Makalah Agama Hindu
Makalah Agama Hindu
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari politik dalam Perspektif Hindu.
2. Untuk mengetahui sumber-sumber ajaran Hindu tentang Politik
(Nitisastra).
3. Untuk mengetahui agama Hindu dalam kehidupan politik berbangsa dan
bernegara?
4. Untuk mengetahui respon masyarakat bali terhadap politik dalam
perspektif Hindu.
1.4 Manfaat
1. Bagi lembaga, bisa dijadikan sebagai pengetahuan untuk para mahasiswa
tentang politik dalam perspektif Hindu.
2. Bagi pembaca, bisa dijadikan sebagai bahan acuan dalam pembuatan
makalah selanjutnya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
1955, juga menimbulkan ketegangan yang sama. Ketegangan ini memuncak pada
tahun 1965. Pada saat itu terjadi pembunuhan besar-besaran di Bali. Pada masa
orba perpolitikan seperti itu dikritik kemudian rezim yang berkuasa menawarkan
wacana pembangunan sebagai antithesis dari era perpolitikan seperti itu pada
masyarakat Bali. Pada saat inilah keamanan dan kenyamanan mendapatkan
tempat di Bali. Pariwisata berkembang. Orang-orang kaya baru kemudian lahir di
Bali. Akan tetapi keadaan ini menimbulkan berbagai ketidakadilan sosial.
Sehingga muncul gerakan politik pada tahun 1999. Gerakan politik ini sejalan
dengan gerakan reformasi yang menggejala secara nasional. Gerakan ini
mendapat puncaknya ketika simbol-simbol ketertindasan yang diwakili PDI P
memenangkan pemilu 1999 dengan sangat meyakinkan di Bali.
Namun, gerakan ini ternyata dirasakan belum bermanfaat kepada masyarakat Bali.
Sebab perekonomian masyarakat mulai merosot akibat berbagai tragedi di dunia
pariwisata, seperti bom dan hal-hal lainnya. Pada kondisi seperti itu masyarakat
kemudian melihat peningkatan taraf hidup kalangan politisi. Sehingga
kefrustasian sosial terhadap gerakan politik kemudian semakin meluas. Mereka
beranggapan jika gerakan seperti itu hanya akan menguntungkan sekelompok
orang. Pada kondisi seperti inilah, lahir sebuah pragmatism politik bahwa
siapapun yang bisa memberikan uang akan didukungnya. Sebab mereka tak yakin
pasca pemilu akan mendapatkan bantuan seperti itu. Tetapi politik sebenarnya
sebuah kenyataan dalam kehidupan bernegara. Proses pergantian kekuasaan
pemerintahan Negara harus terus terjadi. Proses ini bagaimanapun juga akan
menampung dinamika masyarakat Bali. Jadi perkembangan kesadaran masyarakat
akan tercermin dari pilihan-pilihan politiknya.
Bagaimanapun juga sebuah masyarakat tentulah mengharapkan perbaikan
yang terus menerus. Setiap hari baru haruslah melahirkan perbaikan. Sehingga
proses pengulangan yang dalam kepercayaan masyarakat Bali disebut punarbhawa
(kelahiran berulang-ulang) menuju kepada perbaikan, yaitu tercapainya suatu
keadaan yang dilukiskan sebagai satyam (kebenaran), siwam (kesucian) dan
sundaram (keharmonisan atau keindahan). Keadaan inilah yang dilukiskan oleh
bhagawad gita sebagai brahma stithi (keadaan Brahman/Tuhan). Keadaan inilah
yang hendak diwujudkan oleh masyarakat Bali di dalam kehidupan ini atau
4
kehidupan yang akan datang (alam setelah kematian). Keadaan seperti ini tentulah
tidak bisa diwujudkan dengan pragmatisme politik yang seperti itu. Apalagi
pragmatism politik tersebut jelas-jelas mengarah kepada kepentingan-kepentingan
material. Bhagawad gita menyebutkan, ketertarikan kepada kepentingan-
kepentingan material seperti ini akan menjerumuskan masyarakat kepada
kehancuran sang diri. Karena itulah bhagawad gita kemudian menawarkan jalan
hidup dengan mengontrol objek-objek indria. Sehingga seseorang akan bisa
melakukan meditasi untuk mencapai ketenangan atau kedamaian. Dengan
ketenangan atau kedamaian seseorang akan mencapai kebahagiaan.
Prinsip seperti inilah yang dianggap sebagai jalan hidup yang benar untuk
mencapai kebahagiaan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana
mengimplementasikan ide tersebut dalam realitas sosial yang berkembang atau
dalam pragmatisme politik yang terjadi. Pertanyaan ini kemudian akan semakin
lengkap jika masyarakat bisa menjawab sebuah pertanyaan, apakah Negara
memang masih diperlukan? Untuk mengantarkan masyarakat mencapai
kebahagiaan sampai saat ini pola pikir masyarakat belum lepas dari keyakinannya
terhadap sebuah institusi yang bernama Negara. Jadi tidak ada pilihan lain bagi
masyarakat Bali, kecuali mengimplementasikan prinsip hidupnya dalam
kehidupan bernegara. Oleh karena itu masyarakat Bali perlu membangun kembali
kesadarannya dalam bernegara, yaitu tercapainya tujuan-tujuan bernegara yang
secara gambling dilukiskan dengan kata jagadhita (kebahagiaan dunia).
Kebahagiaan dalam keyakinan masyarakat Bali tidak sama dengan
terakumulasinya kekayaan. Kebahagiaan adalah sebuah kondisi bathin dimana
seseorang tidak merasakan ketertekanan, penderitaan dan sejenisnya. Dalam
konteks ini, agama Hindu menawarkan pola hidup sederhana. Sebab hanya
dengan pola seperti ini sebuah masyarakat akan selallu ingat dengan tujuannya
yang tertinggi yaitu kebahagiaan. Jika mereka memenuhi indria – indrianya maka
mereka akan terjebak pada maya atau keadaan seolah – olah yang semakin
menjerumuskan masyarakat.
Dalam konteks pemikiran seperti ini, pragmatisme politik tergolong sebagai
pemikiran yang di pengaruhi maya atau keadaan yang seolah – olah. Bantuan
keuangan seakan – akan telah memberikan kontribusi bagi masyarakat. Padahal
5
kenyataannya itu bisa sebaliknya. Sebab tuntutan seperti ini, bukan tidak mungkin
akan menyeburkan budaya korupsi di kalangan penyelenggara pemerintahan.
Sebab mereka memerlukan modal yang besar untuk duduk pemerintahan. Korupsi
seperti ini tentu akan mengurangi jatah bagi pembangunan kesejahteraan
masyarakat. Pada kondisi seperti ini pragmatism politik seperti itu tidak akan
membawa kebahagiaan, tetapi malah sebaliknya. Jadi berkenaan dengan hal ini
masyarakat Bali perlu melakukan gerakan hidup sederhana dengan
meminimalisasi keindahan-keindahan material pada berbagai aspek kehidupan.
Bahkan masyarakat Bali perlu juga memformat sebuah kesedrhanaan dalam
pembangunan tempat-tempat suci. Sehingga ini tidak menjadi alasan untuk
melakukan pragmatism politik yang jelas akan menjerumuskan masyarakat.
Agama Hindu terbangun untuk menyelamatkan masyarakat dari penderitaan,
bukan sebaliknya untuk menjerumuskan masyarakat ke dalam lembah
penderitaan. Karena itulah tidak ada alasan agama apapun yang busa
membenarkan sebuah pragmatisme politik seperti itu. Agama Hindu justru
menyemangati masyarakat Bali untuk membela kebenaran atau nindihin
kepatutan. Jadi proses politik yang terjadi semestinyalah digerakkan dalam
semangat seperti itu. Sehingga mereka yang kemudian duduk dipemerintahan
Negara benar-benar orang yang tepat. Sebab mereka mengemban tugas untuk
melenyapkan noda-noda masyarakat(ksyanikang papa nahan prayojana –menyitir
kakawin Ramayana ).
Dalam bahasa ritual masyarakat bali, proses politik ini haruslah bias menjadi
proses penyucian atau sudamala bagi masyarakat bali. Sebab dalam pandangan
agama Hindu, yuddha (peperangan) juga dipandang sebagai proses penyucian.
Jadi, segala aktivitas didunia ini bias dipandang dalam khasanah penyucian
tersebut termasuk proses kerja. Karena itulah proses politik yang terjadi mestilah
dipandang sebagai proses penyucian, sehingga akhir dari proses ini tidak
mendudukan orang-orang yang ternoda dalam pemerintahan.
6
2.2 Sumber-Sumber ajaran Hindu tentang Politik (Nitisastra)
1. Kitab-Kitab Veda (Sruti)
Bila dicermati pemikiran tentang Nitisastra sudah terdapat dalam
kitab-kitab Sruti. Sebagai diketahui masing-masing kitab sruti mempunyai
Upaveda tersendiri. Kitab Upaveda dari Rgveda adalah kitab Ayurweda,
Kitab Upaveda dari Yajurveda adalah kitab Dhanurveda, Kitab Upaveda
dari Samaveda adalah Kitab Gandharvaveda dan kitab Upaveda dari
Atharvaveda adalah kitab Arthaveda. Kitab Arthaveda dikenal sebagai
kitab yang memuat pengetahuan tentang pemerintahan, ekonomi,
pertanian, ilmu sosial dan lain sebagainya. Jadi Arthaveda merupakan
kitab Sruti yang memuat ajaran Nitisastra.
2. Kitab-Kitab Smerti
Kitab Nitisastra tersebar dalam kitab-kitab Smerti. Kitab
Manava Dharmasastra memuat ajaran-ajaran Bhagavan Manu yang
dihimpun dam disusun oleh Bhagavan Bhrigubanyak sekali memuat
ajaran-ajaran Nitisastra. Dalam Adhyaya VII memuat berbagai peraturan
tentang kenegaraan sedangkan pada Adhyaya VIII memuat berbagai aspek
hukum yang juga berkaitan dengan upaya penyelenggaraan pemerintahan
Negara. Dalam kitab ini kita menemukan penggunaan istilah Raja Dharma.
3. Kitab-Kitab Itihasa
Kitab Ramayana dan Kitab Mahabharata merupakan dua kitab
yang memuat dua epos besar yang juga disebut Viracarita. Kedua kitab ini
menceritakan tentang kepahlawanan yang keseluruhannya memuat tentang
etika dan cara-cara mengelola pemerintahan Negara. Itihasa Ramayana
dan Mahabharata sangat berkaitan dengan sejarah perkembangan Agama
Hindu dimasa lalu. Dapat dikatakan keseluruhan kitab Ramayana dan
Mahabharata memuat ajaran tentang Nitisastra. Dalam Ramayana
Kakawin, misalnya yang sangat popular di Indonesia terdapat uraian
tentang asas-asas kepemimpinan yang disebut Asta Brata. Uraian tentang
ajaran Asta Brata ini sebelumnya sudah termuat dalam kitab Manava
7
Dharmasastratetapi belum disebut Asta Brata. Seperti diketahui kekawin
Ramayana diubah pada jaman Kerajaan Hindu di Indonesia secara
tradisional di, misalnya yang sangat popular di Indonesia terdapat uraian
tentang asas-asas kepemimpinan yang disebut Asta Brata. Uraian tentang
ajaran Asta Brata ini sebelumnya sudah termuat dalam kitab Manava
Dharmasastratetapi belum disebut Asta Brata. Seperti diketahui kekawin
Ramayana digubah pada jaman Kerajaan Hindu di Indonesia secara
tradisional dianggap digubah oleh Empu Yogiswara.
4. Kitab-Kitab Purana
Kitab Purana dikenal pula sebagai kitab yang memuat ceritera-
ceritera kuno yang menceritakan kejadian-kejadian di masa lalu. Kitab
Purana memuat cerita dewa-dewa, raja-raja, dan rsi-rsi pada jaman kuno.
Kitab-Kitab Purana ini banyak jumlahnya dan bila dicermati di dalamnya
banyak memuat ajaran tentang Nitisastra.
8
2.3 Kontribusi Agama Hindu dalam Kehidupan Politik Berbangsa dan
Bernegara
9
2.4 Respon Masyarakat Bali terhadap Politik dalam Perspektif Hindu
Menurut kitab suci Weda, Politik merupakan cara untuk mencapai tujuan
(menegakkan dharma). Dimana dalam pelaksanaan untuk mencapai tujuan harus
tetap berlandaskan akan agama serta moral dan etika. Karena itu, respon
masyarakat Bali berpendapat tidaklah dibenarkan jika massa parpol melakukan
persembahyangan di pura-pura dengan tujuan politis apalagi dilengkapi dengan
atribut parpol. Kecuali jika massa parpol tersebut ke pura dengan busana yang
tepat tanpa tendensi politis melainkan semata-mata hanya untuk memohonkan
kerahayuan dan kerahajengan bersama. Terlebih lagi bila disertai dengan
dharmawacana yang menyuarakan pesan-pesan moral (bukan pesan sponsor
parpol). Masyarakat Bali boleh disebut masyarakat yang mengambang, karena tak
punya pemimpin yang mengayomi masalah moral, termasuk masalah agama dan
politik. Kalaupun ada tokoh-tokoh agama di pedesaan, seperti pengurus Parisada
atau pemimpin warga atau pemuka adat termasuk pemangku dan sulinggih.
Namun, kebanyakan dari mereka tak bisa meredam hura-hura yang berbau politik,
karena para elite politik sudah memberikan banyak hal yang menggiurkan, uang
untuk membeli minuman keras, posko untuk berkumpul, bensin, baju kaos dan
atribut partai untuk identitas kelompok. Adanya era multi partai seperti sekarang
ini sungguh mencemaskan banyak orang. Kecemasan orang memang beralasan,
karena masyarakat Bali yang buta politik tidak paham bagaimana menyalurkan
aspirasinya di era multipartai ini. Berbeda partai dianggap musuh. Padahal partai-
partai yang beda itu sesungguhnya punya platform yang sama. Semestinya orang
Bali yang mayoritas Hindu bersatu, meskipun partainya berbeda namun asasnya
sama. Sehingga, orang Bali khususnya umat Hindu perlu belajar politik agar tidak
dipermainkan oleh elite politik yang hanya mementingkan kekuasaan. Dan perlu
ditekankan agar umat Hindu tetap rukun, saling asah, saling asih dan saling asuh
menghadapi perbedaan partai.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
11
3.2 Saran dan Kritik
Kami sebagai penulis juga ingin kritik konstruktif Anda. Sehingga kita
bisa membuat kertas yang lebih baik di masa depan.
12
Daftar Pustaka
13