Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Pengertian Gagal Ginjal Kronik


Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
(Brunner & Suddarth, 2002).
Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat peristen
dan ireversibel, gangguan fungsi ginjal yang terjadi penrunan laju filtrasi
glomerulus yang dapat digolongkan ringan, sedang dan berat. ( Mansjoer, A;
2001).

2.1 Etiologi Gagal Ginjal Kronik


CRF dapat disebabkan oleh penyakit sistemik diantaranya adalah sebagai
berikut: Glomerulonefritis, Diabettes Militus, glomerolusnefritis, SLE,
Hipertensi. (Mansjoer, dkk 2000 : 532)
3.1 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal kronik terjadi stelah ginjal atau salurannya mengalami berbagai
macam penyakit yang merusak nefron ginjal. Dimana penyakit ini lebih banyak
diparenkin ginjal, meskipun demikian lesi obstruksi pada saluran kemih juga
dapat menyebabkan gagal ginjal kronik. Perjalanan umum penyakit gagal ginjal
kronik dikutip dari Bruner and Sudarth, 2001, dalam Suzzane, 2002, dapat
dibagi menjadi beberapa tahapan :
A. Fungsi renal menurun. Produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
dieskresikan ke dalam urin ) tertinbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap system tubuh. Semakin banyak timbunan produk
sampah, maka gejala akan semakin berat.
B. Gangguan klinis renal. Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai
akibat penurunan laju glomerulus yang berfungsi, yang menyebabkan
penurunan kliren substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Menurunnya filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomerulus)
klirens kreatinin akan menurun dan kadar kreatinin serum akan meningkat.
Kreatinin serum merupakan indicator yang paling sensitif dari fungsi renal
karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh.
C. Retensi cairan dan natrium. Ginjal juga tidak mampu mengkonsetrasikan
dan mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir,
respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit,
tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium dan cairan, meningkatkan
resiko terjadinya oedema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi.
D. Asidosis metabolik. Dengan berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis
metabolik seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengeksresikan (H+)
yang berlebihan.
E. Anemia. Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak
adekuat, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan
kecenderungan mengalami perdarahan akibat status uremik pasien.
F. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat. Abnormalitas lain dari gagal ginjal
kronis adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum
kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah
satunya meningkat yang lainnya akan menurun.

4.1 Manifestasi Klinik


Karena pada gagal ginjal kronik setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi
uremia, maka pasien akan memperlihatkan tanda dan gejala. Tanda dan gejala
yang ditimbulkan menurut Bruner and Sudarth, (2002) yaitu :
1. Manifestasi kardiovaskuler. Pada gagal ginjal kronik mencakup hipertensi,
gagal jantung kongesti, oedema pulmoner, dan perikarditis.
2. Gejala dermatologi yang sering terjadi mencakup rasa gatal yang parah dan
butiran uremi.
3. Gejala gastrointestinal, juga sering terjadi yang mencakup anoreksia, mual,
muntah, dan cegukan.
5.1 Komplikasi
1. Hiperkalemia: akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme dan
masukan diit berlebih.
2. Perikarditis : Efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah uremik
dan dialisis yang tidak adekuat
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-
angiotensin-aldosteron.

4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah.

5. Penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
rendah, metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar aluminium.

6. Asidosis metabolik, Osteodistropi ginjal Sepsis, Neuropati perifer, Hiperuremia.

6.1 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Suyono, S., (2001) untuk memperkuat diagnosis diperlukan


pemeriksaan penunjang, diantaranya

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan dilakukan untuk menetapkan adanya gagal ginjal kronik,


menetapkan ada tidaknya kegawatan, menetukan derajat gagal ginjal kronik,
menetapkan gangguan sistem dan membantu menetapkan etiologi. Dalam
menetapkan ada atau tidaknya gagal ginjal, tidak semua faal ginjal perlu diuji.
Untuk keperluan praktis yang paling lazim diuji adalah laju filtrasi glomerulus
(LFG)

2. Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG)

Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda


perikarditis (misalnya voltase rendah), aritmia, dan gangguan elektrolit
(hiperkalemia, hipokalsemia).
3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal,
anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta prostat.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari adanya faktor yang reversible seperti
obstruksi oleh karena batu atau massa tumor, juga untuk menilai apakah proses
sudah lanjut (ginjal yang lisut). USG ini sering dipakai karena merupakan
tindakan yang non-invasif dan tidak memerlukan persiapan khusus.
4. Foto Polos Abdomen
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi dapat memperburuk fungsi ginjal.
Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi lain.
5. Pemeriksaan Pielografi Retrogad
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversible.
6. Pemeriksaan Foto Dada
Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat penumpukan cairan (fluid
overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikardial

7.1 Penatalaksanaan
Pengobatan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi 2 (dua) tahap, yaitu
tindakan
konservatif dan dialysis atau transplantasi ginjal.
1. Terapi konservatif
Tujuan pengobatan pada tahap ini adalah untuk meredakan atau memperlambat
gangguan fungsi ginjal progresif :
Pengobatan :
a. Pengaturan diet protein, Kalium, Natrium dan Cairan
b. Pencegahan dan Pengobatan Komplikasi
1. Hipertensi
Hipertensi dapat dikontrol dengan pembatasan natrium dan cairan.
Pemberian obat antihipertensi : metildopa (aldomet), propranolol,
klonidin (catapres)
2. Hiperkalemia
Hiperkalemia dapat diobati dengan pemberian glukosa dan insulin
intravena, yang akan memasukkan K+ ke dalam sel, atau dengan
pemberian kalsium Glukonat 10%.
3. Anemia
Pengobatannya adalah pemberian hormon eritropoetin, yaitu rekombinan
eritropeitin (r-EPO) (Escbach et al, 1987), selain dengan pemberian
vitamin dan asam folat, besi dan transfusi darah.
4. Asidosis
5. Diet rendah fosfat
6. Diet rendah fosfat dengan pemberian gel yang dapat mengikat fosfat di
dalam usus. Gel yang dapat mengikat fosfat harus di makan bersama
dengan makanan
7. Pengobatan Hiperurisemia
Obat pilihan hiperurisemia pada penyakit ginjal lanjut adalah pemberian
alopurinol. Obat ini mengurangi kadar asam urat dengan menghambat
biosintesis sebagian asam urat total yang dihasilkan tubuh.
8. Dialisis dan Transplantasi
Pengobatan gagal ginjal stadium akhir adalah dengan dialysis dan
transplantasi ginjal. Dialisis dapat digunakan untuk mempertahankan
penderita dalam keadaan klinis yang optimal sampai tersedia donor
ginjal.
Dialisis dilakukan apabila kadar kreatinin serum biasanya diatas
6mg/100ml pada laki-laki atau 4 ml/100 ml pada wanita, dan GFR
kurang dri 4 ml /menit ( Suharyanto dan Madjid, 2009 : 189-192)
2.1 Hemodialisa
2.21 Pengertian Hemodialisa
Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah
buangan. Hemodialisa digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal
atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialysis waktu singkat (
Nursalam,2008).
Hemodialisis adalah cara terpilih pada pasien yang mempunyai laju
katabolisme tinggi dan secara hemodinamik stabil ( Stein, 2011).
2.22 Prosedur Hemodialisa
Perawatan sebelum hemodialisa :
a. Sambungkan selang air dari mesin hemodialisa.
b. Kran air dibuka.
c. Pastikan selang pembuka air dan mesin hemodialisis sudah masuk keluar atau
saluran pembuangan.
d. Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak.
e. Hidupkan mesin.
f. Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit.
g. Matikan mesin hemodialisis.
h. Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat.
i. Sambungkan slang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin
hemodialisis.
j. Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap).
Menyiapkan sirkulasi darah
a. Bukalah alat-alat dialisat dari setnya.

b. Tempatkan dialiser pada holder (tempatnya) dan posisi „inset‟ (tanda

merah)

diatas dan posisi „outset‟ (tanda biru) dibawah.

c. Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung ,,inset‟ dari dialiser.
d. Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung „outset‟ dari dialiser dan

tempatkan buble tap di holder dengan posisi tengah.


e. Set infuse ke botol NaCl 0,9%-500 cc.
f. Hubungkan set infuse ke slang arteri.
g. Bukalah klem NaCl 0,9%. Isi slang arteri sampai keujung selang lalu klem.

h. Memutarkan letak dialiser dengan posisi „inset‟ dibawah dan „ouset‟

diatas,
tujuannya agar dialiser bebas dari udara.
i. Tutup klem dari slang untuk tekanan arteri, vena, heparin.
j. Buka klem dari infuse set ABL, UBL.
k. Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/mnt,
kemudian
naikkan secara bertahap sampai 200 ml/mnt.
l. Isi buble tap dengan NaCl 0,9% sampai 3/4 cairan.
m. Memberikan tekanan secara intermitten pada UBL untuk mengalirkan
udara dari dalam dialiser, dilakukan sampai dengan dialiser bebas udara
(tekanan tidak lebih dari 200 mmHg).
n. Melakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9% sebanyak 500
cc yang terdapat pada botol (kalf). Sisanya ditampung pada gelas ukur.
o. Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong dengan kalf NaCl 0,9% baru.
p. Sambungkan ujung biru UBL dengan ujung merah ABL dengan
menggunakan konektor.
q. Menghidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dialiser baru 15-20
menit, untuk dialiser reuse dengan aliran 200-250 ml/mnt.

r. Mengembalikan posisi dialiser ke posisi semula dimana „inset‟ diatas dan

„outset‟ dibawah.

s. Menghubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-10


menit siap untuk dihubungkan dengan pasien (soaking).
Persiapan pasien.
a. Menimbang BB
b. Mengatur posisi pasien.
c. Observasi KU
d. Observasi TTV
e. Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan sirkulasi, biasanya
mempergunakan salah satu jalan darah/blood akses seperti dibawah
ini:
1. Dengan interval A-V Shunt/fistula simino
2. Dengan eksternal A-V Shunt/schungula.

3. Tanpa 1-2 (vena pulmonalis).

2.23 Tujuan Hemodialisa

Tujuan Hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang


toksik dari dalam tubuh dan mengeluarkan air yang berlebihan. Pada
hemodilisis, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen
dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan
dikembalikan lagi kedalam tubuh pasien (Smeltzer dan Bare, 2002)

2.24 Indikasi Hemodialisa

Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA


untuk sementara sampai fungsi ginjalnya pulih. Pasien-pasien tersebut
dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat indikasi /:

1. BUN > 100 mg/dl (BUN = 2,14 x nilai ureum )

2. Ureum > 200 mg%

3. Kreatinin > 100 mg %

4. Hiperkalemia > 17 mg/liter

5. Asidosis metabolik dengan pH darah < 72


6. Sindrom kelebihan air

7. Intoksikasi obat jenis barbitura

2.25 Psikososial Pasien Hemodialisa

1. Individu dengan hemodialisa jangka panjang sering merasa khawatir akan


kondisi sakit yang tidak dapat diramalkan dan gangguan dalam kehidupanya.
Penderita menghadapi masalah finansial, kesulitan dalam mempertahankan
pekerjaan, dorongan seksual yang menghilang serta impotensi, depresi
akibat sakit kronik, dan ketakutan terhadap kematian. Pasien-pasien yang
lebih muda khawatir terhadap pernikahan mereka, anak-anak yang dimiliki
dan beban yang ditimbulkan kepada keluarga mereka. Gaya hidup terencana
berhubungan dengan terapi hemodialisa dan pembatasan asupan makanan
serta cairan sering menghilangkan semangat hidup pasien (Brunner &
Suddarth, 2002).

2. Hemodialisa menyebabkan perubahan gaya hidup pada keluarga. Waktu


yang diperlukan untuk terapi hemodialisa akan mengurangi waktu yang
tersedia untuk melakukan aktivitas sosial dan dapat menciptakan konflik,
frustrasi, rasa bersalah serta depresi di dalam keluarga. Keluarga pasien dan
sahabat-sahabatnya mungkin memandang pasien sebagi orang yang
terpinggirkan dengan harapan hidup yang terbatas. Barangkali sulit bagi
pasien, pasangan, dan keluarganya untuk mengungkapkan rasa marah serta
perasaan negatif. Terkadang perasaan tersebut membutuhkan konseling dan
psikoterapi (Brunner & Suddarth,2002).

3. Pasien harus diberi kesempatan untuk mengungkapkan setiap perasaan


marah dan keprihatinan terhadap berbagai pembatasan yang harus dipatuhi
akibat penyakit, serta terapinya di samping masalah keuangan, rasa sakit dan
gangguan rasa nyaman yang timbul akibat penyakit ataupun komplikasi
terapi. Jika rasa marah tersebut tidak diungkapkan, mungkin perasaan ini
akan diproyeksikan kepada diri sendiri dan menimbulkan depresi, rasa putus
asa serta upaya bunuh diri. Insiden bunuh diri meningkat pada pasien-pasien
hemodialisa. Jika rasa marah tersebut di proyeksikan kepada orang lain, hal
ini dapat merusak hubungan keluarga (Brunner & Suddarth,2002).

2.26 Pendidikan Pasien Dialisis

Pasien yang menjalani hemodialisis mengalami berbagai masalah yang


timbul akibat tidak berfungsinya ginjal. Hal itu muncul setiap waktu sampai
akhir hayat pasien. Masalah ini merupakan stressor fisik yang bisa berpengaruh
pada dimensi lain. Kemampuan perawat mengidentifikasi stressor, memberikan
intervensi yang sesuai serta dilakukan secara holistik merupakan kunci
keberhasilan asuhan keperawatan (anonymity, 2012).

Tugas untuk mempersiapkan pemulangan pasien dialisis dari rumah sakit


sering menjadi tantangan yang menarik. Penyakit tersebut dan terapi yang
dilakukannya akan mempengaruhi setiap aspek dalam kehidupan pasien.
Biasanya pasien tidak memahami sepenuhnya dampak, dan kebutuhan utnuk
mempelajarinya mungkin disadarinya lama setalah pasien dipulangkan dari
rumah sakit. Karena alasan ini, komunikasi yang baik antara perawat yang
bertugas melaksanakan dialisis, perawatan rumah sakit dan perawatan di rumah
sangat penting dalam memberikan asuhan keperawatan yang aman dan
berkelanjutan (Brunner & Suddarth, 2005).

2.27 Faktor Psikologis Pasien

a. Konsep diri

Konsep diri adalah semua pikiran, keyakinan dan kepercayaan yang


membuat seseorang mengetahui dirinya dan mempengaruhi hubunganya
dengan orang lain. Konsep diri tidak terbentuk waktu lahir akan tetapi hasil
dari proses belajar / hasil dari pengalaman unik seseorang dalam dirinya
sendiri, dengan orang terdekat, dan dengan realitas dunia. Komponen konsep
diri :

1. Citra tubuh : Kumpulan dari sikap individu yang di sadari dan tidak di
sadari terhadap tubuhnya, termasuk persepsi masa lalu dan sekarang
serta perasaan tentang ukuran, fungsi, penampilan dan potensi.

2. Ideal diri.: Adalah persepsi individu tentang bagaimana dia


seharusnya berperilaku berdasarkan standar, aspirasi, tujuan, atau nilai
personal tertentu.

3. Harga diri. Adalah penilaian individu tentang nilai personal yang


diperoleh dengan menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai
dengan ideal diri. Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar
dalam penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan
kesalahan, kelelahan, dan kegagalan, tetap merasa sebagai seorang
yang penting dan berharga.

4. Penampilan peran: Adalah serangkaian pola perilaku yang diharapkan


oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu di
berbagai kelompok sosial. Peran yang ditetapkan adalah peran di
mana seseorang tidak mempunyai pilihan . Peran yang di terima
adalah peran yang terpilih atau di pilih oleh individu.

5. Identitas Personal: Adalah pengorganisasian prinsip dari kepribadian


yang bertanggung jawab terhadap kesatuan, kesinambungan,
konsistensi, dan keunikan individu, meliputi persepsi seksualitas
seseorang. Pembentukan identitas dimulai pada masa bayi dan terus
berlangsung sepanjang kehidupan tapi merupakan tugas utama pada
masa remaja.

b. Depresi
Depresi adalah suatu gangguan alam perasaan yang ditandai dengan
perasaan sedih dan berduka secara berlebihan dan berkepanjangan.
Kesedihan dan kelambanan dapat menonjol atau dapat terjadi agitasi seperti
menarik diri, tidak mau bicara, malas mandi dan makan.

c. Pengobatan

Kompleksitas prosedur pengobatan tak seorangpun dapat mematuhi


instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang diberikan padanya. Hal
ini bisa disebabkan kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan
informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah medis dan memberikan
banyak instruksi yang harus diingat oleh pasien. Pendekatan praktis untuk
meningkatkan kepatuhan pasien ditemukan oleh diNicola dan diMetto
(1984), dengan cara: Buat instruksi tertulis yang jelas dan mudah
diinterprestasikan. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum
menjelaskan hal-hal lain. Jika seseorang diberi suatu daftar tertulis tentang
hal-hal yang harus di ingat. Maka akan ada efek keunggulan, yaitu mereka
berusaha mengingat hal-hal yang pertama kali ditulis. Efek keunggulan ini
telah terbukti mampu menguatkan ingatan tentang informasi-informasi
medis.

Anda mungkin juga menyukai