). Sepertinya begitu kita melepaskan diri dari tekanan-tekanan untuk
berpikir dalam “kotak hitam” dan pasangan-pasangan biner dan menerima jenis metode-
metode pemikiran seperti “konsensus yang bertitik temu “ (Twinning, 2000:69, 71)), banyak
masalah uniformisasi teori hukum yang tidak lagi menjadi masalah- keseragaman hukum
dalam teori adalah hal yang tidak ada artinya. Twinning (2000: 74) menyatakan bahwa
perhatian kepada mereka yang berposisi paling terbelakang (“yang lain” yang tidak
beruntung) adalah yang terpenting, dan dengan begitu mendukung konsep tentang kebaikan
bersama yang lebih tinggi dilawankan dengan individualisme otonom berpusat diri yang
didasarkan atas asumsi kesetaraan yang arbitrer. Ini terang merupakan aspek lain dari
realisme hukum alam sosio-legal yang tidak bisa diabaikan oleh teori yang mengklaim
validitas global.

Dalam upayanya mencari otoritas hukum, Raz (1979:v) mengingatkan kita terhadap harapan-
harapan tidak realistis dan menuturkan bahwa “semua sistem hukum mengandung celah
antara seruan untuk menjalankan diskresi dan untuk mengandalkan pertimbangan ekstra
hukum oleh pengadilan dalam kasus tertentu (h. vii). Telah banyak kita lihat bahwa, alih-alih
membuat klaim universalitas secara tergesa, perbincangan hukum perlu menjaga bahasanya
ketika mengacu kepada hukum “Barat”. Penggunaan istilah “hukum” sendiri langsung
menimbulkan kompleksitas konseptual yang besar. Tantangan pada titik ini adalah untuk
mengeksplorasi lebih dalam, dari perspektif berfokus pluralitas, apa yang mungkin dimaksud
dengan “hukum”. Bagian penutup ini berpuncak pada penyajian sebuah model segitiga
kompleks pluralisme hukum dan interlegalitas.

Manfaat dari upaya pendefinisian “hukum” telah dipertanyakan oleh banyak penulis, dan
konsep itu sendiri telah menimbulkan rasa tidak suka di banyak bagian dunia (Lloyd,
1991:11). Analisis positivis telah dikritik karena berfokus terlalu sempit kepada peraturan,
teori-teori hukum dilihat dengan rasa curiga karena berujung pada “positivisme religius”, dan
pendekatan sosio-hukum menghadapi kekhawatiran terkait kekaburan. Sebelumnya,
Olivecrona (1971:272) berpendapat bahwa “sebuah definisi mengenai apa yang dianggap
sebagai konsep hukum tidak bisa dihasilkan”. Model hukum simpel sebagai sebuah sistem
perturan barangkali tidak lebih dari alat deskripsi (Twining, 2000:37). Adakah dangkal dan
keliru bila kita memandang hukum hanya sebagai terdiri atas totalitas peraturan-peraturan: “
dalam kenyataannya setiap hukum membentuk sebuah sistem” (David dan Brierley, 1978: 18;
Allots, 1980). Sistem demikian mungkin diubah oleh pembuat hukum, tetapi ada sesuatu
yang dianggap universal yang melampaui peraturan-peraturan ini yang juga bisa kita kaji
sebagai “hukum”.
Sebuah pendekatan postmodern akan mempertanyakan upaya universalisasi konsep hukum
tertentu dan alih-alih menekankan bawaan pluralitasnya. Twinning (2000:231) menyatakan
bahwa definisi umum hukum dalam konteks kosnseptual pluralisme hukum mungkin hal
yang keliru, karena “indikator khas “hukunm” lebih muruo dengan sebuah kontinuum atau
perpaduan atribut-atribut kompleks, yang tidak perlu direkayasa agar terpisah dari fenomena
yang saling terkait kecuali karena alasan pragmatis dalam konteks-konteks khusus”. Bell
(2002:236) mencatat bahwa “statemen-statemen generik mengenai fungsi hukum hanya
mengandung nilai yang terbatas. Seorang ahli perbandingan harus mencermati bukan hanya
peraturan dan fungsi, melainkan juga konteks munculnya problema hukum. Hanya dengan
memahami konteks atau latar kelembagaan inilah kita bisa membuat perbandingan yang
efektif.’ Ini mengarah pada argumen bahwa pencairan hukum sebagai sebuah sistem yang
tertata itu sendiri amat problematis. Sampford (1989) berpendapat bahwa secara fundamental
keliru untuk membayangkan hukum sebagai hal yang berdiri sendiri dan sistematis. Twinning
(2000: 35-6) mengatakan bahwa ‘gambaran tentang hukum sebagai unsur dari sebuah
“sabung sosial” pada level nasional maupun internasional amat selaras dengan aspek-aspek
teori globalisasi dan pluralisme hukum yang menentang semua konsepsi “kotak hitam”
tentang hukum’.

Dihadapkan pada perspektif-perspektif yang amat berlainan itu, mungkinkah kita


sampai pada pemahaman bersama atas makna ‘hukum’? Simon Roberts (1979) menyangkal
kegunaan kata ‘hukum’ itu sendiri, berpendapat bahwa analisis atas aspek-aspek tatanan dan
pemeliharaan tatanan demikian melalui pemrosesan sengketa, akan lebih baik bila membahas
realitas kehidupan sehari-hari masyarakat yang idenya tentang peraturan hukum berbeda jauh
dari ide kita. Akan tidak realistis untuk beranggapan bahwa kita bisa mengupayakan definisi
hukum yang seksama dan disepakati’. Bix (1996:8) menyatakan bahwa semuanya bergantung
pada kategori-kategori apa yang kita pilih, karena \persoalannya terkait dengan apa yang
hendak dimasukkan dan apa yang hendak dikesampingkan\. Pendekatan yurisprudensi yang
realistis dengan begitu didorong untuk mempertimbangkan pluralitas di berbagai level dan
interaksi dinamis antarelemen hukum yang berlainan. Namun Yurisprudensi dilukiskan
sebagai sebuah ‘tanah buangan polemik semu’ (Twinning, 2000:39) dan mempertanyakan
tabiat yurisprudensi itu sendiri akan memicu pertempuran ideologi. Freeman (2001: 1)
mengingatkan bahwa:

Bukan hanya setiap ahli hukum memiliki idenya sendiri tentang pokok-bahasan dan
batas-batas yang tepat dari yurisprudensi, melainkan pendekatannya juga ditentukan
oleh kepenganutannya, atau kepenganutan masyarakatnya, oleh apa yang lazim
disebut dewasa ini sebagai ideologi-nya. Tidak pelak lagi faktor-faktor ideologi
tersebut kerap hanya tersirat alih-alih diakui secara terbuka.

Sementara dampak dari pendidikan dan lingkungan profesi mereka tampaknya telah
membungkam para ahli hukum, ‘kaitan erat hukum dengan struktur sosial tak terhindarkan
lagi mencuatkan konteks ideologi pada teori hukum ‘(Freeman, 2001: 2) dan dengan begitu
mengarah pada pendekatan yang berbeda-beda dan politik remeh-temeh. Harris (1980:3)
menyebutkan bahwa yurisprudensi ‘adalah pengepul, di samping gado-gado; ia tidak
memiliki batas daerah penyelidikan’, mengidentifikasi definisi hukum sebagai problematika
sentral dalam penyelidikan yurisprudensi (h.5):

Apakah label menjadi soal ketika sampai pada urusan kata ‘hukum’ itu sendiri-
sebuah pertanyaan yang amat kontroversial dalam area ‘hukum primitif’ dan ‘hukum hidup’ ..
– jelas bahwa label tidak menjadi soal dalam menentukan bidang yang tepat bagi
‘jurisprudensi’, ‘teori hukum’ dan ‘filsafat hukum’. Yang menjadi soal adalah pertanyaan
yang tak-mau-pergi.

Freeman (2001:3) menawarkan bantuan dalam pendefinisian yurisprudensi ini,


mengindikasikan apa yang mungkin dimasukkan dan dikesampingkan dari sebuah definisi-
kerja tentang hukum:

Yurisprudensi melibatkan studi tentang persoalan-persoalan teoritis umum terkait


tabiat hukum dan sistem hukum, tentang relasi hukum dengan keadilan dan moralitas dan
tentang tabiat sosial hukum. Sebuah diskusi yang tepat mengenai persoalan-persoalan seperti
ini melibatkan pemahaman dan penggunaan teori-teori dan temuan filosofis dan sosiologis
dalam penerapannya pada hukum. Sebuah studi tentang yurisprudensi harus mendorong
mahasiswa untuk mempertanyakan asumsi-asumsi dan untuk mengembangkan pengertian
yang lebih luas atas tabiat dan kinerja hukum. Persoalan tentang teori harus timbul dalam
praktik hukum, meskipun mungkin tidak mendapat jawaban yang amat canggih.

Statemen ini jelas mengambil perspektif holistik tentang hukum, namun tidak secara
eksplisit mempertimbangkan hukum di luar wilayah eurosentris. Selanjutnya Freeman (2001:
10) dengan jeli mencatat bahwa ‘sulit untuk menandai yurisprudensi; ada banyak ruangan di
dalam gedungnya’. Kita memasuki gedung besar ini, menyadari adanya resiko keterpusatan
pada peraturan, dengan asumsi familiar bahwa hukum adalah sekumpulan peraturan yang
dibuat dan diberlakukan oleh negara melalui berbagai badan dan lembaga resmi. Penerapan
praktis peraturan dalam realitas sosial menciptakan proses-proses interaksi dinamis yang
bukan hanya dipengaruhi oleh negara, menuntut analis untuk melihat melampaui positivisme.

Sementara positivisme tidak cukup untuk memahami ;hukum’m ia tetap menjadi


pendekatan dominan, namun penetapan-peraturan statist tidak sesuai dengan cara-cara
kebanyakan orang di dunia mengalami hukum dan menangani sengketa dalam kehidupan
sehari-hari. Selain itu, dalam kenyataan, yang kurang direnungkan oleh para ahli hukum,
bahwa kebanyakan sengketa tidak pernah secara formal ditempuh melalui jalur ‘hukum’.

Kareakter normatif hukum sudah jelas dengan sendirinya. Secara umum hukum
adalah ‘peraturan-peraturan atau norma-norma yang merumuskan tata perilaku dan
menunjukkan apa yang seharusnya terjadi selazimnya’ (Freeman, 2001:11). Definisi hukum
ini masih terlihat agak positivis, bahkan Austinian. Farrar dan Dugdale (1990: 246)
mengambil pendekatan yang lebih relativis, mengakui bahwa ‘hukum lebih merupakan pada
umumnya, dan bahwa beragam kepentingan dan sikap para elit demikian mungkin
menghalangi upaya generalisasi’ dengan menekankan tabiat purposif hukum, Harris (1980:
130) mencatat bahwa semua sistem hukum berupaya mengatur perilaku, namun serta merta
mengakui bahwa ‘sampai taraf tertentu semua sistem hukum adalah gagal menurut sebagian
kriteria ‘ (h. 131). Hukum jelas-jelas gagal mengatur perilaku ketika misalnya, sebagian
orang mabuk dan sambil mengemudi dengan sengaja melanggar peraturan hukum dan
berharap untuk tidak tertangkap. Sampai sejauh mana hukum bisa mencegah orang dari
pelanggaran atau bisa mengarahkan tindakan adalah persoalan kuno dengan ciri global.

Fokus banyak pihak kepada peraturan dan lembaga-lembaga hukum tetapan, dipadu
dengan kesadaran bahwa kehidupan dan hukum mungkin tidak bersesuaian, menimbulkan
kompleksitas lebih jauh tentang bagaimana ‘hukum’ bisa dirumuskan. Jelas bahwa orang bisa
menggunakan norma dan sistem peraturan yang tidak didefinisikan sebagai hukum, namun
dengan efek yang terlihat sama seperti efek perintah atau regulasi hukum. Jika definisi hukum
kurang lebihnya menuruti kemauan dan khas-kultur, apakah menjadi soal bila norma atau
sistem peraturan tertentu bisa di definisikan sebagai ‘hukum’ atau tidak? Di mana kita hendak
membuat garis perbatasan? Teori-teori positivisme analitis Barat yang dominan memandang
hukum sebagai hal yang terpisah dari lembaga-lembaga sosial dan norma-norma etika-
namun ini hanyalah salah satu cara memandang hukum. Tidakkah ideologi, politik, ekonomi,
faktor-faktor sosio-kultural dan agama telah memainkan peran menentukan dalam
pembentukan sistem hukum dimanapun di dunia? Sika begitu, lalu bagaimana kita
memahami hukum dan mengisolasinya sebagai gejala tersendiri dalam sebuah teori koheren
yang valid secara global?

Bab 2, bahwa diskusi Allot (1980) tentang hukum dan batas-batasnya berakhir pada
argumen yang memutar, dengan akibat bahwa hukum adalah hukum karena seseorang
mengatakannya sebagai hukum. Definisi-definisi demikian tetap tidak berarti (dan berbahaya)
kecuali kita menerima sejak awal bahwa kemungkinan ada banyak agen yang menyatakan
apa itu hukum. Di tengah ketiadaan definisi hukum yang disepakati secara global, di bawah
dicobakan sebuah upaya untuk mengembangkan sebuah definisi berfokus-pluralitas dengan
memaparkan asumsi-asumsi yang dianggap dominan di atas meja untuk dianalisis lebih jauh.
Namun janganlah kita keliru: jika tidak ada gunanya mengusahakan sebuah definisi inilah
yang seragam, karena ‘hukum’ termanifestasi dalam begitu banyak cara dan di mana-mana
bersifat khas-kultur, upaya ini hanya akan menghasilkan sekumpulan pemikiran berujung-
terbuka, bukan karena kita tidak bisa mengatasi tantangan, melainkan karena tabiat pokok-
bahasannya. Itu merupakan dilema teori hukum yang sadar-pluralitas: di sepanjang masa ia
harus tetap sedemikian sadar-pluralitasnya sehingga tidak satu pun teori hukum yang
menonjol yang diperbolehkan untuk mendominasi. Inilah sebabnya mengapa kita
membutuhkan sebuah model teoritis yang bisa mengikutkan dan mempertautkan semua
pendekatan utama.

Perenungan tentang hukum dalam konteks global menuntun kita memasuki labirin
intelektual (Morrison, 1997:3), karena hukum bisa mengambil berbagai rupa, bisa ‘dibuat’
dengan sejumlah cara, dan bisa muncul dari sumber-sumber yang cukup berbeda dan secara
potensial berlawanan. Hukum selalu merupakan sesuatu yang partikular, bukan hanya sebuah
gejala umum, dan ia khas-kultur karena manifestasinya bergantung pada latar-latar sosio
kultur yang berbeda seiring waktu dan dari satu tempat ke tempat yang lain. Mengasumsikan
secara umum bahwa hukum adalah ‘sekumpulan peraturan-peraturan yang dibuat dan
dijalankan oleh sekelompok orang tertentu’ (alih-alih langsung membatasinya dengan cara
legosentris hanya pada hukum negara, atau sekedar mengatakan bahwa hukum adalah
sekumpulan peraturan-peraturan yang baik), kita melihat bahwa definisi luas ini sudah
mengadung tiga elemen dasar di dalamnya. Elemen pertama bisa diekspresikan dengan
berbagai cara, menggunakan kata-kata dalam bahasa inggris dengan nuansa yang sedikit
berlainan. Jadi, ungkapan simpel ‘sekumpulan peraturan-peraturan’ kita bisa
menggantikannya dengan :

 Koleksi peraturan-peraturan
 Sistem norma-norma
 Serangkaian peraturan-peraturan, norma-norma atau konvensu-konvensi

Apapun bentuk kata yang kita gunakan, elemen pertama definisi ini tidak memuat
satu unit tunggal, namun serta merta sebuah kombinasi dari elemen-elemen yang mungkin
atau mungkin tidak koheren, sebuah pluralitas. Definisi yang potensial luas ini tidak
menjelaskan apa-apa tentang tabiat interaksi antar peraturan itu, kecuali kita ingin
menambahkan perbedaan signifikan ke dalam ungkapan ‘kumpulan peraturan-peraturan’ dan
‘sistem peraturan-peraturan’. Jika kita terpancing untuk mengartikan bahwa kumpulan
peraturan-peraturan itu pasti dibuat oleh seseorang atau sekelompok orang yang berwenang
melakukannya, maka kita kembali ke cul-de-sac (jalan buntu) legosentris, di mana hukum
adalah hukum hanya karena ia dikatakan atau diakui sebagai hukum. Dalam sebuah definisi
luas yang sadar secara global, hukum sebagai sekumpulan peraturan menurut pembawaan
tetap berupa gejala beragam dan plural yang bisa mengambil banyak bentuk. Di sepanjang
masa, banyak hal yang bergantung pada asumsi kita yang tak terkatakan tentang pembuatan-
hukum (Unger, 1976:11).

Jika kita ingin memberikan lingkup yang lebih sempit kepada definisi ini dan men-
depluralisasi-kannya, upaya memangkas keragaman di dalam kumpulan peraturan-peraturan
tidak akan membantu. Entah kita berbicara tentang ‘sekumpulan peraturan-peraturan’ atau
‘sekumpulan kecil peraturan-peraturan’ tidak ada bedanya pada pokoknya; sekumpulan atau
serangkaian kecil peraturan-peraturan’ tidak ada bedanya pada pokoknya; sekumpulan atau
serangkaian kecil peraturan-peraturan secara pembawaan tetap bersifat plural. Jadi akankah
berbeda jika kita memandang ‘hukum’ sebagai sebuah peraturan tungga;? Definisinya hanya
akan terbaca bahwa hukum adalah sebuah peraturan. Seperti definisi lebih luas seblumnya,
hal ini tidak menjelaskan jenis peraturan apa yang kita maksudkan. Namun bisakah kita
mendefinisikan hukum dalam bentuk tunggal, atau apakah hukum lebih dari satu peraturan,
bentuk tunggal, atau apakah hukum selalu lebih dari satu peraturan, dan selalu berupa
pluralitas, sehingga kategori kecil ‘hukum’ sebagai ‘ketentuan normatif partikular dari sebuah
Hukum’ (Allot, 1980:2) ada, namun tidak pernah secara tersendiri? Menanyakan apakah
sebuah peraturan tunggal adalah hukum, kita mendapati bahwa bisa jadi demikian, namun
tidak semua peraturan tunggal adalah hukum, begitu pula tidak semua hukum berupa
peraturan tunggal adalah hukum, begitu pula tidak semua hukum berupa peraturan tunggal.
Pengupayaan universalitas mensyaratkan definisi hukum lebih luas yang membutuhkan
pluralitas interaktif alih-alih satu entitas tunggal. Pencermatan kita membuahkan pendapat
bahwa kita kemungkinan lebih terkesan oleh definisi ‘hukum’ yang mempertahankan
gambaran tentang sistem peraturan-peraturan alih-alih sebuah peraturan tunggal. Melangkah
lebih jauh melalui analisis ini, selanjutnya kita bisa menghadapi elemen kedua dari definisi
dasar yang diberikan di atas dan menanyakan bagaimana hukum sebagai sekumpulan
peraturan-peraturan sampai muncul atau efek apa yang dihasilkannya.

Sementara model hukum dominan tampaknya adalah ‘hukum’ yang pertama dan terutama
adalah apa yang telah yang telah digariskan oleh negara, dalam bentuk apapun, sebagai
sekumpulan peraturan yang berlaku bagi para warganya (dan, dalam banyak kasus, bagi
semua orang yang tinggal di dalam yurisdiksi negara tersebut), sebuah definisi hukum yang
lebih luas juga perlu mempertimbangkan keberadaan susunan peraturan-peraturan yang
dibuat oleh kelompok-kelompok orang bagi mereka sendiri, dan kumpulan hukum-hukum
agama dan konsep-konsep moral atau etika. Bilamana sebuah komunitas tertentu, barangkali
di dalam sebuah negara, atau barangkali di tengah ketiadaan negara (meskipun jarang dewasa
ini) membuat susunan peraturan-peraturan bagi mereka sendiri, kita bisa berbicara tentang
adat-istiadat, norma-norma sosial atau berbagai tipe bidang hukum semi-otonom seperti yang
digagas Moore (1978). Pertanyaan penting-nya, sekali lagi, tetap apakah kita siap menerima
bahwa adat-adat dan norma-norma demikian adalah sebuah bentuk hukum, di mana mereka
mungkin tidak lagi dipandang sebagai adat melainkan sebagai ‘hukum resmi’, sementara adat
lainnya akan dipandang hanya sebagai norma-norma lokal tanpa nilai hukum mengikat.

Anda mungkin juga menyukai