SALEP
Disusun Oleh :
NIM : 34180259
Golongan : A2-3
YOGYAKARTA
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena dengan
rahmatnya, Karunia, dan hidayah-Nya penulis dapat menyusun makalah ini
sehingga selesai pada waktunya.
Makalah yang berjudul “SALEP” ini disusun dan dibuat berdasarkan
materi yang telah dirangkum dari sumber yang tepercaya. Selain untuk memenuhi
tugas mata kuliah teknologi formulasi sediaan cair, pembuatan makalah ini
bertujuan agar dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca. Penulis
mengharapkan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada yang telah
membantu kami dalam penyusunan makalah ini. Akhir kata, penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan
maupun materinya. Ucapan maaf dari penulis sendiri apabila terjadi kesalahan
pengetikan kata dan isi dalam makalah ini. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan
saran dari para pembaca untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
\
Yogyakarta, 04 Desember 2019
penulis
2
DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
A. KESIMPULAN .......................................................................................... 33
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Akan tetapi salep harus memiliki kualitas yang baik yaitu stabil,
tidak terpengaruh oleh suhu dan kelembaban kamar, dan semua zat yang dalam
salep harus halus. Oleh karena itu pada saat pembuatan salep terkadang
mangalami banyak masalah saleb yang harus digerus dengan homogen, agar
semua zat aktifnya dapat masuk ke pori-pori kulit dan diserab oleh kulit.
4
vitro adalah proses mencobakan bukan didalam bagian tubuh-dipermukaan kulit.
Adapun uji in vivo akan mengalami ADME dan adanya penggunaan uji in vitro
pada beberapa pengujian ditujukan untuk mengamati efek yang lebih sempurna
dari bahan cobaan.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI SALEP
6
B. PENGGOLONGAN SALEP
1. Menurut Konsistensinya, salep digolongkan menjadi 5 golongan :
a. Unguenta : adalah salep yang memiliki konsistensi seperti mentega. Tidak
mencair pada suhu biasa tetapi mudah dioleskan tanpa memakai tenaga.
b. Cream : adalah salep yang banyak mengandung air, mudah diserap kulit.
Suatu tipe yang dapat dicuci dengan air.
c. Pasta : adalah suatu salep yang mengandung lebih dari 50% zat padat
(serbuk). Suatu salep tebal karena merupakan penutup atau pelindung
bagian kulit yang diberi.
d. Cerata : adalah suatu salep berlemak yang mengandung presentase tinggi
lilin (waxes), sehingga konsistensinya lebih keras.
e. Gelones Spumae (Jelly) : adalah suatu salep yang lebih halus. Umumnya
cair dan mengandung sedikit atau tanpa lilin.
7
a. Salep hydrophobic : yaitu salep-salep dengan bahan dasar berlemak,
misanya campuran dari lemak-lemak, minyak lemak, malam yang tak
tercuci dengan air.
b. Salep hydrophilic : yaitu salep yang kuat menarik air, biasanya dasar salep
tipe o/w atau seperti dasar salep hydrophobic tetapi konsistensinya lebih
lembek, kemungkinan juga tipe w/o antara lain campuran sterol dan
petrolatum. (Depkes, 1994).
a. Kelebihan
Adapun kelebihan menggunakan sediaan salep adalah :
1. Sebagai bahan pembawa substansi obat untuk pengobatan kulit.
2. Sebagai bahan pelumas pada kulit.
3. Sebagai pelindung untuk kulit yaitu mencegah kontak permukaan kulit
dengan larutan berair dan rangsang kulit.
4. Sebagai obat luar
b. Kekurangan
Di samping kelebihan tersebut, ada kekurangan berdasarkan basis di
antaranya yaitu :
1. Kekurangan basis hidrokarbon
Sifatnya yang berminyak dapat meninggalkan noda pada pakaian serta
sulit tercuci hingga sulit di bersihkan dari permukaan kulit.
2. Kekurangan basis absorpsi :
Kurang tepat bila di pakai sebagai pendukung bahan bahan antibiotik dan
bahan bahan kurang stabil dengan adanya air Mempunyai sifat hidrofil atau
dapat mengikat air .
8
Dasar salep ini dikenal sebagai dasar salep berlemak (bebas air)
antara lain vaselin putih. Hanya sejumlah kecil komponen berair dapat
dicampur ke dalamnya. Salep ini dimaksudkan untuk memperpanjang
kontak bahan obat dengan kulit dan bertindak sebagai pembalut penutup.
Dasar hidrokarbon dipakai terutama untuk efek emolien. Dasar
hidrokarbon ini juga sukar dicuci, tidak mengering dan tidak tampak
berubah dalam waktu lama. Contoh : petrolatum, paraffin, minyak mineral.
Dasar salep absorpsi
Dasar salep absorpsi Dibagi menjadi 2 tipe :
a. Yang memungkinkan percampuran larutan berair, hasil dari pembentukan
emulsi air dan minyak. Misalnya petrolatum hidrofilik dan lanolin
anhidrat.
b. Yang sudah menjadi emulsi air minyak (dasar emulsi), memungkinkan
bercampur sedikit penambahan jumlah larutan berair. Misalnya lanolin dan
cold cream.
Dasar salep ini berguna sebagai emolien walaupun tidak menyediakan
derajat penutupan seperti yang dihasilkan dasar salep berlemak. Seperti
dasar salep berlemak dasar salep serap tidak mudah dihilangkan dari kulit
oleh pencucian air. Dasar-dasar salep ini berguna dalam farrnasi untuk
pencampuran larutan berair kedalam larutan berlemak. Contoh :
petrolatum hidrofilik, lanolin, dan lanolin anhidrida, cold cream.
Dasar salep serap dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok pertama
terdiri atas dasar salep yang dapat bercampur dengan air membentuk
emulsi air dalam minyak (parafin hidrofilik dan lanolin anhidrat) dan
kelompok kedua terdiri atas emulsi air dalam minyak yang dapat
bercampur dengan sejumlah larutan air tambahan (lanolin). Dasar salep
serap juga bermanfaat sebagai emolien.
Dasar salep yang dapat dicuci dengan air
Dasar salep ini adalah emulsi minyak dalam air antara lain salep
hidofilik yang lebih tepat disebut “krim”. Dasar salep ini dinyatakan juga
sebagai “dapat dicuci dengan air” karena mudah dicuci dari kulit atau dilap
basah, sehingga lebih dapat diterima untuk dasar kosmetik. Beberapa
9
bahan obat dapat menjadi lebih efektif menggunakan dasar salep ini
daripada dasar salep hidrokarbon. Keuntungan lain dari dasar salep ini
adalah dapat diencerkan dengan air dan mudah menyerap cairan yang
terjadi pada kelainan dermatologik. Bahan obat tertentu dapat diserap
lebih baik oleh kulit jika dasar salep lainnya. Contoh : salep hidrofilik
Kelompok ini disebut juga “dasar salep tak berlemak” dan terdiri dari
konstituen larut air. Dasar salep jenis ini memberikan banyak keuntungan
seperti dasar salep yang dapat dicuci dengan air dan tidak mengandung
bahan tak larut dalam air seperti parafin, lanolin anhidrat atau malam.
Dasar salep ini lebih tepat disebut “gel”. Dasar salep ini mengandung
komponen yang larut dalam air. Tetapi seperti dasar salep yang dapat
dibersihkan dengan air, basis yang larut dalam air dapat dicuci dengan air.
Basis yang larut dalam air biasanya disebut greaseless karena tidak
mengandung bahan berlemak. Karena dasar salep ini sangat mudah
melunak dengan penambahan air, larutan air tidak efektif dicampurkan
dengan bahan tidak berair atau bahan padat. Contohnya salep polietilen
glikol.
Pemilihan dasar salep yang tepat untuk dipakai dalam formulasi
tergantung pada pemikiran yang cermat atas beberapa faktor berikut:
a. Laju pelepasan yang diinginkan bahan obat dari dasar salep
b. Keinginan peningkatan oleh dasar salep absorbsi perkutan dari obat
c. Kelayakan melindungi lembab dari kulit oleh dasar salep
d. Jangka lama dan pendeknya obat stabil dalam dasar salep
e. Pengaruh obat bila ada terhadap kekentalan atau hal lainnya dari dasar
salep.
Semua faktor ini dan yang lainnya harus ditimbang satu terhadap
yang lainnya untuk memperoleh dasar salep yang paling baik. Harus
dimengerti bahwa tidak ada dasar salep yang ideal dan juga tidak ada yang
memiliki semua sifat yang diinginkan. Sebagai contoh suatu obat yang
10
cepat terhidrolisis, dasar salep hidrolisis akan menyediakan stabilitas yang
tinggi. Walaupun dari segi terapeutik dasar salep yang lain dapat lebih
disenangi. Pemilihannya adalah untuk mendapatkan dasar salep yang
secara umum menyediakan segala sifat yang dianggap paling diharapkan.
11
b. Lunak, yaitu semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi
lunak dan homogen, sebab salep digunakan untuk kulit yang teriritasi,
inflamasi dan ekskoriasi.
c. Mudah dipakai, umumnya salep tipe emulsi adalah yang palintg mudah
dipakai dan dihilangkan dari kulit.
d. Dasar salep yang cocok adalah dasar salep yang kompatibel secara fisika
dan kimia dengan obat yang dikandungnya.
e. Terdistribusi secara merata, obat harus terdistribusi merata melalui dasar
salep padat atau cair pada pengobatan. (Ilmu Resep Teori, hal 42)
12
2.4 PERSYARATAN SALEP MENURUT FI EDISI III
a. pemerian : tidak boleh bau tengik
b. kadar : kecuali dinyatakan lain, sebagai bahan dasar salep ( basis salep )
yang digunaakan vaselin putih ( vaselin album ), tergantung dari sifat
bahan obat dan tujuan pemakaian salep, dapat Dipilih beberapa bahan
dasar salep sebagai berikut :
Dasar salep hidrokarbon : vaselin putih, vaselin kunig, malam putih atau
malam kunig atau campurannya.
Dasar salep serap : lemak, bulu domba campuran 3 bagian kolestrol dan 3
bagian stearil alcohol, campuran 8 bagian malam putih dan 8 bagian
vaselin putih.
Dasar salep yang dapat larut dalam air
Dasar salep yangdapat dicuci dengan air
c. Homogenitas : jika dioleskan pada sekeping kaca atau bahan transparan
lain yang cocok harus menunjukan susunan yang homogen.
d. Penandaan : etiket harus tertera ”obat luar “
13
BA=100.KA100-KA
KA=100.BA100-BA
14
f = harga aktif dari larutan standar (mg air/ml),
a = larutan standar yang dibutuhkan (ml),
b = larutan standar yang diperlukan dalam penelitian blanko (ml),
P = penimbangan zat (mg)
3. KONSISTENSI
Konsistensi merupakan suatu cara menentukan sifat berulang, seperti
sifat lunak dari setiap sejenis salap atau mentega, melalui sebuah angka
ukur. Untuk memperoleh konsistensi dapat digunakan metode sebagai
berikut:
• Metode penetrometer.
• Penentuan batas mengalir praktis
4. PENYEBARAN
Penyebaran salap diartikan sebagai kemampuan penyebarannya pada
kulit. Penentuannya dilakukan dengan menggunakan entensometer.
5. TERMORESISTENSI
Dihasilkan melalui tes berayun. Dipergunakan untuk
mempertimbangkan daya simpan salep di daerah dengan perubahan iklim
(tropen) terjadi secara nyata dan terus-menerus.
6. UKURAN PARTIKEL
Untuk melakukan penelitian orientasi, digunakan grindometer yang
banyak dipakai dalam industri bahan pewarna.
Metode tersebut hanya menghasilkan harga pendekatan, yang tidak
sesuai dengan harga yang diperoleh dari cara mikroskopik, akan tetapi
setelah dilakukan peneraan yang tepat, metode tersebut daat menjadi
metode rutin yang baik dan cepat pelaksanaannya.
7. Uji Daya Proteksi Salep
Pengujian daya proteksi salep dilakukan untuk mengetahui
kemampuan salep untuk melindungi kulit dari pengaruh luar seperti asam,
basa, debu, polusi dan sinar matahari.
15
Uji In Vitro merupakan suatu uji sediaan dalam pengaruh bentuk sediaan
terhadap laju disolusi. Misalnya, dalam melakukan suatu eksperimen dapat
dilakukan untuk menyelidiki pengaruh bentuk sediaan kapsul, tablet dan sediaan
pelepasan diperlambat terhadap disolusi sulfadiazin dalam medium lambung
buatan pH 1,2.
16
dengan mitra molekulnya. Saat ini, dalam penelitian in vitro adalah vital dan
sangat produktif.
Namun, kondisi yang terkendali hadir dalam sistem in vitro berbeda secara
signifikan dari yang in vivo, dan dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Oleh
karena itu, dalam studi in vitro biasanya diikuti oleh studi vivo. Contohnya
termasuk:
Uji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian.
Pemeriksaan yang dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan
lisis sel darah merah, RAST, uji pelepasan histamin, uji sensitisasi jaringan
(basofil/lerkosit serta esai sitokin dan reseptor sel), sedangkan pemeriksaan rutin
seperti IgE total dan spesifik, uji Coomb’s, uji komplemen dan lain-lain bukanlah
untuk konfirmasi alergi obat.
17
menunjukkan kerja optimal, maka pengujian in vitro berlaku untuk control
produksi {Voigt, 1995}.
Kemampuan bahan obat untuk berpenetrasi ke dalam kulit dan mencapai efek
yang diharapkan ditentukan oleh dua proses yang berurutan yaitu bahan obat
harus dapat terbebaskan dari sediaan untuk mencapai permukaan kulit, kemudian
bahan obat harus dapat berpenetrasi ke dalam kulit menuju saluran sistemik
(Ostrcnga, Steinoetz dan Poulsen, 1971).
Bila suatu obat diberikan secara topikal maka obat akan lepas dari
pembawanya, kemudian berdifusi pasif nenuju ke epidermis dan dermis.
Kecepatan pelepasan obat dari sediaan topikal secara langsung tergantung pada
sifat fisika kimia pembawa dan obat yang digunakan. Ketersediaan biologis obat
yang digunakan tergantung kecepatan pelepasan obat dari pembawa dan
permeabilitas obat melewati kulit (Banker dan Rhodes, 1979).
Difusi senyawa atau obat secara in vitro tergantung tidak hanya oleh pembawa
(Delonca et al, 1977; Ogiso dan Shintani,1990) dan sifat fisika kimia obat tetapi
juga parameter-parameter percobaan. Seperti percobaan yang telah dilakukan oleh
Walkow dan McGinity (f 987), Itoh et al (199O), Taro Ogiso dan Masako
Shintani (1990) dan Harada et al 11992) menunjukkan bahwa tipe membran dan
komposisi cairan penerima {Walkow dan McGinity, 1987) dapat mempengaruhi
profil difusi. Difusi metil salisilat sangat tergantung pada tipe membran yang
dipakai (Walkow dan McGinity, 1987).
DISOLUSI
18
Disolusi didefinisikan sebagai proses dimana suatu zat padat masuk ke
dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah
proses dimana zat padat melarut. Secara prinsip dikendalikan oleh afinitas antara
zat padat dengan pelarut. Dalam penentuan kecepatan disolusi dari berbagai
bentuk sediaan padat terlibat berbagai proses disolusi yang melibatkan zat murni.
Karakteristik fisik sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi
media disolusi ke dalam sediaan, proses pengembangan, proses disintegrasi, dan
degradasi sediaan, merupakan sebagaian dari faktor yang mempengaruhi
karakteristik disolusi obat dari sediaan.
Kecepatan Pelarutan
dc = DAK (Cs-C)
dt h
dimana :
19
C : konsentrasi obat dalam bagian terbesar pelarut
Banyak cara untuk mengungkapkan hasil kecepatan pelarutan suat zat atau
sediaan. Selain persamaan di atas cara lain untuk mengungkapkan pelarutan
adalah sebagai berikut :
1. Metode Klasik
Metode ini dapat menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t,
yang kemudian dikenal dengan T-20, T-50, T-90, dan sebagainya. Karena dengan
metode ini hanya menyebutkan 1 titik saja, maka proses yang terjadi di luar titik
tersebut tida diketahui. Titik terebut menyatakan jumlah zat aktif yang terlarut
pada waktu tertentu.
2. Metode Khan
DE = 0t ∫Y dt x 100%
Y100.t
20
a. dapat menggambarkan seluruh proses percobaan yang dimaksud dengan
harga DE
b. dapat menggambarkan hubungan antara percobaan in vitro dan in vivo
karena penggambaran dengan cara DE ini mirip dengan cara
penggambaran pecobaan in vivo
Uji disolusi hamper di semua negar telah mengikuti kriteria dan peralatan
yang sama. Sedangkan metode dan peralatan secara rinci dinyatakan dalam
masing-masing farmakope, seperti jecepatan pengadukan, komposisi volume
media dan ukuran mesh dapat bervariasi untuk monografi individu obat dan
masing-masing farmakope.
21
Di dalam pembahasan untuk memahami mekanisme disolusi, kadang-kadang
digunakan salah satu model atau gabungan dari model-model tersebut.
Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada permukaan
padat terdapat satu lapis tipis cairan dengan ketebalan ℓ , merupakan komponen
kecepatan negatif dengan arah yang berlawanan dengan permukaan padat
(Banakar, 1992)Reaksi pada permukaan padat-cair berlangsung cepat. Begitu
model solut melewati antar muka “liquid film – bulk film”,pencampuran secara
cepat akan terjadi dan gradien konsentrasi akan hilang. Karena itu kecepatan
disolusi ditentukan oleh difusi gerakan Brown dari molekul dalam liguid film
(Banakar, 1992).
Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat dan
dalam hal ini terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan seperti (Banakar,
1992).Sebagai hasilnya, tidak dianggap adanya kesetimbangan padatan-larutan,
dan hal ini harus dijadikan pegangan dalam membahas model ini. Proses pada
antar muka padat-cair sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau dari proses
transpor. Transpor yang relatif cepat terjadi secara difusi melewati lapisan tipis
statis (stagnant)
(Banakar, 1992).
22
Laju disolusi obat secara in vitro dipengaruhi beberapa faktor, antara lain:
Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas
permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju
disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan
obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada
umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas.
Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika
pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat
bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil
daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah
terdisolusi daripada bentuk kristal (Shargel dan Yu, 1999).
2. Faktor formulasi
Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat
mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka
antara medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara
langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob
seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan
medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks
dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang
membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah
obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat
yang diabsorpsi (Shargel dan Yu, 1999).
23
Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan
menyebabkan perbedaan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan
mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka
gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan
pelarutan. Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari medium, serta
pengambilan sampel juga dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat
(Swarbrick dan Boyland, 1994b; Parrott, 1971)
Dua sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk menunjukkan
(2) laju pelepasan seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju
pelepasan dari batch yang telah dibuktikan berbioavailabilitas dan efektif secara
klinis (Lachman et al., 1994).
Difusi senyawa atau obat secara in vitro tergantung tidak hanya oleh
pembawa (Delonca et al, 1977; Ogiso dan Shintani,1990) dan sifat fisika kimia
obat tetapi juga parameter-parameter percobaan. Selain itu, bentuk sediaan juga
kurang lebih membawa pengaruh yang cukup banyak terhadap uji in vitro ini.
24
b) Suhu, umumnya semakin tinggi suhu medium akan semakin banyak zat aktif
yang terlarut. Suhu medium dalam percobaan harus dikendalikan pada keadaan
yang konstan umumnya dilakukan pada suhu 37oC, sesuai dengan suhu tubuh
manusia. Adanya kenaikan suhu selain dapat meningkatkan gradien konsentrasi
juga akan meningkatkan tetapan difusi, sehingga akan menaikkan kecepatan
disolusi (Shargel et al., 2005).
d) Wadah, ukuran dan bentuk dapat mempengaruhi laju dan tingkat kelarutan.
Untuk mengamati kemaknaan dari obat yang sangat tidak larut dalam air mungkin
perlu wadah berkapasitas besar (Shargel et al., 2005).
25
A = kompartemen donor
B = kompartemenreseptor
C = membran
D = O-ring
E = water jacket
F = pengaduk magnetik
G = tempat pengambilan sampel
Kecepatan penetrasi zat aktif pada steady state ( fluks, J, μg cm-2jam-1) dapat
dihitung dengan menggunakan rumus:
J=Q/A·t
J = D A K / h (C2 – C1)
26
KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN
Kejelekan dari metode ini adalah kondisi percobaan tidak sama dengan kondisi
jaringan kulit yang asli, terutama mengenai pengadaan aliran darah (Barry, 1983).
Uji In Vivo merupakan suatu uji sediaan dalam pengaruh rute pemberian
terhadap bioavailabilitas. Misalnya, dalam melakukan suatu eksperimen dapat
27
dilakukan untuk menyelidiki pengaruh rute pemberian terhadap parameter
farmakokinetik menggunakan data konsentrasi obat dalam darah.
Uji invivo.
Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik
yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus bersifat
non iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini manfaatnya sangat terbatas
karena baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui dan
tersedia untuk uji kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap
makro molekul: insulin, antisera, ekstrak organ, sedang untuk mikromolekul sejauh
ini hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja.
28
terjadinya anafilaksis sehingga hanya dianjurkan dilakukan ditempat yang
memiliki fasilitas dan tenaga yang memadai. Karena itu maka uji provokasi
merupakan indikasi kontra untuk alergi obat yang berat misalnya anafilaksis,
sindroma Steven Johnson, dermatitis eksfoliatif, kelainan hematology, eritema
vesiko bulosa. Uji provokasi dilakukan setelah eliminasi yang lamanya tergantung
dari masa paruh setiap obat.
Bioavailabilitas
Sebagai cabang ilmu yang relatif baru, ditemukan berbagai definisi tentang
bioavailabilitas dalam berbagai literatur. Bagian yang esensial dalam konsep
bioavailabilitas adalah absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik. Ada 2 unsur
penting dalam absorpsi obat yang perlu dipertimbangkan,yaitu :
Kedua faktor ini sangat kritis dalam memperoleh efek terapeutik yang
diinginkan dengan toksisitas yang minimal.Atas dasar kedua faktor ini dapat
diperkirakan bagaimana seharusnya definisi tentang bioavailabilitas.
29
Dua definisi berikut ini merupakan definisi yang relative lebih sesuai
dengan kedua faktor di atas adalah :
Definisi 1:
Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat dan
jumlah obat tersebut yang diabsorpsi secara utuh oleh tubuh, dan masuk ke dalam
sirkulasi sistemik.
Definisi 2 :
a. Bioavailabilitas in vivo dari suatu produk obat dilakukan jika laju dan jumlah
absorpsi produk, sebagaimana dinyatakan oleh perbandingan parameter-parameter
terukur (misal konsentrasi bahan obat aktif dalam darah, laju ekskresi urin dan
efek farmakologik), tidak berbeda secara bermakna dengan bahan pembanding.
b. Teknik analisis statistik yang dipakai hendaknya cukup peka untuk menemukan
perbedaan laju dan jumlah absorpsi yang tidak disebabkan oleh adanya perbedaan
subjek.
c. Suatu produk obat yang berbeda dari bahan pembanding dalam hal laju
absorpsi, tetapi tidak berbeda dalam jumlah absorpsi, dapat dianggap berada
dalam sistematik jika perbedaan laju absorpsi disengaja dan dinyatakan dengan
tepat dalam label dan atau laju absorpsi tidak mengganggu keamanan dan
efektifitas produk obat (Shargel et al, 2005).
30
Untuk produk-produk tertentu availabilitas dapat ditunjukkan dengan fakta yang
diperoleh secara in vitro. Studi disolusi obat memberikan indikasi yang sama
dengan bioavailabilitas obat. Idealnya, disolusi obat in vitro berkorelasi dengan
bioavailabilitas obat in vivo (Shargel et al., 2005).
kondisi fisiologis kulit yang meliputi antara lain keadaan dan umur kulit
aliran darah
tempat pengolesan
kelembaban dan suhu kulit (Devissaquet dan Aiache, 1993),
METODE IN VIVO
31
Uji invivo.
• Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik
• Bahan uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindari positif palsu.
• Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro molekul:
insulin, antisera, ekstrak organ, sedang untuk mikromolekul sejauh ini
hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja.
Keuntungan dari uji in vivo ini adalah hasil yang diperoleh lebih akurat karena
langsung mengacu pada efek farmakodiamik dari sediaan tersebut.
Kelinci dicukur punggungnya dengan luas 25 cm 2 (5x5 cm2), lalu sediaan (contoh
salep) seberat 4 gram dioleskan pada daerah yang dicukur tersebut, ditutup
punggungnya dengan alumunium foil dan dibalut. Pengambilan sampel darah
dilakukan pada jam ke 0,25; 0,5; 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7; 24; 28; 32. Sampel darah 1 ml
diberi EDTA, diambil TCA 1 ml, disentrifus selama 15 menit, lalu campuran
diambil 1.0 ml ditambah aquadest 2.0 ml selanjutnya dibaca absorbansinya pada
spektrofotometer UV dengan panjang gelombang 276 nm. Dengan uji in vitro
akan diperoleh harga DE sedangkan uji in vivo akan diperoleh harga Kel dan Ka
zat aktif dari beberapa ba
32
BAB III
A. KESIMPULAN
Uji In Vitro merupakan suatu uji sediaan dalam pengaruh bentuk sediaan
terhadap laju disolusi. Misalnya, dalam melakukan suatu eksperimen dapat
dilakukan untuk menyelidiki pengaruh bentuk sediaan kapsul, tablet dan sediaan
pelepasan diperlambat terhadap disolusi sulfadiazin dalam medium lambung
buatan pH 1,2.
Uji In Vivo merupakan suatu uji sediaan dalam pengaruh rute pemberian
terhadap bioavailabilitas. Misalnya, dalam melakukan suatu eksperimen dapat
dilakukan untuk menyelidiki pengaruh rute pemberian terhadap parameter
farmakokinetik menggunakan data konsentrasi obat dalam darah.
Namun, kondisi yang terkendali hadir dalam sistem in vitro berbeda secara
signifikan dari yang in vivo, dan dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Oleh
karena itu, dalam studi in vitro biasanya diikuti oleh studi vivo.
33
B. 3.2 USUL DAN SARAN
34
DAFTAR PUSTAKA
C.F. Van Duin, Dr., (1947). Ilmu Resep edisi Kedua. Jakarta : Soeroengan
Moh. Anief, Drs. Apoteker. (2006). Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta : UGM
Pres
35