Anda di halaman 1dari 26

Laboratorium / SMF Kedokteran Radiologi REFERAT

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

PNEUMONIA

Oleh
Andi Erika Safitri
NIM. 1910027015

Dosen Pembimbing
dr. Abdul Mu’ti, M.Kes Sp.Rad

Laboratorium / SMF Ilmu Radiologi


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
September 2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang sudah melimpahkan
rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul ‘’Pnemumonia’’. Referat ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik
di Laboratorium Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Abdul Mu’ti, M.
Kes, Sp.Rad selaku dosen pembimbing klinis yang telah memberikan banyak
bimbingan, perbaikan dan saran penulis sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan
baik. Penulis menyadari masih terdapat banyak ketidaksempurnaan dalam referat ini,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan referat ini.
Akhir kata penulis berharap semoga referat ini menjadi ilmu bermanfaat bagi para
pembaca.

Samarinda, September 2019

Penulis,

Andi Erika Safitri

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 2
BAB I ........................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................ 4
1.2 Tujuan ............................................................................................................................. 5
BAB II....................................................................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................... 6
2.1 Anatomi paru-paru .......................................................................................................... 6
2.2 Definisi............................................................................................................................ 8
2.3 Epidemiologi ................................................................................................................... 8
2.4 Etiologi.......................................................................................................................... 10
2.5 Klasifikasi ..................................................................................................................... 10
2.6 Patogenesis.................................................................................................................... 11
2.7 Manifestasi Klinis ......................................................................................................... 12
2.8 Diagnosis....................................................................................................................... 12
2.9 Gambaran Radiologi ..................................................................................................... 14
2.10 Diagnosa Banding ....................................................................................................... 18
2.11 Penatalaksanaan .......................................................................................................... 20
2.12 Laporan Kasus ............................................................................................................ 22
BAB III ................................................................................................................................... 24
KESIMPULAN ....................................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 25

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pneumonia merupakan infeksi akut yang mengenai jaringan parenkim paru
yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti virus, jamur, bakteri
(Setiawati, 2014). Pneumonia merupakan konsolidasi paru-paru yang terjadi karena
eksudat inflamasi yang umumnya merupakan hasil dari agen infeksi (Herring, 2016).
Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang lanjut usia (lansia) dan sering
terjadi pada penyakit paru obstruktif (PPOK). Pneumonia juga dapat terjadi pada
pasien dengan penyakit lain seperti diabetes mellitus (DM), payah jantung, penyakit
arteri koroner, keganasan, insufisiensi renal, penyakit saraf kronik, dan penyakit hati
kronik. Faktor predisposisi lain antara lain berupa kebiasaan merokok, pasca infeksi
virus, diabetes mellitus, keadaan imunodesifiensi, kelainan atau kelemahan struktur
organ dada dan penurunan kesadaran. Juga adanya tindakan invasif seperti infus,
intubasi, trakeostomi, atau pemasangan ventilator (Setiawati, 2014).
Menegakkan diagnosis pneumonia masih merupakan tantangan bagi para
klinisi mengingat tampilan klinis yang tidak lengkap dan tidak spesifik. Gejala dan
tanda pneumonia yang khas sering tidak didapatkan pada pasien usia lanjut. Gejala-
gejala saluran pernapasan seperti batuk dan sesak napas lebih jarang dikeluhkan pada
kelompok usia yang lebih tua. Sementara itu, gejala berupa nyeri dada pleuritik dan
hemoptisis lebih banyak pada kelompok usia muda (Sari, C., Harimurti, 2016).
Pneumonia menyerang manusia sekitar 450 juta kasus tiap tahunnya. Angka
kematian sekitar 1.4 juta pertahunnya secara global (7% penyebab kematian di dunia).
Angka kematian terbanyak pada usia anak-anak dan orang tua (>75 tahun). Angka
kejadian pneumonia lebih sering terjadi negara berkembang dibandingkan negara
maju. Menurut hasil RISKESDAS 2013, pneumonia menduduki urutan ke-9 dari 10
penyebab kematian utama di Indonesia. Berdasarkan data RISKESDAS 2018
prevalensi pneumonia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan adalah sekitar 2%
sedangkan pada tahun 2013 adalah 1.8% (PDPI, 2018).

4
Pneumonia perlu mendapatkan penanganan yang tepat mengingat penyakit ini
masih menjadi salah satu penyebab permasalahan kesehatan di Indonesia. Oleh karena
itu, diagnosis serta penanganan yang tepat dan efektif terhadap penyakit ini perlu
dilakukan agar menurunnya angka kejadian pneumonia, khususnya di Indonesia.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan secara umum mengenai pneumonia. Adapun tujuan secara khususnya
adalah untuk mengetahui pemeriksaan radiologi apa saja yang dapat dilakukan dan
melihat gambaran radiologi yang terdapat pada pneumonia sehingga dapat
mempermudah menegakkan diagnosis serta membedakan gambaran radiologi
pneumonia dengan diagnosis banding lainnya.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi paru-paru

Gambar 2.1 Anatomi rongga thorax

Gambar 2.2 Anatomi cabang pada bronkus pulmonalis

6
Gambar 2.3 Anatomi paru-paru bagian anterior dan posterior tampak medial dan
lateral
Saluran pernapasan dibagi menjadi bagian atas dan bagian bawah. Saluran
pernapasan atas terdiri dari cavitas nasi dan faring. Saluran pernapasan bawah terdiri
dari laring, trachea, dan paru-paru (Waschke, Friedrich, 2012).
Menurut Waschke, Friedrich (2012) paru-paru dibagi dua yaitu paru kanan dan
paru kiri, paru kanan mempunyai tiga lobus dan paru kiri mempunyai dua lobus. Paru-
paru memiliki fissura untuk membagi lobus. Pulmonalis dextra terbagi atas 3 lobus
yaitu superior, media, dan inferior dan pulmonalis sinistra terbagi atas 2 lobus yaitu
superior dan inferior. Pulmonalis dextra memiliki 2 fissura yaitu fissura oblique yang
membagi lobus superior dengan lobus media, fissura horizontalis yang membagi lobus
media dengan lobus inferior dan pulmonalis sinistra hanya memiliki 1 fissura yaitu
fissura oblique yang membagi lobus superior dengan lobus media (Tortora, Derrickson,
2017).
Trakea terbagi menjadi dua bronkus utama yaitu bronkus principalis dextra dan
bronkus principalis sinistra. Bronkus principalis dextra terletak lebih vertikal, pendek,
dan lebih luas daripada bronkus principalis sinistra. Akibatnya, aspirasi suatu objek
lebih sering masuk ke principalis dextra daripada sinistra. Seperti trakea, bronkus
utama (bronkus principalis) mengandung cincin kartilago inkomplit dan dilapisi oleh
epitel pseudostratificatum columnar bersilia. Ujung trakea yang memisahkan bronkus

7
principalis dextra dan sinistra disebut karina. Bronkus principalis akan bercabang lagi
menjadi tiga dan dua bronkus lobaris masing-masing di sisi kanan dan kiri. Selanjutnya
bronkus lobaris mencabangkan bronkus segmentalis. Bronkus segmentalis kemudian
bercabang menjadi bronkiolus dan bronkiolus akan bercabang menjadi bentuk yang
lebih kecil yang sering disebut bronkiolus terminalis yang merupakan segmen terakhir
dari bagian konduksi sistem respiratorik yang memiliki volume 150-170 ml. Setiap
bronkiolus terminalis membuka ke dalam asinus pulmonal. Semua bagian asinus berisi
alveoli sehingga asinus termasuk dalam bagian pertukaran gas pada sistem respiratorik.
(Wachke, Friedrich, 2012 & Tortora, Derrickson, 2017).
Setiap paru tertutup dan terlindungi oleh lapisan lapisan membrane serosa yang
disebut membran pleura atau pleura. Pleura terdiri atas 2 bagian yaitu pleura parietal
yang terletak pada dinding thoraks dan pleura visceral yang melapisi paru-paru,
diantara keduanya terdapat rongga yang disebut cavum pleura yang mengandung
cairan untuk membantu dalam sistem respirasi (Tortora, Derrickson, 2017).

2.2 Definisi
Pneumonia merupakan infeksi yang terjadi pada parenkim paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme, bahan kimia, lesi kanker, dan radiasi ion (Malueka,
2011). Istilah pneumonia tidak hanya digunakan untuk satu penyakit melainkan sebuah
grup infeksi spesifik dengan perbedaan epidemiologi, patogenesis, dan manifestasi
klinis. (Mackinze, 2016).

2.3 Epidemiologi
Penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan yang
tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek
umumberhubungan dengan indeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (PK) atau
di dalam rumah sakit/pusat perawatan pneumonia nosocomial/PN atau pneumonia di
pusat perawatan/PPP). Pneumonia yang merupakan bentuk infeksi saluran napas
bawah akut di parenkim paru yang serius dijumpai sekitar 15-20% (Setiawati, 2014).

8
Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa kelainan imunitas yang jelas.
Namun pada kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia didapati adanya
satu atau lebih penyakit dasar yang mengganggu daya tahan tubuh (Setiawati, 2014).
Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang lanjut usia (lansia) dan sering
terjadi pada penyakit paru obstruktif (PPOK). Pneumonia juga dapat terjadi pada
pasien dengan penyakit lain seperti diabetes mellitus (DM), payah jantung, penyakit
arteri koroner, keganasan, insufisiensi renal, penyakit saraf kronik, dan penyakit hati
kronik. Faktor predisposisi lain antara lain berupa kebiasaan merokok, pasca infeksi
virus, diabetes mellitus, keadaan imunodesifiensi, kelainan atau kelemahan struktur
organ dada dan penurunan kesadaran. Juga adanya tindakan invasif seperti infus,
intubasi, trakeostomi, atau pemasangan ventilator (Setiawati, 2014).
Pneumonia menyerang manusia sekitar 450 juta kasus tiap tahunnya. Angka
kematian sekitar 1.4 juta pertahunnya secara global (7% penyebab kematian di dunia).
Angka kematian terbanyak pada usia anak-anak dan orang tua (>75 tahun). Angka
kejadian pneumonia lebih sering terjadi negara berkembang dibandingkan negara
maju. Menurut hasil RISKESDAS 2013, pneumonia menduduki urutan ke-9 dari 10
penyebab kematian utama di Indonesia. Berdasarkan data RISKESDAS 2018
prevalensi pneumonia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan adalah sekitar 2%
sedangkan pada tahun 2013 adalah 1.8% (PDPI, 2018).
Anamnesis epidemiologi haruslah mencakup keadaan lingkungan pasien,
tempat yang dikunjungi dan kontak dengan orang atau binatang yang menderita
penyakit yang serupa. Pneumonia diharapkan akan sembuh setelah terapi 2-3 minggu.
Bila lebih lama perlu dicurigai adanya infeksi kronik oleh bakteri anaerob atau non
bakteri seperti oleh jamur, mikobakterium atau parasit (Setiawati, 2014).

9
2.4 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorgnisme, yaitu
bakteri, virus, jamur, dan protozoa (PDPI, 2003). Berbagai macam mikroorganisme
yang dapat menyebabkan pneumonia diantaranya adalah Streptococcus pneumonia,
Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, Mycobacterium tuberculosis, dan
sebagainya (Herring, 2016).
2.5 Klasifikasi
Menurut Herring (2016) pneumonia diklasifikasikan berdasarkan pola
pneumonia diantaranya adalah pneumonia lobaris, pneumonia segmentalis
(bronchopneumonia), pneumonia interstitial, round pneumonia, dan cavitary
pneumonia (Tabel 2.1). Klasifikasi pneumonia berdasarkan inang dan lingkungan
terbagi atas 5 yaitu pneumonia komunitas (bersifat sporadik dan endemik), pneumonia
nosokomial (pneumonia yang didapatkan karena perawatan di rumah sakit).
pneumonia rekurens (terjadi berulang kali berdasarkan penyakit paru kronik),
pneumonia aspirasi (alkoholik dan usia tua), dan pneumonia pada gangguan imun
(umumnya pada pasien transplantasi, inkologi, AIDS) (Setiawati dkk, 2015).
Klasifikasi lain berdasarkan gambaran radiologinya pneumonia dibagi menjadi 3, yaitu
air space pneumonia (pneumonia alveolar), bronkopneumonia, dan pneumonia
interstitial. Inflamasi yang ekstensif dapat menyebabkan tipe pneumonia campuran
ketiganya (Malueka, 2008).
Tabel 2.1 Pola pneumonia
Pola Karakteristik
Pneumonia lobaris Konsolidasi dengan air bronchogram
Pneumonia segmental Airspace disease yang sering melibatkan beberapa segmen
(bronkopneumonia) secara simultan, tidak ada gambaran air bronchogram,
terkadang dapat dihubungkan dengan atelektasis
Pneumonia interstitial Penyakit interstitial reticular biasanya menyebar secara
difus ke paru-paru pada awal proses penyakit. Sering
berprogres menjadi airspace disease

10
Round pneumonia Umumnya terlihat pada lobus bawah paru pada anak-anak,
mungkin menyerupai massa
Cavitary pneumonia Diproduksi oleh mikroorganisme, umumnya mycobacterium
tuberculosis

2.6 Patogenesis
Secara umum, proses patogenesis pneumonia terkait dengan 3 faktor yaitu
keadaan (imunitas) inang, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan
yang berinteraksi satu sama lain. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara ketiga
faktor tersebut, maka mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan
penyakit. Risiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme
untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara
mikroorganisme mencapai permukaan diantaranya adalah inokulasi langsung,
penyebaran melalui pembuluh darah, inhalasi bahan aerosol, kolonisasi di permukaan
mukosa. Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau
jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0.5-2.0 m melalui udara dapat mencapai
bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya menjadi aspirasi ke saluran napas bawah
dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari
sebagian besar infeksi paru (PDPI, 2003 & Setiawati, 2015)
Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu
tidur (50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai
obat. Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 108-10/ml, sehingga
aspirasi dari sebagian kecil secret (0.001-1.1 ml) dapat memberikan titer inokulum
bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia (PDPI,2003).

11
2.7 Manifestasi Klinis
Menurut Sari, C., Kuntjoro (2016) ada 7 manifestasi klinis yang khas yang
terdapat pada pneumonia diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Batuk
b. Sputum produktif
c. Sesak napas
d. Ronki
e. Demam
f. Leukositosis
g. Infiltrat
2.8 Diagnosis
Menurut Setiawati (2015) penegakan diagnosis dibuat dengan maksud
pengarahan kepada pemberian terapi yaitu dengan cara mencakup bentuk dan luas
penyakitm tingkat berat penyakit, dan perkiraan jenis kuman penyebab infeksi. Dugaan
mikroorganisme penyebab infeksi akan mengarahkan kepada pemilihan terapi empiris
antibiotik yang tepat. Seringkali bentuk pneumonia mirip meskipun disebabkan oleh
kuman yang berbeda. Diagnosis pneumonia didasarkan kepada riwayat penyakit
lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan penunjang
A. Anamnesis
Ditujukan untuk mengetahui kemungkinan kuman penyebab yang
berhubungan dengan faktor infeksi seperti
a. evaluasi faktor pasien/predisposisi: PPOK (H.influenza), penyakit
kronik (kuman jamak), kejang/tidak sadar (aspirasi gram negatif,
anaerob), penurunan imunitas (kuman gram negatif), kecanduan obat
bius (Staphylococcus).
b. Bedakan lokasi infeksi: PK (Streptococcus pneumonia, H.influenza, M.
pneumonia), PN (Staphylococcus aureus, gram negatif).
c. Usia pasien: bayi (virus), muda (M.pneumonia), dewasa (S.pneumonia)
d. Awitan :cepat, akut dengan rusty coloured sputum (S.pneumonia);
perlahan, dengan batuk, dahak sedikit (M.pneumonia)

12
B. Pemeriksaan fisik
Presentasi bervariasi tergantung etiologi, usia, dan keadaan klinis.
Perhatikan gejala klinis yang mengarah pada tipe kuman penyebab dan tingkat
berat penyakit
a. Awitan akut biasanya oleh kuman patogen seperti S.pneumonia,
Streptococcus spp, Staphylococcus; Penumonia virus ditandai dengan
myalgia, malaise, batuk kering, dan nonproduktif
b. Awitan lebih insidious dan ringan pada orant tua/imunitas menurun
akibat kuman yang kurang pathogen/oportunistik misalnya Klebsiella,
Pseudomonas, Enterobacteriaceae, kuman anaerob, jamur
c. Tanda-tanda fisik pada tipe pneumonia klasik bisa didapatkan berupa
demam, sesak napas, tanda-tanda konsolidasi paru (perkusi paru yang
pekak, ronki nyaring, suara pernapasan bronkial). Gejala atau bentuk
yang tidak khas dijumpai pada PK yang sekunder (didahului penyakit
dasar paru) ataupun PN, dapat diperoleh bentuk manifestasi lain infeksi
paru seperti efusi pleura, pneumotoraks/hidropneumotoraks. Pada
pasien PN atau dengan gangguan imun dapat dijumpai gangguan
kesadaran oleh hipoksia.
d. Warna, konsistensi, dan jumlah sputum penting untuk diperhatikan
C. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan radiologis
Pola radiologis dapat berupa pneumonia alveolar dengan gambaran air
bronchogram (airspace disease) misalnya oleh Streptococcus pneumonia,
bronkopneumonia (segmental disease) oleh antara lain staphylococcus,
virus atau mikoplasma; dan pneumonia interstitial (intersititial disease)
oleh virus dan mikoplasma.

13
b. Pemeriksaan laboratorium
Leukositosis umumnya menandai adanya infeksi bakteri, leukopenia
menunjukkan depresi imunitas, misalnya neutropenia pada infeksi kuman
gram negatif atau S. aureus pada pasien dengan keganasan dan gangguan
kekebalan. Faal hati mungkin terganggu.
c. Pemeriksaan bakteriologis
Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal.
Aspirasi jarum transtorakal, torakosintesis, bronkoskopi, atau biopsi.
Kuman yang predomiinan pada sputum disertai PMN yang kemungkinan
merupakan penyebab pnfeksi. Kultur kuman merupakan pemeriksaan
utama pra terapi dan bermanfaat untuk evaluasi terapi selanjutnya
d. Pemeriksaan khusus
Titer antibodi terhadap virus, legionella, dan mikoplasma. Nilai
diagnostik bila titer tinggi atau ada kenaikan titer 4 kali. Analisis gas darah
dilakukan untuk menilai tangka hipoksia dan kebutuhan oksigen.
Pneumonia dapat didiagnosis berdasarkan gejala dan pemeriksaan fisik.
Biasanya harus ada kombinasi temuan klinis, radiologis, dan laboratorium untuk
meningkatkan kemungkinan diagnosis tersebut. Foto thoraks dan tes laboratorium
dapat membantu mengkonfirmasi diagnosis pneumonia dengan adanya temuan
spesifik, seperti konsolidasi atau inflitrasi di paru-paru (Tong, 2013).
Dalam hal dugaan adanya pneumonia maka keterangan klinis, laboratoris
seperti jumlah leukosit dan hitung jenis, penting untuk diketahui. Hal tersebut dapat
membantu menegakkan diagnosis (Rasad, 2015).
2.9 Gambaran Radiologi
Gambaran radiologis konsolidasi lobar, kavitasi, dan efusi pleura lebih
menunjukkan etiologi bakteri. Keterlibatan parenkim yang difus lebih sering dikaitkan
dengan Leginella atau pneumonia virus (Watkins, Tracy, 2011). Bentuk lesi berupa
kavitasi dengan air-fluid level sugestif untuk abses paru, infeksi anaerob, gram negatif.
Efusi pleura dengan pneumonia sering ditimbulkan S.pneumoniae. (Setiawati, 2015).
Kavitasi merupakan lusensi abnormal (bubble like atau linier) dalam area konsolidasi

14
dengan atau tanpa tingkat cairan udara terkait. Kavitasi mungkin merupakan hasil dari
supuratif atau nekrosis atau infark paru (Walker dkk, 2014).
Gambaran lain yang dapat terlihat pada pneumonia salah satunya adalah air
bronchogram dimana air bronchogram dapat terlihat pada saat parenkim paru
mengalami konsolidasi dan berbentuk padat (Walker dkk, 2014). Gambaran lain
berupa distribusi infiltrat pada segmen apikal lobus bawah atau inferior lobus atas
sugestif untuk kuman aspirasi. Tetapi pada pasien yang tidak sadar, lokasi ini bisa
dimana saja. Infiltrat di lobus atas sering ditumbulkan Klebsiella spp, tuberculosis.
Pada lobus bawah dapat terjadi infiltrat akibat Staphylococcus atau bakteriemia
(Setiawati, 2015).
Gambaran lain berupa silhouette sign yang dapat terlihat pada foto thoraks
ketika suatu organ yang berdekatan yang memiliki densitas sama kehilangan batasnya
karena suatu proses patologis, seperti konsolidasi. Tanda ini biasanya dapat terjadi pada
permukaan paru-paru dan jantung, diafragma, dan mediastinum. Contoh pneumonia
lobaris yang mengaburkan batas jantung kanan karena gambaran konsolidasi dan
batang jantung masing-masing ada pada bidang anatomi yang sama (Walker dkk,
2014).
Pembentukan kista terdapat pada pneumonia nekrotikans/supuratif, abses, dan
fibrosis akibat terjadinya nekrosis jaringan paru oleh kuman S.aureus, K.pneumoniae,
dan kuman-kuman anaerob (Streptococcus anaerob, Bacteriodes, Fusobacterium).
Ulangan foto perlu dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya infeksi
sekunder/tambahan, efusi pleura penyerta yang terinfeksi atau pembentukan abses.
Pada pasien yang mengalami perbaikan klinis ulangan foto dada dapat ditunda karena
resolusi pneumonia berlangsung 4-12 minggu (Setiawati, 2015).

15
Gambar 2.4 air bronchogram pada pneumonia

Gambar 2.5 silhoutte sign pada pneumonia

16
Gambar 2.6 Multiple patchy dengan batas irreguler pada kedua paru

Gambar 2.7 Silhoutte sign pada pneumonia

17
Gambar 2.8 Kepadatan jaringan lumak pada lobus media paru kanan dengan
penampakan bulat

2.10 Diagnosa Banding

Gambar 2.9 Tuberkulosis fibrosis densa dengan residual cavity

18
Gambar 2.10 Efusi pleura kanan dengan perselubungan hampir di seluruh lapang paru

Gambar 2.11 Nodul berbatas tegas di parahiler kiri pada Tumor paru

19
2.11 Penatalaksanaan
Menurut Setiawati (2015) pada prinsipnya terapi utama pneumonia adalah
pemberian antibiotik (AB) tertentu terhadap kuman tertentu. Antibiotik ini
dimaksudkan sebagai terapi kausal terhadap kuman penyebab. Ada beberapa faktor
yang dipertimbangkan pada pemilihan antibiotik, diantaranya :
A. Faktor pasien
Yaitu urgensi/cara pemberian obat berdasarkan keadaan
umum/kkesadaran, mekanisme imunologis, umur, defisiensi genetik/organ,
kehamilan, alergi. Pasien berobat jalan dapat diberikan oral, pasien sakit berat
diberikan obat intravena.
B. Faktor antibiotik
Tidak mungkin mendapatkan 1 jenis antibiotik yang ampuh untuk semua
jenis kuman, karena itu penting dipahami berbagai aspek tentang antibiotik untuk
efisiensi pemakaian antibiotik. Secara praktis dipilih antibiotik yang ampuh dan
secara empirik telah terbukti merupakan obat pilihan utama dalam mengatasi
kuman penyebab yang paling mungkin pada pneumonia berdasarkan data
antibiogram mikrobiologi dalam 6-12 bulan terakhir. Efektivitas antibiotik
tergantung kepada kepekaan kuman terhadap antibiotik ini, penetrasinya ke tempat
lesi infeksi, toksisitas, interaksi dengan obat lain, dan reaksi pasien misalnya alergi
atau intoleransi.
C. Faktor farmakologis
Farmakokinetik antibiotik mempertimbangkan proses bakterisidal dengan
Kadar Hambat Minimal (MIC) yang sama dengan Kadar Bakterisidal Minimal
(KBM), dan bakteriostatik dengan KBM yang jauh lebih tinggi daripada KHM.
Untuk mencapai efektivitas optimal, obat yang tergolong mempunyai sifat dose
dependent (misalnya sefalosporin) perlu diberikan dalam 3-4 pemberian/hari
sedangkan golongan concentration dependent (misalnya aminoglikosida,
kuinolon) cukup 1-2 kali sehari namun dengan dosis yang lebih besar.
Farmakodinamik menilai kemampuan antibiotik untuk melakukan penetrasi ke
lokasi infeksi di jaringan dan keampuhannya antibiotik hingga obat ini ampuh

20
untuk dipakai terhadap patogen penyebab. Obat dengan kadar intraseluler yang
tinggi seperti makrolid akan lebih efektif dalam membunuh kuman intraseluler.
Antibiotik yang diberikan adalah antibiotik dengan spektrum luas yang
kemudian sesuai hasil kultur diubah menjadi antibiotik spektrum sempit. Lama
pemberian terapi ditentukan berdasarkan adanya penyakit penyerta dan/atau
bakteriemi, beratnya penyakit pada onset terapi dan perjaanan penyakit pasien.
Umumnya terapi diberikan selama 7-10 hari. Untuk infeksi M.pneumoniae dan
C.pneumoniae selama 10-14 hari, sedangkan pada pasien dengan terapi steroid jangka
panjang selama 14 hari atau lebih.
Pada terapi pneumonia rawat inap, proses perbaikan akan terlihat 3 tahap yaitu
tahap 1 pada saat pemberian antibiotik IV selama 3 hari akan terlihat pasien stabil
secara klinik; kemudian terlihat perbaikan keluhan dan tanda fisik serta nilai
laboratorium. Pada tahap 3 terlihat penyembuhan dan resolusi penyakit. Keterlambatan
perbaikan klinik dapat disebabkan pathogen yang resisten atau bakteriemi. Disamping
itu faktor inang berupa usia tua, penyakit penyerta, atau progresifitas penyakit. Dapat
pula disebabkan oleh alkoholik, pneumonia multilober, atau empyema. Bila keadaan
klinik membaik dengan berkurangnya batuk, afebril dalam 2x8 jam berurutan,
lekositosis menurun dan fungsi saluran cerna membaik, makan dilakukan alih terapi ke
antibiotik per oral yang dianggap cocok dengan patogen penyebabnya.
Bila belum ada respon yang baik dalam 72 jam (terjadi pada 10% pasien),
lakukan evaluasi terhadap adanya kemungkinan pathogen yang resisten, komplikasi
atau penyakitnya bukan pneumonia. Reevaluasi ditujukan kepada faktor predisposisi
dari terjadinya infeksi.

21
2.12 Laporan Kasus

Identitas Pasien
Nama : Tn. BN
Usia : 65 tahun
Agama :-
Suku :-
Alamat : Loa Duri
Pasien masuk RS pada tanggal 6 september 2019
Anamnesis khusus
Keluhan utama
Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang
Sesak napas sejak 2 tahun lalu, hilang timbul, dan memberat 1 hari SMRS. Batuk juga
hilag timbul sejak 2 tahun. Demam (-), keringat malam (-)
Riwayat Penyakit dahulu
Asma (+) dirawat di RS Moeis 4 selama 4 hari diberi nebu Ventolin
Pemeriksaan Fisik
dilakukan pada tanggal 6 september 2019
Kesadaran : Composmentis
KU : Sedang
Vital sign
RR : 26x/menit
TD : 130/80 mmHg
N : 111x/menit
Suhu : 37.5oC
Pemeriksaan kepala, leher, jantung, ekstremitas, muskuloskeletal, dan status
neurologis
Semua dalam batas normal

22
Pemeriksaan paru
Sesak
Didapatkan ronkhi pada apex paru kanan
Didapatkan wheezing pada seluruh lapang paru

Tata Laksana
Aminofilin
Ceftriaxone
Nebu combivent
New diatab

Pemeriksaan laboratorium
Didapatkan leukositosis

Pemeriksaan radiologi
- Cor: besar dan bentuk normal
- Pulmo: tampak infiltrat di paracardial kanan
- Sudut costophrenicus kanan kiri tajam
- Diafragma kanan kiri tampak baik
- Tulang-tulang dan soft tissue yang tervisualisasi tampak baik
Kesimpulan
- Infiltrat di paracardial kanan suspect pneumonia
- Cor tak tampak kelainan

23
BAB III
KESIMPULAN

Pneumonia merupakan infeksi yang terjadi pada parenkim paru yang


disebabkan oleh mikroorganisme, bahan kimia, lesi kanker, dan radiasi ion. Pneumonia
ada beberapa klasifikasi beberapa diantaranya berdasarkan pola pneumonia yaitu
pneumonia lobaris, pneumonia segmentalis (bronchopneumonia), pneumonia
interstitial, round pneumonia, dan cavitary pneumonia; berdasarkan inang dan
lingkungan terbagi atas 5 yaitu pneumonia komunitas, pneumonia nosokomial,
pneumonia rekurens, pneumonia aspirasi, dan pneumonia pada gangguan imun;
berdasarkan gambaran radiologinya pneumonia dibagi menjadi 3, yaitu air space
pneumonia (pneumonia alveolar), bronkopneumonia, dan pneumonia interstitial.
Pneumonia memiliki beberapa manisfestasi klinis yang khas diantaranya adalah batuk,
sputum produktif, sesak napas, ronki, demam, leukositosis, dan infiltrat. Diagnosis
pneumonia didasarkan kepada riwayat penyakit lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti
dan pemeriksaan penunjang. Terapi utama pneumonia adalah pemberian antibiotik
(AB) tertentu terhadap kuman tertentu. Antibiotik ini dimaksudkan sebagai terapi
kausal terhadap kuman penyebab, dimana ada beberapa faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan antibiotik diataranya adalah faktor pasien, faktor
antibiotic, dan faktor farmakologis.

24
DAFTAR PUSTAKA

Herring, W. (2016). Learning Radiology Recognizing the Basic 3rd edition.


Philadelphia: ELSEIVER.

Indonesia, P. D. (2003). Pneumonia Komuniti Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan


di Indonesia. Jakarta: PDPI.

Mackenzie, G. (2016). The definition and classification of pneumonia. BioMed


Central.

Malueka, R. G. (2011). Radiologi Diagnostik. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press.

Paulsen, F., & Waschke, J. (2012). Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Jakarta: EGC.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Pneumonia Komuniti Pedoman


Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta: PDPI.

Rasad, S., Kartoleksono, S., & Ekayuda, I. (2015). Radiologi Diagnostik. Jakarta:
FKUI.

Sari, E. F., Rumende, C. M., & Harimurti, K. (2016). Faktor-faktor yang Behubungan
dengan Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut. Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia, 3(4).

Setiawati, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W., K, M. S., Setiyohadi, B., & Syam, A. F. (2014).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Internal Publishing.

Tong, N. (2013). Priorirty Medicine for Europe and the World ''A public Health
Approach to Innovation''.

Tortora, G. J., & Derrickson, B. (n.d.). Principle of Anatomy & Phsiology (15 ed.).
WILEY.

25
Walker, C. M., Abbott, G. F., Greene, R. E., Shepard, J.-A. O., Vummidi, D., &
Digumarty, S. R. (2014). Imaging Pulmonary Infection:Classic Sign and
Patterns. AJR.

Watkins, R. R., & Lemonovich, T. L. (2011). Diagnosis ang Management of


Community-Acquired Pneumonia in Adults. American Family Physician,
83(11).

26

Anda mungkin juga menyukai