Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH TEKNOLOGI DAN FORMULASI SEDIAAN CAIR

SALEP

Disusun Oleh :

Nama : Rachma Septia Cahya Ningrum

NIM : 34180259

Golongan : A2-3

Instruktur : Khafidoh K. S.Farm., Apt.

LABORATURIUM TEKNOLOGI DAN FORMULASI SEDIAAN CAIR

PRODI DIII FARMASI STIKES SURYA GLOBAL

YOGYAKARTA

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena dengan
rahmatnya, Karunia, dan hidayah-Nya penulis dapat menyusun makalah ini
sehingga selesai pada waktunya.
Makalah yang berjudul “SALEP” ini disusun dan dibuat berdasarkan
materi yang telah dirangkum dari sumber yang tepercaya. Selain untuk memenuhi
tugas mata kuliah teknologi formulasi sediaan cair, pembuatan makalah ini
bertujuan agar dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca. Penulis
mengharapkan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada yang telah
membantu kami dalam penyusunan makalah ini. Akhir kata, penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan
maupun materinya. Ucapan maaf dari penulis sendiri apabila terjadi kesalahan
pengetikan kata dan isi dalam makalah ini. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan
saran dari para pembaca untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
\
Yogyakarta, 04 Desember 2019

penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3

BAB I ...................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN .................................................................................................. 4

A. LATAR BELAKANG ................................................................................. 4

A. DEFINISI SALEP ........................................................................................ 6

B. PENGGOLONGAN SALEP ....................................................................... 7

C. KELEBIHAN DAN KEKURANAGN SALEP ........................................... 8

D. BAHAN PENYUSUN DASAR SALEP ..................................................... 8

BAB III ................................................................................................................. 33

KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 33

A. KESIMPULAN .......................................................................................... 33

B. 3.2 USUL DAN SARAN .......................................................................... 34

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 35

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salep adalah sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian


topikal pada kulit atau selaput lendir (FI ed IV). Bahan obatnya larut atau
terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok (FI ed III). Salep tidak boleh
berbau tengik. Kecuali dinyatakan lain kadar bahan obat dalam salep yang
mengandung obat keras atau narkotik adalah 10 %. Sedian setengan padat ini
tidak menggunakan tenaga.

Akan tetapi salep harus memiliki kualitas yang baik yaitu stabil,
tidak terpengaruh oleh suhu dan kelembaban kamar, dan semua zat yang dalam
salep harus halus. Oleh karena itu pada saat pembuatan salep terkadang
mangalami banyak masalah saleb yang harus digerus dengan homogen, agar
semua zat aktifnya dapat masuk ke pori-pori kulit dan diserab oleh kulit.

Obat bentuk sediaan setengah padat pada umumnya hanya


digunakan sebagai obat luar, dioleskan pada kulit untuk keperluan terapi atau
berfungsi sebagai pelindung kulit. Sediaan setengah padat terdiri dari salep, pasta,
dan krim. Salah satu obat dalam bentuk krim yang digunakan untuk pemakaian
luar adalah Kloramfenikol. Antibiotikum broadspektrum ini berkhasiat terhadap
hampir semua kuman Gram- positif dan sejumlah Gram-negatif, juga terhadap
spirokhaeta, chlamydia trachomatis danMycoplasma. Tidak aktif terhadap suku
Psedeomonas, Proteus dan Enterobacter Khsiatnya bersifat bakteriostatis terhadap
Enterobacter dan staph. Aureus berdasarkan pertintangan sintesa polipeptida
kuman. Kloramfenikol bekerja bakterisid terhadap Str. pneumoniae, Neiss.
meningitides dan H. influenzae.

Sejauh ini pengertian In Vivo adalah dalam tubuh dari dalam,


sedangkan In Vitro adalah dari luar. Secara tidak langsug uji in vivo adalah tes
yang dilakukan dengan cara mencobakan ke dalam bagian tubuh, sedangkan uji in

4
vitro adalah proses mencobakan bukan didalam bagian tubuh-dipermukaan kulit.
Adapun uji in vivo akan mengalami ADME dan adanya penggunaan uji in vitro
pada beberapa pengujian ditujukan untuk mengamati efek yang lebih sempurna
dari bahan cobaan.

Pembuatan sediaan setengah padat atau salep sangat penting


diketahui untuk dapat diterapkan pada pelayanan kefarmasian khususnya di
apotik, puskesmas maupun rumah sakit.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI SALEP

Salep (unguents) adalah preparat setengah padat untuk


pemakaian luar. Preparat farmasi setengah padat seperti salep, sering memerlukan
penambahan pengawet kimia sebagai antimikroba, pada formulasi untuk
mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang terkontaminasi. Pengawet-
pengawet ini termasuk hidroksibenzoat, fenol-fenol, asam benzoat, asam sorbat,
garam amonium kuartener, dan campuran-campuran lain. Preparat setengah padat
menggunakan dasar salep yang mengandung atau menahan air, yang membantu
pertumbuhan mikroba supaya lebih luas daripada yang mengandung sedikit uap
air, dan oleh karena itu merupakan masalah yang lebih besar dari
pengawetan (Chaerunnisa, 2009).
Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan
digunakan sebagai obat luar. Bahan obat harus larut atau terdispend homogen
dalam dasar salep yang cocok. Pemerian Tidak boleh berbau tengik. Kadar kecuali
dinyatakan lain dan untuk salap yang mengandung obat keras atau obat narkotik ,
kadar bahan obat adalah 10 %. Kecuali dinyatakan sebagai bahan dasar digunakan
Vaselin putih . Tergantung dari sifat bahan obat dan tujuan pemakaian, dapat
dipilih salah satu bahan dasar berikut: dasar salep senyawa hidrokarbon Vasellin
putih, vaselin kuning atau campurannya dengan malam putih, dengan Malam
kuning atau senyawa hidrokarbon lain yang cocok; dasar salep serap lemak bulu
domba dengan campuran 8 bagian kolesterol 3 bagian stearik alcohol 8 bagian
malam putih dan 8 bagian vaselin putih, campuran 30 bagian Malam kuning dan
70 bagian Minyak Wijen; dasar salap yang dapat dicuci dengan air. Emulsi
minyak dan air; dasar salap yang dapat larut dalam air Polietilenglikola atau
campurannya. Homogenitas jika dioleskan pada sekeping kaca atau bahan
transparan lain yang cocok, harus menunjukkan susunan yang homogen (Anif,
2000)

6
B. PENGGOLONGAN SALEP
1. Menurut Konsistensinya, salep digolongkan menjadi 5 golongan :
a. Unguenta : adalah salep yang memiliki konsistensi seperti mentega. Tidak
mencair pada suhu biasa tetapi mudah dioleskan tanpa memakai tenaga.
b. Cream : adalah salep yang banyak mengandung air, mudah diserap kulit.
Suatu tipe yang dapat dicuci dengan air.
c. Pasta : adalah suatu salep yang mengandung lebih dari 50% zat padat
(serbuk). Suatu salep tebal karena merupakan penutup atau pelindung
bagian kulit yang diberi.
d. Cerata : adalah suatu salep berlemak yang mengandung presentase tinggi
lilin (waxes), sehingga konsistensinya lebih keras.
e. Gelones Spumae (Jelly) : adalah suatu salep yang lebih halus. Umumnya
cair dan mengandung sedikit atau tanpa lilin.

2. Menurut Efek Terapinya, salep digolongkan menjadi 3 golongan :


a. Salep Epidermic (Salep Penutup)
Digunakan pada permukaan kulit yang berfungsi hanya untuk
melindung kulit dan menghasilkan efek lokal, karena bahan obat tidak
diabsorbsi. Dasar salep yang terbaik adalah senyawa hidrokarbon
(vaselin).
b. Salep Endodermic
Salep dimana bahan obatnya menembus kedalam tetapi tidak melalui
kulit dan terabsorbsi sebagian. Dasar salep yang baik adalah minyak
lemak.
c. Salep Diadermic (Salep Serap)
Salep dimana bahan obatnya menembus ke dalam melalui kulit dan
mencapai efek yang diinginkan karena diabsorbsi seluruhnya. Dasar salep
yang baik adalah adeps lanae dan oleum cacao.

3. Menurut Dasar Salepnya, salep digolongkan menjadi 2 golongan :

7
a. Salep hydrophobic : yaitu salep-salep dengan bahan dasar berlemak,
misanya campuran dari lemak-lemak, minyak lemak, malam yang tak
tercuci dengan air.
b. Salep hydrophilic : yaitu salep yang kuat menarik air, biasanya dasar salep
tipe o/w atau seperti dasar salep hydrophobic tetapi konsistensinya lebih
lembek, kemungkinan juga tipe w/o antara lain campuran sterol dan
petrolatum. (Depkes, 1994).

C. KELEBIHAN DAN KEKURANAGN SALEP

a. Kelebihan
Adapun kelebihan menggunakan sediaan salep adalah :
1. Sebagai bahan pembawa substansi obat untuk pengobatan kulit.
2. Sebagai bahan pelumas pada kulit.
3. Sebagai pelindung untuk kulit yaitu mencegah kontak permukaan kulit
dengan larutan berair dan rangsang kulit.
4. Sebagai obat luar

b. Kekurangan
Di samping kelebihan tersebut, ada kekurangan berdasarkan basis di
antaranya yaitu :
1. Kekurangan basis hidrokarbon
Sifatnya yang berminyak dapat meninggalkan noda pada pakaian serta
sulit tercuci hingga sulit di bersihkan dari permukaan kulit.
2. Kekurangan basis absorpsi :
Kurang tepat bila di pakai sebagai pendukung bahan bahan antibiotik dan
bahan bahan kurang stabil dengan adanya air Mempunyai sifat hidrofil atau
dapat mengikat air .

D. BAHAN PENYUSUN DASAR SALEP


Dasar salep hidrokarbon

8
Dasar salep ini dikenal sebagai dasar salep berlemak (bebas air)
antara lain vaselin putih. Hanya sejumlah kecil komponen berair dapat
dicampur ke dalamnya. Salep ini dimaksudkan untuk memperpanjang
kontak bahan obat dengan kulit dan bertindak sebagai pembalut penutup.
Dasar hidrokarbon dipakai terutama untuk efek emolien. Dasar
hidrokarbon ini juga sukar dicuci, tidak mengering dan tidak tampak
berubah dalam waktu lama. Contoh : petrolatum, paraffin, minyak mineral.
Dasar salep absorpsi
Dasar salep absorpsi Dibagi menjadi 2 tipe :
a. Yang memungkinkan percampuran larutan berair, hasil dari pembentukan
emulsi air dan minyak. Misalnya petrolatum hidrofilik dan lanolin
anhidrat.
b. Yang sudah menjadi emulsi air minyak (dasar emulsi), memungkinkan
bercampur sedikit penambahan jumlah larutan berair. Misalnya lanolin dan
cold cream.
Dasar salep ini berguna sebagai emolien walaupun tidak menyediakan
derajat penutupan seperti yang dihasilkan dasar salep berlemak. Seperti
dasar salep berlemak dasar salep serap tidak mudah dihilangkan dari kulit
oleh pencucian air. Dasar-dasar salep ini berguna dalam farrnasi untuk
pencampuran larutan berair kedalam larutan berlemak. Contoh :
petrolatum hidrofilik, lanolin, dan lanolin anhidrida, cold cream.
Dasar salep serap dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok pertama
terdiri atas dasar salep yang dapat bercampur dengan air membentuk
emulsi air dalam minyak (parafin hidrofilik dan lanolin anhidrat) dan
kelompok kedua terdiri atas emulsi air dalam minyak yang dapat
bercampur dengan sejumlah larutan air tambahan (lanolin). Dasar salep
serap juga bermanfaat sebagai emolien.
Dasar salep yang dapat dicuci dengan air
Dasar salep ini adalah emulsi minyak dalam air antara lain salep
hidofilik yang lebih tepat disebut “krim”. Dasar salep ini dinyatakan juga
sebagai “dapat dicuci dengan air” karena mudah dicuci dari kulit atau dilap
basah, sehingga lebih dapat diterima untuk dasar kosmetik. Beberapa

9
bahan obat dapat menjadi lebih efektif menggunakan dasar salep ini
daripada dasar salep hidrokarbon. Keuntungan lain dari dasar salep ini
adalah dapat diencerkan dengan air dan mudah menyerap cairan yang
terjadi pada kelainan dermatologik. Bahan obat tertentu dapat diserap
lebih baik oleh kulit jika dasar salep lainnya. Contoh : salep hidrofilik

Dasar salep larut air

Kelompok ini disebut juga “dasar salep tak berlemak” dan terdiri dari
konstituen larut air. Dasar salep jenis ini memberikan banyak keuntungan
seperti dasar salep yang dapat dicuci dengan air dan tidak mengandung
bahan tak larut dalam air seperti parafin, lanolin anhidrat atau malam.
Dasar salep ini lebih tepat disebut “gel”. Dasar salep ini mengandung
komponen yang larut dalam air. Tetapi seperti dasar salep yang dapat
dibersihkan dengan air, basis yang larut dalam air dapat dicuci dengan air.
Basis yang larut dalam air biasanya disebut greaseless karena tidak
mengandung bahan berlemak. Karena dasar salep ini sangat mudah
melunak dengan penambahan air, larutan air tidak efektif dicampurkan
dengan bahan tidak berair atau bahan padat. Contohnya salep polietilen
glikol.
Pemilihan dasar salep yang tepat untuk dipakai dalam formulasi
tergantung pada pemikiran yang cermat atas beberapa faktor berikut:
a. Laju pelepasan yang diinginkan bahan obat dari dasar salep
b. Keinginan peningkatan oleh dasar salep absorbsi perkutan dari obat
c. Kelayakan melindungi lembab dari kulit oleh dasar salep
d. Jangka lama dan pendeknya obat stabil dalam dasar salep
e. Pengaruh obat bila ada terhadap kekentalan atau hal lainnya dari dasar
salep.
Semua faktor ini dan yang lainnya harus ditimbang satu terhadap
yang lainnya untuk memperoleh dasar salep yang paling baik. Harus
dimengerti bahwa tidak ada dasar salep yang ideal dan juga tidak ada yang
memiliki semua sifat yang diinginkan. Sebagai contoh suatu obat yang

10
cepat terhidrolisis, dasar salep hidrolisis akan menyediakan stabilitas yang
tinggi. Walaupun dari segi terapeutik dasar salep yang lain dapat lebih
disenangi. Pemilihannya adalah untuk mendapatkan dasar salep yang
secara umum menyediakan segala sifat yang dianggap paling diharapkan.

2.1 KUALITAS DASAR SALEP


a. Stabil, selama masih dipakai mengobati. Maka salep harus bebas dari
inkompatibilitas, stabil pada suhu kamar dan kelembaban yang ada dalam
kamar.
b. Lunak, yaitu semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi
lunak dan homogen. Sebab salep digunakan untuk kulit yang
teriritasi,inflamasi dan ekskloriasi.
c. Mudah dipakai, umumnya salep tipe emulsi adalah yang paling mudah
dipakai dan dihilangkan dari kulit.
d. Dasar salep yang cocok yaitu dasar salep harus kompatibel secara fisika
dan kimia dengan obat yang dikandungnya. Dasar salep tidak boleh
merusak atau menghambat aksi terapi dari obat yang mampu melepas
obatnya pada daerah yang diobati.
e. Terdistribusi merata, obat harus terdistribusi merata melalui dasar salep
padat atau cair pada pengobatan.

2.2 FUNGSI SALEP


fungsi salep antara lain :

a Sebagai bahan aktif pembawa sustansi obat untuk pengobatan kulit


b Sebagai bahan pelumas pada kulit
c Sebagai bahan pelindung kulit yaitu mencegah kontak permukaan kulit
yang dengan larutan berair dan perangsang kulit

2.3 KARAKTERISTIK SALEP


a. Stabil, selama masih dipakai dalam masa pengobatan. Maka salep harus
bebas dari inkompatibilitas, stabil pada suhu kamar dan kelembaban yang
ada dalam kamar.

11
b. Lunak, yaitu semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi
lunak dan homogen, sebab salep digunakan untuk kulit yang teriritasi,
inflamasi dan ekskoriasi.
c. Mudah dipakai, umumnya salep tipe emulsi adalah yang palintg mudah
dipakai dan dihilangkan dari kulit.
d. Dasar salep yang cocok adalah dasar salep yang kompatibel secara fisika
dan kimia dengan obat yang dikandungnya.
e. Terdistribusi secara merata, obat harus terdistribusi merata melalui dasar
salep padat atau cair pada pengobatan. (Ilmu Resep Teori, hal 42)

Suatu dasar salep yang ideal mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :


a. Tidak menghambat proses penyembuhan luka/penyakit pada kulit
b. Di dalam sediaan secara fisik cukup halus dan kental.
c. Tidak merangsang kulit.
d. Reaksi netral, pH mendekati pH kulit yaitu sekitar 6-7.
e. Stabil dalam penyimpanan.
f. Tercampur baik dengan bahan berkhasiat.
g. Mudah melepaskan bahan berkhasiat pada bagian yang diobati.
h. Mudah dicuci dengan air.
i. Komponen-komponen dasar salep sesedikit mungkin macamnya.
j. Mudah diformulasikan/diracik
k. Tidak menghambat proses penyembuhan luka/penyakit pada kulit.
l. Di dalam sediaan secara fisik cukup halus dan kental.
m. Tidak merangsang kulit.
n. Reaksi netral, pH mendekati pH kulit yaitu sekitar 6-7.
o. Stabil dalam penyimpanan.
p. Tercampur baik dengan bahan berkhasiat.
q. Mudah melepaskan bahan berkhasiat pada bagian yang diobati.
r. Mudah dicuci dengan air.
s. Komponen-komponen dasar salep sesedikit mungkin macamnya.
t. Mudah diformulasikan/diracik

12
2.4 PERSYARATAN SALEP MENURUT FI EDISI III
a. pemerian : tidak boleh bau tengik
b. kadar : kecuali dinyatakan lain, sebagai bahan dasar salep ( basis salep )
yang digunaakan vaselin putih ( vaselin album ), tergantung dari sifat
bahan obat dan tujuan pemakaian salep, dapat Dipilih beberapa bahan
dasar salep sebagai berikut :
 Dasar salep hidrokarbon : vaselin putih, vaselin kunig, malam putih atau
malam kunig atau campurannya.
 Dasar salep serap : lemak, bulu domba campuran 3 bagian kolestrol dan 3
bagian stearil alcohol, campuran 8 bagian malam putih dan 8 bagian
vaselin putih.
 Dasar salep yang dapat larut dalam air
 Dasar salep yangdapat dicuci dengan air
c. Homogenitas : jika dioleskan pada sekeping kaca atau bahan transparan
lain yang cocok harus menunjukan susunan yang homogen.
d. Penandaan : etiket harus tertera ”obat luar “

2.5 CARA PEMBUATAN SALEP


Aturan umum :
a. Zat yang dapat larut dalam dasar salep, dilarutkan bila perlu dengan
pemanasan rendah
b. Zat yang tidak cukup larutdalam dasar salep, lebih dulu disebut dan diayak
dengan ayakan no 100.
c. Zat yang mudah larut dalam air danstabil serta dasarr salep mampu
mendukung/ menyerap air tersebut,dilarutkan didalam air yagn tersedia,
selain itu ditambahkan bagian dasar salep.
d. Bila dasar salep dibuat dengan peleburan, maka campuran tersebuut harus
diaduk sampai dingin.

2.6 EVALUASI SALEP


Evaluasi salep biasa dilakukan dengan beberapa pengujian sebagai berikut:
1. DAYA MENYERAP AIR

13
BA=100.KA100-KA
KA=100.BA100-BA

Daya menyerap air diukur sebagai bilangan air, yang digunakan


untuk mengkarakterisasikan basis absorpsi. Bilangan air dirumuskan
sebagai jumlah air maksimal (g), yang mampu diikat oleh 100 g basis
bebas air pada suhu tertentu (umumnya 15-20o C) secara terus-menerus
atau dalam jangka waktu terbatas (umumnya 24 jam), dimana air tersebut
digabungkan secara manual. Kedua bilangan ukur tersebut dapat dihitung
satu ke dalam yang lain melalui persamaan :
2. KANDUNGAN AIR
Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk menentukan kandungan air
dalam salap.
• Penentuan kehilangan akibat pengeringan. Sebagai kandungan air
digunakan ukuran kehilangan massa maksimum (%) yang dihitung
pada saat pengeringan disuhu tertentu (umumnya 100-110oC).
• Cara penyulingan. Prinsip metode ini terletak pada penyulingan
menggunakan bahan pelarut menguap yang tidak dapat bercampur
dengan air. Dalam hal ini digunakan trikloretan, toluen, atau silen
yang disuling sebagai campuran azeotrop dengan air.
• Cara titrasi menurut Karl Fischer. Penentuannya berdasarkan atas
perubahan Belerang Oksida dan Iod serta air dengan adanya piridin
dan metanol menurut persamaan reaksi berikut:

I2 + SO2 + CH3OH + H2O -> 2 HI + CH3HSO4

Adanya pirin akan menangkap asam yang terbentuk dan


memungkinkan terjadinya reaksi secara kuantitatif.Untuk menghitung
kandungan air digunakan formula berikut :

% Air = f . 100 (a-b) P

14
f = harga aktif dari larutan standar (mg air/ml),
a = larutan standar yang dibutuhkan (ml),
b = larutan standar yang diperlukan dalam penelitian blanko (ml),
P = penimbangan zat (mg)
3. KONSISTENSI
Konsistensi merupakan suatu cara menentukan sifat berulang, seperti
sifat lunak dari setiap sejenis salap atau mentega, melalui sebuah angka
ukur. Untuk memperoleh konsistensi dapat digunakan metode sebagai
berikut:
• Metode penetrometer.
• Penentuan batas mengalir praktis
4. PENYEBARAN
Penyebaran salap diartikan sebagai kemampuan penyebarannya pada
kulit. Penentuannya dilakukan dengan menggunakan entensometer.
5. TERMORESISTENSI
Dihasilkan melalui tes berayun. Dipergunakan untuk
mempertimbangkan daya simpan salep di daerah dengan perubahan iklim
(tropen) terjadi secara nyata dan terus-menerus.
6. UKURAN PARTIKEL
Untuk melakukan penelitian orientasi, digunakan grindometer yang
banyak dipakai dalam industri bahan pewarna.
Metode tersebut hanya menghasilkan harga pendekatan, yang tidak
sesuai dengan harga yang diperoleh dari cara mikroskopik, akan tetapi
setelah dilakukan peneraan yang tepat, metode tersebut daat menjadi
metode rutin yang baik dan cepat pelaksanaannya.
7. Uji Daya Proteksi Salep
Pengujian daya proteksi salep dilakukan untuk mengetahui
kemampuan salep untuk melindungi kulit dari pengaruh luar seperti asam,
basa, debu, polusi dan sinar matahari.

2.7 UJI INVITRO

15
Uji In Vitro merupakan suatu uji sediaan dalam pengaruh bentuk sediaan
terhadap laju disolusi. Misalnya, dalam melakukan suatu eksperimen dapat
dilakukan untuk menyelidiki pengaruh bentuk sediaan kapsul, tablet dan sediaan
pelepasan diperlambat terhadap disolusi sulfadiazin dalam medium lambung
buatan pH 1,2.

Sebuah prosedur dilakukan in vitro ( bahasa Latin : dalam kaca) dilakukan


tidak dalam hidup organisme tetapi dalam lingkungan terkontrol, misalnya di
dalam tabung reaksi atau cawan Petri . Banyak percobaan biologi seluler
dilakukan di luar organisme atau sel ; karena kondisi pengujian mungkin tidak
sesuai dengan kondisi di dalam organisme, ini dapat mengakibatkan hasil yang
tidak sesuai dengan situasi yang muncul dalam organisme hidup. Akibatnya, hasil
eksperimen tersebut sering dijelaskan dengan in vitro, bertentangan dengan in
vivo.

Jenis penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh dari variabel


eksperimental pada subset dari bagian pokok suatu organisme. Hal ini cenderung
untuk memfokuskan pada organ , jaringan , sel , komponen sel, protein , dan atau
biomolekul . Dalam penelitian in vitro yang lebih cocok dibandingkan in vivo
penelitian untuk menyimpulkan mekanisme biologis tindakan. Dengan variabel
yang lebih sedikit dan perseptual diperkuat menyebabkan reaksi halus, hasil yang
umumnya lebih jelas.

Percobaan penetrasi dengan cara difusi in vitro dapat digunakan untuk


menduga aktivitas terapetik zat aktifnya dari suatu sediaan. Meskipun kondisi dari
percobaan in vitro sangat berbeda dari kondisi percobaan secara in vivo, tetapi
telah banyak hasil-hasil penelitian yang membuktikan adanya hubungan yang baik
antara hasil percobaan in vitro dan percobaan in vivo, seperti pada penelitian-
penelitian terhadap kortikosteroid dan asam salisilat (Mar'u, Roufliac dan
Bazex,1982).

Penerapan besar murah in vitro biologi molekular teknik telah menyebabkan


pergeseran dari in vivo penelitian yang lebih istimewa dan mahal dibandingkan

16
dengan mitra molekulnya. Saat ini, dalam penelitian in vitro adalah vital dan
sangat produktif.
Namun, kondisi yang terkendali hadir dalam sistem in vitro berbeda secara
signifikan dari yang in vivo, dan dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Oleh
karena itu, dalam studi in vitro biasanya diikuti oleh studi vivo. Contohnya
termasuk:

 Dalam biokimia, fisiologis stoikiometri konsentrasi non-aktif dapat


mengakibatkan enzim dalam arah terbalik, misalnya beberapa enzim
dalam siklus Krebs mungkin tampak memiliki tata-nama, salah.
 DNA dapat mengadopsi konfigurasi lainnya, seperti A DNA .
 Protein lipat mungkin berbeda seperti dalam sel ada kepadatan tinggi
protein lain dan ada sistem untuk membantu lipat, sementara in vitro,
kondisi kurang bergerombol dan tidak membantu.

Uji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian.
Pemeriksaan yang dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan
lisis sel darah merah, RAST, uji pelepasan histamin, uji sensitisasi jaringan
(basofil/lerkosit serta esai sitokin dan reseptor sel), sedangkan pemeriksaan rutin
seperti IgE total dan spesifik, uji Coomb’s, uji komplemen dan lain-lain bukanlah
untuk konfirmasi alergi obat.

Percobaan penetrasi dengan cara difusi in vitro dapat digunakan untuk


menduga aktivitas terapetik zat aktifnya dari suatu sediaan. Meskipun kondisi dari
percobaan in vitro sangat berbeda dari kondisi percobaan secara in vivo, tetapi
telah banyak hasil-hasil penelitian yang membuktikan adanya hubungan yang baik
antara hasil percobaan in vitro dan percobaan in vivo, seperti pada penelitian-
penelitian terhadap kortikosteroid dan asam salisilat (Mar'u, Roufliac dan Bazex,
1982).

Pengujian in vitro memungkinkan preparat percobaan dievaluasi dengan


pembandingan berbagai profil pelepasan yang berlainan dan juga suatu klasifikasi.
Jika percobaan klinik menyatakan bahwa sediaan obat yang dikembangkan

17
menunjukkan kerja optimal, maka pengujian in vitro berlaku untuk control
produksi {Voigt, 1995}.

Kemampuan bahan obat untuk berpenetrasi ke dalam kulit dan mencapai efek
yang diharapkan ditentukan oleh dua proses yang berurutan yaitu bahan obat
harus dapat terbebaskan dari sediaan untuk mencapai permukaan kulit, kemudian
bahan obat harus dapat berpenetrasi ke dalam kulit menuju saluran sistemik
(Ostrcnga, Steinoetz dan Poulsen, 1971).

Bila suatu obat diberikan secara topikal maka obat akan lepas dari
pembawanya, kemudian berdifusi pasif nenuju ke epidermis dan dermis.
Kecepatan pelepasan obat dari sediaan topikal secara langsung tergantung pada
sifat fisika kimia pembawa dan obat yang digunakan. Ketersediaan biologis obat
yang digunakan tergantung kecepatan pelepasan obat dari pembawa dan
permeabilitas obat melewati kulit (Banker dan Rhodes, 1979).

Difusi senyawa atau obat secara in vitro tergantung tidak hanya oleh pembawa
(Delonca et al, 1977; Ogiso dan Shintani,1990) dan sifat fisika kimia obat tetapi
juga parameter-parameter percobaan. Seperti percobaan yang telah dilakukan oleh
Walkow dan McGinity (f 987), Itoh et al (199O), Taro Ogiso dan Masako
Shintani (1990) dan Harada et al 11992) menunjukkan bahwa tipe membran dan
komposisi cairan penerima {Walkow dan McGinity, 1987) dapat mempengaruhi
profil difusi. Difusi metil salisilat sangat tergantung pada tipe membran yang
dipakai (Walkow dan McGinity, 1987).

Ada 2 macam metode pelepasan sistem transdermal secara in vitro yaitu


metode pelepasan tanpa suatu membrane pembatas kecepatan dan metode difusi
dengan suatu membrane pengatur kecepatan yang menggunakan membran kulit
tiruan (seperti selulosa acetat, polidimetilsiloksan, membrane kulit alamiah {dapat
digunakan kulit bermacam-macam hewan seperti tikus, kelinci, ular), sel difusi
orde nol dan sel difusi dengan kondisi tiruan seperti proses in vivo (Barry, 1983).

DISOLUSI

18
Disolusi didefinisikan sebagai proses dimana suatu zat padat masuk ke
dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah
proses dimana zat padat melarut. Secara prinsip dikendalikan oleh afinitas antara
zat padat dengan pelarut. Dalam penentuan kecepatan disolusi dari berbagai
bentuk sediaan padat terlibat berbagai proses disolusi yang melibatkan zat murni.
Karakteristik fisik sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi
media disolusi ke dalam sediaan, proses pengembangan, proses disintegrasi, dan
degradasi sediaan, merupakan sebagaian dari faktor yang mempengaruhi
karakteristik disolusi obat dari sediaan.

Kecepatan Pelarutan

Secara sederhana kecepatan pelarutan didefinisikan sebagai jumlah zat


yang terlarut dari bentuk sediaan padat dalam medium tertentu sebagai fungsi
waktu. Dapat juga diartikan sebagai kecepatan larut bahan obat dari sediaan
farmasi atau granul atau partikel-partikel sebagai hasil pecahnya bentuk sediaan
obat tersebut setelah berhubungan dengan cairan medium. Dalam hal tablettent
bias diartikan sebagai mass transfer, yaitu kecepatan pelepasan obat atau
kecepatan larut bahan obat dari sediaan tablet ke dalam medium penerima.
Penelitian tentang disolusi telah dilakukan oleh Noyes Whitney dan dalam
penelitiannya diperoleh persamaan yang mirip hukum difusi dari Fick :

dc = DAK (Cs-C)

dt h

dimana :

dc/ct : laju pelarutan obat

D : tetapan laju difusi

A : luas permukaan partikel

Cs : kadar obat dalam “stagnant layer”

19
C : konsentrasi obat dalam bagian terbesar pelarut

K : koefisien partisi munyak/air

h : tebal “stagnant layer”

Dari persamaan di atas terlihat bahwa kinetika pelarutan dapat dipengaruhi


oleh sifat fisikokimia, formulasi, dan pelarut.

Banyak cara untuk mengungkapkan hasil kecepatan pelarutan suat zat atau
sediaan. Selain persamaan di atas cara lain untuk mengungkapkan pelarutan
adalah sebagai berikut :

1. Metode Klasik

Metode ini dapat menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t,
yang kemudian dikenal dengan T-20, T-50, T-90, dan sebagainya. Karena dengan
metode ini hanya menyebutkan 1 titik saja, maka proses yang terjadi di luar titik
tersebut tida diketahui. Titik terebut menyatakan jumlah zat aktif yang terlarut
pada waktu tertentu.

2. Metode Khan

Metode ini kemudian dikenal dengan konsep dissolution efficiency


(DE)area di bawah kurva disolusi di antara titik waktu yang ditentukan.
Dirumuskan dengan persamaan sebagi berikut :

DE = 0t ∫Y dt x 100%

Y100.t

Beberapa peneliti mensyaratkan bahwa penggunaan DE sebaiknya mendekati


100% zat yang terlarut. Keuntungan metode ini adalah :

20
a. dapat menggambarkan seluruh proses percobaan yang dimaksud dengan
harga DE
b. dapat menggambarkan hubungan antara percobaan in vitro dan in vivo
karena penggambaran dengan cara DE ini mirip dengan cara
penggambaran pecobaan in vivo

3. Metode linierisasi kurva kecepatan pelarutan dengan menggunakan sebagai


contoh persamaan wagner

Berdasarkan pada asumsi sebagai berikut :

a. kondisi percobaan harus dalam keadaan sink yaitu Cs>>>C

b. proses pelarutan mengikuti orde I

c. luas permukaan spesifik (S) turun secara eksponensial fungsi waktu

d. kondisi proes pelarutannya non reaktif

Alat Uji Disolusi Farmakope

Uji disolusi hamper di semua negar telah mengikuti kriteria dan peralatan
yang sama. Sedangkan metode dan peralatan secara rinci dinyatakan dalam
masing-masing farmakope, seperti jecepatan pengadukan, komposisi volume
media dan ukuran mesh dapat bervariasi untuk monografi individu obat dan
masing-masing farmakope.

Alat Uji Disolusi 1 dan 2

Cara pertama yang diuraikan dalam Farmakope Indonesia adalah cara


keranjang yang menggunakan pengaduk jenis keranjang dan cara yang kedua
adalah cara dayung yang menggunakan pengaduk

21
Di dalam pembahasan untuk memahami mekanisme disolusi, kadang-kadang
digunakan salah satu model atau gabungan dari model-model tersebut.

a. Model lapisan difusi (diffusion layer model)

Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada permukaan
padat terdapat satu lapis tipis cairan dengan ketebalan ℓ , merupakan komponen
kecepatan negatif dengan arah yang berlawanan dengan permukaan padat
(Banakar, 1992)Reaksi pada permukaan padat-cair berlangsung cepat. Begitu
model solut melewati antar muka “liquid film – bulk film”,pencampuran secara
cepat akan terjadi dan gradien konsentrasi akan hilang. Karena itu kecepatan
disolusi ditentukan oleh difusi gerakan Brown dari molekul dalam liguid film

(Banakar, 1992).

b. Model barrier antar muka (interfacial barrier model)

Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat dan
dalam hal ini terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan seperti (Banakar,
1992).Sebagai hasilnya, tidak dianggap adanya kesetimbangan padatan-larutan,
dan hal ini harus dijadikan pegangan dalam membahas model ini. Proses pada
antar muka padat-cair sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau dari proses
transpor. Transpor yang relatif cepat terjadi secara difusi melewati lapisan tipis
statis (stagnant)

(Banakar, 1992).

c. Model Dankwert (Dankwert model)

Model ini beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan padat


terjadi melalui cara paket makroskopik pelarut mencapai antar muka padat-cair
karena terjadi pusaran difusi secara acak (Banakar, 1992).

22
Laju disolusi obat secara in vitro dipengaruhi beberapa faktor, antara lain:

1. Sifat fisika kimia obat

Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas
permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju
disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan
obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada
umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas.
Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika
pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat
bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil
daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah
terdisolusi daripada bentuk kristal (Shargel dan Yu, 1999).

2. Faktor formulasi

Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat
mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka
antara medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara
langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob
seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan
medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks
dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang
membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah
obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat
yang diabsorpsi (Shargel dan Yu, 1999).

3. Faktor alat dan kondisi lingkungan

23
Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan
menyebabkan perbedaan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan
mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka
gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan
pelarutan. Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari medium, serta
pengambilan sampel juga dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat
(Swarbrick dan Boyland, 1994b; Parrott, 1971)

Dua sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk menunjukkan

(1) pelepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100 %

(2) laju pelepasan seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju
pelepasan dari batch yang telah dibuktikan berbioavailabilitas dan efektif secara
klinis (Lachman et al., 1994).

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

Kecepatan pelepasan obat dari sediaan topikal secara langsung tergantung


pada sifat fisika kimia pembawa dan obat yang digunakan. Ketersediaan biologis
obat yang digunakan tergantung kecepatan pelepasan obat dari pembawa dan
permeabilitas obat melewati kulit (Banker dan Rhodes, 1979).

Difusi senyawa atau obat secara in vitro tergantung tidak hanya oleh
pembawa (Delonca et al, 1977; Ogiso dan Shintani,1990) dan sifat fisika kimia
obat tetapi juga parameter-parameter percobaan. Selain itu, bentuk sediaan juga
kurang lebih membawa pengaruh yang cukup banyak terhadap uji in vitro ini.

Faktor Fisika yang Berpengaruh pada Uji Pelarutan In Vitro

a) Pengadukan, kondisi pengadukan akan sangat berpengaruh pada kecepatan


disolusi yang dikontrol difusi dengan ketebalan lapisan difusi berbanding terbalik
pada kecepatan putaran pengadukan. Kecepatan pengadukan mempunyai
hubungan dengan tetapan kecepatan disolusi (Shargel et al, 2005).

24
b) Suhu, umumnya semakin tinggi suhu medium akan semakin banyak zat aktif
yang terlarut. Suhu medium dalam percobaan harus dikendalikan pada keadaan
yang konstan umumnya dilakukan pada suhu 37oC, sesuai dengan suhu tubuh
manusia. Adanya kenaikan suhu selain dapat meningkatkan gradien konsentrasi
juga akan meningkatkan tetapan difusi, sehingga akan menaikkan kecepatan
disolusi (Shargel et al., 2005).

c) Medium Kelarutan, sifat medium larutan akan mempengaruhi uji pelarutan.


Medium larutan hendaknya tidak jenuh obat. Medium yang terbaik merupakan
persoalan tersendiri dalam penelitian. Beberapa peneliti telah menggunakan cairan
lambung yang diencerkan, HCL 0,1 N, dapar fosfat, cairan lambung tiruan, air dan
cairan usus tiruan tergantung dari sifat produk obat dan lokasi dalam saluran
pencernaan dan perkiraan obat yang akan terlarut (Shargel et al., 2005).

d) Wadah, ukuran dan bentuk dapat mempengaruhi laju dan tingkat kelarutan.
Untuk mengamati kemaknaan dari obat yang sangat tidak larut dalam air mungkin
perlu wadah berkapasitas besar (Shargel et al., 2005).

3.1. METODE UJI INVITRO

Ada 2 macam metode pelepasan sistem transdermal secara in vitro yaitu :

 Metode pelepasan tanpa suatu membrane pembatas kecepatan


 Metode difusi dengan suatu membrane pengatur kecepatan yang
menggunakan membran kulit tiruan (seperti selulosa acetat,
polidimetilsiloksan,membrane kulit alamiah {dapat digunakan kulit
bermacam-macam hewan seperti tikus, kelinci, ular), sel difusi orde nol
dan sel difusi dengan kondisi tiruan seperti proses in vivo (Barry, 1983).

Uji Penetrasi Secara In Vitro Menggunakan sel difusi Franz

25
A = kompartemen donor
B = kompartemenreseptor
C = membran
D = O-ring
E = water jacket
F = pengaduk magnetik
G = tempat pengambilan sampel

Kecepatan penetrasi zat aktif pada steady state ( fluks, J, μg cm-2jam-1) dapat
dihitung dengan menggunakan rumus:

J=Q/A·t
J = D A K / h (C2 – C1)

J = kecepatan penetrasi zat aktif (μg cm-2jam-1)


Q = jumlah zat aktif yang terpenetrasi (μg)
A = luas membran (cm2)
t = waktu (jam)
D = koefisien difusi
K = koefisien partisi
h = tebal membran
(C2 – C1) = gradien konsentrasi

Pengujian ini dilakukan diluar tubuh ternak dengan menggunakan simulasi/tiruan


yang mirip dengan proses-proses yang terjadi dalam tubuh.

26
KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN

Kondisi percobaan in vitro mempunyai beberapa keuntungan antara lain :

 Kondisi percobaan dapat dikontrol


 Faktor individual yang dapat mempengaruhi percobaan dapat dihilangkan
 Metode in vitro dapat digunakan untuk percobaan fisika kimia seperti
koefesien partisi dan koefesien difusi.

Kejelekan dari metode ini adalah kondisi percobaan tidak sama dengan kondisi
jaringan kulit yang asli, terutama mengenai pengadaan aliran darah (Barry, 1983).

2.8 UJI INVIVO

In vivo ( bahasa Latin untuk "dalam hidup") adalah eksperimen dengan


menggunakan keseluruhan, hidup organisme sebagai lawan dari sebagian
organisme atau mati, atau in vitro dalam lingkungan yang terkendali. Hewan
pengujian dan uji klinis dua bentuk dalam penelitian in vivo. Dalam vivo
pengujian sering mempekerjakan lebih in vitro karena lebih cocok untuk
mengamati efek keseluruhan percobaan pada subjek hidup. Hal ini sering
dijelaskan oleh pepatah di veritas vivo.

Dalam biologi molekular in vivo sering digunakan untuk merujuk pada


eksperimen dilakukan di sel isolasi hidup bukan di seluruh organisme, misalnya,
berasal dari sel-sel kultur biopsi. Dalam situasi ini, istilah yang lebih spesifik
adalah ex vivo . Setelah sel terganggu dan bagian individu yang diuji atau
dianalisis, ini dikenal sebagai in vitro. dalam percobaan vivo dalam hidup; dalam
studi in vitro dalam tabung reaksi.

Uji In Vivo merupakan suatu uji sediaan dalam pengaruh rute pemberian
terhadap bioavailabilitas. Misalnya, dalam melakukan suatu eksperimen dapat

27
dilakukan untuk menyelidiki pengaruh rute pemberian terhadap parameter
farmakokinetik menggunakan data konsentrasi obat dalam darah.

Penelitian penetrasi sistem transdermal secara in vivo dapat dilakukan pada


binatang atau langsung pada manusia. Pada model binatang, sebagai media
percobaan telah memberikan sumbangan dalam mempelajari anatomi, fisiologi
dan biokimia dari kulit (Barry, 1983).

Percobaan pada manusia sudah pasti memberikan informasi yartg paling


akurat. Akan tetapi jika ditinjau dari sisi metodenya, cara inipun nasih baoyak
permasalahannya. Seringkali dijumpai adanya tingkat kesulitan yang tinggi untuk
mendeteksi bahan obat yang diabsorpsi dalam darah, akibat sangat rendahnya
konsentrasi. Kesulitan selanjutnya adalah dalam menentukan seberapa jauh
keterkaitan antara harga kadar darah dengan kerja klinik obat. Oleh karena itu
aktifitas farmakologis juga sulit dipastikan, apalagi jika zat aktif tidak lagi dapat
dideteksi dalem darah atau jaringan. Juga penetuan bahan obat atau metabolitnya
dalam urin serta evaluasi hasilnya banyak dipengaruhi oleh faktor ketidakpastian.
Pada dasarnya dengan cara in vivo hendaknya diperhatikan hubungan kuantitatif,
antara absorbsi, kadar serum dan eliminasi (Voigt, 1995).

Uji invivo.

Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik
yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus bersifat
non iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini manfaatnya sangat terbatas
karena baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui dan
tersedia untuk uji kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap
makro molekul: insulin, antisera, ekstrak organ, sedang untuk mikromolekul sejauh
ini hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja.

Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi merupakan


prosedur diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang berbahaya yaitu

28
terjadinya anafilaksis sehingga hanya dianjurkan dilakukan ditempat yang
memiliki fasilitas dan tenaga yang memadai. Karena itu maka uji provokasi
merupakan indikasi kontra untuk alergi obat yang berat misalnya anafilaksis,
sindroma Steven Johnson, dermatitis eksfoliatif, kelainan hematology, eritema
vesiko bulosa. Uji provokasi dilakukan setelah eliminasi yang lamanya tergantung
dari masa paruh setiap obat.

Bioavailabilitas

Konsep bioavailabilitas pertama kali diperkenalkan oleh Osser pada tahun


1945, yaitu pada waktu Osser mempelajari absorpsi relatif sediaan vitamin. Istilah
yang dipakai pertamakali adalah availabilitas fisiologik, yang kemudian diperluas
pengertiannya dengan istilah bioavailabilitas.Dimulai di negara Amerika Serikat,
barulah pada tahun 1960 istilah bioavailabilitas masuk ke dalam arena promosi
obat. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya produk obat yang sama yang
diproduksi oleh berbagai industri obat,adanya keluhan dari pasien dan dokter di
mana obat yangsama memberikan efek terapeutik yang berbeda, kemudian dengan
adanya ketentuan tidak diperbolehkannya Apotek mengganti obat yang tertulis
dalam resep dengan obat merek lainnya.

Sebagai cabang ilmu yang relatif baru, ditemukan berbagai definisi tentang
bioavailabilitas dalam berbagai literatur. Bagian yang esensial dalam konsep
bioavailabilitas adalah absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik. Ada 2 unsur
penting dalam absorpsi obat yang perlu dipertimbangkan,yaitu :

1) kecepatan absorpsi obat

2) jumlah obat yang diabsorpsi

Kedua faktor ini sangat kritis dalam memperoleh efek terapeutik yang
diinginkan dengan toksisitas yang minimal.Atas dasar kedua faktor ini dapat
diperkirakan bagaimana seharusnya definisi tentang bioavailabilitas.

29
Dua definisi berikut ini merupakan definisi yang relative lebih sesuai
dengan kedua faktor di atas adalah :

Definisi 1:

Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat dan
jumlah obat tersebut yang diabsorpsi secara utuh oleh tubuh, dan masuk ke dalam
sirkulasi sistemik.

Definisi 2 :

Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat


dan jumlah obat tersebut yang diabsorpsi.

Metode penilaian availabilitas menurut FDA meliputi :

a. Bioavailabilitas in vivo dari suatu produk obat dilakukan jika laju dan jumlah
absorpsi produk, sebagaimana dinyatakan oleh perbandingan parameter-parameter
terukur (misal konsentrasi bahan obat aktif dalam darah, laju ekskresi urin dan
efek farmakologik), tidak berbeda secara bermakna dengan bahan pembanding.

b. Teknik analisis statistik yang dipakai hendaknya cukup peka untuk menemukan
perbedaan laju dan jumlah absorpsi yang tidak disebabkan oleh adanya perbedaan
subjek.

c. Suatu produk obat yang berbeda dari bahan pembanding dalam hal laju
absorpsi, tetapi tidak berbeda dalam jumlah absorpsi, dapat dianggap berada
dalam sistematik jika perbedaan laju absorpsi disengaja dan dinyatakan dengan
tepat dalam label dan atau laju absorpsi tidak mengganggu keamanan dan
efektifitas produk obat (Shargel et al, 2005).

30
Untuk produk-produk tertentu availabilitas dapat ditunjukkan dengan fakta yang
diperoleh secara in vitro. Studi disolusi obat memberikan indikasi yang sama
dengan bioavailabilitas obat. Idealnya, disolusi obat in vitro berkorelasi dengan
bioavailabilitas obat in vivo (Shargel et al., 2005).

Pelepasan obat dari formula tablet diperoleh dengan mengukur bioavailabilitas in


vivo. Namun karena beberapa alasan, penggunaan in vivo menjadi sangat terbatas,
yaitu: lamanya waktu yang diperlukan untuk merencanakan, melakukan, dan
menginterpretasi; tingginya keterampilan yang diperlukan bagi pengkajian pada
manusia; ketepatan yang rendah serta besarnya penyimpangan pengukuran;
besarnya biaya yang diperlukan; pemakaian subjek manusia bagi penelitian yang
“nonesensial”; dan keharusan menganggap adanya hubungan yang sempurna
antara manusia yang sehat dan tidak sehat yang digunakan dalam uji. Akibatnya
uji disolusi secara in vitro dipakai dan dikembangkan secara luas, dan secara tidak
langsung dipakai sebagai pengukur availabilitas obat, terutama pada penentuan
pendahuluan dari faktor-faktor formulasi dan berbagai metode pembuatan yang
tampaknya akan mempengaruhi bioavailabilitas (Lachman et al., 1994).

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

Pada penelitian in vivo juga terdapat faktor yang mempengaruhi penyerapan


bahan obat pada permukaan kulit, yaitu :

 kondisi fisiologis kulit yang meliputi antara lain keadaan dan umur kulit
 aliran darah
 tempat pengolesan
 kelembaban dan suhu kulit (Devissaquet dan Aiache, 1993),

METODE IN VIVO

31
Uji invivo.

• Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik

• Bahan uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindari positif palsu.

• Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro molekul:
insulin, antisera, ekstrak organ, sedang untuk mikromolekul sejauh ini
hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja.

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN

Keuntungan dari uji in vivo ini adalah hasil yang diperoleh lebih akurat karena
langsung mengacu pada efek farmakodiamik dari sediaan tersebut.

Kerugian dari uji in vivo ini, adalah :

 Tingkat kesulitan yang tinggi untuk mendetekdi bahan obat yang


diabsorpsi dalam darah
 Sulit menentukan seberapa jauh keterkaitan antara harga kadar darah
dengan kerja klinik obat
 Apabila zat aktif tidak lagi dapat dideteksi di dalam darah atau jaringan,
efek farmakologi sulit ditentukan

Contoh cara pengujian absorpsi obat secara in vivo dan in vitro:

Kelinci dicukur punggungnya dengan luas 25 cm 2 (5x5 cm2), lalu sediaan (contoh
salep) seberat 4 gram dioleskan pada daerah yang dicukur tersebut, ditutup
punggungnya dengan alumunium foil dan dibalut. Pengambilan sampel darah
dilakukan pada jam ke 0,25; 0,5; 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7; 24; 28; 32. Sampel darah 1 ml
diberi EDTA, diambil TCA 1 ml, disentrifus selama 15 menit, lalu campuran
diambil 1.0 ml ditambah aquadest 2.0 ml selanjutnya dibaca absorbansinya pada
spektrofotometer UV dengan panjang gelombang 276 nm. Dengan uji in vitro
akan diperoleh harga DE sedangkan uji in vivo akan diperoleh harga Kel dan Ka
zat aktif dari beberapa ba

32
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Uji In Vitro merupakan suatu uji sediaan dalam pengaruh bentuk sediaan
terhadap laju disolusi. Misalnya, dalam melakukan suatu eksperimen dapat
dilakukan untuk menyelidiki pengaruh bentuk sediaan kapsul, tablet dan sediaan
pelepasan diperlambat terhadap disolusi sulfadiazin dalam medium lambung
buatan pH 1,2.

Uji In Vivo merupakan suatu uji sediaan dalam pengaruh rute pemberian
terhadap bioavailabilitas. Misalnya, dalam melakukan suatu eksperimen dapat
dilakukan untuk menyelidiki pengaruh rute pemberian terhadap parameter
farmakokinetik menggunakan data konsentrasi obat dalam darah.

Jenis penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh dari variabel


eksperimental pada subset dari bagian pokok suatu organisme. Hal ini cenderung
untuk memfokuskan pada organ , jaringan , sel , komponen sel, protein , dan / atau
biomolekul . Dalam penelitian in vitro yang lebih cocok dibandingkan in vivo
penelitian untuk menyimpulkan mekanisme biologis tindakan. Dengan variabel
yang lebih sedikit dan perseptual diperkuat menyebabkan reaksi halus, hasil yang
umumnya lebih jelas.

Penerapan besar murah in vitro biologi molekular teknik telah menyebabkan


pergeseran dari in vivo penelitian yang lebih istimewa dan mahal dibandingkan
dengan mitra molekulnya. Saat ini, dalam penelitian in vitro adalah vital dan
sangat produktif.

Namun, kondisi yang terkendali hadir dalam sistem in vitro berbeda secara
signifikan dari yang in vivo, dan dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Oleh
karena itu, dalam studi in vitro biasanya diikuti oleh studi vivo.

33
B. 3.2 USUL DAN SARAN

Berikut ini penyusun memberikan saran yang diharapkan dapat bermanfaat


bagi pengujian sediaan selanjutnya. Adapun saran tersebut :

 Pengujian in vivo pada mencit atau tikus seharusnya dilakukan secara


terkontrol, jangan sampai mencit dan tikus dijadikan bahan percobaan
dengan semena-mena.
 Saat formulasi sediaan hendaknya mempertimbangkan segala macam efek
teurapetik yang diharapkan dengan seksama.

34
DAFTAR PUSTAKA

Ansel C Howard. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI


press

Depkes RI. (1979). Farmakope Indonesia edisi Ketiga. Jakarta : Departemen


Kesehatan RI

Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia edisi Keempat. Jakarta : Departemen


Kesehatan RI

Soetopo dkk. (2002). Ilmu Resep Teori. Jakarta : Departemen Kesehatan RI

Voigt, R. (1994). Buku Pelajaran Teknologi Farmasi edisi Kelima. Yogyakarta


: UGM Press

Lachman, L, Lieberman, H, A, dkk. (1994). Teori Dan Praktek Farmasi


Industri Edisi Ketiga. Jakarta : UI Press

Departemen Kesehatan RI. (1978). Formularium Nasional edisi Kedua.


Jakarta : Departemen Kesehatan RI

C.F. Van Duin, Dr., (1947). Ilmu Resep edisi Kedua. Jakarta : Soeroengan

Moh. Anief, Drs. Apoteker. (2006). Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta : UGM
Pres

35

Anda mungkin juga menyukai