Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Nyeri Pada Post Op Fraktur

1. Post Op Fraktur

Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan


eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang
(Mubarak et al; 2015 ). Fraktur juga dikenal sebagai patah tulang, yang
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik, kekuatan dan sudut tenaga fisik,
keadaan itu sendiri serta jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan
apakah fraktur yang terjadi lengkap atau tidak. Fraktur dapat terjadi akibat
adanya tekanan yang berlebihan dibandingkan kemampuan tulang dalam
menahan tekanan, tekanan yang terjadi pada tulang dapat berupa tekanan
berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik, tekanan
membengkok yang menyebabkan fraktur transversal, tekanan sepanjang
akis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi atau
fraktur dislokasi (Helmi, 2012).
Menurut Prasetyo (2010). Fraktur merupakan ancaman potensial
maupun aktual terhadap integritas seseorang, sehingga akan mengalami
gangguan fisiologis maupun psikologis yang dapat menimbulkan respon
berupa nyeri. Nyeri tersebut adalah keadaan subjektif dimana seseorang
memperlihatkan ketidaknyamanan secara verbal maupun non verbal.
Padahal rasa nyaman merupakan salah satu kebutuhan dasar individu dan
merupakan tujuan diberikannya asuhan keperawatan pada seseorang
dirumah sakit (Mediarti, Rosnani, R, & Seprianti, 2015).
Nyeri merupakan sensasi ketidaknyamanan yang bersifat individual.
Nyeri tidak lagi dipandang sebagai kondisi alami dari cidera atau trauma
yang akan berkurang secara bertahap seiring waktu, karena nyeri yang tak
mereda dapat menyebabkan komplikasi, peningkatan lama rawat inap di
rumah sakit dan distress (Helmi, 2013). Nyeri merupakan pengalaman
emosional yang tidak memnyenangkan. Persepsi nyeri seseorang sangat
ditentukan oleh pengalaman dan status emosionalnya. Nyeri dapat
disebabkan oleh rangsangan yang diterima oleh reseptor nyeri yang ada
disetiap jaringan tubuh, karen ajringan tubuh mengalami kerusakan akibat
trauma langsung maupun tidak langsung ( fraktur). Nyeri merupakan
gejala paling sering ditemukan pada gangguan muskuluskoletal. Nyeri
pada penderita fraktur bersifat tajajm dan menusuk. Nyeri tajam juga bisa
ditimbulkan oleh infeksi tulang akibat spasme otot atau penekanan pada
saraf sensori (Linda dan Zakiyah, 2015).

2. Nyeri Post Op
Faktor penyebab nyeri pasca pembedahan yaitu gerakan yang
menekan atau mengenai saraf-saraf disekitar area insisi selain itu
penurunanreaksi anestesi akan berpengaruh juga dalam kemunculan
keluhan nyeri akibat kerusakan neuromuskular pasca operasi (Muttaqin &
Sari, 2009).

3. Klasifikasi Nyeri
Menurut Judha (2012), berdasarkan lama waktu terjadinya, nyeri
dibagi menjadi 2, yaitu nyeri akut dan nyeri kronis:
a. Nyeri akut, sebagian besar disebabkan oleh penyakit, radang, atau
injuri jaringan. Nyeri jenis ini biasanya awitannya datang tiba-tiba,
sebagai contoh, setelah trauma atau pembedahan dan umumnya terjadi
kurang dari enam bulan.
b. Nyeri kronik, secara luas dipercaya menggambarkan penyakitnya.
Nyeri ini konstan dan intermiten yang menetap sepanjang suatu
periode waktu. Nyeri kronik sulit untuk menentukan awitannya dan
biasanya dapat berlangsung selama enam bulan atau lebih.

4. Patofisiologi Nyeri Post Op


Setiap tindakan operasi fraktur akan mengakibatkan terputusnya
jaringan (luka). Dengan adanya luka tersebut akan merangsang nyeri yang
disebabkan jaringan luka yang mengeluarkan prostaglandin dan
leukotriens yang merangsang susunan saraf pusat, serta adanya plasma
darah yang akan mengeluarkan plasma extravasation sehingga terjadi
edema dan mengeluarkan bradikinin yang merangsang susunan saraf
pusat, kemudian diteruskan ke spinal cord untuk mengeluarkan impuls
nyeri, nyeri akan menimbulan berbagai masalah fisik maupun psikologis.
Masalah-masalah penyebab nyeri tersebut saling berkaitan, apabila
masalah masalah tersebut tidak segera diatasi akan menimbulkan masalah
yang kompleks (Solehati, 2015).

5. Faktor yang mempengaruhi nyeri


Faktor – faktor yang mempengaruhi persepsi tentang nyeri pada
seseorang menurut Anas Tamsuri (2012), adalah sebagai berikut:
a. Usia
Usia sangat mempengaruhi respon terhadap nyeri. Anak anak
biasanya mengalami kesulitan dalam mengekspresikan nyeri yang
dirasakan kepada petugas kesehatan atau orangtuanya, sedangnkan
orang individu yang lebih tua akan lebih tenang saat mengalami
nyeri.
b. Jenis Kelamin
Seorang laki laki lebih lebih tahan saat mengalami nyeri di
banding perempuan.
c. Budaya
Beberapa orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya
mereka berespon terhadap nyeri, misalnya seperti suatu daerah
menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus
diterima, karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak
mengeluh jika nyeri
d. Perhatian klien
Intensitas nyeri yang yang dirasakan individu akan berkurang
jika mampu mengalihkan perhatiannya terhadap stimuus yang lain.
e. Tingkat kecemasan
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa
menyebabkan cemas.
f. Tingkat stress
Seseorang yang mengalami stress bisa meningkatkan nyeri.
g. Tingkat energi
Seseorang yang mengalami nyeri membutuhkan tanaga untuk
menahan rasa nyerinya.
h. Pengalaman sebelumnya
Seseorang yang berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan
saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah
mengatasi nyerinya.
i. Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi
nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan
menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
j. Dukungan keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada
keluargaatau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan
perlindungan.

6. Skala Nyeri
Menurut hasil penellitian Aisyah (2017), ada beberapa cara untuk
mengukur tingkat nyeri yaitu dengan pengukuran subyektif nyeri dapat
dilakukan dengan menggunakan berbagai alat pengukur nyeri seperti
skala visual analog, skala nyeri numerik, skala nyeri deskriptif, atau skala
nyeri Wong-Bakers.

Skala nyeri VSA

Skala Nyeri Numerik

Skala nyeri deskriptif


Skala nyeri Wong-Bakers

7. Penatalaksanaan Nyeri Post Op Fraktur


Manajemen nyeri menurut Anas Tamsuri (2012), dibagi menjadi dua,
antara lain :
a. Farmakologi
1. Analgesik opoid (narkotik)
Analagesik opoid (narkotik) terdiri dari berbagai derivat dari opium
seperti morfin dan kodem. Narkotik dapat menyebabkan penurunan
nyeri dan dapat memberi efek euforia (kegembiraan) karena obat
ini mengadakan ikatan dengan respetor opiat(ada beberapa tipe
reseptor opiat seperti mu, delta, dan kappa) dan mengaktifkan
penekanan nyeri endogen pada susunan saraf pusat. Dampak lain
dari obat narkotik adalah sedasi dan peningkatan toleransi sehingga
kebutuhan dosis obat akan meningkat. Opioid juga memberikan
efek mual, muntah, kontsipasi dan depresi pernafasan.
2. Analgesik non-opioid (analgesik non-narkotika)
Analgesik non-opioid (analgesik non-narkotika) atau seering
disebut juga Nonsteroid nti-Inflammatory Drugs ( NSAIDs) seperti
aspirin, asitaminofen, dan ibuprofen selain memiliki efek anti-nyeri
juga memeliki anti inflamasi dan anti demam (anti piretik) obat-
obat golongan ini menyebabkan penurunan nyeri yang bekerja pada
ujung saraf perifer di daerah yang mengalami cedera.
3. Analgesik adjuvan
Analgesik adjuvan adalah obat yang dikembangkan bukan untuk
memberikan efek analgetik, tetapi ditemukan mampu menyebabkan
penurunan nyeri pada berbagai nyeri kronis.
b. Nonfarmakologi
1. Kompres
Kompres panas dingin selain memnurunkan sensari nyeri juga
dapat meningkatkan proses penyembuhan jaringan yang
mengalami kerusakan.
2. Stimulasi Kontralateral
Stimulasi Kontralateral adalah memberi stimulasi pada daerah
kulit disisi yang berlawanan dari daerah terjadinya nyeri. Stimulasi
kontralateral dapat berupa garukan pada daerah yang berlawanan
jika terjadi gatal.
3. Acupressure (pijat refleksi)
Dikembangkan dari ilmu pengbatan kuno Cina dengan
menggunakan sistem akupuntur. Terapis memberi tekanan jari-jari
pada berbagai titik organ tubuh seperti pada akupuntur.
4. Distraksi
Distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri
kesimulus yang lain.
5. Relaksasi
Beberapa penelitian menunjukan bahwa relaksasi efektif dalam
menurunkan nyeri pasca operasi.
6. Umpan balik tubuh
Umpan balik tubuh (biofeddback) adalah teknik mengatasi nyeri
dengan memberikan informasi kepada klien tentang respon
fisiologis tubuh terhadap nyeri yang dialami klien dan cara untuk
mengendalikan secara involunter respon tersebut.

B. Edukasi Manajemen Nyeri


Faktor psikologis sangat berperan dalam proses ambulasi dan kontrol
nyeri karena menyangkut fungsi kognisi. Beberapa hal yang penting dalam
kognisi ini adalah tingkat self-efficacy (keyakinan diri) terhadap kemampuan
untuk melaksanakan tugas tertentu (Handrimurtjahyo & Ariani, 2007 dalam
Ace dkk, 2019). Self-efficacy adalah keyakinan dalam kemampuan seseorang
untuk mengatur dan melaksanakan program tindakan yang diperlukan untuk
mengelola situasi yang akan terjadi (Bandura, 1995 dalam Ace dkk, 2019).
Hasil penelitian Ropyanto (2014) menunjukan bahwa masalah keperawatan
pada pasien pasca bedah ortopedi dan multiple fraktur yang paling banyak
adalah nyeri dan mobilitas fisik untuk universal self care requisites serta
kurang pengetahuan untuk development self care requisites.
Upaya peningkatan self efficacy adalah dengan edukasi. Edukasi
merupakan proses interaktif yang mendorong terjadinya pembelajaran dan
pembelajaran merupakan upaya penambahan pengetahuan nyeri, sikap
ketrampilan melalui penguatan praktik dan pengalaman tertentu ( Smeltzer
dan Bare, 2008 : Potter Perry, 2016). Edukasi kesehatan berdasarkan Nursing
Interventions Classification (NIC) adalah mengembangkan dan menyediakan
instruksi dan merupakan pengalaman belajar untuk memfasilitasi adaptasi
terkontrol pada perilaku yang kondusif untuk hidup sehat pada individu,
keluarga, kelompok, atau komunitas ( Bulechek, Butcher, Dotchterman &
Wagner, 2016). Edukasi juga merupakan suatu upaya untuk memberikan
informasi yang diharapkan klien sehingga bisa berubah perubahan klien
dalam mempercepat penurunan rasa nyeri. (Pudjiati. Rosidawati. Ekasari,
2018 ).
Tujuan dari edukasi adalah untuk membantu suatu individu, keluarga,
ataupun masyarakat dalam memelihara kesehatannya, memahami kondisi
kesehatan, dan memnurunkan kecemasan pada individu atau kondisi
penyakitnya ( Potter A. Patricia, 2010). Tujuan pemberian edukasi
diantaranya adalah pemeliharaan dan promosi kesehatan serta pencegahan
penyakit, pemulihan kesehatan dan beradpatasi dengan gangguan fungsi (
Redman, 2017 : Potter dan Perry, 2009).
Menurut Potter & Perry (2005) : Muladi (2016) manfaat edukasi sebelum
operasi pada pasien adalah memperbaiki fungsi pernafasn, meningkatkan
kemampuan pasien melakukan ambulasi dan melaksanakan aktivitas sehari-
hari lebih awal, mempersingkat waktu rawat inap pasien dirumah sakit,
memberikan perasaan sehat, menurunkan nyeri dan ansietas rasa nyeri serta
obat-obat anti nyeri yang diperlukan untuk kenyamanan dan meningatkan
self-efficasy.
Menurut Notoadmojo (2012) berdasarkan sasarannya, metode, dan
teknik edukasi dibagi menjadi 3 yaitu : metode pendidikan kesehatan
individual, metode pendidikan kelompok, dan metode pendidikan kesehatan
massal. Metode yang digunakan pada peneliti ini menggunakan metode
pendidikan individual, metode ini digunakan apabila antara promotor
kesehatan dan sasaran atau kliennya dapat berkomunikasi langsung bertatap
muka (face to face ) maupun melalui sasaran komunikasi lannya, misalnya
telepon. Cara ini paling efektif karena antara petugas kesehatan dengan klien
dapat saling berdialog, saling merespon dalam waktu yang bersamaan.
Menurut Guilbert dalam Nursalam (2008), keefektifan pasien dalam
edukasi dipengaruhi beberapa faktor, yaitu faktor materi, lingkungan,
instrumen, dan faktor individu sebagai subyek belajar. Faktor materi dalam
hal ini adalah hal yang dipelajari menentukan proses dan hasil belajar,
misalnya belajar pengetahuan dan sikap atau ketrampilan akan menentukan
perbedaan proses belajar. Faktor lingkungan dalam hal ini dikelompokkam
menjadi dua yaitu : lingkungan fisik antara lain terdiri atas suhu, kelembapan
udara, dan kondisi tempat belajar serta lingkungan sosial yaitu manusia
dengan segala interaksinya.
Faktor instrumen dalam edukasi terdiri dari perangkat keras (hardware)
seperti perlengkapan belajar alat-alat peraga dan perangkat lunak (software)
seperti kurikulum (dalam pendidikan formal), pengajaran atau fasilitator
belajar ( Yuliasita, 2019 ). Instrumen yang akan digunakan adalah dengan
perangkat lunak seperti lembar balik.
Menurut Notoatmojo (2007) media edukasi adalah alat alat yang
merupakan saluran (channel) untuk menyampaikan informasi kesehatan.
Menurut para ahli, mata adalah indra yang paling berperan banyak dalam
menyalurksn pengetahuan ke dalam otak yaitu sekitar 75% sampai 87%,
sedangkan melalui indra lainnya hanya sekitar 13%-25%. Oleh karena itu
media dalm edukasi yang paling utama adalah yang dapat dilihat. Media
tersebut berupa media cetak (booklet, leaflet, flif chart, poster, tulisan). (
Umaroh, 2017 ).

C. Asuhan Keperawatan Rasa Aman Nyaman (Nyeri) pada Pasien Post Op


Fraktur
1. Pengkajian
1. Identitas
Pada identitas kebyanyakan sseorang yang mengaami fraktur terjadi
pada laki-laki berumur 45 tahun yang sering brhubungan dengan
olahraga, pekerjaan keras, ata luka yang disbabkan oleh kendaraan
bemotor ( Lukman & Ningsih, 2013 ).
2. Status kesehatan saat ini
a. Keluhan Utama
Pada umunya keluhan kasus Post Opersi ORIF adalah nyeri,
nyeri dirasakan lebih hebat dan berlangsung lebih lama (
Priliana, 2014).
b. Riwayat Penyakit Sekarang
 Provoking incident: fraktur femur tertutup yang disebabkan
oleh trauma langsung pada paha (Noor, 2016, p. 524).
 Quality of pain: Nyeri dirasakan setelah post operasi fraktur
femur yang dirasakan nyeri terasa menusuk dan secara
terus menerus (Asikin,M dkk, 2013, p. 90).
 Region: Pada kasus post operasi (fraktur femur) nyeri di
rasakan di bagian area luka paha setelah dilakukan tindakan
operasi (Asikin, M dkk, 2013, p. 90).
 Severity: nyeri yaitu pengalaman sensori dan emosional
yang tidak menyenangkan. Nyeri akibat terjadi kerusaan
jaringan yang nyata (Ana, 2015, p. 6). Pengkajian yang
lebih sederhana dan mudah dilakukan adalah menggunakan
skala o-10 (dari nyeri ringan, sedang, sampai nyeri berat),
yaitu analog visual skala dengan cara menyatakan sejauh
mata nyeri yang dirasa klien (Lukman & Ningsih, 2013, p.
17).
 Time: yang dirasakan klien pada tindakan pembedahan
adalah nyeri, nyeri berlangsung lebih hebat dan berlangsung
lebih lama (Priliana, 2014, p. 254).
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu diketahui pada riwayat penyakit sebelumnya, pasien
pernah mengalami osteoporosis, hipertensi, mengonsumsi
kortikosteroid. Perlu pala diketahui riwayat cedera atau fraktur
sebelumnya, riwayat osteoporosis, serta penyakit lain (Noor,
2016).
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Pada riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan
penyakit tulang salah satu faktor predisposisi terjadi fraktur,
misalnya karena diabetes mellitus, osteoporosis, dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Alin Makk,
2013. p. 90)
3. Pola Fungsi Kesehatan
1. Pola Persepsi Kesehatan
Pada pasien post op fraktur pasti akan mengalami perubahan
atau gangguan dalam personal hygiene..
2. Pola Istirahat dan Aktivitas
Semua pasien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
pasien Selain itu juga pengkajian dilaksanakan pada lamanya
tidur, suasana lingkungan kebiasaan tidur dan kesulitan tidur
serta penggunaan obat tidur. Karena timbulnya nyeri,
keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan pasien menjadi
berkurang dan kebutuhan pasien perlu banyak dibantu oleh
orang lain Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas
pasien terutama pekerjaan pasien Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan
yang lain (Erwiana, 2016)
3. Pola Nutrisi dan Metabolik
Pada pasien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit.
C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang
Evaluasi terhadap pola nutrisi pasien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat
terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang
kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas pasien(Erwiana, 2016).
4. Pola Hubungan Interpersonal dan Peran Persepsi dan Konsep
Diri Reproduksi dan Seksual, Penanggulangan Stres
Pada fraktur didapatkan masalah kesehatan psikologi,
sehingga pasien dapat mengalami ansietas, berduka, dan
ketakutan akan timbulnya suatu kecacatan akibat adanya
perubahan bentuk dan fungsi organ tubuhnya. Secara sosial
fraktur mempunyai dampak yang sangat luas antara lain
kehilangan peran gangguan komunikasi dan interaksi serta
ketidakberdayaan Adanya gangguan aktivitas social individu
dimana rata-rata individu tidak bekerja selama 30 hari dan
mengalami keterbatasa aktivitas selama 107 hari (Aukerman
2008) dalam (Shodikin 2009).
5. Pola Mekanisme Koping
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan pasien juga
penting dinilai untuk mengetahui respons emosi pasien terhadap
penyakit yang dideritanya dan perubahan peran pasien serta
respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari hari
(Muttaqin, 2008)
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Saat pasien sadar dari anestesi umum, rasa nyeri menjadi
sangat terasa. Nyeri mulai terasa sebelum kesadaran pasien
kembali penuh. Nyeri akut akibat insisi menyebabkan pasien
gelisan dan menyebabkan tanda tanda vital berubah. Apabila
pasien merasa nyeri, mereka sulit melakukan bentuk efektif nafas
dalam. Klien yang mendapat anastesi regional dan likal biasanya
tidak mengalami nyeri karena area insisi masih berada di bawah
pengaruh anastesi (Muttaqin & Sari, 2013, p. 140).
b. Pemeriksaan Body System
 Sistem penglihatan
Sistem penglihatan tidak ada gangguan seperti
konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
(Rosyidi, 2013).
 Sistem pendengaran
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal tidak
ada lesi atau nyeri tekan (Rosyidi, 2013).
 Sistem pernafasan
Pasien pasca operasi akan mengalami efek dari anestesi
umum terlihat pada sistem respirasi, dimana akan terjadi
respon depresi pernafasan skunder dari sisa anestesi
inhalasi, kontrol kepatenan jalan nafas menurun, dan juga
penurunan kemampuan untuk melakukan batuk efektif.
Kondisi ini menyebabkan adanya masalah keperawatan
bersihan jalan nafas tidak efektif dan resiko tinggi pola
nafas tidak efektif (Muttaqin & Sari, 2013).
 Sistem kardiovaskuler
Pada pasien pasca operasi akan mengalami efek
anestesi yang akan mempengaruhi mekanisme regulasi
sirkulasi normal sehingga mempunyai risiko terjadinya
penurunan kemampuan jantung dalam melakukan stroke
volume efektif yang berimplikasi pada penurunan curah
jantung. Tandanya dengan adanya cedera vaskuler adalah
terjadinya penurunan perfusi perifer, perubahan elektrolit
dan metabolisme karena terjadi mekanisme kompensasi
pengaliran suplai hanya untuk organ vital (Muttaqin & Sari,
2013).
 Sistem persyarafan
Pasien pasca operasi akan mengalami efek anestesi
akan menimbulkan penurunan peristaltik usus dan risiko
paralisis usus dan berimplikasi pada peningkatan paralisis
usus dengan distensi otot abdomen dan timbulnya gejala
obstruksi gastrointestinal. Efek anestesi juga mempengaruhi
kemampuan pengosongan lambung, sehingga terjadinya
refluks, esophagus dan makanan keluar dari kerongkongan
yang memicu terjadinya aspirasi ke saluran nafas (Muttaqin
& Sari, 2013).
 Sistem perkemihan
Secara umum efek anestesi juga mempengaruhi
terhambatnya jaras eferen dan eferen terhadap kontrol
miksi, sehingga berimplikasi pada masalah gangguan
pemenuhan eliminasi urin (Muttaqin & Sari, 2013).
 Sistem endokrin
Penderita post operasi terjadi hipoglikemia karena efek
anestesi menyebabkan asupan karbohidrat tidak adekuat
(Muttaqin & Sari, 2013).
 Sistem muskuloskeletal
Respon pengaturan posisi bedah akan menimbulkan
peningkatan resiko terjadinya tromboemboli, parestesia, dan
cedera telan beberapa penonjol tulang Efek intervensi bedah
akan meninggalkan adanya kerusakan integritas jaringan
dengan adanya luka pasca bedah dan adanya sistem
drainase pada luka bedah. Efek anestesi akan
mempengaruhi penurunan kontrol otot dan keseimbangan
secara sadar sehingga pasien beresiko tinggi cedera
(Muttaqin & Sari 2013).
 Sistem integument
Efek anestesi juga mempengaruhi pusat pengatur suhu
tubuh sehingga kondisi pasca bedah pasien cenderung
mengalami hipotermi (Muttaqin & Sari, 2013). Sedangkan
menurut (Rosyidi, 2013 terdapat aritmia, suhu sekitar
trauma meningkat, terjadi pembengkakan atau Oedema dan
nyeri tekan. Menurut (Asikin, M dkk 2013) teraba hangat di
sekitar trauma dan perubahan kelembapan kulit, waktu
pengisian kapiler 3 detik
 Sistem reproduksi
Dampak pada klien fraktur vaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus mengalami
rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang di
alami klien (Rosyidi,2013).

2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang perlu dilakukan pada kasus fraktur menurut
Muttaqin (2009) :
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan
sinar Rontgen atau sinar-X. Untuk mendapatkan gambaran tiga
dimensi dan keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, diperlukan dua
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral.
b. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang lazim dilakukan adalah untuk
mengetahui lebih jauh kelainan yan terjadi, sebagai berikut :
1. Kalsium serum dan fosfor serum meningkatkan pada tahap
penyembuhan tulang.
2. Alkalin fosfot meningkat pada kerusakn tulang dan menunjukan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.

3. Diagnosa Keperawatan
Masalah keperawatan utama pada pasien post op fraktur
- Kurangnya Pengatahuan tentang manajemen nyeri berhubungan dengan
kurangnya keinginan untuk mencari informasi
- Batasan karakteristik : memverbalisasikan adanya masalah.
Ketidakakuratan mengeikuti instruksi, perilaku tidak sesuai.

4. Intervensi
Kurangnya Pengatahuan tentang manajemen nyeri berhubungan dengan
kurangnya keinginan untuk mencari informasi
NOC
1. Knowledge : disease proces
2. Knowlwdgw : health behavior

Kriteria Hasil :

1. Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi,


prognosis dan program pengobatan.
2. Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan
secara benar.
3. Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan
perawat/tim kesehatan lainnya.
NIC :

Teaching : disease Process

1. Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses


penyakit yang spesifik
2. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini
berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
3. Gambarkan tanda dan gejala yang bisa muncul pada penyakit,
dengan cara yang tepat.
4. Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat.
5. Identifikasi kemungkinnan penyebab, dengan cara yang tepat.
6. Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang
tepat.
7. Hindari harapan yang kosong
8. Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan
cara yang tepat.
9. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk
mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau proses
pengontrolan penyakit.
10. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
11. Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second
opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan.
12. Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yang
tepat.
13. Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal, dengan cara
yang tepat
14. Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan
pada pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat.
5. Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan


oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang
dihadapi ke status kesehatan yang lebih baik yang sesuai dengan intervensi
atau perencanaan tindakan yang telah dibuat sebelumnya (Potter & Perry,
2015).

6. Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang sistematik dan terencana tentang
kesehatan klien dengan tuuan yang telah ditetapkan, dilakukan
berkesinambungan dengan melibatkan klien serta tenaga medis lainnya.
Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan untuk menilai tindakan
keperawatan yang telah ditemukan, untuk memenuhi kebutuhan klien secara
optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan (Potter & Perry, 2005).
Pathway Nyeri Post Op Fraktur

Post Op Fraktur

Jaringan Luka

Prost Aglanda & Leukotriens

Sistem Saraf Pusat

Impuls Nyeri

Nyeri

Dilakukannya Edukasi

Anda mungkin juga menyukai