Disusun Oleh :
i
DAFTAR ISI
ii
2.4.3 Ruang Pengawasan Jalan ................................................... 13
iii
2.9.3 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan ................ 49
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jalan adalah sarana transportasi yang sangat penting, sehingga mendapat
perhatian khusus dalam hal pembangunannya. Apabila jalur transportasi dalam
kondisi baik, maka akan terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat
dan kesejahteraan masyarakat. Fungsi jalan yaitu memberikan pelayanan kepada
pengguna jalan yang optimal maka diperlukan perencanaan jalan yang memadai.
Dengan fungsi tersebut jalan raya sangat memerlukan pengembangan dan
pengelolaan sungguh-sungguh agar selalu dapat melayani kebutuhan lalulintas
bagi masyarakat yang semakin meningkat. Merencanakan dan mendapatkan jalan
yang baik dan nyaman, perlu ditinjau dari aspek geometrik jalan sebagai dasar
menentukan jari-jari kelengkungan pada jalan yang sesuai dengan batasan yang
dianjurkan, panjang lengkung peralihan,dan landai relative yang layak untuk jalan
tersebut.
Kabupaten Sigi adalah sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah,
Indonesia. Ibu kotanya adalah Bora yang berada di Kecamatan Sigi Biromaru.
Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2008 yang
merupakan pemekaran dari Kabupaten Donggala. Sebagian besar Kabupaten Sigi
adalah hutan lindung yang bagaimana banyak pariwisata flora dan fauna yang di
lindungi di sana.
Desa Gimpu Kecamatan Kulawi dan Desa Moa Kecamatan Kulawi setan
yang terletak di Kecamatan yang sama di Kabupaten Sigi. Kondisi wilayah yang
berada diperbukitan membuat jalan untuk menghubungkan kedua jalan tersebut
belum dibangun, jalan yang ada hanya bias dilalui dengan berjalan kaki, motor yang
seperti klx dan kendaraan yang memiliki sistem 4WD saja. Dengan desa lainya
belum dibangun, maka dari itu Pemerintah melalui Dinas Pekerjaan Umum Provinsi
Sulawesi Tengah merencanakan akan membangun jalan yang menghubungkan
kedua desa tersebut agar mempermudah akses masyarakat menuju pusat kota Poso.
Berdasarkan hal di atas, penulis mencoba untuk memberikan perencanaan
geometrik dan perkerasan jalan Ruas Gimpu – Moa Kecamatan Kulawi,
Kecamatan Pandawai yang dimaksud untuk menghubungkan kedua desa tersebut.
1
1.2 Tujuan Perencanaan
Tujuan perencanaan ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk merencanakan geometrik jalan ruas Gimpu – Moa Kecamatan
Kulawi.
2. Untuk merencanakan perkerasan jalan ruas Gimpu – Moa Kecamatan
Kulawi.
1.3 Manfaat Perencanaan
1. Manfaat dari perencanaan geometrik dan perkerasan jalan ruas Gimpu
– Moa Kecamatan Kulawi adalah sebagai berikut:
1. Manfaat bagi mahasiswa
Mahasiswa secara langsung dapat merencanakan geometrik dan
perkerasan jalan.
2. Manfaat bagi pemerintah
3. Sebagai masukan untuk perencanaan geometrik dan perkerasan jalan
dibidang transportasi khususnya jalan ruas Gimpu – Moa Kecamatan
Kulawi.
1.4 Data Perencanaan
Dalam merencanakan geometrik dan jalan ruas Gimpu – Moa Kecamatan
Kulawi diperlukan data – data pendukung yang akan dipergunakan sebagai berikut:
1. Peta Topografi
2. Lalu Lintas Harian Rata – rata (LHR)
3. Nilai CBR
4. Curah hujan
5. Data Penduduk
2
4. Perencanaan ini tidak meliputi analisa bagian pelengkap jalan seperti
trotoar, drainase, dinding penahan tanah dan rambu – rambu lalu lintas.
5. Perencanaan ini digunakan untuk kepentingan akademis, tidak
kepentingan proyek.
6. Tidak merencanakan persimpangan.
7. Perencanaan ini mengenyampingkan tempat suci yang dilewati rencana
jalan dan sebagainya.
3
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Jalan
Menurut UU No.38 Tahun 2004, jalan adalah prasarana transportasi darat
yang meliputi segala bagian jalan, ternasuk bangunan pelengkap dan
perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada
permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau
air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan
kabel.
2.2 Klasifikasi Jalan
Menurut Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
klasifikasi jalan dibagi menjadi klasifikasi menurut fungsi jalan, klasifikasi menurut
kelas jalan, klasifikasi menurut medan jalan, dan klasifikasi menurut wewenang
pembinaan jalan.
2.2.1 Klasifikasi Menurut Fungsi Jalan
Klasifikasi menurut fungsi jalan terbagi atas (HENDARSIN, 2000):
1. Jalan Arteri: Jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri
jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi
secara efisien.
2. Jalan Kolektor: Jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi
dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang
dan jumlah jalan masuk dibatasi.
3. Jalan Lokal: Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan
masuk tidak dibatasi.
2.2.2 Klasifikasi Menurut Kelas Jalan
1. Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan
untuk menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu
terberat (MST) dalam satuan ton.
4
2. Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya
dengan klasifikasi menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam Tabel 2.1
(Pasal 11, PP. No 43/1993).
Kemiringan Medan
no Jenis Medan Notasi
(%)
1 Datar D <3
2 Perbukitan B 3-25
3 Pegunungan G >25
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
5
2.2.4 Klasifikasi Menurut Wewenang Pembinaan Jalan
Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaan sesuai PP. No 26/1985
adalah jalan nasional, jalan propinsi, jalan kabupaten/kotamadya, jalan desa, dan
jalan khusus (Marga, 1997).
2.3 Kriteria Perencanaan
2.3.1 Kendaraan Rencana
1. Kendaraan rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius
putarnya dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik.
2. Kendaraan rencana dikelompokkan ke dalam 3 kategori :
a. Kendaraan kecil, diwakili oleh mobil penumpang;
b. Kendaraan sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau oleh
bus besar 2 as;
c. Kendaraan besar, diwakili oleh truk-semi-trailer.
KATAGORI
DIMENSI KENDARAAN TONJOLAN (cm) RADIUS PUTAR RADIUS
KENDARAAN
(cm) TONJOLAN (cm)
RENCANA
Tinggi Lebar Panjang Depan Belakang Minimum Maksimum
Kendaraan Kecil 130 210 580 90 150 420 730 780
Kendaraan Kecil 410 260 1210 210 240 740 1280 1410
6
Gambar 2. 1 Dimensi Kendaraan Kecil
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
7
Gambar 2. 4 Jari-jari manuver kendaraan kecil
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
8
Gambar 2. 5 Jari-jari manuver kendaraan sedang
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
9
Gambar 2. 6 Jari-jari manuver kendaraan besar
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
10
2. SMP untuk jenis-jenis kendaraan dan kondisi medan lainnya dapat
dilihat dalam Tabel 2.4. Detail nilai SMP dapat dilihat pada buku
Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) No.036/TBM/1997.
Dimana:
K (disebut faktor K), adalah faktor volume lalu lintas jam sibuk, dan
F (disebut faktor F), adalah faktor variasi tingkat lalu lintas
perseperempat jam dalam satu jam.
3. VJR digunakan untuk menghitung jumlah lajur jalan dan fasilitas
lalu lintas lainnya yang diperlukan.
4. Tabel 2.5 menyajikan faktor-K dan faktor-F yang sesuai dengan
VLHR-nya.
11
Tabel 2. 5 Penentuan faktor-K dan faktor-F berdasarkan Volume lalu
Lintas Harian Rata-rata
12
2.4 Bagian – bagian Jalan
2.4.1 Ruang Manfaat Jalan
Ruang manfaat jalan adalah ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar,
tinggi dan kedalaman tertentu yang ditetapkan oleh penyelenggara jalan dan
digunakan untuk badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya.
2.4.2 Ruang Milik Jalan
Ruang milik jalan adalah ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di
luar manfaat jalan yang diperuntukkan bagi ruang manfaat jalan, pelebaran jalan,
penambahan jalur lalu lintas di masa dating serta kebutuhan ruangan untuk
pengamanan jalan dan dibatasi oleh lebar, kedalaman dan tinggi tertentu.
2.4.3 Ruang Pengawasan Jalan
Ruang pengawasan jalan adalah ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang
penggunaannya diawasi oleh penyelenggara jalan agar tidak mengganggu
pandangan bebas pengemudi, konstruksi jalan, dan fungsi jalan.
2.5 Penampang Melintang
2.5.1 Komposisi Penampang Melintang
Penampang melintang jalan terdiri atas bagian-bagian sebagai berikut (lihat
Gambar 2.7 s/d Gambar 2.9):
1. Jalur lalu lintas
2. Median dan jalur tepian
3. Bahu
4. Jalur pejalan kaki
5. Selokan, dan
6. Lereng
13
Gambar 2. 8 Penampang Melintang Jalan tipikal yang dilengkapi trotoar
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
14
TB = tidak terbagi.
B = terbagi
4. Lebar jalur
a. Lebar jalur sangat ditentukan oleh jumlah dan lebar lajur
peruntukannya. Tabel 2.7 menunjukkan lebar jalur dan bahu jalan
sesuai VLHR-nya.
b. Lebar jalur minimum adalah 4.5 meter, memungkinkan 2
kendaraan kecil saling berpapasan. Papasan dua kendaraan besar
yang terjadi sewaktu-waktu dapat menggunakan bahu jalan
2.5.3 Lajur
1. Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh
marka lajur jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu
kendaraan bermotor sesuai kendaraan rencana.
2. Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan kendaraan rencana, yang
dalam hal ini dinyatakan dengan fungsi dan kelas jalan seperti
ditetapkan dalam Tabel 2.8.
3. Jumlah lajur ditetapkan dengan mengacu kepada MKJI berdasarkan
tingkat kinerja yang direncanakan, di mana untuk suatu ruas jalan
dinyatakan oleh nilai rasio antara volume terhadap kapasitas yang
nilainya tidak lebih dari 0.80.
4. Untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu lintas pada
alinemen lurus memerlukan kemiringan melintang normal sebagai
berikut (lihat Gambar 2.11):
a. 2-3% untuk perkerasan aspal dan perkerasan beton
b. 4-5% untuk perkerasan kerikil
15
Tabel 2. 8 Lebar Lajur Jalan Ideal
Fungsi Kelas Lebar Lajur Ideal
I 3.75
Arteri
II 3.50
Kolektor III A, III B 3.00
Lokal III C 3.00
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
16
Gambar 2. 11 Bahu jalan
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
2.5.5 Median
1. Median adalah bagian bangunan jalan yang secara fisik memisahkan
dua jalur lalu lintas yang berlawanan arah.
2. Fungsi median adalah untuk:
a. memisahkan dua aliran lalu lintas yang berlawanan arah;
b. uang lapak tunggu penyeberang jalan;
c. penempatan fasilitas jalan;
d. tempat prasarana kerja sementara;
e. penghijauan;
f. tempat berhenti darurat (jika cukup luas)
g. cadangan lajur (jika cukup luas); dan
h. mengurangi silau dari sinar lampu kendaraan dari arah yang
berlawanan.
3. Jalan 2 arah dengan 4 lajur atau lebih perlu dilengkapi median.
4. Median dapat dibedakan atas (lihat Gambar 2.12):
a. Median direndahkan, terdiri atas jalur tepian dan bangunan
pemisah jalur yang direndahkan.
b. Median ditinggikan, terdiri atas jalur tepian dan bangunan
pemisah jalur yang ditinggikan.
17
5. Lebar minimum median terdiri atas jalur tepian selebar 0,25-0,50
meter dan bangunan pemisah jalur, ditetapkan dapat dilihat dalam
Tabel 2.9.
6. Perencanaan median yang lebih rinci mengacu pada Standar
Perencanaan Geometrik untuk Jalan Perkotaan, Direktorat Jenderal
Bina Marga, Maret 1992.
18
2.6 Jarak Pandang
Jarak pandang adalah suatu jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi
pada saat mengemudi sedemikian sehingga jika pengemudi melihat suatu halangan
yang membahayakan, pengemudi dapat melakukan sesuatu untuk menghidari
bahaya tersebut dengan aman. Dibedakan dua jarak pandang, yaitu Jarak Pandang
Henti (Jh) dan Jarak Pandang Mendahului (Jd).
Dengan menggunakan rumus awal sebagai berikut :
R’ = Rc – ½ W
R’ = Jari-jari di tikungan
Rc = Jari-jari rencana di tikungan
W = Lebar perkerasan pada jalan lurus
Dimana :
VR = kecepatan rencana (km/jam)
T = waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik
g = percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m/det2
19
f = koefisien gesek memanjang perkerasan jalan aspal, ditetapkan
0,35-0,55
Persamaan berdasarkan TPGJAK 1997 :
𝑉𝑅 2
Jh = 0.6944 x 𝑉𝑅 + 0.004 (2.3)
𝐹
20
3. Jd, dalam satuan meter ditentukan sebagai berikut:
Jd = 𝑑1 + 𝑑2 + 𝑑3 + 𝑑4 (2.5)
Dimana :
d1 = jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (m),
d2 = jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan
kembali ke lajur semula (m),
d3 = jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan
yang datang dari arah berlawanan setelah proses mendahului selesai
(m),
d4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah
berlawanan, yang besarnya diambil sama dengan d2 (m).
m = perbedaan kecepatan dari kendaraan yang menyiap dan
kendaraan yang disiap, (biasanya diambil 10-15 km/jam)
T1 = Waktu dalam (detik), ∞2,12+0,026×Vr
T2 = Waktu kendaraan berada dijalur lawan (detik), ∞6,56+0,048×Vr
a = Percepatan rata km/jam/dtk (km/jam/dtk), ∞2,052+0,0036×Vr
4. Jd yang sesuai dengan VR ditetapkan dari Tabel 2.12
21
2.6.3 Daerah Bebas Samping Di Tikungan
1. Daerah bebas samping di tikungan adalah ruang untuk menjamin
kebebasan pandang di tikungan sehingga Jh dipenuhi.
22
Gambar 2. 15 Diagram ilustrasi daerah samping ditikungan untuk Ss>Lc
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
b. Jika Jh > Lt
90°𝐽ℎ 1 90°𝐽ℎ
E = R {1 − 𝐶𝑜𝑠 ( )} + 2 (𝐽ℎ − 𝐿𝑡 ) Sin ( ) (2.11)
𝜋𝑅 𝜋𝑅
Dimana :
R = Jari jari tikungan (m)
Jh = Jarak pandang henti (m)
Lt = Panjang tikungan (m)
Tabel 2.13 berisi nilai E, dalam satuan meter, yang dihitung
menggunakan persamaan (2.5) dengan pembulatan-pembulatan
untuk Jh<Lt. Tabel tersebut dapat dipakai untuk menetapkan E.
23
Tabel 2. 13 E (m) untuk Jh < LI, VR (km/jam) dan Jh (m)
VR=20 30 40 50 60 80 100 120
R (m)
Jh=16 27 40 55 75 120 175 250
5000 1.6
3000 2.6
2000 1.9 3.9
1500 2.6 5.2
1200 1.5 3.2 6.5
1000 1.8 3.8 7.8
800 2.2 4.8 9.7
600 3.0 6.4 13.0
500 3.6 7.6 15.5
400 1.8 4.5 9.5 Rmin=500
300 2.3 6.0 Rmin=350
250 1.5 2.8 7.2
200 1.9 3.5 Rmin=210
175 2.2 4.0
150 2.5 4.7
130 1.5 2.9 5.4
120 1.7 3.1 5.8
110 1.8 3.4 Rmin=115
100 2.0 3.8
90 2.2 4.2
80 2.5 4.7
70 1.5 2.8 Rmin=80
60 1.8 3.3
50 2.3 3.9
40 3.0 Rmin=50
30 Rmin=30
1.6
2.1
Rmin=15
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
24
Tabel 2. 14 E (m) untuk Jh < LI, VR (km/jam) dan Jh (m), dimana Jh-Lt 25 m
25
Tabel 2. 15 E (m) untuk Jh < LI, VR (km/jam) dan Jh (m), dimana Jh-Lt = 25 m
VR=20 30 40 50 60 80 100 120
R (m)
Jh=16 27 40 55 75 120 175 250
6000 1.6
5000 1.9
3000 1.6 3.1
2000 2.5 4.7
1500 1.5 3.3 6.2
1200 2.1 4.1 7.8
1000 2.5 4.9 9.4
800 1.5 3.2 6.1 11.7
600 2.0 4.2 8.2 15.6
500 2.3 5.1 9.8 18.6
400 1.8 2.9 6.4 12.2 Rmin=500
300 1.5 2.4 3.9 8.5 Rmin=350
250 1.8 2.9 4.7 10.1
200 2.2 3.6 5.8 Rmin=210
175 1.5 2.6 4.1 6.7
150 1.7 3.0 4.8 7.8
130 2.0 3.5 5.5 8.9
120 2.2 3.7 6.0 9.7
110 2.4 4.1 6.5 Rmin=115
100 2.6 4.5 7.2
90 1.5 2.9 5.0 7.9
80 1.6 3.2 5.6 8.9
70 1.9 3.7 6.4 Rmin=80
60 2.2 4.3 7.4
50 2.6 5.1 8.8
40 3.3 6.4 Rmin=50
30 4.4 8.4
20 6.4 Rmin=30
8.4
Rmin=15
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
26
2.7.2 Panjang Bagian Lurus
1. Dengan mempertimbangkan faktor keselamatan pemakai jalan, ditinjau
dari segi kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum bagian jalan
yang luruh harus ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 2,5 menit
(sesuai 𝑉𝑅 ).
2. Panjang bagian lurus dapat ditetapkan dari Tabel 2.16.
2.7.3 Tikungan
1. Jari-jari Minimum
Kendaraan pada saat melalui tikungan dengan kecepatan (V) akan
menerima gaya sentrifugal yang menyebabkan kendaraan tidak stabil.
Untuk mengimbangi gaya sentrifugal tersebut, perlu dibuat suatu
kemiringan melintang jalan pada tikungannya yang disebut
superelevasi (e). Pada saat kendaraan melalui daerah superelevasi,
akan terjadi gesekan arah melintang jalan antara ban kendaraan
dengan permukaan aspal yang menimbulkan gaya gesekan melintang.
Perbandingangaya geseken melintang dengan gaya normal disebut
koefisien gesekan melintang (f).
Rumus umum untuk lengkung horizontal adalah:
V2
R = 127 (e+f) (2.1)
1432,4
D= (2.2)
Rc
−𝑒𝑚𝑎𝑥 ×𝐷 2 2×𝑒𝑚𝑎𝑥 ×𝐷
𝑒𝑐 = + (2.3)
𝐷𝑚𝑎𝑥 𝐷𝑚𝑎𝑥
Dimana:
R = jari-jari lengkung (m)
D = derajat lengkung (°)
27
ec = kemiringan rencana
Untuk menghindari terjadinya kecelakaan, maka untuk
kecepatan tertentu dapat dihitung jari-jari minimum untuk superlevasi
maksimum dan koefisien gesekan maksimum.
VR 2
R min = 127 (e (2.4)
mak +fmak )
Dimana:
Rmin = jari-jari tikungan minimum (m)
VR = kecepatan kendaraan rencana (km/jam)
emak = superelevasi maksimum (%)
fmak = koefisien gesekan melintang maksimum
D = derajat lengkung
Dmak = derajat maksimum
28
2. Bentuk Busur Lingkaran (FC)
Gambar 2. 16 Komponen FC
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
Keterangan:
Δ = sudut tikungan
O = titik pusat lingkaran
Tc = panjang tangen jarak dari TC ke PI atau PI ke CT
Rc = jari-jari lingkaran
Lc = panjang busur lingkaran
Ec = jarak luar dari PI ke busur lingkaran
FC (Full Cicle), adalah jenis tikungan yang hanya terdari dari
bagian suatu lingkaran saja. Tikungan FC hanya digunakan untuk R
(jari-jari tikungan) yang besar agar tidak terjadi patahan, karena
dengan R kecil maka diperlukan superelevasi yang besar.
29
Lengkung peralihan dibuat untuk menghindari terjadinya
perubahan alinemen yang tiba-tiba dari bentuk lurus ke bentuk
lingkaran (R = ∞ → R = Rc), jadi lengkung peralihan ini diletakkan
antara bagian lurus dan bagian lingkaran (circle), yaitu pada sebelum
dan sesudah tikungan berbentuk busur lingkaran. Lengkung peralihan
dengan bentuk spiral (clothoid) banyak digunakan juga oleh Bina
Marga. Dengan adanya lengkung peralihan, maka tikungan
menggunakan jenis S–C–S. Panjang lengkung peralihan (Ls), menurut
Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997, diambil
nilai yang terbesar dari tiga persamaan di bawah ini:
a. Berdasarkan waktu tempuh maksimum (3 detik), untuk melintasi
lengkung peralihan, maka panjang lengkung:
V
Ls = 3,6R T (2.9)
Dimana:
T = waktu tempuh = 3 detik
Rc = jari-jari busur lingkaran (m)
C = perubahan percepatan, 0,3–1,0 disarankan 0,4 m/det3
re = tingkat pencapaian perubahan kelandaian melintang
jalan sebagai berikut:
untuk VR ≤ 70 km/jam, re mak = 0,035 m/m/det
untuk VR > 80 km/jam, re mak = 0,025 m/m/det
e = superelevasi
em = superelevasi maksimum
en = superelevasi normal
30
Gambar 2. 17 Komponen S-C-S
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
Keterangan:
Xs = absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik TS ke SC
(jarak lurus lengkung peralihan).
Ys = ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis tangen, jarak
tegak lurus ke titik SC pada lengkung.
Ls = panjang lengkung peralihan (panjang dari titik TS ke atau
CS ke ST).
Lc = panjang busur lingkaran (panjang dari titik SC ke CS).
Ts = panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST.
TS = titik dari tangen ke spiral.
SC = titik dari spiral ke lingkaran.
Es = jarak dari PI ke busur lingkaran.
θs = sudut lengkung spiral.
Rc = jari-jari lingkaran.
p = pergeseran tangen terhadap spiral.
k = absis dari p pada garis tangen spiral.
Rumus yang digunakan:
Ls2
Xs = Ls (1 − 40 Rc2 ) (2.12)
Ls2
Ys = 6 Rc (2.13)
90 Ls
θs = (2.14)
π Rc
Ls2
p = 6 Rc − Rc (1 − cos θs) (2.15)
31
Ls3
k = Ls 40 Rc2 − Rc sin θs (2.16)
32
b. Pada tikungan SCS, pencapaian superelevasi dilakukan secara
linear (lihat Gambar 2.20), diawali dari bentuk normal
sampai awal lengkung peralihan (TS) yang berbentuk
pada bagian lurus jalan, 'lalu dilanjutkan sampai superelevasi
penuh pada akhir bagian lengkung peralihan (SC).
c. Pada tikungan FC, pencapaian superelevasi dilakukan secara
linear (lihat Gambar 2.21), diawali dari bagian lurus sepanjang
LS sampai dengan bagian lingkaran penuh sepanjang bagian
panjang LS.
d. Pada tikungan S-S, pencapaian superelevasi seluruhnya dilakukan
pada bagian spiral (lihat Gambar 2.22).
33
Gambar 2. 21 Metoda pencapaian superelevasi pada tikungan tipe SS
(contoh untuk tikungan ke kanan)
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
34
Gambar 2. 22 Tikungan Gabungan Searah
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
35
Gambar 2. 24 Tikungan Gabungan Balik
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
36
2.8 Alinemen Vertical
2.8.1 Umum
1. Alinemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian
lengkung vertikal.
2. Ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian landai vertikal dapat berupa
landai positif (tanjakan), atau landai negatif (turunan), atau landai nol
(datar).
3. Bagian lengkung vertikal dapat berupa lengkung cekung atau lengkung
cembung.
37
Tabel 2. 20 Panjang Kritis (m)
Kecepatan pada awal Kelandaian (%)
tanjakan (Km/jam) 4 5 6 7 8 9 10
80 630 460 360 270 230 230 200
60 320 210 160 120 110 90 80
Sumber : Tata cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
𝐴 = 𝑔2 − 𝑔1 (2.38)
𝐴 x 𝐿𝑣
𝐸𝑣 = (2.39)
800
1
𝑥 = 4 x 𝐿𝑣 (2.40)
𝐴
𝑦 = 200 x 𝐿𝑣 x 𝑋 2 (2.41)
38
Gambar 2. 26 Lengkung Vertikal Cembung dengan S < L
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota,1997
Rumus yang digunakan :
𝐴𝑆 2
𝐿 = 100(√2ℎ1+√2ℎ2)2 (2.42)
Dimana :
L = Panjang Lengkung Vertikal (m)
A = Selisih Kelandaian (%)
h1 = Tinggi mata pengemudi (m)
h2 = Tinggi penghalang (m)
S = Jarak pandang henti (m)
2. Jarak pandang berada di luar dan di dalam daerah lengkung ( S > L )
39
y = Perbedaan elevasi antara titik P dan titik yang ditinjau pada
Sta, (m)
Lv = Panjang lengkung vertical,
V = Kecepatan rencana
A = Selisih kelandaian
Panjang lengkung vertikal cembung (Lv), yang diperoleh dari rumus Jarak
Pandang Menyiap pada umumnya akan menghasilkan Lv lebih panjang daripada
jika menggunakan rumus jarak pandang henti. Untuk penghematan biaya Lv dapat
ditentukan dengan Lv berdasarkan rumus Jarak Pandang Henti dengan konsekuensi
kendaraan pada daerah lengkung cembung tidak dapat mendahului kendaraan
didepannya, untuk keamanan dipasang rambu (L.HENDARSIN, 2000)
B. Lengkung Vertical Cekung
Panjang lengkung vertikal cekung juga harus di tentukan dengan
memperhatikan :
1. Jarak Penyinaran Lampu Kendaraan
Jangkauan lampu depan kendaraan pada lengkung vertikal cekung
merupakan batas jarak pandang yang dapat dilihat oleh pengemudi di
malam hari. Di dalam perencanaan umumnya tinggi lampu depan diambil
setinggi 60 cm, dengan sudut 1°. Letak penyinaran lampu dengan
kendaraan dapat dibedakan menjadi atas 2 keadaan yaitu:
a. Jarak pandang akibat penyinaran lampu depan ( S < L )
Rumus :
𝐴𝑆 2
𝐿𝑣 = 120+3.5 ×𝑆 (2.46)
40
120+3.5×𝑆
𝐿𝑣 = 2 𝑥 (2.47)
𝐴
2. Berdasarkan Kenyamanan
𝐴 × 𝑉2
𝐿𝑣 = (2.50)
390
41
2.8.4 Lajur Pendakian
1. Lajur pendakian dimaksudkan untuk menampung truck – truck yang
bermuatan berat atau kendaraan lain yang berjalan lebih lambat dari
kendaraan kendaraan lain pada umumnya, agar kendaraan kendaraan
lain dapat mendahului kendaraan lambat tersebut tanpa harus berpindah
lajur atau menggunakan lajur arah berlawanan.
2. Lajur pendakian harus disediakan pada ruas jalan yang mempunyai
kelandaian yang besar, menerus, dan volume lalu lintasnya relatif padat.
3. Penempatan lajur pendakian harus dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Disediakan pada jalan arteri atau kolektor.
b. Apabila panjang kritis terlampaui, jalan memiliki VLHR > 15.000
SMP/hari, dan persentase truck > 15%.
4. Lebar lajur pendakian sama dengan lebar lajur rencana.
5. Lajur pendakian dimulai 30 meter dari awal perubahan kelandaian
dengan serongansepanjang 45 meter dan berakhir 50 meter sesudah
puncak kelandaian dengan serongansepanjang45 meter ( dapat dilihat
pada Gambar 2.30 )
6. Jarak minimum antara 2 lajur pendakian adalah 1,5 km ( dapat dilihat
pada Gambar 2.31 )
42
Gambar 2. 31 Jarak antara dua Lajur Pendakian
Sumber : Tata cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
43
2.8.5 Koordinasi Alinemen
1. Alinemen vertikal, alinemen horizontal, dan potongan melintang jalan
adalah elemen elemen jalan sebagai keluaran perencanaan hares
dikoordinasikan sedemikian sehingga menghasilkan suatu bentuk jalan
yang baik dalam arti memudahkan pengemudi mengemudikan
kendaraannya dengan aman dan nyaman. Bentuk kesatuan ketiga
elemen jalan tersebut diharapkan dapat memberikan kesan atau petunjuk
kepada pengemudi akan bentuk jalan yang akan dilalui di depannya
sehingga pengemudi dapat melakukan antisipasi lebih awal.
2. Koordinasi alinemen vertikal dan alinemen horizontal harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. Alinemen horizontal sebaiknya berimpit dengan alinemen vertikal,
dan secara ideal alinemen horizontal lebih panjang sedikit
melingkupi alinemen vertikal.
b. Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung
atau pada bagian atas lengkung vertikal cembung harus dihindarkan.
c. Lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan
panjang harus dihindarkan.
d. Dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu lengkung horizontal
harus dihindarkan.
e. Tikungan yang tajam di antara 2 bagian jalan yang lurus dan panjang
harus dihindarkan.
Sebagai ilustrasi, Gambar 2.30 s.d Gambar 2.32 menampilkan contoh –
contoh koordinasi alinemen yang ideal dan yang harus dihindarkan.
44
Gambar 2. 32 Koordinasi yang ideal antara alinemen horizontal dan
alinemen vertical yang berimpit
Sumber : Tata cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
45
2.9 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Lalu lintas harian rata-rata (LHR) setiap jenis kendaraan ditentukan pada
awal umur rencana, yang dihitung untuk dua arah pada jalan tanpa median atau
masingmasing arah pada jalan dengan median.
2.9.1.2 Rumus-rumus Lintas Ekivalen
1. Lintas Ekivalen Permukaan (LEP)
LEP = ∑nj=mp LHR j × C × E (2.26)
2. Lintas Ekivalen Akhir (LEA)
LEA = ∑nj=mp LHR j (1 + i)UR × C × E (2.27)
3. Lintas Ekivalen Tengah (LET)
LEP+LEA
LET = (2.28)
2
46
Dimana: i = Pertumbuhan lalu lintas masa konstruksi
J = jenis kendaraan
n = umur rencana
C = koefisien distribusi kendaraan
E = angka ekivalen beban sumbu kendaraan
Rata-rata
Jawa Sumatera Kalimantan
Indonesia
Arteri dan perkotaan 4,80 4,83 5,14 4,75
Kolektor rural 3,50 3,50 3,50 3,50
Jalan desa 1,00 1,00 1,00 1,00
Sumber: Manual Perkerasan Jalan, 2017
1. Umur Rencana
Umur rencana perkerasan baru dinyatakan pada tabel 2.22 berikut
47
Tabel 2. 22 Umur Rencana Perkerasan Jalan Baru (UR)
Umur
Jenis Perkerasan Elemen Perkerasan Rencana
(tahun)*
Lapisan aspal dan lapisan
20
berbutir**
Fondasi jalan
Semua perkerasan pelapisan
Perkerasan lentur ulang (overlay ), seperti:
jalan perkotaan, underpass ,
jembatan, terowongan
40
Cemen Trated Based
(CTB)
Lapis fondasi atas, lapis
Perkerasan kaku fondasi bawah, lapis beton
semen, dan fondasi jalan
Semua elemen (termasuk
Jalan tanpa penutup Minimum 10
fondasi jalan)
Sumber: Manual Perkerasan Jalan, 2017
Catatan:
* Jika dianggap sulit untuk menggunakan umur rencana di atas, maka
dapat digunakan umur rencana berbeda, namun sebelumnya harus
dilakukan analisis dengan discounted lifecycle cost yang dapat
menunjukkan bahwa umur rencana tersebut dapat memberikan
discounted lifecycle cost terendah. Nilai bunga diambil dari nilai
bunga rata-rata dari Bank Indonesia, yang dapat diperoleh dari
http://www.bi.go.id/web/en/Moneter/BI+Rate/Data+BI+Rate/.
** Umur rencana harus memperhitungkan kapasitas jalan.
Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang
lewat pada jalur rencana ditentukan menurut daftar dibawah ini:
48
Tabel 2. 23 Koefisien Distribusi Kendaraan
Kendaraan ringan Kendaraan berat
Jumlah Lajur
1 arah 2 arah 1 arah 2 arah
1 Lajur 1.00 1.00 1.00 1.000
2 Lajur 0.60 0.50 0.70 0.500
3 Lajur 0.40 0.40 0.50 0.475
4 Lajur - 0.30 - 0.450
5 Lajur - 0.25 - 0.425
6 Lajur - 0.20 - 0.400
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan
Metode Analisa Komponen SKBI 2.3.26.1987
49
Gambar 2. 36 Jenis Tipe Kendaraan
Sumber: Konstruksi Jalan Raya Buku 2 Perancangan Perkerasan Jalan
Raya, 2005
2.9.4 Daya Dukung Tanah Dasar (DDT dan CBR)
50
1. Tentukan harga CBR terendah.
2. Tentukan berapa banyak harga dari masing-masing nilai CBR yang
sama dan lebih besar dari masing-masing nilai CBR.
3. Angka jumlah terbanyak dinyatakan sebagai 100%. Jumlah lainnya
merupakan persentase dari 100%.
4. Dibuat grafik hubungan antara harga CBR dan persentase jumlah tadi.
5. Nilai CBR yang mewakili adalah yang didapat dari angka persentase
90%.
51
2.9.5 Faktor Regional (FR)
Faktor regional bisa juga juga disebut faktor koreksi sehubungan dengan
perbedaan kondisi tertentu. Kondisi-kondisi yang dimaksud antara lain keadaan
lapangan dan iklim yang dapat mempengaruhi keadaan pembebanan daya dukung
tanah dan perkerasan. Dengan demikian dalam penentuan tebal perkerasan ini FR
hanya dipengaruhi bentuk alinemen (Kelandaian dan Tikungan)
52
Tabel 2. 26 Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (Pt)
Roughness
Jenis Permukaan Ipo
(mm/km)
LASTON ≥4 ≤ 1000
3,9-3,5 >1000
LASBUTAG 3,9-3,5 ≤ 2000
3,4-3,0 >2000
HRA 3,9-3,5 ≤ 2000
3,4-3,0 >2000
BURDA 3,9-3,5 <2000
BURTU 3,4-3,0 <2000
LAPEN 3,4-3,0 ≤ 3000
2,9-2,5 >3000
LATASBUM 2,9-2,5
BURAS 2,9-2,5
LATASIR 2,9-2,5
JALAN TANAH ≥ 24
JALAN KERIKIL ≥ 24
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya
Dengan Metode Analisa Komponen SKBI 2.3.26.1987
53
distabilisasikan dengan semen atau kapur) atau CBR (untuk bahan lapis pondasi
atau pondasi bawah).
Tabel 2. 28 Koefisien Kekuatan Relatif
54
2.9.8.2 Lapis Pondasi Atas
Untuk setiap nilai ITP bila digunakan pondasi bawah, tebal minimum
adalah 10 cm
55
Gambar 2. 38 Nomogram 1
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya
Dengan Metode Analisa Komponen SKBI 2.3.26.1987
Gambar 2. 39 Nomogram 2
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya
Dengan Metode Analisa Komponen SKBI 2.3.26.1987
56
Gambar 2. 40 Nomogram 3
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya
Dengan Metode Analisa Komponen SKBI 2.3.26.1987
Gambar 2. 41 Nomogram 4
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya
Dengan Metode Analisa Komponen SKBI 2.3.26.1987
57
Gambar 2. 42 Nomogram 5
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya
Dengan Metode Analisa Komponen SKBI 2.3.26.1987
Gambar 2. 43 Nomogram 6
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya
Dengan Metode Analisa Komponen SKBI 2.3.26.1987
58
Gambar 2. 44 Nomogram 7
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya
Dengan Metode Analisa Komponen SKBI 2.3.26.1987
Gambar 2. 45 Nomogram 8
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya
Dengan Metode Analisa Komponen SKBI 2.3.26.1987
59
Gambar 2. 46 Nomogram 9
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya
Dengan Metode Analisa Komponen SKBI 2.3.26.1987
60
BAB III
METODE PERENCANAAN
3.1 Lokasi Perencanaan
Proyek perencanaan geometrik dan perkerasan jalan yang berlokasi di ruas
jalan Gimpu – Tuare Desa Gimpu dan Desa Moa Kecamatan Kulawai, Kabupaten
Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah pada ± KM 99+000 s.d. KM 137+000 atau
sepanjang ± 38.00 Km.
Lokasi Perencanaan
Ruas Jalan Gimpu – Tuare Desa
Gimpu dan Desa Moa, Kecamatan
Kulawai, Kabupaten Sigi, Provinsi
Sulawesi Tengah.
61
3.2 Data Perencanaan
Untuk menunjang perencanaan geometrik dan perkerasan jalan tersebut,
data penunjangan akan diuraikan sebagai berikut :
1. Peta Topografi
Peta yang memiliki infosmasi tentang ketinggian permukak tanah pada
suatu tempat pada permukaan laut, yang digambarkan dengan garis –
garis kontur. Peta topografi digunakan untuk digunakan menentukan
ketinggian dan lokasi perencanaan geometrik dan perkerasan jalan di
ruas jalan Gimpu – Tuare Desa Gimpu dan Desa Moa Kecamatan
Kulawai.
2. Lalu Lintas Harian Rata – rata (LHR)
Data lalu lintas harian rata – rata (LHR) diperoleh dari Dinas Pekerja
Umum (PU) Kabupaten Sigi, data sangat diperlukan dalam
perencanaan, karena kapasitas jalan yang akan direncanakan tergantung
dari komposisi lalu lintas yang menggunakan jalan pada di ruas jalan
Gimpu – Tuare. Lalu lintas harian rata – rata (LHR) digunakan juga
untuk menentukan lebar, tipe jalan dan perkerasan jalan.
3. Nilai California Base Ratio (CBR)
Nilai CBR diperoleh dari Dinas Pekerja Umum (PU) Kabupaten Sigi ,
nilai CBR adalah uji penetrasi untuk kekuatan mekanik tanah, pada
bagian subegrade dan konstruksi basecourses. (Juansyah, 2016) Nilai
CBR rata – rata pada masing – masing stationing untuk menentukan
perkerasan dan pondasi jalan.
4. Curah Hujan
Curah hujan diperoleh dari Dinas Pekerja Umum (PU) Kabupaten Sigi.
Curah hujan adalah jum alah air yang jatuh dipermukaan tanah selama
periode tertentu bila tidak terjadi penghilangan oleh proses evaporasi,
pengaliran dan perserapan, yang diukur dalam satuan tinggi Data ini
menggunakan dua stasiun hujan, stasiun hujan Gimpu dan stasiun hujan
Moa selama 10 tahun terakhir digunakan untuk menentukan
perencanaan tebal perkerasan lentur.
62
3.3 Metode Pengumpulan Data
Setiap perencanaan siatu konstruksi, harus didasarkan pada data pendukung
yang akurat yang dapat menggambarkan keadaan yang ada dan sebagai acuan
dalam perencanaan tersebut.
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam perencanaan ini, perencana
melakukan pengumpulan data dengan :
1. Metode pustaka yang didasarkann dengan literatur – literatur dan materi
– materi yang didapat.
2. Studi dokumentasi ppada instansi terkait untuk mendapatkan data
sekunder.
3.4 Langkah- langkah Perencanaan
3.4.1 Metode Perencanaan Geometric Jalan
1. Mentrase Jalan
Mentrase jalan pada peta topografi bertujuan untuk membuat lokasi
jalan pada peta dari titik awal dengan koordinat (x, y) ke ttik akhir yang
dihubungkan dengan garis as jalan. Tujuan dari mentrase jalan adalah :
a. Untuk mengetahui nilai garis kountur yang ada disebelah kiri dan
kanan as jalan yang nantinya digunakan untuk menentukan tipikal
galian maupun timbunan.
b. Untuk mengetahui klasifikasi medan jalan yang akan dilalui
berdasarkan nilai garis kountur pada as jalan.
c. Untuk mengetahui titik – titik tukungan berdasarkan titik
perpotongan dari trase yang direncanakan.
2. Perencanaan Alinemen Horizontal
a. Menentukan bentuk tikungan berdasarkan titik potongan
Untuk memnentukan jenis tikungan yang digunakan harus dicoba
dengan cara trial dan error.
b. Menghitung jari-jari (R) tikungan
Dengan ketentuan rumus (2.12) akan didapat R minimum dan pada
ketentuan jenis tikungan yang akan digunakan akan didapat R
maksimum, sehingga batasan untuk jari-jari tikungan adalah R min
< R.
63
c. Menghitung panjang lengkung busur lingkaran pada tikungan full
circle, tikungan spiral-circle-spiral, dan tikungan spiral-spiral yang
mengacu pada rumus (2.17) hingga (2.34) serta ketentuan -
ketentuan yang berlaku pada poin 2.7.3.
d. Membuat diagram super elevasi baik tikungan full circle, tikuangan
spiral-circle-spiral, maupun tikungan spiral-spiral berdasarkan
gambar (2.19) hingga (2.21).
e. Membuat gambar bentuk tikungan sesuai nilai-nilai yang telah
didapatkan dengan cara menggambar mengacu pada gambar (2.16)
hingga (2.18).
3. Menghitung alinemen vertikal
Dalam menghitung alinemen vertikal ini dipengaruhi oleh jarak
pandang dan tingginya penghalang. Menghitung penyimpangan dari
titik pusat perpotongan vertikal ke lengkung vertikal yaitu dengan cara
sebagai berikut :
a. Membuat potongan vertikal pada as jalan, kemudian tentukan titik
potong lengkung vertikal cekung maupun titik potong lengkung
vertikal cembung berdasarkan poin 2.8.
b. Menghitung perbedaan kelandaian A = g2-g1.
c. Menghitung besarnya pergeseran dari titik pusat perpotongan
vertikal ke lengkungan vertikal (Ev) dengan rumus (2.39).
d. Menghitung panjang lengkung vertikal (Lv) berdasarkan pada
ayarat keluwesan, syarat drainase, syarat kenyamanan, dan syarat
goncangan, nantinya (Lv) yang digunakan adalah (Lv) yang terbesar
dan efisien. (Lv) dapat dicari menggunakan rumus (2.42) hingga
(2.45)
e. Membuat gambar lengkung parabola sederhana pada potongan
vertikal, baik itu vertikal cembung maupun vertikal cekung dengan
gambar (2.26) hingga (2.27) sebagai acuan.
4. Penomoran stasioning
Penomoran panjang jalan adalah memberikan nomor pada
intervalinterval tertentu dari awal rencana jalan. Nomor jalan (sta. jalan)
64
dibutuhkan sebagai saran komunikasi untuk dengan cepat mengenal
lokasi yang sedang dibicarakan. Disamping itu dari penomoran jalan
tersebut diperoleh informasi tentang panjang jalan secara keseluruhan.
Setiap sta. jalan dilengkapi dengan gambar potongan melintang.
5. Menggambarkan perencanaan geometrik jalan yang dibuat berdasarkan
perhitungan yang dilakukan.
3.4.2 Perkerasan Jalan
Perkerasan jalan adalah konstruksi jalan yang diperuntukan bagi jalan lalu
lintas yang terletak ditanah dasar, dan pada umumnya terdiri dari lapis pondasi
bawah, lapis pondasi atas, lapis pondasi permukaan. Adapun fungsi perkerasan
jalan adalah :
a. Untuk memberikan permukaan rata / halus bagi pengguna jalan .
b. Untuk mendistribusikan beban kendaraan di atas formasi taanah
secara memadai, sehingga melindungi tanah dari tekanan
berlebihan.
c. Untuk melindungi formasi tanah dari pengaruh buruk perubahan
cuaca.
3.4.3 Merencanakan Galian dan Timbunan
65
3.4.4 Metode Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
66
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga (1983), Buku Pedoman
Penentuan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya,No.01/PD/B/1983, Badan
Penerbit Pekerjaan Umum, Jakarta.
67