Anda di halaman 1dari 19

DINAMIKA ISLAM KONTEMPORER

Disusun oleh :

1. Akbari Kurniawan (173221006)


2. Ilham Yulianto (173221158)
3. Royyana (173221159)

Abstrak

Islam komtemporer merupakan gagasan untuk mengkaji islam sebagai nilai alternatif
baik dalam perspektif interprestasi, tekstual maupun kajian kontekstual mengenai
kemampuan islam memberikan solusi baru kepada temuan-temuan disemua dimensi
kehidupan dari masa lampau hingga sekarang. Dewasa ini, banyak yang mengartikan
Islam secara harfiah dan ingin mengembalikan Islam seperti zaman dahulu dan
cenderung kaku. Alhasil banyak aliran-aliran yang muncul yang sering disebut ekstrim
kanan atau kelompok yang suka dengan kekerasan, kekacauan, keributan dan
menganggap agamanya paling benar dan agama selainnya salah. Untuk itu sebagai umat
manusia haruslah memiliki kesadaran yang utuh akan aspek-aspek universal yang
terkandung dalam setiap agama.

Kata kunci : Islam komtemporer, kajian kontekstual, solusi, universal

Abstract

Contemporary Islam is the idea to study Islam as an alternative value both in the
perspective of interpretation, textual and contextual studies of the ability of Islam to
provide new solutions to findings in all dimensions of life from the past to the present.
Today, many interpret Islam literally and want to restore Islam to the past and tend to be
rigid. As a result many streams that emerge are often called extreme right or groups that
like violence, chaos, commotion and consider their religion to be the most correct and
religious in addition to being wrong. For this reason, humanity must have a complete
awareness of the universal aspects contained in every religion.

Kata kunci : Contemporary Islam, contextual studies, solution, universal


BAB I

A. Latar belakang

Islam sebagai agama Allah, yang mutlak benar dengan mudah orang
sepakat menyetujuinya. Tetapi, setelah Islam menjadi agama yang dianut
masyarakat Islam sepanjang sejarah, tidaklah mudah menjawab pertanyaan
tentang apa saja ajaran Islam tersebut. Ada yang berpendapat ajaran Islam itu
hanya yang tertera dalam kitab suci dan hadis nabi, sehingga Islam adalah bersifat
normatif. Ada pula yang berpendapat selain Islam yang bersifat normatif, Islam
juga bersifat historis, menurut Harun Nasution adalah Islam yang dilaksanakan
oleh umatnya sepanjang sejarah dalam kehidupan mereka yang sedikit banyak
tidak terlepas dari perkembangan zaman dan budaya ( Ibrahim :2016).

Olehnya itu, gerakan kebangkitan umat Islam tidak hanya negara-negara


dunia Arab, tetapi negara-negara yang mayoritas beragama Islam seperti
Indonesia juga ikut memberikan warna yang diperhitungkan bagi peradaban Barat
modern. Beberapa pembaharuan kontemporer di tanah air kita tidak kalah
intelektualnya dengan negara-negara dunia Arab. Dalam tulisan ini, bertujuan
menjelaskan kembali dinamika-dinamika islam kontemporer pemikiran
kontemporer seperti Harun Nasution yang telah membawa dampak cukup besar
dalam kondisi islam saat ini. Harun Nasution memandang bahwa yang penting
diperhatikan pada pembangunan di bidang agama adalah sikap mental tradisional
menjadi sikap rasional.

Para intelektual muslim atau pemikir Islam dalam menyikapi kondisi umat
Islam berpandangan bahwa hanya pembebasan dirilah dapat mengeluarkan diri
dari kondisi tersebut. Pembebasan ini harus dimulai dengan membuka pintu
ijtihad seluas-luasnya. Memberikan kebebasan penafsiran terhadap doktrin agama
dan mengkaji ulang tradisi keagamaan kaum muslimin. maka dari itu pemikiran
kontemporer diharapkan mampu memberikan solusi terhadap masalah-masalah
keislaman dan merespon kemajuan modern.
B. Rumusan masalah
1. Pengertian Post Modernisme dan Neomodernisme Islam
2. Pengertian Islam Liberal
3. Pengertian Kultural dan Islam Struktural
4. Pengertian Post Radisionalisme Islam

C. Tujuan Makalah
1. Untuk memahami Post Modernisme dan Neomodernisme Islam
2. Untuk memahami Islam Liberal
3. Untuk memahami Kultural dan Islam Struktural
4. Untuk memahami Post Radisoanalisme Islam
BAB II

PEMBAHASAN

A. Post Modernisme dan Neomodernisme Islam

1. Post modernisme
Sebagai gerakan cultural-intelektual, postmodernisme sendiri
sudah muncul pada tahun 1960 an, yang bermula dari bidang seni
arsitektur dan kemudian merambah ke dalam bidang-bidang lain, baik itu
sastra, ilmu social, gaya hidup, filsafat, bahkan juga agama. Gerakam
Postmodernisme ini lahir di Eropa dan menjalar ke Amerika, serta
keseluruh belahan dunia ini. Postmodernisme bisa diartikan sebagai segala
kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme
maupun atas modernisme (Maksum, 2014: 305-306). Menurut para ahli
yang lainnya, seperti Louis Leahy mengartikan postmodernisme adalah
suatu pergerakan ide yang menggantikan ideide zaman modern (Leahy,
1985: 271).
Maka dapat disimpulkan bahwa postmodernisme merupakan suatu
ide baru yang menolak atau pun yang termasuk dari pengembangan suatu
ide yang telah ada tentang teori pemikiran masa sebelumnya yaitu paham
modernisme yang mencoba untuk memberikan kritikan-kritikan terhadap
modernisme yang dianggap telah gagal dan bertanggung jawab terhadap
kehancuran martabat manusia; ia merupakan pergeseran ilmu pengetahuan
dari ide-ide modern menuju pada suatu ide yang baru yang dibawa oleh
postmodernisme itu sendiri.

Post modernism demikian cepat merambah pada semua bidang


kehidupan, termasuk bidang keagamaan. Agama dalam perspektik
postmodernisme dicoba diangkat, baik sebagai bagian dari kecenderungan
sejarah kontemporer, maupun sebagai bagian dari legitimasi epistemologis
dalam mencari kebenaran setelah sekian lama menjadi kebenaran yang
terlupakan dalam paradigm pemikiran modern sebagai kecenderungan
sejarah, postmodernisme telah melupakan dimensi yang teramat penting
dalam kehidupan manusia, yakni dimensi spiritual. Oleh karena itu untuk
keluar dari lingkaran krisis tersebut, manusia mencoba kembali kepada
hikmah spiritual yang terdapat dalam semua agama.

2. Neo Modernisme

a.) pengertian Modernisme

Neo modernisme disebut sebagai sebuah gerakan pencerahan atas


pencerahan, karena faham ini sangat gigih dalam melakukan kritikan dan
gugatan terhadap modernisme yang sangat mendewakan rasio dalam ilmu
pengetahuan yang diyakini akan membawa dan mengarahkan manusia
memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dalam kehidupannya. Bagi neo
modernisme, yang terjadi adalah kondisi sebaliknya dari apa yang diyakini
oleh kaum modernis, yakni manusia bukan lagi sebagai subjek dan pelaku
untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan. Neo modernisme adalah sebuah fase
sejarah yang ingin secara tuntas mengantisipasi dan membebaskan manusia
dari segala bentuk cengkeraman zaman yang tak menyenangkan (Norris,
2003:344).

b.) Neo-Modernisme islam dalam perspektif para ahli

1. Neo-Modernisme Islam Dalam Perspektif Nurcholish Madjid

Neo-modernisme Islam memiliki pandangan bahwa klaim kebenaran


hanyalah sebuah ajaran teologi yang perlu mendapat interpretasi ulang.
Tidak ada kebenaran mutlak, sebab kebenaran tunggal hanya ada pada
Tuhan. Hal ini didasarkan pada pandangan Islam bahwa Islam merupakan
agama universal dan fitrah yang memuliakan manusia (Qodir, 2006: 91).
Berkaitan dengan persoalan pembaharuan Islam, Nurcholish Madjid telah
menawarkan suatu bentuk neo-modernisme Islam: Tauhid: Prinsip Dasar
bersandar pada pemahaman yang radikal terhadap dua prinsip dasar Islam,
konsep tauhid dan gagasan bahwa manusia adalah khalifah Allah di muka
bumi. Memandang dunia dan semua yang ada di dalamnya dengan cara
yang sakral dan transendental secara teologis dapat dianggap bertentangan
dengan inti paham monoteisme Islam (zuli : 2006).

2. Neo-Modernisme Islam Dalam Perspektif K.H. Abdurrahman Wahid

Gus Dur dapat dikategorikan sebagai seorang intelektual bebas


(independen), atau meminjam istilah Gramci – ‘intelektual organik’. Dalam
hal ini, tradisi akademik pesantren yang lebih kental, sehingga tulisan-
tulisannya cenderung fleksibel , universal, terkait dengan penghayatan realita
bahkan senantiasa bermotifkan fleksibel

Terdapat dua pemikiran pokok yang secara langsung maupun tidak langsung
telah mewarnai karya-karya yang ada yaitu pribumisasi Islam dan
humanitarianisme universal.

3. Neo-Modernisme Islam Dalam Perspektif Fazlur Rahman

Dalam iklim modernisasi yang lesu semacam ini Fazlur Rahman mencoba
menawarkan seperangkat metodologi yang sitematis dan komprehensif,
khususnya yang terkait dengan penggalian terhadap sumber- sumber ajaran
Islam, yakni Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Tawaran Rahman dalam kajian
hadis misalnya dengan menekankan pada pendekatan historis telah memberi
angin segar terhadap arah modernisasi ajaran Islam yang lebih paradigmatis.

Konsep-konsep pembaharuan Islam Fazlur Rahman mucul ini sebagai


jawaban terhadap kekurangan atau kelemahan yang terdapat pada gerakan-
gerakan Islam yang mucul sebelumnya yaitu revivalisme pra-modernis,
modernisme klasik dan neo-revivalisme (Edinburg: University press 1979).
Demikian pula aliran pemikiran ini hadir untuk mengkritisi dan sekaligus
mengapresiasi aliran-aliran pikiran Islam yang lain yang timbul sepanjang
sejarah perjalanan umat Islam serta juga pemikiran yang berkembang di Barat.

B. Islam Kultural dan Struktural

Islam kultural secara genelogis pertama di ungkapkan oleh seorang


tokoh bernama Bapak Abdurrahman Wahid dengan sebutan pribumisasi Islam
tahun 1980-an. Peribumisasi Islam yaitu Islam sebagai ajaran yang normatif
berasal dari Tuhan yang diakomodasikan ke dalam kebudayaan dari manusia
tanpa kehilangan identitasnya masing – masing, sehingga tidak ada lagi
permuniaan Islam atau menyamakan dengan praktek keagamaan masyarakat
muslim di timur tengah. Menurut Abdurrahman Wahid, Arabrasi atau proses
mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah berarti tercabutnya
masyarakat dari akar budayanya sendiri (Wahid, 2001: 118). “Islam
mempertimbangkan kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama
tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukan bererti meniggalkan norma demi
budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari
budaya dengan menggunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman
nash dengan tetap memberi peranan kepada ushul fiqih dan kaidah fiqih” (Wahid,
2001: 111). Inti dari Islam Kultural ini adalah sebagai jembatan yang
menghubungkan antara agama dan budaya. Pendapat tentang islam kultural di atas
di bantah oleh Hasan Albanna bahwa Islam adalah aqidah dan ibadah, negara
dengan kewarganegaraan, toleransi dan kekuatan, moral dan material, peradaban
dan perundang-undangan. Sesungguhnya seorang muslim untuk memperhatikan
persoalan umat. Pemikiran Al banna menitik beratkan pada dimensi struktural dan
dimensi kultural. Islam struktural untuk memayungi semua penerapan syariah
sedangkan islam struktural di bangun sebagai basis untuk menyiapkan masyarakat
menuju negara islam.
Akar Islam Kultural di Indonesia dimulai semenjak Islam hadir di Indonesia telah
terdapat gagasan untuk mengintegrasikan dan mengembangkan agama islam
dengan budaya yang selektif yang ada di masyarakat. Dalam penyebaran Islam di
indonesia telah di katakan sukses menyebarkan agama islam dengan tetap
melestarikan tradisi lokal yang telah ada, tapi dengan merubah isi/ruhnya dengan
ajaran Islam. Orang – orang Indonesia kadang – kadang sulit membedakan antara
mana nilai Islam dan mana simbol budaya Arab. Dalam buku “ Deradikaisasi
Melalui “Islam Budaya” di tulis oleh Syaiful Arif melalui islam kultural ini
menjadi lawan banding dari radikalisme islam. Artinya, Ketika kaum radikalis
hendak mereislamisasi masyarakat melalui negara maka agaenda ini akan
terbentur antropologis di masyarakat yang menampakkan wujud islam kultural
yang kuat.

Dalam memahami nilai-nilai Islam, para tokoh penyebar agama islam dulu cukup
luwes dan bijak dalam menyampaikannya ajaran islam kemasyrakatan yang
heterogen settingnilai budayanya. Di pulau jawa penyebaran di lakukan oleh para
wali songo yang sangat terkenal penyebaran agama yang di bawa oleh wali songo
yaitu dengan memasukan ajaran islam dengan penyampaiannya dengan kemasan
budaya jawa.

Sunan kalijaga misalnya menjadikan wayang kulit sebagai media dakwah Islam
dan pendidikan latihan rohani dengan menjadikan tokoh pewayangan yang
menjadi idola rakyat pada masa itu. Serta menjadikan tokoh- tokoh pewayangan
itu di berikan karakter dan sikap-sikap yang dapat mencerminkan pembelajaran
islam di masyarakat pada dahulu kala (Wiwoho, 2017 : 80).

Sunan Kalijaga menggunakan Dakwah Kultural adalah Dakwah yang dilakukan


dengan cara mengikuti budaya-budaya kultur masyarakat setempat dengan tujuan
agar dakwahnya dapat diterima dilingkungan masyarakat setempat (Departemen
Agama RI, : 17). Dakwah budaya yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga juga
terdapat dalam tembang suluk linglung dengan tandas sunan kalijaga menekan
perlunya bagi orang islam untuk melaksanakaan sholat dan puasa ramadhan
dengan tertib dan sungguh-sungguh seperti yang dicontohkan oleh rasulullah
(Sakdullah, 2014 ).

Beberapa Tradisi yang di jadikan sebagai media penanaman ajaran islam


diantaranya tradisi selametan, sesajen, nyandaran, dan sebagainya yang pada
awalnya merupakan khazanah non muslim kemudian diubah isinya dengan nilai-
nilai tauhid, sedekah dan silaturahmi tanpa mengubah bentuk dan formatnya.
Melalui cara inilah ajaran islam diterima oleh masyarakat tanpa adanya kekerasan
atau pemaksaan (Uma Farida, 2015 : 306).

Hal tersebut dapat menghasilkan dialektika antara budaya dan agama seperti
dalam penyelenggaraan sekaten di Yogyakarta atau Cerebon, di dalam perayan
hari raya atau lebaran ketupat di Jawa Timur yang di seleggarakan satu minggu
setelah idul fitri (Musa Asy’ari, 1999). Upacara sekaten ini upacara
penyelenggaraan maulid Nabi yang ditransformasikan dalam upacara sekaten.

Menurut Kuntowijoyo dalam magnum opusnya Paradigma Islam Intrepretasi


untuk Aksi, sebuah teori budaya akan memberikan jawaban atas pertanyaan –
pertanyaan ini. Pertama Apa struktur budaya tersebut, Kedua atas dasar apa
struktur itu dibagun; Ketiga, bagaimana struktur itu mengalami perubahan;
Keempat, bagaimana menerangkan variasi dalam budaya (Naupal : 2005).

Islam Struktural bermula gagasan Islam struktural merupakan titik tolak dari islam
kultural. jika Islam Kultural mengedepankan bagaimana proses peleburan dakwah
di masyarakat, maka Islam Kultural secara praktik melebarkan sayapnya ke zona-
zona pemerintahan/politik. Islam struktural adalah gerakan yang menghendaki
revitalisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan dunia (Sheila : 2000).

Menurut Seyyed Vali Reza Nasr menurutnya revivalisme menyimpan makna yang
lebih dalam, tidak hanya menggambarkan fenomena gerakan penafsiran agama
yang di dasarkan pada tulisan (scripture), akan tetapi juga merupakan gerakan
yang sangat berkaitan dengan persoalan-persoalan politik umat commuccal
politics), pembentukan identitas ( identitiy formation), persoalan kekuasaan dalam
masyarakat yang plural serta mengenai nasionalisme (Seyyed Vali Reza Nasr,
1996 :4). Menurut Muhammad Sulthon (2003), Islam struktural adalah dakwah
seacara serius dan itensif mengupayakan Islam menjadi bentuk dan
mempengaruhi Negara, untuk itu kecenderungan dakwah ini seringkali
mengambil bentuk dan masuk ke dalam kekuasaan , terlibat pada proses eksekutif,
yudikatif, dan legislatif serta bentuk-bentuk struktur sosial, politik, ekonomi, guna
menjadikan Islam basis ideologi negara, atau setidaknya memanfaatkan
memanfaatkan negara untuk mencapai tujuannya.

Contoh Islam Struktural adanya partai Islam, yakni masyumi,PKS, dan lain-lain.
Adanya sistem kepartaian merupakan hal yang berkembang di negara kita negara
sistem demokrasi. Demokrasi yang didengungkan orang-orang sekular dan
propagandis hukum posistif bukan merupakan pemecahan final bagi kader amal
islam dalam realitas gerakannya (Shalah : 2011). Pada pembahasan Islam
struktural tak dapat dipisahkan dengan berdirinya berbagai partai Islam dan
gerakan-gerakan sosial islam seperti PKS, PBB, PAN, PKB, PBR, KAMMI,
Lembaga dakwah kampus (LDK) dan lain-lain. Alasan paling mendasar gerakan –
gerakan itu karena keprihatinan terhadap demoralisasi yang terjadi secara intensif.

Kategorisasi Islam Kultural dan Islam Struktural. Bagaimana model gerakan islam
yang ideal ? kita harus paham bahwa metode ini yang baik guna melanggengkan
nilai- nilai islam dalam masyarakat. Di dalam islam kultural memang kuat dari
sisi bagaimana masyarakat itu paham akan islam, namun di sisi lain ia tidak kuat
secara politik. Jika mengandalkan salah satu ukuran kultural atau stuktural saja
maka islam itu tidak bisa di lakukan secara kaffah. Karena ada beberapa
penerapan hukum islam yang hanya dapat dilakukan apabila model Negaranya
adalah Islam. Realitas di lapangan, kita pun tak dapat menafikan bahwa saat ini
tak ada satu gerakan dakwah pun yang sifatnya hanya struktural atau kultural saja.
Contohnya gerakan dakwah seperti Jamaah Tarbiyah, Hizbut Tahrir, NU,
Muhammadiyah, dan lain-lain sebagian kecil yang telah memadukan antara
konsep islam struktural dan islam kultural. Hal ini dianggap lebih relevan dalam
ruang demokrasi. Walaupun salah satu dominan pasti salah satu memiliki
kelemahan.

C. Islam Liberal

a. Pengertian

Kata “Islam” berasal dari: salima yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk
aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh, Dari kata aslama
itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim. Orang yang memeluk
Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh pada ajaran-Nya .

Liberalisme, adalah sebuah istilah asing yang diambil dari bahasa Inggris, yang
berarti kebebasan. Kata ini kembali kepada kata “liberty” dalam bahasa
Inggrisnya, atau “liberte” menurut bahasa Perancis, yang bermakna bebas.
Liberalisme merupakan paham keebebasan, artinya manusia memiliki kebebasan
atau jika dilihat dari perspektif filsafat merupakan tata pemikiran yang landasan
pemikirannya adalah manusia yang bebas. Islam Liberal adalah sebuah istilah
yang diadopsi dari kategorisasi pengamat dan penulis asing, Leonard Binder dan
Charles Kurzman. Binder mengemukakan pandangan-pandangannya yang ingin
mendapatkan penghargaan tentang berpikir yang liberal suatu kelompok.

Pada dasarnya Islam liberal memberikan gagasan baru yang mengedepankan


pluralisme dan sekulerisme dalam tatanan kehidupan modern (El Guyani, 2008).
Pemikiran ini mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran sebagai sesuatu
yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang
terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, jadi setiap bentuk penafsiran
mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar.

b. Munculnya pemikiran Islam Liberal di Indonesia

Di Indonesia penyebaran Islam liberal telah berlangsung sejak awal tahun 70-an.
antara lain seperti Nurcholish Madjid, Masdar F. Mas’udi, Goenawan
Muhammad, Djohan Efendi, Jalaluddin Rahmat, Nazaruddin Umar, Komaruddin
Hidayat, dan Ulil Abshar Abdalla.

Nurcholic Madjid adalah salah satu seseorang yang membuka pandangan baru
yakni Islam Liberal di Indonesia. Sejak awal pemikiran Nurcholish tidak hadir
dalam suasana yang kosong sosial, karena secara teologis justru terkait dengan
munculnya fundamentalisme saat itu dan juga kuatnya pengaruh paham
ekslusifisme (Ridwan, 2002:139). Kritiknya yang keras terhadap fundamentalisme
ditujukan terhadap sebagian kalangan umat Islam yang mendorong tegaknya
syari’ah Islam di kehidupan bernegara. Dalam konteks ini pemikiran inklusif
Nurcholish yang liberal muncul sebagai perimbangan terhadap pemahaman agama
yang formal-eksklusif. Pemikiran-pemikirannya yang kritis dan liberal juga
merupakan refleksi intelektual dan kesadaran moral spiritualnya terhadap tradisi
keberagamaan yang cenderung formalistik dan tekstual oriented (Abdullah, 2004 :
23).

Dalam pemahaman keagamaan Nurcholish lebih bersifat global, seperti umat


harus menegakkan prinsip-prinsip ijtihad, berpegang pada fiqih rasional dan bebas
madzhab, memahami tauhid lebih berorientasi kepada masa depan dan tidak
sempit pada satu teologi tertentu saja (Taufik, 2005:154-156). Begitu juga dengan
keadaan tatanan masyarakat yang semakin modern membawa pemahaman agama
semakin perlu dikembangkan. Dalam pemahaman Nurcholis terbentuk dari
pertanyaan fundamental yaitu bagaimana Islam sebagai agama yang universal
yang dapat dilaksanakan sesuai ruang dan waktu. Islam diharapkan mampu
dilaksanakan dan disesuaikan masa modern. Jika terjadi konflik antara ajaran
Islam dan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan adalah bukan
menolak modernitas tersebut melainkan menafsirkan kembali ajaran tersebut
(Madjid, 2000:493).

Tidak hanya Nurcholis saja pasca era tumbangnya Orde Baru, pemikiran Islam
liberal mulai mencuat, bisa dikatakan dampak pemikran Islam liber itu sendiri,
Ulil berpendapat “Saya meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah
"organisme" yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut
nadi perkembangan manusia.Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat
pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai "patung" indah yang tak boleh
disentuh tangan sejarah.” Hal ini didasari karena menurutnya islam mengalami
ketertinggalan berbagai segala sisi.

Untuk itu Ulil menawarkan suatu bentuk penafsiran kembali terhadap teks
keagamaan dalam perspektif yang lebih segar, yakni pertama, penafsiran harus
bersifat non-literal, kontekstual, substansial, dan mampu menyesuaikan
perkembangan kehidupan yang terus berubah. Kedua, penafsiran harus dapat
memisahkan secara jernih unsur-unsur agama yangbersifat fundamental dan juga
yang bersifatkreasi budaya setempat atau dengan kata lain penafsiran harus jeli
membedakan mana yang Arab dan mana yang Islam. Ketiga, umat Islam tak boleh
memandang dirinya sebagai umat yang ekslusif dan terpisah dari umat yang
lainnya.Umat manusia harus bersatu di bawah nilai kemanusiaan karena nilai
kemanusiaan sendiri sejalan dengan ajaran Islam. Keempat, dibutuhkan struktur
sosial yang membedakan antara kekuasaan politik dan agama.Agama bersifat
pribadi atau personal sehingga menjadi urusan masing-masing pemeluknya,
sedangkan kehidupan publik ditentukan oleh kesepakatan bersama melalui
prosedur demokrasi (Taufani 2016:85–100).

Menurut Ulil (Gunawan, 2003: 147) ada bahaya jika agama terlalu dipaksakan
sebagai norma yang mengatur semua aspek kehidupan. “Over-moralisasi” atas
kehidupan sosial melalui pemberlakuan kembali norma-norma agama dalam
masyarakat bisa menimbulkan dampak yang kurang sehat. Pudarnya Pancasila
sebagai “norma publik” memang telah memungkinkan kembali naiknya agama ke
dalam panggung publik sebagai norma yang sangat kuat membentuk cara pandang
masyarakat. Dengan demikian gejala “over-moralisasi”, merupakan dampak dari
kosongnya norma publik yang bersifat universal dan umum.

Hal ini mengakibatkan dampak yang cukup kontroversi di kalangan umat islam.
Ulil juga berpandangan semua agama adalah tepat berada pada jalanNya, jalan
panjang menuju Yang Maha Benar. Semua agama, dengan demikian, adalah
benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yangberbeda-beda dalam
menghayati jalan religiusitas itu, semua agama ada dalamsatu keluarga besar yang
sama: yaitu keluarga pencipta jalan menuju kebenaranyang tak pernah ada
ujungnya. Hal tersebut menimbulkan kontroversi, karena mendapat penolakan
secara tegas bahwa pluralisme di larang, sperti MUI yang mengeluarkan fatwa
bahwa sekulerisme, liberalisme dan pluralisme adalah haram. Karena pluralisme
memiliki kecendrungan menganggap semua agama benar. Tetapi menerima
pluralitas atau keberbedaan.

2. Post Tradisionalisme

Secara historis kemunculan Post-tradisionalisme Islam di Indonesia belum ada


sumber yang jelas dan pasti kapan keberadaannya. Secara leksikal tidak di
temukan pula pengertian yang memadai tentang Post tradisionalisme Islam. Ada
beberapa indikasi yang dapat di jadikan pedoman. Di Jakarta, gagasan itu muncul
dari kalangan aktivitas muda NU pinggiran yang kurang populis. Kehadiran
mereka muncul dari kelompok kajian ilmiyah yang tergabung dalam lakspedam
NU. Menurut Marzuki Wahid (2001:20) Istilah ini memang masih diperdebatkan
dan belum mempunyai epistemologis yang jelas. Akan tetapi secara simplistis,
gerakan post-tradisionalisme dapat dipahami sebagai suatu gerakan lompat tradisi.
Gerakan ini, sebagaimana neo-tradisionalisme berangkat dari suatu tradisi yang
secara terus menerus berusaha memperbaharui tradisi tersebut dengan cara
mendialogkan dengan modernitas. Karena intensifnya berdialog dengan kenyataan
modernitas, maka terjadilah loncatan tradisi dalam kerangka pembentukan tradisi
baru yang sama sekali berbeda dengan tradisi sebelumnya.

Istilah post-tradisionalisme Islam merupakan produk pemikiran yang bebasis pada


tradisi dan ditransformasikan secara meloncat; yakni pembentukan tradisi baru
yang berakar pada tradisi miliknya, akan tatapi mempunyai jangkauan yang
sangat jauh untuk memperoleh etos progresif dalam tranformasi dirinya. Yang
dimaksud tradisi di sini adalah keseluruhan khazanah masa lalu yang hadir dalam
dan bersama kehidupan kita. Tradisi mempunyai cakupan yang cukup luas. Ia
meliputi yang bersifat maknawi (al-turats al-maknawi) seperti pemikiran, yang
berbentuk material (al-turats al-madiy) seperti norma dan kebudayaan, tradisi
nasional kebangsaan (al-turats al-qaumy) yang datang dari pendahulu kita, serta
tradisi kemanusiaan pada umumnya (al-turats al-insany) yang kita terima dari
khazanah masa lalu orang lain ( Abid al-Jabiri 1991:45 ).

Dalam kajiannya memposisikan rangkaian historis khazanah klasik sebagai


produk pemahaman yang berdialektika dengan dimensi ruang dan waktu. Tradisi
dalam konteks post-tradisionalisme Islam dipandang sebagai pendorong kemajuan
apabila dikelola secara positif dan kreatif. Diharapkan dalam pemikiran ini
masyarakat akan mampu membentuk keteraturan dan ketertiban, dan tanpanya
akan terjadi kekacauan yang akhirnya membuat suatu masyarakat mengalami
disorientasi (kesamaran arah). Pandangan post tradisionalisme islam pengetahuan
dan pemikiran harus mempunyai referensi kebudayaan atau tradisi. Sebab adanya
pembaruan disebabkan adanya tradisi. Menurut Hassan Hanafi pembaharuan
hanyalah rekonstruksi pendapat terhadap tradisi sesuai dengan kebutuhan zaman,
artinya tradisi merupakan sebuah pijakan menuju pembaharuan ( Hassan Hanafi
1992:13 ).

Pola pikir yang dikembangkan oleh post tradisionalisme Islam mengajarkan


kepada pemikiran yang bercorak talfiq dalam artian tidak terkungkung pada
madzhab tertentu. Ironis memang, satu sisi kalangan nahdliyyin memegang
madzhab tertentu yang terdoktrinkan kedalam doktrin Aswaja (ahlisunnah
waljama’ah) namun di sisi lain mereka mencoba mengembangkan pemikiran yang
bercorak liberal . Karena perkembangan sosio-kultural yang kian terus berubah,
maka membutuhkan jawabanjawaban baru dengan wacana intelektual yang baru.
Satu catatan penting yang perlu digaris bawahi bahwa corak berpikir yang
diajarkan dalam post tradisionalisme adalah mencoba menghilangkan pola
kofrontatif antara berbagai golongan pemikiran yang digantungkan dengan pola
partnership. Gejala ini akan menjadikan petanda munculnya perubahan wawasan
akibat tantangan zaman yang berubah. Meskipun pola-pola interaksi positif belum
sampai pada tingkat dialog doctrinal, namun gagasan ini sudah membentuk suatu
kesadaran baru, bahwa gagasan-gagasan yang berbeda bukan untuk saling
dikonfrontasikan melainkan dipahami sebagai kekuatan-kekuatan umat yang bisa
saling mengisi dalam rangka ukhuwwah Islamiyyah
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Postmodernisme merupakan suatu ide baru yang menolak atau pun yang
termasuk dari pengembangan suatu ide yang telah ada tentang teori pemikiran
masa sebelumnya yaitu paham modernisme yang mencoba untuk memberikan
kritikan-kritikan terhadap modernisme yang dianggap telah gagal dan
bertanggung jawab terhadap kehancuran martabat manusia; ia merupakan
pergeseran ilmu pengetahuan dari ide-ide modern menuju pada suatu ide yang
baru yang dibawa oleh postmodernisme itu sendiri.

Dengan adanya Islam kultural di Indonesia menjadikan islam tidak kaku,


tetapi elastis mengikuti perkembangan zaman dan keadaan. Tidak ada lagi
anggapan islam yang di Timur Tengah sebagai Islam yang murni dan paling
benar, karena islam sebagai agama mengalami historisitas yang terus berlanjut.
Islam kultural sebagai jawaban islam fundamental mengeluarkan gagasan.
Peratama Islam kultural memiliki sifat kontekstual, yakni Islam di pahami sebagai
ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat.

A. SARAN

Alangkah lebih baik jika kita sebagai masyarakat muslim dan sebagai umat
manusia haruslah memiliki kesadaran yang utuh akan aspek-aspek universal yang
terkandung dalam setiap agama.
DAFTAR PUSTAKA

B. Wiwoho, Islam Mencintai Nusantara Jalan Dakwah Sunan Kalijaga,


(Tangerang Selatan : Ilman, 2017), Cet 1, h. 80.

Wahid, Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Jakarta:


Desantara, 2001).

Departemen Agama RI, Al Qur’an dan terjemahan, Bandung : Syamil Cipta


Media, hlm. 17.

M. Sakdullah, Kidung Rumeksa Ing Wengi Karya Sunan Kalijaga Dalam Kajian
Teologi, Jurnal, (Semarang: 2014). Vol. 25 No 2.

Uma Farida, Islamisasi didemak Abad XV M: Kolaborasi Dinamis Ulama-Umara


Dalam Dakwah Islam Didemak, Journal (Jawa Tengah : 2015), Vol. 3, No 2,
hlm.306.

Musa Asy’ari, Filsafat Islam Tentang Kebudayaan (Yogyakarta: LESFI) 1999.

Naupal. 2005. Islam Kultural dan Islam Fundamental di Indonesia. Universitas


Indonesia

Lihat Sheila MC. Donough. Muslim Etnics and Modernity: A comparative of the
Ethnical Thought of Sayyid Ahmad Khan and Mawlana Maududi. Canada:
Canadian Coperation for studies in regional, tahun 2000

Seyyed Vali Reza Nasr. 1996. Making of islamic Revivalism. New York- Okford
: Universitiy Pess, Halaman 4

Shawi, Shalah. 2011. Ats Tsawabit Wal Mutaghayyirat: Prinsip-Prinsip Gerakan


Dakwah yang Mutlak dan Fleksibel . Surakarta: Era Adicitra Intermedia

Aries setiawan, Islam struktural dan islam kultural dalam


http://titiktemuharakah.blogspot.com/2016/05/islam-struktural-dan-islam-
kultural.html?m=1 diakses oleh ilham yulianto pad tanggal 25 November 2019
Gerakan Islam. Jakarta: Robbani Press)

Wahid, Abdurrahman. Muslim di Tengah Pergumulan. Jakarta: Lappenas, 1981.


https://www.researchgate.net/publication/316970043_POTRET_PEMIKIRAN_R
ADIKAL_JARINGAN_ISLAM_LIBERAL_JIL_INDONESIA/link/591b3e280f7
e9b7727d8a453/download diakses tanggal 21 Nov 2019 pukul 10.00 WIB

https://media.neliti.com/media/publications/184357-ID-konsep-al-islam-dalam-al-
quran.pdf diakses pada 24 Nov 2019 pukul 21.20 WIB

Jannaa,Nasitotul, 2017, Nurcholish Madjid dan Pemikirannya (Diantara


Kontribusi dan Kontroversi, CAKRAWALA : Jurnal Studi Islam

Ulil Abshar Abdalla, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, Kompas, 18


November 2002.

Samsudin M.ag, 2017, Kontroversi Pemikiran Islam Liberal Tentang Pluralisme


Agama-Agama Di Indonesia,( UIN Bandung Jurnal al-Tsaqafa Volume 14, No.
01)

Hassan Hanafi, Al-Turâth wa al-Tajdîd: Mauqifûna min al-Turâth al-Qadîm,


(Beirut: alMuassasah al-Jâmi‟iyyah li al-Dirâsat wa al-Nasr wa al-Tauzi‟, 1992),
hlm. 13

Marzuki Wahid, “Post-tradisionalisme Islam: Gairah Baru Pemikiran Islam di


Indonesia,” dalam Jurnal Tashwarul Afkar, Edisi No. 10 Tahun 2001, hal. 20

Ahmad Ali Riyadi,2013, Gerakan Post-Tradisionalisme Islam, Al-Fikra: Jurnal


Ilmiah Keislaman, Vol. 2, No. 2,

dir, Zuli, 2006., Pembaharuan Pemikiran Islam, Wacana Dan Aksi Islam di
Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Anda mungkin juga menyukai