Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang masih menjadi permasalahan di
dunia kesehatan hingga saat ini. Dalam situasi TB di dunia yang memburuk dengan
meningkatnya jumlah kasus TB dan pasien TB yang tidak berhasil disembuhkan terutama
di 22 negara dengan beban TB paling tinggi di dunia, World Health Organization (WHO)
melaporkan dalam Global Tuberculosis Report 2011 terdapat perbaikan bermakna dalam
pengendalian TB dengan menurunnya angka penemuan kasus dan angka kematian akibat
TB dalam dua dekade terakhir ini. Insidens TB secara global dilaporkan menurun dengan
laju 2,2% pada tahun 2010-2011. Walaupun dengan kemajuan yang cukup berarti ini,
beban global akibat TB masih tetap besar. Diperkirakan pada tahun 2011 insidens kasus
TB mencapai 8,7 juta (termasuk 1,1 juta dengan koinfeksi HIV) dan 990 ribu orang
meninggal karena TB. Secara global diperkirakan insidens TB resisten obat adalah 3,7%
kasus baru dan 20% kasus dengan riwayat pengobatan. Sekitar 95% kasus TB dan 98%
kematian akibat TB di dunia terjadi di negara berkembang.
Pada tahun 2011 Indonesia (dengan 0,38-0,54 juta kasus) menempati urutan
keempat setelah India, Cina, Afrika Selatan. Indonesia merupakan negara dengan beban
tinggi TB pertama di Asia Tenggara yang berhasil mencapai target Millenium
Development Goals (MDG) untuk penemuan kasus TB di atas 70% dan angka
kesembuhan 85% pada tahun 2006.
Pengobatan kasus TB merupakan salah satu strategi utama pengendalian TB karena
dapat memutuskan rantai penularan. Meskipun Program Pengendalian TB Nasional telah
berhasil mencapai target angka penemuan dan angka kesembuhan, penatalaksanaan TB
di sebagian besar rumah sakit dan praktik swasta belum sesuai dengan strategi Directly
Observed Treatment Short-course (DOTS) dan penerapan standar pelayanan berdasar
International Standards for Tuberculosis Care (ISTC).
Pada awalnya, penerapan strategi DOTS di Indonesia hanya dilaksanakan di pusat
kesehatan masyarakat (puskesmas). Seiring berjalannya waktu, strategi DOTS mulai
dikembangkan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) dan rumah sakit baik

1|PRONAS RSIA Permata Hati


pemerintah maupun swasta. Hasil survei prevalens TB tahun 2004 melaporkan bahwa
pola pencarian pengobatan sebagian besar pasien TB ketika pertama kali sakit adalah
rumah sakit sehingga melibatkan rumah sakit untuk melaksanakan strategi DOTS
menjadi sesuatu yang penting yang memberikan kontribusi berarti terhadap upaya
penemuan pasien TB.2,4 Tabel 1.1 menggambarkan jumlah fasilitas pelayanan kesehatan
di Indonesia yang telah menerapkan strategi DOTS.

Upaya perluasan strategi DOTS ke rumah sakit merupakan tantangan besar bagi
Indonesia dalam mengendalikan TB. Hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh
program nasional TB pada tahun 2005 menyebutkan bahwa meskipun angka penemuan
kasus TB di rumah sakit cukup tinggi, angka keberhasilan pengobatan masih rendah,
yaitu di bawah 50% dengan angka putus berobat mencapai 50%-85%.

Public-Private Mix (PPM) adalah keterlibatan seluruh penyedia kesehatan publik


dan swasta, formal dan informal dalam penyediaan perawatan TB sesuai dengan
International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) untuk pasien yang telah atau diduga
menderita TB. Belum terdapat komitmen kuat dari pihak manajemen (pimpinan rumah
sakit) dan tenaga medis (dokter umum dan spesialis) serta paramedis dalam
penanggulangan TB sesuai ISTC. Laporan hasil evaluasi Joint External TB Monitoring
Mission (JEMM) 2011 menyebutkan, dari sekitar 1523 rumah sakit di Indonesia, hanya
38% yang melaksanakan program DOTS. Public private mix memungkinkan semua

2|PRONAS RSIA Permata Hati


penyedia layanan kesehatan untuk berpartisipasi dalam memberikan gabungan yang
tepat dari tugas pelayanan kesehatan yang selaras dengan program pengendalian
penyakit nasional dan dilaksanakan secara lokal.

Ketidakpatuhan untuk berobat secara teratur bagi penderita TB tetap menjadi


hambatan untuk mencapai angka kesembuhan yang tinggi. Tingginya angka putus obat
mengakibatkan tingginya kasus resistensi kuman terhadap OAT (obat anti TB) yang
membutuhkan biaya yang lebih besar dan bertambah lamanya pengobatan. Angka putus
obat di rumah sakit di Jakarta pada tahun 2006 sekitar 7%. Berdasarkan laporan Subdit
TB Depkes RI tahun 2009, proporsi putus obat pada pasien TB paru kasus baru dengan
hasil basil tahan asam (BTA) positif berkisar antara 0,6%-19,2% dengan angka putus obat
tertinggi yaitu di provinsi Papua Barat; angka putus obat di Jakarta pada tahun 2009
sebesar 5,7%.

Banyak faktor yang memengaruhi terjadinya kasus putus obat pada pasien TB paru.
Komunikasi yang baik antara petugas kesehatan dengan pasien merupakan faktor
penting yang menentukan keberhasilan pengobatan. Penelitian yang dilakukan oleh
Janani dkk.6 di Srilanka pada tahun 2002 menyatakan bahwa putus obat berhubungan
dengan kebiasaan merokok, riwayat pengobatan TB sebelumnya, dan luas lesi radiologis.
Penelitian di India pada tahun 2004 menyimpulkan bahwa putus obat berhubungan
dengan jenis kelamin, konsumsi alkohol, usia, status pengobatan TB dan jumlah kuman
BTA pada awal pemeriksaan.7 Penelitian di Uzbekistan pada tahun 2005 menyatakan
bahwa putus obat juga berhubungan dengan status pekerjaan.8 Selain itu juga terdapat
beberapa penelitian lain yang menyatakan bahwa putus obat berhubungan dengan
status perkawinan, jarak rumah ke tempat pengobatan (RS), penghasilan, efek samping
pengobatan, tingkat pendidikan, penyakit penyerta (DM, hepatitis, tumor paru, dll),
sumber biaya pengobatan, jenis pengobatan yang digunakan dan pengawas menelan
obat (PMO).

Pelatihan DOTS bagi dokter praktik swasta telah dilaksanakan di sepuluh kota /
kabupaten di delapan provinsi (Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jogyakarta, Jawa Barat, Jawa
Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Jambi). Perkumpulan Dokter Paru Indonesia

3|PRONAS RSIA Permata Hati


(PDPI) bekerjasama dengan Program TB Nasional telah membentuk sebuah sistem yang
memfasilitasi para spesialis paru di Jakarta agar mendukung pelaksanaan PPM di
Indonesia sehingga dapat meningkatkan angka diagnosis dan kesembuhan pasien TB.
Perkumpulan Dokter Paru Indonesia pusat telah melatih 23 dokter spesialis paru dan 23
perawat di wilayah DKI. Jumlah total keseluruhan dokter yang sudah dilatih 250 orang
(data Subdit TB, tidak dipublikasikan).

B. Tujuan
1. Membuat pedoman berdasarkan bukti ilmiah untuk para praktisi yang menangani TB
2. Memberi rekomendasi bagi rumah sakit / penentu kebijakan untuk menyusun
protokol setempat atau panduan praktik klinis (PPK) dengan melakukan adaptasi
terhadap Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) ini
3. Meningkatkan angka notifikasi pasien TB
4. Mencegah TB resisten obat
5. Menjadi dasar bagi kolegium untuk membuat kurikulum
6. Menurunkan morbiditas dan mortalitas TB
C. Sasaran
1. Semua tenaga medis yang terlibat dalam penanganan TB, termasuk dokter spesialis,
dokter umum dan perawat. Panduan ini diharapkan dapat diterapkan di layanan
kesehatan primer dan rumah sakit.
2. Pembuat kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi pendidikan dan kelompok
profesi terkait.

4|PRONAS RSIA Permata Hati


BAB II
TATA LAKSANA
A. Pathogenesis
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan
paru sehingga akan terbentuk sarang pneumonik, yang disebut dengan sarang primer
atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru,
berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran
getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Perdangan tersebut diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-
sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai komplek primer. Kompleks primer akan
mengalami salah satu hal di bawah ini:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas
3. Menyebar dengan cara: perkontinuitatum menyebar ke sekitarnya, penyebaran
secara bronkogen, secara hematogen atau limfogen.
B. Klasifikasi Kasus TB
1. Letak anatomis penyakit
a. Tuberkulosis paru, yaitu kasus TB yang mengenai parenkim paru. Tuberkulosis
milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena lesinya terletak di dalam paru.
b. Tuberkulosis ekstraparu, yaitu kasus TB yang mengenai organ lain selain paru
seperti pleura, kelenjar getah bening (termasuk mediastinum dan/atau hilus),
abdomen, traktus genitourinarius, kulit, sendi, tulang dan selaput otak.
2. Hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologi
a. Hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologi
 Tuberkulosis paru BTA positif, yaitu apabila : Minimal satu dari sekurang-
kurangnya dua kali pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif pada
laboratorium yang memenuhi syarat quality external assurance(EQA).
Sebaiknya satu kali pemeriksaan dahak tersebut berasal dari dahak pagi hari.
Saat ini di Indonesia sudah memiliki beberapa laboratorium yang memenuhi
syarat EQA. Pada negara atau daerah yang belum memiliki laboratorium
dengan syarat EQA, maka TB paru BTA positif adalah: Dua atau lebih hasil

5|PRONAS RSIA Permata Hati


pemeriksaan dahak BTA positif, atau satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif
dan didukung hasil pemeriksaan foto toraks sesuai dengan gambaran TB yang
ditetapkan oleh klinisi, atau satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif
ditambah hasil kultur M. tuberculosis positif.
 Tuberkulosis paru BTA negatif, apabila: Hasil pemeriksaan dahak negatif
tetapi hasil kultur positif. Sedikitnya dua hasil pemeriksaan dahak BTA negatif
pada laboratorium yang memenuhi syarat EQA. Dianjurkan pemeriksaan
kultur pada hasil pemeriksaan dahak BTA negatif untuk memastikan diagnosis
terutama pada daerah dengan prevalens HIV> 1% atau pasien TB dengan
kehamilan ≥ 5%ATAU
o Jika hasil pemeriksaan dahak BTA dua kali negaif di daerah yang belum
memiliki fasilitas kultur M.tuberculosis
o Hasil foto toraks sesuai dengan gambaran TB aktif dan disertai salah satu
di bawah ini:
- Hasil pemeriksaan HIV positif atau secara laboratorium sesuai HIV,
atau
- Jika HIV negatif (atau status HIV tidak diketahui atau prevalens HIV
rendah), tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian antibiotik
spektrum luas (kecuali antibiotik yang mempunyai efek anti TB seperti
fluorokuinolon dan aminoglikosida).
 Kasus Bekas TB Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada)
dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto
serial (dalam 2 bulan) menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat
pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung. Pada kasus dengan
gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan
tetapi pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
Riwayat pengobatan sangat penting diketahui untuk melihat risiko resistensi obat
atau MDR. Pada kelompok ini perlu dilakukan pemeriksaan kultur dan uji
kepekaan OAT. Tipe berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu:

6|PRONAS RSIA Permata Hati


 Pasien baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah mendapatkan OAT kurang dari satu bulan.
Pasien dengan hasil dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi
penyakit di manapun.
 Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang sudah
mendapatkan pengobatan TB sebelumnya minimal selama satu bulan, dengan
hasil dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi penyakit di
manapun, terdiri dari:
o Kasus kambuh (relaps) yaitu pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau
kultur).
o Kasus setelah putus obat (default) yaitu pasien yang telah berobat dan
putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
o Kasus setelah gagal (failure) yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan dahak
tetap positif satu kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih
selama pengobatan
o Kasus pindahan (transfer in) yaitu pasien yang dipindahkan ke register lain
untuk melanjutkan pengobatannya.
o Kasus lain yaitu semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas,
seperti yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya, pernah
diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya, dan kembali diobati
dengan BTA negative.
C. Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan
bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Gejala Klinis
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala lokal dan gejala sistemik.
Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal adalah gejala respiratori
(gejala lokal sesuai organ yang terlibat). Gejala respiratori terdiri dari batuk ≥ 2
minggu, batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada. Sedangkan gejala sistemik terdiri

7|PRONAS RSIA Permata Hati


dari demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun. Pada TB
ekstraparu gejala tergantung dari organ yang terlibat, misalnya limfadenitis TB akan
terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening. Pada
meningitis TB akan terlihat gejala meningitis. Sedangkan pada pleuritis TB terdapat
gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat
cairan.
2. Pemeriksaan Fisis
Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus
superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah
apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara
napas bronkial, amforik suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan
paru, diafragma, dan mediastinum.
3. Pemeriksaan Bakteriologi
Bahan yang dapat digunakan untuk pemeriksaan bakteriologi adalah dahak, cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urine, feses dan jaringan biopsi
(termasuk biopsi jarum halus/BJH). Untuk pemeriksaan dahak dilakukan pengambila
dahak 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi hari. Pemeriksaan mikroskopis biasa
menggunakan pewarnaan Ziehl-Nielsen dan mikroskopis fluoresens menggunakan
pewarnaan auramin-rhodamin. Berdasarkan rekomendasi WHO, interpretasi
pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala International Union Against
Tuberculosis dan Lung Disease (IUATLD), antara lain:
a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negative
b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan
c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +1
d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +2
e. Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +3

8|PRONAS RSIA Permata Hati


Pemeriksaan identifikasi M.tuberculosis dapat dilakukan dengan cara biakan
(pada egg base media, yaitu Lowenstein-Jensen, Ogawa, dan Kudoh; pada agar base
media yaitu Middle Brook, Mycobacterium growth indicator tube test, BACTEC),
melalui uji molekular seperti PCR-Based Methods of IS6110 Genotyping. Uji
kepekaaan yang dapat digunakan antara lain hain test (uji kepekaan terhadap R dan
H), molecular beacon testing (uji kepekaan untuk R), dan gene x-pert (uji kepekaan
untuk R).
4. Pemeriksaan Radiologi
a. Pemeriksaan standar yang dapat digunakan adalah foto toraks PA. Pemeriksaan
lain atas indikasi yaitu foto lateral, top-lordotic, oblik, atau CT-Scan. Gambaran
radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah:
 Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
 Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
b. Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB inaktif:
 Fibrotik
 Kalsifikasi
 Schwarte atau penebalan paru.
c. Luluh paru (destroyed lung):
 Terdapatnya gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru
yang berat, biasanya secara klinis disebut dengan luluh paru. Gambaran
radiologi luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/multikavitas dan fibrosis
parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya
berdasarkan gambaran radiologi tersebut.
 Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktivitas proses
penyakit.

9|PRONAS RSIA Permata Hati


d. Luas proses yang tampak pada foto toraks dapat dinyatakan sebagai berikut ini:
 Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru, dengan
luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostenal junction
dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus
vertebra torakalis V (sela iga II) dan tidak dijumpai kavitas.
 Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.
5. Pemeriksaan Penunjang Lain
a. Analisa cairan pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan
pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi
hasil analisis yang mendukung diagnosis TB adalah uji Rivalta positif dan kesan
cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan
dan glukosa rendah.
b. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.
Pemeriksan yang dilakukan ialah pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan
dapat diperoleh melalui biopsi atau autopsy.
c. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator spesifik untuk TB.
Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai
indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi
laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan TB. Limfosit juga kurang
spesifik.

10 | P R O N A S R S I A P e r m a t a H a t i
6. Terapi Tuberkulosis
Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Pada
umumnya lama pengobatan adalah 6-8 bulan. Obat lini pertama adalah Isoniazid (H),
Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E), dan Streptomisin (S). Sedangkan obat
lini kedua adalah kanamisin, kapreomisin, amikasin, kuinolon, sikloserin, etionamid,
para-amino salisilat (PAS). Obat lini kedua hanya digunakan untuk kasus resisten
obat, terutama TB mulidrug resistant (MDR). Beberapa obat seperti kapreomisin,
sikloserin, etionamid dan PAS belum tersedia di pasaran Indonesia tetpi sudah
digunakan pada pusat pengobatan TB-MDR.

11 | P R O N A S R S I A P e r m a t a H a t i
Pengobatan TB standar dibagi menjadi:

a. Kategori -1 (2HRZE/4H3R3)
Kategori 1 ini dapat diberikan pada pasien TB paru BTA positif, TB paru BTA
negatif foto toraks positif dan TB ekstra paru.
b. Kategori- 2 (2HRZES/HRZE/5HRE)
Kategori-2 ini diberikan pada pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya
yaitu pada pasien kambuh, gagal maupun pasien dengan pengobatan setelah
putus berobat (default). Pada pasien dengan riwayat pengobatan TB lini pertama,
pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji kepekaan secara individual. Selama
menunggu hasil uji kepekaan diberikan panduan pengobatan
2HRZES/HRZE/5HRE. HRZE merupakan obat sisipan tahap intensif yang diberikan
selama satu bulan.
c. Pasien multi-drug resistant (MDR)
 6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/ 18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs
 Z: Pirazinamid, E: etambutol, Kn: kanamisin, Lfx: Levofloksasin, Eto:
Etionamid, Cs: Sikloserin.

12 | P R O N A S R S I A P e r m a t a H a t i
7. Efek Samping Obat
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.
Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat
serta evaluasi keteraturan berobat.

13 | P R O N A S R S I A P e r m a t a H a t i
8. Evaluasi klinis
a. Pasien dievaluasi secara periodic
b. Evaluasi terhadap respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta
ada tidaknya komplikasi penyakit
c. Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis
9. Evaluasi bakteriologi (0-2-6/8 bulan pengobatan)
Tujuannya adalah untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan dan
evaluasi pemeriksaan mikroskopis yaitu pada:
a. Sebelum pengobatan dimulai
b. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)

14 | P R O N A S R S I A P e r m a t a H a t i
c. Pada akhir pengobatan
Bila ada fasilitas biakan, dilakukan pemeriksan biakan dan uji kepekaan
10. Evaluasi radiologi (0-2-6/8 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
a. Sebelum pengobatan
b. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
c. Pada akhir pengobatan
11. Evaluasi pada pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2
tahun pertama setelah sembuh. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan.
Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks (sesuai indikasi/bila
ada gejala).

15 | P R O N A S R S I A P e r m a t a H a t i
BAB III
KESIMPULAN

Faktor yang mempengaruhi terjadinya kasu TBC pada NYS adalah lingkungan yang
lembab, kurangnya ventilasi dan sinar matahari, Kemudian perilaku adalah tidak ada tempat
khusus untuk dahak dan kalau batuk tidak menutup mulut. Penyakit campak disebabkan
oleh virus morbilli. Tanda khasnya berupa Koplik spot di selaput lendir pipi, dan rash kulit
yang muncul pada hari ke 14 setelah terpapar virus campak. Imunisasi campak efektif untuk
memberi kekebalan terhadap penyakit campak sampai seumur hidup.
Penyakit campak yang disebabkan oleh virus yang ganas ini dapat dicegah jika
seseorang mendapatkan imunisasi campak. Jumlah pemberian imunisasi campak diberikan
sebanyak 2 kali; 1 kali di usia 9 bulan, 1 kali di usia 6 tahun. Dianjurkan, pemberian campak
ke-1 sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari ibu sudah menurun di usia 9 bulan, penyakit
campak umumnya menyerang anak usia balita. Jika sampai 12 bulan belum mendapatkan
imunisasi campak, maka pada usia 12 bulan harus diimunisasi MMR (Measles Mump
Rubella). Imunisasi campak terdiri dari dosis 0,5 ml yang disuntikkan secara Subkutan, lebih
baik pada lengan atas. Pada setiap penyuntikan harus menggunakan jarum dan syringe yang
steril.

16 | P R O N A S R S I A P e r m a t a H a t i

Anda mungkin juga menyukai