Anda di halaman 1dari 5

HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DENGAN STRATEGI COPING PADA

PENDERITA HIPERTENSI DI RSUD BANJARNEGARA

Sugianto 1, Dinarsari Eka Dewi 2 1 Alumni Program Studi Psikologi,Univ Muhammadiyah


Purwokerto 2 Program Studi Psikologi,Univ Muhammadiyah Purwokerto 2

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self efficacy dengan strategi
coping pada penderita hipertensi di RSUD Banjarnegara. Hipotesis yang diajukan adalah ada
hubungan positif antara self efficacy dengan strategi coping. Pengumpulan data
menggunakan skala self efficacy dan skala strategi coping Teknik analisis data menggunakan
korelasi product moment. Hasil koefisien validitas skala self efficacy bergerak dari 0,463-
0,694, hasil uji reliabilitas diperoleh nilai α 0,9170. Hasil koefisien validitas skala strategi
coping bergerak dari 0,461-0,653, hasil uji reliabilitas diperoleh nilai α 0,9182. Hasil uji
hipotesis diperoleh r hitung = 0,699 dan p = 0,000. Probabilitas jauh lebih kecil dari 0,01
(0,000 < 0,01), maka self efficacy dengan strategi coping memiliki hubungan yang
signifikan. Artinya hipotesis kerja (Ha) yaitu ada hubungan antara self efficacy dengan
strategi coping diterima. Kata Kunci: Self efficacy, Strategi coping, penderita hipertensi

PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu dan teknologi yang diikuti dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat
menyebabkan perubahan gaya hidupnya. Perubahan gaya hidup tersebut diantaranya adalah
kebiasaan makan makanan cepat saji, merokok, konsumsi alkohol dan kurang berolahraga
yang dapat menjadi sumber penyebab berbagai penyakit yang diantaranya adalah hipertensi.
Hipertensi yang dialami oleh penderita menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
timbulnya stress. Pada penderita hipertensi terjadi beberapa perubahan, salah satunya adalah
peningkatan aktivitas saraf simpatik, sehingga terjadi peningkatan produksi katekolamin.
Hipertensi merupakan penyebab terjadinya stroke yang dapat mengakibatkan kematian.
Hipertensi di Indonesia rata-rata meliputi 17% - 21% dari keseluruhan populasi orang dewasa
artinya, 1 diantara 5 orang dewasa menderita hipertensi. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007, dari orang perempuan sebanyak 11,3% dari hasil pengukuran
indeks massa tubuh (IMT) adalah obesitas dan kurang melakukan aktivitas fisik sebanyak
62,7% serta dalam keadaan tidak stabil atau stress sebanyak 8,6%. Individu yang memiliki
self efficacy tinggi memilih strategi coping yang berfokus pada masalah untuk memperbaiki
situasi dalam bekerja, sedangkan individu dengan yang memiliki self efficacy rendah
cenderung memilih strategi coping yang berfokus pada emosi, karena mereka percaya tidak
ada yang dapat dilakukan untuk mengubah situasi yang sedang mereka hadapi (Bandura,
1997). 146

2 Pada saat individu dihadapkan pada kondisi stres, maka secara otomatis individu tersebut
berusaha untuk dapat mengurangi atau menghilangkan perasaan stres yang dialaminya
menggunakan strategi coping. Seperti diungkapkan oleh Radley (dalam Rahmayati 2008),
coping stres merupakan penyesuaian secara kognitif dan perilaku menuju keadaan yang lebih
baik, mengurangi dan bertoleransi dengan tuntutan-tuntutan yang ada yang mengakibatkan
stres. Adapun pengupayaan individu atau remaja dalam hal mengurangi atau menghilangkan
perasaan stres tersebut dengan menggunakan beberapa cara atau strategi. Lazarus (dalam
Rahmayati, 2008) mengungkapkan bahwa setiap individu melakukan cara coping yang
berbeda-beda dalam menghadapi situasi yang menekan. Mekanisme atau cara coping ini bisa
meliputi kognitif (pola pikir) dan perilaku (tindakan). Perbedaan cara yang dilakukan setiap
individu dalam hal menangani stresnya itu dimasukkan dalam 2 strategi atau cara. Seperti
diungkapkan oleh Lazarus dan Folkman (dalam Rahmayati, 2008) cara coping dibedakan
menjadi dua bagian besar berdasarkan tujuan atau intensi individu, yaitu problem focused
coping, yaitu coping yang memfokuskan pada masalah yang dihadapinya. Tujuannya adalah
untuk mengurangi tuntutan dari situasi dan meningkatkan usaha individu dalam menghadapi
situasi tersebut. Cara ini lebih sesuai apabila digunakan dalam menghadapi masalah atau
situasi yang dianggap dapat dikontrol atau dikuasai oleh individu (Carver dkk, 1989).
Sementara emotion focused coping merupakan bentuk coping yang lebih memfokuskan pada
masalah emosi. Bentuk coping ini lebih melibatkan pikiran dan tindakan yang ditunjukkan
untuk mengatasi perasaan yang menekan akibat dari situasi stres. Emotion focused coping
terdiri dari usaha yang diambil untuk mengatur dan mengurangi emosi stres serta penggunaan
mekanisme yang dapat menghindarkan diri sendiri terhadap stressor. Carver (1989),
menambahkan bahwa penanganan stres dapat dilakukan dengan strategi coping maladaptif,
yang itu merupakan kecenderungan coping yang kurang bermanfaat dan kurang efektif dalam
mengatasi sumber stres. Penentuan strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan
sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauhmana tingkat stres dari suatu kondisi
atau masalah yang dialaminya. Strategi coping yang efektif baik problem focused coping
maupun emotion focused coping sangat diperlukan oleh penderita hipertensi. Problem
focused coping diperlukan agar penderita dapat meningkatkan usahanya dalam menghadapi
situasi yang dapat memicu meningkatnya tekanan darah. Sementara emotion focused coping
diperlukan agar penderita hipertensi dapat mengendalikan emosinya yang berkaitan langsung
dengan meningkatnya tekanan darah. Strategi coping sangat diperlukan bagi penderita
hipertensi, sehingga mereka memiliki kemampuan yang dapat membentuk perilakunya yaitu
memiliki self efficacy. Teori self efficacy mengacu pada kemampuan yang dirasakan untuk
membentuk perilaku yang relevan pada tugas atau situasi khusus. Untuk memutuskan
perilaku tertentu akan dibentuk atau tidak, seseorang tidak hanya mempertimbangkan
informasi dan keyakinan tentang kemungkinan kerugian atau keuntungan, tetapi juga
mempertimbangkan sampai sejauh mana dia dapat mengatur perilakunya (Smet, 1994). Oleh
karena itu, agar penderita hipertensi dapat menerapkan strategi coping yang efektif, maka
diperlukan adanya self efficacy yang akan membentuk perilaku penderita hipertensi dalam
mengatasi situasi dan emosinya. Studi pendahuluan di RSUD Banjarnegara
menginformasikan bahwa penderita hipertensi menempati urutan pertama dari 10 besar
penyakit rawat jalan di RSUD Banjarnegara. Jumlah penderita hipertensi tahun 2009
sebanyak orang dan pada tahun 2010 meningkat menjadi orang. Setiap bulan yang melakukan
pengobatan rawat jalan mencapai lebih dari 50 orang berjenis kelamin perempuan. Sebagian
besar penderita hipertensi berumur lebih dari 45 tahun bahkan banyak yang berumur lebih
dari 65 tahun. Hasil wawancara dengan penderita hipertensi yang menjalani rawat jalan di
RSUD Banjarnegara, diketahui bahwa rata-rata pasien mengalami hipertensi antara 1 6 tahun.
Interview dengan pasien 147

3 bernama M diperoleh informasi bahwa subjek sudah mengalami penyakit hipertensi selama
3 tahun. Subjek memiliki keyakinan penyakit yang dideritanya akan bisa sembuh. Subjek
yakin bahwa jika mengikuti anjuran dokter maka penyakit yang diderita akan dapat diatasi.
Subjek mencoba untuk mengikuti anjuran-anjuran yang diberikan oleh dokter seperti menjaga
pola makan, menghindari pekerjaan-pekerjaan berat dan banyak beristirahat. Setiap subjek
ada masalah dengan rumah tangganya, maka subjek berusaha mengatasi emosinya dengan
mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu juga melakukan refreshing
dengan pergi ke pasar atau ke rumah tetangga). Interview dengan pasien bernama BC
diperoleh informasi bahwa subjek sudah mengalami penyakit hipertensi selama 5 tahun.
Subjek kurang bisa menghindari makanan yang bisa meningkatkan tekanan darahnya seperti
daging. Subjek kurang bisa mengontrol emosinya, sering mengeluarkan kata-kata kasar,
merokok dengan intensitas yang tinggi. Jika subjek merasa pusing dan mudah merasa lelah,
maka subjek segera ke dokter. Interview dengan pasien bernama MH diperoleh informasi
bahwa subjek sudah mengalami penyakit hipertensi selama 4 tahun. Subjek yakin dapat
mengatasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan tekanan darahnya seperti menghindari
makan makanan yang berlemak dan asin. Subjek juga yakin jika ia ke dokter, maka
kondisinya akan menjadi lebih baik. Setiap subjek ada masalah dengan anaknya (suami sudah
meninggal sejak tahun 2008), maka subjek menceritakan dengan tetangga dekat atau
kerabatnya. Subjek juga selalu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
mengkonsumsi obat dari dokter. Subjek juga mengkonsumsi susu herbal untuk menurunkan
tekanan darahnya. Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas maka peneliti
tertarik untuk mengetahui lebih jauh bagaimana hubungan self efficacy dengan strategi
coping pada penderita hipertensi. Untuk memperolah jawaban atas pertanyaan tersebut, maka
peneliti mengambil judul Hubungan self efficacy dengan strategi coping pada penderita
hipertensi di RSUD Banjarnegara METODE PENELITIAN Variabel penelitiannya adalah
self efficacy sebagai variabel bebas dan strategi coping sebagai variabel terikat. Jumlah
sampel 72 penderita hipertensi rawat jalan di RSUD Banjarnegara. Pengumpulan data
menggunakan skala self efficacy dan skala strategi coping (Azwar, 2007). Untuk menguji ada
tidaknya hubungan antara self efficacy dengan strategi coping pada penderita hipertensi di
RSUD Banjarnegara menggunakan uji korelasi product moment (Arikunto, 2010). Seluruh
perhitungan menggunakan program bantu SPSS windows versi HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN Berdasarkan perhitungan didapatkan hasil r hitung = 0,699 dan p = 0,000,
oleh karena probabilitas jauh lebih kecil dari 0,01 (0,000 < 0,01), maka self efficacy dengan
strategi coping memiliki hubungan yang signifikan. Artinya hipotesis yang menyatakan ada
hubungan antara self efficacy dengan strategi coping diterima. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa semakin baik self efficacy pada penderita hipertensi maka strategi copingnya juga
akan semakin baik. Hasil penelitian juga menunjukkan, kategorisasi self efficacy penderita
hipertensi, yaitu 4,2 % memiliki self efficacy sangat tinggi, 26,4 % memiliki self efficacy
tinggi, 36,1 % memiliki self efficacy sedang dan 33,3 % memiliki self efficacy rendah. Self
efficacy pada kategori sangat rendah tidak ada. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan
bahwa kategorisasi strategi coping penderita hipertensi, yaitu 11,1 % memiliki strategi coping
sangat tinggi, 11,1 % memiliki strategi coping tinggi, 43,1 % memiliki strategi coping sedang
dan 34,7% memiliki strategi coping rendah. Strategi coping pada kategori sangat rendah tidak
ada. 148

4 Self efficacy penderita hipertensi yang menjadi subjek dalam penelitian ini yang berada
pada kategori sangat tinggi dapat disebabkan karena penderita sangat yakin dapat menangani
secara efektif situasi yang dihadapi, yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan,
gigih dalam berusaha, dan percaya pada kemampuannya. Self efficacy penderita hipertensi
pada kategori tinggi berdasarkan dari hasil perhitungan setiap item pernyataan dalam skala
yang telah dijawab oleh masing-masing subjek. Hasil tersebut dapat disebabkan karena
penderita memiliki rasa untuk melakukan antisipasi dalam mencegah naiknya tekanan darah
dengan berbagai aktivitas sehari-hari, termasuk menghindari gangguan psikologis yang dapat
memicu meningkatnya tekanan darah seperti stress dan sebagainya. Self efficacy penderita
hipertensi pada kategori dapat sedang disebabkan karena penderita memiliki cukup untuk
melakukan antisipasi dalam mencegah naiknya tekanan darah dengan berbagai aktivitas,
maupun dalam mengatur pola makan, termasuk cukup bisa menghindari gangguan psikologis
yang dapat memicu meningkatnya tekanan darah seperti stress dan sebagainya. Adapun
penderita yang memiliki self efficacy rendah berdasarkan dari hasil perhitungan setiap item
pernyataan dalam skala yang telah dijawab oleh masing-masing penderita, Hasil tersebut bisa
disebabkan karena penderita terlalu pasrah, Lamban dalam membenahi atau mendapatkan
kembali self efficacy ketika menghadapi kegagalan, Tidak yakin dapat menghadapi
rintangan, Mengurangi usaha dan cepat menyerah, Ragu pada kemampuan diri yang dimiliki.
Strategi coping pada penderita hipertensi pada kategori sangat tinggi berdasarkan dari hasil
perhitungan setiap item pernyataan dalam skala yang telah dijawab oleh masing-masing
penderita.hasil tersebut karena penderita berani mengambil keputusan agar tekanan darah
tetap stabil, berani mengatasi masalahnya, mempunyai rasa yang kehati - hatian. Strategi
coping pada penderita hipertensi tinggi berdasarkan dari hasil perhitungan setiap item
pernyataan dalam skala yang telah dijawab oleh masingmasing penderita. Hasil tersebut dapat
disebabkan karena penderita dapat mengendalikan situasi yang dapat mempengaruhi
emosinya, dapat mengetahui dengan baik kondisi emosionalnya serta memahami lingkungan
tempat kerjanya maupun aktivitas sehari - hari dengan baik. Strategi coping pada penderita
hipertensi pada kategori sedang berdasarkan dari hasil perhitungan setiap item pernyataan
dalam skala yang telah dijawab oleh masing-masing penderita. Hasil tersebut dapat
disebabkan karena penderita cukup mampu mengetahui kondisi emosionalnya sehingga dapat
mengendalikan situasi akibat tekanan pekerjaan yang padat, Penderita cukup patuh mengikuti
anjuran anjuran dari dokter untuk menjaga kesehatanya agar tekanan darah penderita tetap
stabil. Strategi coping pada penderita hipertensi pada kategori rendah berdasarkan dari hasil
perhitungan setiap item pernyataan dalam skala yang telah dijawab oleh masing-masing
penderita, disebabkan karena penderita kurang mengendalikan situasi di tempat kerja
sehingga akan mempengaruhi emosinya. Penderita kurang bisa mengelola sikap dan tindakan
agar tetap stabil tekanan darahnya. Strategi coping sangat diperlukan oleh penderita
hipertensi agar mereka memiliki kemampuan yang dapat membentuk perilakunya yaitu
memiliki self efficacy. Folkman (dalam Yenjeli, 2007) mengartikan coping sebagai
perubahan pemikiran dan perilaku yang digunakan oleh seseorang yang dalam menghadapi
tekanan dari luar maupun dalam yang disebabkan oleh transaksi antara seseorang dengan
lingkungannya yang dinilai sebagai stressor. coping ini nantinya akan terdiri dari upaya-
upaya yang dilakukan untuk mengurangi keberadaan stressor. Menurut Bandura bahwa self
efficacy dapat mempengaruhi setiap tingkat dari perubahan pribadi, baik saat individu
tersebut mempertimbangkan perubahan kebiasaan yang berkaitan dengan kesehatan, seberapa
berat usaha yang dipilih, seberapa banyak perubahan, dan seberapa baik perubahan yang akan
dipelihara. Selain mempengaruhi kebiasaan yang berkaitan dengan kesehatan, perasaan self
efficacy akan 149

5 meningkatkan kekebalan terhadap stress dan depresi dan mengaktifkan perubahan-


perubahan biokemis yang dapat mempengaruhi berbagai macam aspek dari fungsi kekebalan
(Smet, 1994). Berdasarkan pada hasil uji hipotesis diketahui bahwa terdapat korelasi yang
sangat signifikan antara self efficacy dengan strategi coping penderita hipertensi di RSUD
Banjarnegara. Hasil tersebut menunjukkan bahwa self efficacy penderita yang tinggi akan
diikuti dengan strategi coping yang baik. Self efficacy yang dimiliki penderita hipertensi akan
mengarahkan penderita dalam menentukan strategi coping yang tepat. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Widyasinta (2003) yang meneliti
hubungan self efficacy dan strategi coping dalam tugas penyusunan skripsi mahasiswa
fakultas psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta. Hasil penelitian
menyimpulkan adanya hubungan yang signifikan antara self efficacy dengan strategi coping.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil uji hipotesis dengan korelasi product moment,
kesimpulannya adalah variabel self efficacy memiliki hubungan yang signifikan dengan
variabel strategi coping. Artinya, semakin tinggi self efficacy pada penderita hipertensi, maka
semakin tinggi pula strategi copingnya. DAFTAR PUSTAKA Arikunto,S. (2010). Prosedur
penelitian : suatu pendekatan praktek (edisi revisi). Jakarta: Rineka Cipta. Azwar, S. (2007).
Metode penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Bandura, A. (1997). Self efficacy the
excercise of control. United State of America : W. H. Freeman & Co. Carver, C.S., Scheir,
M.F., & Wientraub, J.K. (1989). Assessing Coping Strategies: A Theoritically Based
Approach. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 56, No. 2, Rahmayati. (2008).
Stres dan coping remaja yang mengalami perceraian pada Orangtua. Skripsi. (tidak
diterbitkan). Jakarta: Fakultas Psikologi. Universitas Gunadarma. Smet, B. (1994). Psikologi
kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Widyasinta, B. (2003). Hubungan
self-efficacy dan strategi coping dalam tugas penyusunan skripsi mahasiswa Fakultas
Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta. Diunduh dari 150

Anda mungkin juga menyukai