0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
9 tayangan19 halaman
Tiga kalimat:
Dokumen tersebut membahas peran paten dalam investasi melalui pinjaman perbankan, di mana aset kekayaan intelektual seperti merek dan hak cipta dapat dijadikan jaminan fidusia untuk mendapatkan pinjaman dan mendanai bisnis. Dokumen tersebut juga menjelaskan lingkup perlindungan paten dan peran paten dalam inovasi di berbagai negara.
Tiga kalimat:
Dokumen tersebut membahas peran paten dalam investasi melalui pinjaman perbankan, di mana aset kekayaan intelektual seperti merek dan hak cipta dapat dijadikan jaminan fidusia untuk mendapatkan pinjaman dan mendanai bisnis. Dokumen tersebut juga menjelaskan lingkup perlindungan paten dan peran paten dalam inovasi di berbagai negara.
Tiga kalimat:
Dokumen tersebut membahas peran paten dalam investasi melalui pinjaman perbankan, di mana aset kekayaan intelektual seperti merek dan hak cipta dapat dijadikan jaminan fidusia untuk mendapatkan pinjaman dan mendanai bisnis. Dokumen tersebut juga menjelaskan lingkup perlindungan paten dan peran paten dalam inovasi di berbagai negara.
World Intellectual Property Organization (WIPO) memberi definisi paten sebagai berikut. A patent is legally enforceable right granted by virtue of a law to a person to exclude, for a limited time, others from certain acts in relation to describe new invention; the previlege is granted by a government authority as a matter of right to the person who is entitled to apply for it and who fulfills the prescribed condition.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten,paten
adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya, dan berdasarkan tittle 35 U.S.C. 100 Invention means invention or discovery, dan pada 35 U.S.C 101 Inventions patenable disebutkan bahwa whoever invents or discovers any new and useful process, machine, manufacture,or compostion of matter , or any newand useful improvement thereof, may obtain a patent therefor, subject to the conditions and requirements of this title.
Paten merupakan perlindungan terhadap invensi dalam bidang teknologi.
Perlindungan paten dibatasi oleh perundang-undangan baik lingkup cakupan maupun jangka waktunya. Menurut Blair dan Cotter. Era Pro Paten yang dipelopori oleh Amerika Serikat pada tahun 1980-an memunculkan penghargaan terhadap nilai HKI, sehingga makin berkembang seiring kemajuan di bidang teknologi. Paten tidak saja mengindikasikan kemajuan teknologi, tetapi juga menunjang kepentingan fungsi enterpreneurship sebagai ide bisnis yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Jepang kemudian menjadi negara industri berbasis intellectual capitalism memberikan pemecahan permasalahan skill dan inovasi, selain kurangnya SDA. Jepang adalah negara industri yang berrhasil dalam allih teknologi dengan beberapa faktor keberhasilan menjadikan jepang menitikberatkan pada inovasi paten melalui R&D , pemilikan paten ditujukan untuk penguasan ekonomi, strategi paten melalui penguasaan teknologi dan pengembangan lanjut baik paten kecil maupun paten biasa di dunia industri guna mewujudkan Cycle of intellectual creation, mengadopsi berbagai teknologi dari luar dan sistem hukumnya tanpa kehilangan kultur aslinya. Pada tahun 2005, telah dilakukan kajian komparatif tentang hukum paten dalam disertasi penulis yang dipublikasi dalam buku berjudul: Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights, namun seiring perkembangan jaman, berbagai dinamika perdagangan internasional dan regulasi serta kebijakan politik yang berbeda, tentu memengaruhi hukum positif yang berlaku saat ini di negara Jepang harus memenuhi syarat substansif tertentu, yakni kebaruan(novelty), bisa dipraktikkan dalam perindustrian (Industrial applicability, mempunyai nilai langkah inventif (inventive step/non obviousness), juga memenuhi syarat formal. Menurut Saidin, kelemahan inventor Indonesia itu terletak pada ketidakmampuannya untuk melakukan langkah inventif terhadap invensi yang sudah ada sebelumnya. Di AS dan Jepang, kantor paten setiap hari dipenuhi oleh tenaga-tenaga ahli peneliti untuk mempelajari formula paten yang telah ada dan mereka mencari langkah inventif untuk dapat dilindungi menjadi paten baru. Merujuk pendapat tersebut, kelengkapan Online digital library atau fasilitas discovery search harus digalakkan baik di Ditjen KI maupun di lembaga riset dan kampus. Dalam aplikasi paten, fungsi klaim adalah menentukan seberapa jauh luasnya hak atau sempitnya perlindungan paten diberikan, yang sangat tergantung pada seberapa luasnya atau sempitnya suatu klaim dibuat. Klaim yang terlalu luas belum tentu mengunntungkan penemunya sebab mungkin kurang spesifik atau bahkan melanggar klaim paten lainnya. Demikian pula, klaim yang terlalu sempit akan merugikan penemu baik dari segi kepentingan ekonomi maupun kepentingan teknologi, karena cakupannya terlalu sempit. Mengenai sempit atau luasnya perlindungan yang didasarkan pada klaim ini, terdapat berbagai aturan ataupun doktrin yang berbeda, yang dicerminkan baik dari perundang-undangan paten maupun putusan mpengadilan. Jadi, klaim diguna mencakup kepentingan teknologi dan kepentingan ekonomi si inventor yang ingin di raup dalam dunia industri, yang nantinya berwujud monopoly patent right. Klaim perlu ditafsirkan untuk mengetahui cakupan perlindungan.
PERAN HKI DALAM INVESTASI MELALUI PINJAMAN/UTANG
PADA LEMBAGA PERBANKAN
Untuk mendapatkan dana tambahan baik memulai maupun memekarkan
usahanya, investor tentu memerlukan suntikan dana yang dapat berimplikasi pada tambahan modal, dengan memanfaatkan jasa perbankan. Dalam rangka mendapatkan kredit atau utang, adakalanya lembaga keuangan mensyaratkan adanya jaminan kepemilikan (sesuatu baik tangible maupun intangible) calon debitor. Jaminan utang dimaksudkan untuk memberikan keyakinan kepada lembaga keuangan atas pembayaran utang debitur. Berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata, semua benda milik debitur baik bergerak atau tidak bergerak, yang sudah ada maupun akan ada, merupakan tanggungan utangnya dan menjadi jaminan atas pembayarannya. Lembaga keuangan baik bank maupun nonbank tentu tidak ingin jaminannya yang bersifat umum, jadi perlu ditunjuk benda atau hak kebendaan mana yang dijaminkan kepadanya. Selama ini dalam sistem hukum yang berlaku, apabila obyek jaminan utang adalah benda bergerak maka obyek jaminannya (misal bentuk gadai) harus diserahkan kepada kreditor. Dewasa ini perlu bentuk jaminan baru, yang obyeknya adalah benda bergerak (atau yang dianggap) namun tanpa menyerahkan kekuasaan atas benda kepada kreditor, yakni fidusia. Fidusia berasal dari kaya fides yang berarti kepercayaan. Unsur kepercayaan ini dapat dilihat dari hubungan hukum antara debitur pemberi fidusia dengan kreditur penerima fidusia yang didasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bawa kreditur fidusia akan mengembalikan hak milik yang telah diserahkan kepadanya, setelah debitur melunasi hutangnya. Demikian juga pihak kreditur percaya bahwa debitur pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang ada dalam kekuasaanya dan mau memelihara barang tersebut dengan baik. A. Kekayaan Intelektual Sebegai Objek Jaminan Fidusia Isnaeni u dapat dijadikan objek menyatakan bahwa fakta diberlakukannya lembaga analogi untuk keperluan menentukan kedudukan hukum benda terdaftar dengan jalan menerapkan aturan benda tidak bergerak dalam BW sebenarnya secara logis tidak terl;alu mengejutkan dan tak bakal menimbulkan keracunan, mengingat eksistensi benda tidak bergerak sendiri baru dapat dijadikan objek transaksi kalau sudah didaftar dalam register umum uang memeang dipersiapkan untuk keperluan itu. Benda tidak bergerak berupa tanah, misalnya, baru dapat dibebani hipotek manakala sudah terdaftar sehingga hak hipotek pihak kreditor dapat dituliskan dengan jelas pada sertifikat tanda bukti kepemilikan sebagai salinan bukiu tanah. Model ini secara lugas dapat pula dilakukan untuk membebani kapal laut dengan hipotek tanpa banyak mengalami kendala. Di dalam kehidupan konkrit saat ini, kendaraan bermotor yang sekarang digolongkan sebagai benda terdaftar dan bukan lagi sebagai benda bergerak, kalau sudah menyangkut soal pinjamannya memang menunjukkan kecenderungan untuk tidak menerapkan hipotek, tetapi lebih cocok kalau memakai lembaga jaminan fidusia, dengan alasan bahwa objekyang din agunkan itu supaya tetap ada di tangan pemilik yang umumnya akan di pakai pendukung usahanya. Pada awalnya, objek jaminan fidusia berupa benda-benda bergerak sebagaimana dicontohkan dalam Bierbrouwerij Arrest 1929. Dalam perkembangannya kemudian, bendda-benda tidak bergerak seperti bangunan -rumah, toko, dan gudang dapat dijaminkan dengan fidusia. Benda-benda tidak bergerak semacam ini dapat menjadi jaminan fidusia sebagai akibat dari pelaksanaan azas pemisahan horizontal atas tanah. Objek Fidusia berupa benda bergerak tidak berwujud, antara lain piutang atas nama, yang dapat dialihkan untuk jaminan disebut deengan fiduciare cessie atau zekerheidcessie yang dengan kata lain adalah cessie sebagai jaminan. Ruang Lingkup objek jaminan fidusia yang tercantumkan dalam UU fidusia sangatlah luas sehingga diharapkan kalangan perbankan dapat memenangkap peluang ini dengan menciptakan produk jasa kredit perbankan yang dapat membantu pengusahan golongan ekonomi kecil dan menengah mendapatkan fasilitas kredit perbankan Ruang lingkup benda bergerak dan tidak berwujudmasih perlu mendapatkan penegasan lebih lanjut jenis benda bergerak apa saja kaha yang dapat mendaji objek fidusia, karna dalam praktik belum ada keberanian untuk melakuykan pengikatan jaminan secara fidusia, seperti saham, deposito yang selama ini diikat dengan gadai. Objek fidusia dalam bentuk benda bergerak berupa benda tidak berwujud lainnya adalah hak hak kebendaan dalam lingkup hak kekayaan intelektual.Mengutip pendapat Struycken bahwa hak hak dalam hukum kekayaan memiliki sifat dialihkan dari pihak yang satu dengan pihak yang lain, bila hak hak dalam lingkup hak kekayaan intelektual seperti hak merek dan hak cipta itu merupakan hak hak atas benda yang demikian hak hak tersebut dapat difidusiakan. Asas asas yang ada dalam pasal 1338 BW dapat diurai sebagai berikut di bawah ini : 1. Asas kebebasan berkontrak Asas kebebasan berkontrak dalam pasal 1338 BW tertuju pada: a. Bebas untuk menentukan siapa rekan yang akan di ajak membuat kontrak b. Bebas untuk menentukan untuk menentukan kontrak nya, apakah mengkhendaki dalam bentuk tertulis ataukah dalam bentuk tidak tertulis. c. Bebas untuk menentukan isi kontrak nya, yakni para pihak di berikan keleluasaan dan kebebasan untuk menentukan isi kontrak dengan jumlah klausula berapappun banyak nya, sesuai yang dikehendaki berdasar tujuan bisnis mereka. d. Bebas untuk menentukan forum penyelesaian sengketa kontraknya, apakah akan diselaikan di pengadilan atau di badan arbiter andai dibelakang hari terjadi selisih pendapat. e. Bebas untuk menentukan macam atau jenis perjanjiannya, apakah akan memilik salah satu dari perjanjian bernama yang ada didalam buku III BW atau akan membuat perjanjian tak bernama. Sifat terbuka yang menjadikan aturan dalam buku III BW itu luwes ternyata berdampak pula pada adanya pengaruh lain. Manakala ada ketntuan didalam Buku III BW berkedudukan sebagai dwingend recht (misalnya pasal 1330 BW, pasal 1520 BW), seumpama ada perjanjian yang melanggar ketentuan dwengend recht ini, tidak mengakibatkan perjanjian tersebut serta merta menjadi batal demi hukum. Padahal dalam situasi yang umum, apabila ada perjanjian yang melanggar ketentuan yang berposisi sebagai dwengend recht, maka perjanjian yang bersangkutan akan dinyatakan batal demi hukum. Itulah istimewanya ranah Buku III BW yang bercorak luwes, sehingga ketentuan-ketentuan yang ada didalam harus lentur, termasuk ketentuan hukum yang berkedudukan sebagai dwingend recht sekalipun. Padahal, umumnya ketentuan Undang-Undang berposisi sebagai dwingend recht, kokoh dan tidak lentur. Sehingga apabila suatu saat ditabrak oleh sebuah perjanjian, perjanjian itu sendiri yang akan menjadi batal demi hukum. Tetapi ada pengecualiannya, yaitu kalau suatu ketentuan yang berkedudukan sebagai dwingend recht berada dalam Buku III BW, namun berorientasi pada openbare orde (misalnya dalam pasal 1467 BW, pasal 1468 BW, pasal 1469 BW, pasal 1470 BW, maka perjanjian yang dimaksud dinyatakan batal demi hukum. Hanya saja, jumlah ketentuan-ketentuan yang sejenis seperti itu, dwingend recht. 2. Asas Konsensualisme Dapat digali dari kalimat berikutnya yang bernarasi “…perjanjian secara sah”. Kalimat ini mengandung banyak makna tersirat yang penjabarannya memerlukan kejelian pikir.Untuk membuat suatu penjanjian supaya sah, perlu ditengok Pasal1320 BE yang mengatur tentang syarat-syarat keabsahan suatu kontrak, yakni sepakat, cakap, obyek tertentu, dan causa yang diperbolehan. 3. Asas Proporsional Dapat di analisis secara implisit dari susunan kalimat “…perjanjian yang dibuat secara sah” yakni salah satu syarat keabsahan perjanjian adalah sepakat yang berakar dari konsensus. Asas proporsional ini menjadi lebih penting lagi, apabila dalam perjanjian yang bersangkutan terjadi wanprestasi. Besar kecilnya tingkat kekalahan dalam peristiwa wanprestasi, harus diukur secara proporsional atau dasar kepatutan. Jangan sampai setiap kali terjadi wanprestasi, kendati kesalahan yang dilakukan oleh sesuatu pihak adalah relatif kecil, lalu perjanjian serta merta dinyatakan putus.
4. Asas Gotong Royong
Asas gotong royong sebagai landasan pembuatan kontrak yang kemudian berdasarkan Pasal 1233 BW lalu melahirkan peringatan, sesungguhnya bagi rakyat Indonesia merupakan tukang punggung jati diri bangsa, terlebih gotong royong ini merupakan kultur asli. 5. Asas Transparasi Asas transparasi yang tergandung dalam pasal 1338BW tentunya berhubungan erat dengan asas lainnya, lebih khusus dengan asas privity of contract. Tidk ada informasi yang disembunyikan oleh sesuatu pihak terhadap mitranya tentang proyek pokok uang yang ditransaksikan. Sebab sesuatu yang disembunyikan demi mendapatkan keuntungan atau kerugian calon rekan sekontraknya jelas menunjukan adanya ikhtikad buruk 6. Asas Pacta Sunt Servanda Asas ini dapat digiali pada kalimat “…perjanjian yang dibuat secara sah”, yakni janji-janji yang di ikrarkan itu harus ditepati, mengingat janji itu berkait erat dengan perihal prpfit yang didambakan. 7. Asas Kepatutan Bagaimanapun, konsensus itu terbentuk dari pertemuan antara penawaran dan akseptasi. Seumpama ada seseorang menawarkan benda miliknya untuk di jual kepada satu pihak, maka saat menetapkan harganya, haruslah patut berdasarkan harga pasar. 8. Asas Kepastian Hukum Asas kepastian hukum dapat digali dengan pemahaman bahwa suatu perjanjian yang sah, sesuai pasal 1233BW, akan mel;ahirkan sebuah peringatan, yang keberadaannya dapat diterima dalam konstelasi hukum. 9. Asas Akuntabilitas Keberadaannya banyak bersinggungan dengan prinsip kepastian hukum. Kalau hukum sudah dipakai sebagai bingkainya bisnis, keuntungan yang digadang para pihak harus dapat terwujud lewat petukaran prestasi. Namun, bila ada saatnya salah satu pihak ingkar janji atau wanprestasi yang tentu saja akan menimbulkan kerugian pada mitra sekontraknya, karena keuntungan yang di damba tak diperoleh, lewat pasal 1131 BW, sesuai proses, keuntungan tak teraih itu, dipastikan dapat diwujudkan sesuai kesepakatan. Ini lah wujud akuntabilitas hukum yang dapat dijamin secara pasti terwujudnya keuntungan yang diinginkan oleh para pelaku bisnis. 10. Asas kekuataan mengikatnya kontrak Asas ini dapat ditimba dari susunan kata yang mengatakan “mempunyai kekuatan mengikat sama dengan Undang-Undang”. Sesuai dengan tantangan kalimat pendahuluan, kalau sebuah perjanjian sudah dibuat sah, kekurangan mengikat sebuah perjanjian itu dinilai equivalen dengan undang-undang yang dicipta oleh penguasa. 11. Asas privity of contract Dapat dicermat lewat kalimat “…bagi pihaknya”. Sebab perjanjian yang sah, dan dikatakan punya kekuatan mengikat sama dengan undang-undang, daya lakunya hanya sebatas pada para pihak semata, sedang pihak-pihak lain yang bukan kontraknya, dengan sendirinya tidak terikat karenanya asas privity of contract ini lebih jelas lagi kalau menyimak Pasal 1315 jo. 1340 BW, bahwa pada intinya perjanjian itu hanya berlaku bagi pihak yang membuat siap. 12. Asas Konfidensialitas Para kontraktor harus menegakkan prinsip kehati-hatian selama terlihat dalam proses kontraktual yang mereka buat, agar umum tidak gampang tahu sebstansi yang sedang dijadikaan transaksi. Rahasia perusahaan masing-masing pihak, ataupun hak kekayaaan intelektual yang mungkin terlibat, tak selayaknya umum tahu kecuali para pihak sendiri demi terselenggaranya kontrak yang digarap bisa berjalan dengan baik. 13. Asas Nondiskriminatif Sebuah perjanjian lahir kalau ada perjumpaan antara penawaran dan akseptasi. Asas nondiskriminatif ini juga merupakan suatu asas yang penting, sehingga misalnya ada suatu penawaran yang sifatnya tidak ditujukan secara personal, berarti siapapun yang mengakseptasi, sesuai prinsip hukum kontrak, disitulah wajib di taati. 14. Asas Kesederajatan Asas ini tampak pada Pasal 1338 Ayat 2 BW yang intinya menegaskan bahwa “kontrak tidak boleh diputus secara sepihak.” Larangan ini sesungguhnya bertumpu pada preposisi bahwa para pihak itu punya kedudukan yang sederajat, tanpa ada asumsi bahwa yang satu lebih unggul dari yang lain sehingga dapa seenaknya sendiri memutuskan kontrak tanpa persetujuan pihak mitranya. 15. Asas Iktikad Baik Pasal 1338 Ayat 3 BW yakni iktikad baik hanya diperlukan pada saat pelaksanaan kontrak, jelas kurang tepat. Sesuai perkembangan, hakikat ketentuan Pasal 1338 Ayat 3 BW ini sudah umum saat ini ada anggapan kuat bahwasanya iktikad baik itu harus ada pada keseluruhan tanpa proses keberadaan kontrak. Prinsip tidak baik dalam beberapa dekade belakangan menampakkan geliatnya, tak sekedar di bidang kontrak melulu, tetapi juga pada bidang-bidang hukum berdata lainnya, bahkan sampai dalam area waris sekalipun. Memang beberapa dekade lalu ada tahapan di mana masyarakat begitu sangat mendewa-dewakan asa kebebasan berkontrak, yakni pada saat laisserz fair atau persaingan bebas sedang dikibarkan tinggi-tinggi oleh banyak kalangan, sebagai salah satu masa puncak liberialisme yang berpusat pada watak bernuansa individualitis. Dalam perkembangan berikutnya, ketika era tersebut tak menampakkan hasil kesejahteraan seperti yang di harap, mulailah ada gerakan yang melakukan koreksi dengan mengedepankan sifat komunal. Kondisi ini merupakan salah satu pemicu untuk membangkitkan asas iktikad baik yang selama itu tenggelam dilanda arus asas kebebasan berkontrak yang terlalu diprimadonakan. 16. Asas Kecermatan Tentang asas kecermatan ini, harus dirangkum dengan perkembangan pemikiran perlunya menggunakan asas iktikad baik dalam seluruh tahapan kontrak, baik pada waktu pra kontrak, saat penutupan kontrak, dan pada waktu pelaksanaan kontrak. 17. Asas Keadilan Menyinergikan asas-asas dalam Pasal 1338 BW, tetap merupakan sebuah keniscayaan dan bukan kemustahilan, kalau para pihak berusaha sekuat tenaga untuk menegakkan iktikad baik saat merakit kontrak bisnis. Bagaimana pun dan sampai kapan pun, masyarakat punya cita hukum agar kontrak-kontrak yang tergelar dalam kehidupan nyata benar-benar fair. Sependapat dengan Isnaeni, terkait perjanjian kredit sebagai perjanjian tak bernama, buku III BW mempunyai sifat terbuka. Salah satu indikatornya, ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya didominasi oleh ketentuan yang berposisi sebagai regelend recht, bahwa ketentuan tersebut tidak harus secara mutlak berlaku, tetapi dapat disimpangi oleh para pihak atas dasar sepakat. Konsekuensi sifat terbuka dari buku III BW, parapihak dimungkinkan untuk membuat hal-hal baru di luar apa yang ada di dalam buku III BW tersebut. Para pihak tidak sekedar di perbolehkan menyimpangi ketentuan yang ada, tetapi juga membuat jenis-jenis perjanjian baru yan berlainan dengan apa yang ada dan diatur secara khusus dalam buku III BW. Kemungkinan membuat jenis perjanjian yang berbeda dengan jenis perjanjian yang aturannya secara khusus ada dalam buku III BW secara implisit disingkat oleh Pasal 1319 BW yang mengenal jenis perjanjian bernama dan perjanjian tak bernama. Arti perjanjian bernama adalah jenis-jenis perjanjian yang secara khusus diatur dalam buku III BW, sebaliknya perjanjian tak bernama adalah jenis perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam buku III BW. Golongan perjanjian tak bernama inilah yang dapat dibuat oleh para pihak atas dasar kata sepakat dikarenakan adanya tuntunan dan kebutuhan kemajuan dunia bisnis. Ini semua dapat terlaksana karena didasarkan pada salah satu prinsip dalam hukum perjanjian, yakni asas kebebasan berkontrak. Bertolak dari adanya asas kebebasan berkontrak inilah, maka hukum akan selalu mampu mengikuti perkembangan dunia bisnis yang selalu bergerak berubah berdasar inovasi-inovasi pelaku pasar. Apapun yang dituntut oleh kepentingan bisnis, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, ataupun kepatutan, maka para pihak bebas menuangkannya dalam perjanjian. Mengutip pendapat Isnaeni, perjanjian kredit di lingkungan bank yang tergolong sebagai perjanjian tak bernama, sedasar dengan Pasal 1233 BW akan menimbulkan perikatan, sehingga di pundak para pihak akan terpikul suatu kewajiban sebagai konsekuensi janji yang diikrarkan atas dasar sepakat. Mengingat dari perjanjian kredit tersebut menimbulkan kewajiban (obligation) yang kemudian menjadikan para pihak terikat satu dengan yang lain, maka jenis perjanjian seperti ini tergolong sebagai perjanjian obligatoir. Perjanjia bernama ataupun tak bernama, tak terkecuali perjjanjian kredit, merupakan jenis perjanjian yang ada dalam kekuasaan rezim buku III BW yang pada ujungnya akan melahirkan hak pribadi atau hak perorangan. Perjanjian kredit yang dibuat oleh para pihak secara konkret, melahirkan suatu hak berupa hak tagih yang tergolong sebagai hak pribadi bagi bank selaku kreditor, artinya hak tersebut hanya dapat ditegakkan pada pihak tertentu saja, dan yang dimaksud pihak tertentu tidak lain adalah rekan seperjanjiannya. Hak tagih yang dimiliki bank selaku kreditor tentu saja hanya dapat ditujukan kepada nasabah debitor sebagai rekan sekontraknya. Perjanjian kredit menjadi perjanjian obligatoir, manakala tak dilengkapi dengan perjanjian jaminan kebendaan untuk mendapatkan agunan, hak tagih hanya berposisi sebagai hak pribadi yang memiliki sifat gugat perorangan yang ujung- ujungnya hanya dijamin oleh pasal 1131 BW, dan tidak mempunyai hak gugat kebendaan akibat tak memegang satu benda tertentu sebagai agunan. Proses peletakan sita jaminan terhadap harta benda debitor untuk kemudian disusul penjualan di hadapan umum, adalah didasarkan pada Pasal 1131 BW. Jadi, setiap perikatan, tak terkecuali yang bersumber dari perjanjian kredit, sebenarnya oleh undang-undang sudah diberikan jaminan seperti yang tercantum dalam Pasal 1131 BW, sehingga bila debitor wanprestasi, hak kreditor untuk memperoleh kembali piutangnya tetap akan terwujud. Jaminan yang diberikan oleh Pasal 1131 BW berupa seluruh debitor untuk perikatan yang dibuatnya, mengakibatkan jaminan yang ada dalam pasal itu disebut dengan istilah jaminan umum, Untuk itulah bank sebagai institusi perantara diamati oleh UU Perbankan agar menegakkan prinsip kehati-hatian (prudential banking) supaya kondisinya tetap sehat. Penulis juga sependapat bahwa atas dasar penegakan prinsip kehati-hatian tersebut, bank tidak mungin hanya mengandalkan perjanjian kredit semata, sekedar melahirkan hak pribadi dengan memperoleh jaminan umum dalam Pasal 1131 BW mengandalkan jaminan umum dalam Pasal 1131 BW sehingga mebgakibatkan posisinya hanya selaku kreditor konkuren, risiko yang akan diterima pasti sangat basar dan ini dapat mengancam eksistensi bank selaku lembaga perantara. Untuk keperluan tersebut, bank memerlukan penyangga lain di samping jaminan umum, dengan cara membuat perjanjian jaminan khusus agar menghasilkan hak jaminan khusus pula. Hal ini menjadi penting mengingat bank sebagai lembaga intermediary, di satu sisi berusaha keras untuk menghimoun dana dan pada segi lain juga harus hati-hati saat menyalurkan dana pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan. Menegakkan prinsip kehati-hatian dimaksudkan antara lain supaya tingkat kesehatan bank terjamin dengan baik, sehingga kepercayaan masyarakat tetap terpelihara. Sependapat dengan Fuady bahwa hutang yang dapat dijamin dengan fidusia adalah hutang yang telah ada; hutang yang akan ada di kemudian hari (kontijen) tetapi telah diperjanjikan dan jumlahnya sudah tertentu. Misalnya hutang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan garansi bank; dan hutang yang dapat ditentukan jumlahnya pada saat eksekusi berdasarkan suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban untuk dipenuhi; perlu didudukkan terlebih dahulu urgensi perjanjian jaminan fidusia, lebih khusus lagi terkait pemanfaatan kekayaan intelektual sebagai obyek jaminan. Merujuk Isnaeni, suatu piutang itu muncul karena adanya perikatan antara para pihak, dan umumnya piutang lahir dari sebuah perjanjian, lebih khusus lagi piutang berasal dari perjanjian Pinjam Meminjam seperti yang diatur dalam Bab XIII Buku III BW. Ketentuan awalnya adalah Pasal 1754 BW, yang memberikan definisi bahwa yang dimaksud dengan perjanjian pinjam peminjaman ialah suatu perjanjian di mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain sejumlah tertentu benda yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang meminjam akan mengembalikan jumlah dan macam benda yang sama. Maksud benda yang menghabis karena pemakaian antara lain uang, dan ini dapat dilacak misalnya pada Pasal 1756 BW bahwa hutang yang terjadi karena peminjaman uang, hanyalah terdiri dari atas sejumlah uang yang diperjanjikan. Berdasar Pasal 1754 jo. 1756 BW, pinjam meminjam itu objeknya dapat berupa uang secara umum yang oleh masyarakat diberi nama Perjanjian Utang Piutang. Bahkan, Perjanjian Utang Piutang ini oleh Pasal 1250 BW dimungkinkan dengan mengenakan bunga. Lebih menukik lagi, berdasar Pasal 1251 BW, dapat pula ditentukan oleh para pihak adanya kemungkinan bunga itu selanjutnya dikenakan bunga. Dari Perjanjian Utang Piutang, di lingkungan bank dikenal dengan perjanjian kredit, pihak yang memberikan utang akan memiliki piutang atau hak tagih, dan ini tergolong sebgai benda yang kemunculannya dari ranah Perjajian Obligatoir. Eksistensi Buku III BW selalu berkaita dengan Buku II BW yang tak pernah terpisahkan keberadaannya sebagai suatu kesatuan yang manunggal. Piutang yang muncul dari ranah Buku III BW karena tergolong sebgai benda, maka hak milik piutang tersebut ada di tangan pihak yang memberikan pinjaman atau dikenal istilah kreditor. Sebagai pemilik, sesuai Pasal 570 BW, kreditor ini mempunyai kewenangan penuh dan bebs terhadap benda miliknya yang berwujud piutang. Sependapat dengan Isnaeni, untuk menghindari implikasi serba negatif berkaitan dengan jaminan umum dalam Pasal 1131 BW, sarana hokum jaminan menawarkan suatu kondisi yang lebih baik dan nyaman bagi para kreditor yang akan menyalurkan dana pinjaman. Adapun modelnya, setelah dibuat perjanjian kredit ataupun perjanjian pembiayaan sebagai perjanjian pokok, segeralah disusul dengan membentuk pengawal berupa pembuatan perjanjian jaminan kebendaan. Dengan model ini, terbangun adanya suatu sinergitas antara perjanjian pokok berupa perjanjian kredit ataupun perjanjian pembiayaan, kemudian didukung oleh perjanjian jaminan kebendaan, antara lain berupa perjanjian jaminan fidusia selaku perjanjian accsoir seperti yang dituturkan oleh Pasal 4 UU Fidusia. Penulis sependapat dengan Emanuel bahwa, “Coorporate assets consist not only of tangible goods but also intangibles like information”; juga sependapat dengan Barnes, Dwarkin & Richards baha terdapat, “Intangible and tangible property. Tangible property has a physical existence; property that has no physical existence is called intangible property: patents rights, easements, and bouds are examples of tangible property.” Penulis, lebih lanjut, mendukung kekayaan intelektual sebagai aset yang potensial dapat digunakan sebagai obyek jaminan fidusia namun dengan pelbagai kesiapan instansi terkait dan regulasi yang mendukung. Berkembangnya kegiatan perbankan dan lembaga pembiayaan nonbank, perlu pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan sekaligus memberi daya dukung bagi terlaksananya fidusia dengan jaminan KI. Dalam menerapkan ini, bank harus melaksanakan prinsip kehati-hatian (prudential baking principals). Merujuk Isnaeni, hubungan hokum antara bank pengucur dana selaku kreditor dengan nasabah peminjam akan dirakit dalam perjanjian kredit. Sesuai hakikatnya, perjanjian kredit ini bila dikaitkan dengan Pasal 1319 BW tergolong sebagai perjanjian tak bernama, mengingat aturan khususnya dalam Buku III BW tidak ditemukan. Berlandas pada Pasal 1319 BW itu pula, maka perjanjian kredit ini terkualifikasi dalam perjanjian obligatoir sehingga melahirkan perikatan sebagaimana diatur oleh Pasal 1233 BW. Akibat lanjutnya, perjanjian kredit tersebut akan melahirkan hak tagih yang tergolong sebagai hak perorangan atay hak pribadi. Mengapa hak yang dilahirkan dari perjanjian kredit disebut hak pribadi, karena hak itu lahir dari perjanjian yang bersifat pribadi seperti yang tertera dalam Pasal 1315 jo 1340 BW. Artinya bahwa perjanjian kredit tersebut hanya mengikat pihak bank dengan nasabah debitor saja, sedang pihak ketiga yang tidak ikut serta membuat perjanjian dengan sendirinya tidak ikut terikat karenanya. Inilah salah satu asas penting dalam Hukum Perjanjian yang ada kalanya dikenal juga dengan istilah privity of contract. Sesuai hakikatnya, perjanjian kredit yang termasuk golongan perjanjian obligatoir yang menghasilkan hak tagih yang terkualifikasi sebagai hak pribadi, sesungguhnya sudah diberikan jaminannya seperti yang tertuang dalam pasal 1131 BW. Inti ketentuan Pasal 1131 BW, Setiap benda baik yang bergerak ataupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada ataupun yang masih akan ada, dijadikan jaminan atas perikatan-perikatan yang dibuat oleh pemiliknya. Berarti, hak tagih bank selaku kreditor dengan debitor sudah dijamin oleh Pasal 1131 BW yang memberikan kepastian bahwa piutangnya, ditentukan akan kembali manakala pihak debitor wanprestasi. Dengan cidera janjinya debitor untuk membayar utangnya, tentu ini kerugian bagi bank sebagai kreditor. Hal ini dapat dipulihkan dengan jalan mengajukan gugatan ke pengadilan. Sesuai gugat-menggugat yang dibarengi permohonan peletakan sita jaminan, maka pada tingkat tertentu setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap, dan itupun misalnya diabaikan oleh debitor, maka harta benda debitor akan dijual lelang berdasarkan ketentuan Pasal 1131 BW. Hasilnya akan digunakan untuk membayar untung debitor. Andai utang dibitor tak sebatas pada bank semata, tetapi juga ada untung pada pihak- pihak lain, maka hasil lelang harga debitor yang bersangkutan harus dibagi secara proporsional sesuai tuntutan Pasal 1132 BW. Secara implisit, dari Pasal 1132 BW itu, terbesit bahwa berbagai hasil lelang harga debitor atas dasar Pasal 1131 BW, para kreditor itu harus bersaing dalam memperoleh pelunasan piutangnya dikarenakan polanya seperti itu, maka para kreditor tersebut dikualifikasi sebagai kreditor konkuren. Dari titik inilah, bank akan digolongkan sebagai kreditor konkuren yang sudah barang tentu potensial akan memikul risiko yang kurang menguntungkan, yakni bila hasil lelang tak mencukupi untuk melunasi seluruh utang debitor. Jelas, posisi sebagai kreditor konkuren yang melulu mengandalkan jaminan umum dalam Pasal 1131 BW seperti itu, tidak sejalan dengan penegakan orinsip kehati-hatian yang wajib dilakukan oleh bank selaku lembaga intermediary. Menurut para ahli, latar belakang munculnya fidusia karena adanya ketentuan gadai dalam KUHPerdata yang dianggap memiliki kekurangan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan dan perkembagan masyarakat. Adapun hambatan yang ada pada gadai tersebut antara lain mengenai: (1) Adanya azas inbezitstellingen yang mengharuskan berpindahnya penguasaan barang gadai dari tangan Pemberi Gadai kepada Penerima Gadai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1152 KUHperdata. Hambatan ini dianggap dapat mengganggu aktivitas bisnis Pemberi Gadai karena barang atau aset yang digadaikan bisa merupakan barang yang dibutuhkan dalam menjalankan roda bisnisnya. (2) Adanya kelemahan dalam pelaksanaan gadai surat-surat piutang, (3) Adanya ketidakpastian posisi kreditur sebagai kreditur terkuat bila terjadi pembagian hasil eksekusi barang gadai. Hambatan-hambatan inilah yang kemudian mendorong munculnya lembaga jaminan baru yakni Fidusia. Pendaftaran Fidusia merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi sebagai syarat lahirnya jaminan Fidusia dan untuk memenuhu asas publisitas dan kepastian hukum. Pendaftaran juga wajib dilakukan bagi benda- benda yang dijadikan jaminan Fidusia yang ada di luar negeri. Pada saat jaminan Fidusia dicatat dan didaftarkan, maka lahirlah hak kebendaan pada Pemegang/ Penerima Fidusia. Dengan pendaftaran ini, maka asas publisitas telah dianggap terpenuhi yang kemudian menimbulkan konsekuensi bahwa setiap orang akan dianggap mengetahui bahwa objek jaminan Fidusia tersebut telah diserahkan kepemilikannya kepada pihak kreditur. Kekayaan intelektual melahirkan juga hak kebendaan dan dianggap benda bergerak, yang saat ini merupakan aset bagi perusahaan atau pun inventor dan pencipta yang memilikinya, terbuka peluang potensial untuk mendapatkan kredit baginya baik untuk mengeksploitasi KInya atau untuk investasi yang lebih luas. Kemungkinan hal tersebut masih dalam wacana dan belum dilaksanakan oleh para inventor, pengusaha (investor) dan lembaga keuangan di Indonesia. Untuk itu, perlu dikaji termasuk lingkup KI yang bisa dijaminkan dengan fidusia. Demikian pula, tentu perlu kesiapan pelaku, yakni para pemilik HKI, perbankan dan lembaga keuangan nonbank serta notaris. Dinamika kebutuhan masyarakat ini menjadi motivasi pendidikan kenotariatan untuk mencetak notaris yang mumpuni. Menurut Anshori, pada aspek keilmuan, pendidikan kenotariatan mencakup dua hal pokok yang perlu menjadi perhatian, yaitu hakikat makna dasar dari pendidikan kenotariatan (landasan ilmiah yang melahirkan kompetensi) dan ilmu hukum itu sendiri sebagai disiplin yang dipelajari dalam pendidikan kenotariatan. Demikian pula, mengingat notaris harus mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat, maka notaris harus progresif. Menurut Adji, notaris progresif berarti progresif dalam pola pikir yang senantiasa bertindak tidak hanya berpegang pada norma-norma hukum positif, tetapi senantiasa menggali berbagai bentuk tindakan hukum yang dapat diformulasikan dalam bentuk akta otentik. Notaris progrsif juga progrsif dalam pola tindak yang profesional dengan parameter bahwa kehadiran notaris untuk masyarakat, bukan masyarakat untuk notaris. B. Prinsip Yuridis dalam Hukum Jaminan Sesuai sistematika hukum sebagai ilmu, untuk memjudahkan pengaturannya, maka BW mengambil langkah awal dengan cara membagi-bagi benda menjadi beberapa golongan dengan masing-masing pasangannya. Adapun pembagian benda yang dikenal oleh BW adalah: (1) Benda berwujud & benda tak berwujud (Pasal 503 BW) (2) Benda bergerak & benda tidak bergerak (Pasal 504 BW) (3) Benda habis pakai & benda tidak habis pakai (Pasal 505 BW) (4) Benda dalam perdagangan & benda di luar perdagangan (Pasal 1332 BW) (5) Benda yang dapat diganti & benda tidak dapat digantu (Pasal 1694 BW) (6) Benda yang sudah ada & benda yang masih aka nada (Pasal 1161 BW) (7) Benda yang dapat dibagi dan bend tidak dapat dibagi (Pasal 1163 BW) (8) Benda yang bertuan & benda tak bertuan (Pasal 519 BW) Sedasar dengan perkembangan hukum di Indonesia, sesungguhnya sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia), maka muncul pula jenis pembagian benda yang baru, yaitu benda bukan modal. Sesuai hakikat lembaga jaminan fidusia, maka obyeknya tak lain adalah berupa benda modal. Arti benda modal secara sederhana dapat dinarasikan sebagai sekelompok benda yang dipergunakan untuk memutar suatu usaha bisnis, baik secara langsung ataupun tak langsung. Ini perlu diperhatikan karena benda yang dibebani dengan jaminan fidusia tetap dikuasai secara nyata oleh debitor dalam rangka menjalankan kegiatan usaha bisnisnya, disertai asumsi dari hasil usaha tersebut akan dapat dipakai untuk mengangsur utang debitor yang secara konkrit tetap menguasai benda agunan. Fuady menyatakan bahwa ada beberapa prinsip yang berlaku terhadap suatu jaminan utang, prinsip bervariasi bergantung pada jenis jaminan utang atau kredit itu sendiri. Di antara prinsip yuridis suatu jaminan kredit dapat disebutkan sebagai berikut : 1) Prinsip territorial; 2) Prinsip accesoir; 3) Prinsip hak preferensi; 4) Prinsip nondistribusi; 5) Prinsip disclosure; 6) Prinsip eksistensi benda; 7) Prinsip kontrak pokok; 8) Prinsip larangan eksekusi untuk diri sendiri; 9) Prinsip formalisme; 10) Prinsip ikutan obyek (mengikuti benda atau mengikuti orang); 11) Prinsip ikutan piutang Hutang yang dapat dijamin dengan Fidusia adalah: 1) Hutang yang telah ada 2) Hutang yang akan ada di kemudian hari (kontinjen) tetapi telah diperjanjikan dan jumlahnya sudah tertentu. Misalnya hutang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan gransi bank; 3) Hutang yang ditentukan jumlahnya pada saat eksekusi berdasarkan suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban untuk dipenuhi. Misalnya, hutang bunga atas perjanjian pokok yang jumlahnya akan ditentukan kemudian. Merujuk pada pendapat Isnaeni, untuk menghindari implikasi serba negative berkaitan dengan jaminan umum dalam Pasal 1131 BW, sarana hukum jaminan menawarkan suatu kondisi yang lebih baik dan nyaman bagi para kreditor yang menyalurkan dana pinjaman. Adapun modelnya, setelah dibuat perjanjian kredit ataupun perjanjian pembiayaan sebagai perjanjian pokok, segeralah disusuli dengan membentuk pengawal berupa pembuatan perjanjian jaminan kebendaan. Dengan model ini, terbangun adanya suatu sinergitas antara perjanjian pokok berupa perjanjian kredit ataupun perjanjian pembiayaan, kemudian didukung oleh perjanjian jaminan kebendaan, antara lain berupa perjanjian jaminan Fidusia selaku perjanjian accesoir yang seperti yang dituturkan oleh Pasal 4 UU Fidusia. C. Praktik Penjamin Fidusia Jaminan Fidusia saat ini telah diatur dalam undang-undang tersendiri, namun beberapa persoalan hukum yang terjadi dalam praktik antara lain terkait dengan masih kaburnya karakter Fidusia, belum sinkronnya prinsip-prinsip perundang- undangan yang mengatur lembaga jaminan, kesimpangsiuran hak-hak kreditur bila debitur wanprestsai, dan kewenangan pemberi Fidusia dan perlindungan hukum bagi pihak ketiga terjadi kuidasi bank atau debitur pailit. Fidusia dapat diartikan sebagai cara pengaliahan atau perngoperan hak milik dari pemiliknya yaitu (debitur), berdasarkan adanya pokok (perjanjian hutang piutang) kepada kreditur, akan tetapi yang diserahkan hanya haknya saja secara yuridische levering dan hanya dimiliki oleh kreditur secara kepercayaannya saja sebagai jaminan hutang debitur. Sedangkan benda jaminan tetap dikuasai oleh debitur tetapi bukan lagi sebagai eigenaar maupun bezitter, melainkan hanya sebagai detentor atau houder untuk dan atas nama kreditur eigenaar. Perjanjian penyerahan hak milik dalam lingkup Fidusia merupakan hak milik terbatas, artinya perjanjian ini hanya akan melahirkan hak jaminan dan bukan hak milik. Berdasarkan hasil wawancara di Kemenkum HAM RI Direktorat Perdata Bagian Fidusia pada tanggal 21-12-2017 Iwan Supriadi, kasubdit Jaminan Fidusia Direktorat Perdata Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementrian Hukum dan HAM RI, mengatakan bahwa KI bisa dijadikan obyek jaminan fidusia, namun kendala belum adanya lembaga penilaian (appraisal) yang diharapkan nantinya akan independent dan tata caranya belum diatur. Namun, Iwan sedang mengusulkan untuk revisi UU Nomor 42 Tahun 1999 agar dapat berubah khususnya penambahan KI sebagai obyek Fidusia; disebutkan langsung, KI sebagai Benda Bergerak dapat dijadikan obyek jaminan fidusia. Demikian pula tentang tata caranya. Pada dasarnya, Kemenkum HAM tidak ada masalah. Yang perlu ditanyakan adalah seberapa jauh perbankan didorong memanfaatkan KI sebagai obyek jaminan fidusia, atau bagaimana OJK bisa menghimbau perbankan melaksanakannya. Terkait kesiapan, menurut Iwan, perbankan harus didorong untuk menerima dan OJK harusnya men-support perbankan. Penulis juga sependapat dengan Isnaeni terkait benda modal dan benda bukan modal, yakni bahwa penormaan lembaga jaminan kebendaan fidusia ke dalam bentuk undang-undang yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia diharapkan dapat lebih meningkatkan kepastian hukum, daripada fidusia dibiarkan tumbuh di ranah yurisprudensi. Sedasar dengan munculnya UU Fidusia, sebenarnya pada sisi lain memunculkan jenis pembagian benda yang baru, yaitu benda modal dan benda bukan modal. Adapun yang dimaksud dengan benda modal secara sederhana dapat diartikan sebagai benda yang dipergunakan untuk menopang suatu kegiatan usaha baik secara langsung ataupun tidak langsung. Sedang benda bukan modal adalah segala jenis benda yang tidak dipergunakan untuk menopang suatu usaha. Pembagian baru ini pun rupanya senasib dengan munculnya benda terdaftar dan benda tidak terdaftar, hasilnya hanya benda terdaftar yang lebih tenar di kancah dunia bisnis. Demikian pula dengan benda yang bukan modal, sebenarnya cenderung tak jauh beda dengan benda bergerak, sehingga nama ataupun peran benda bukan modal tidak bakal mencuat seperti halnya benda modal. Andai kata tenar, benda modal pun hanya dibicarakanpada saat memerlukan pengikatan demi memperoleh dana pinjaman dalam rangka membesarkan sebuah usaha. Dana pinjaman yang dikucurkan pihak kreditor lalu dibarengi dengan kesepakatan pemasangan fidusia terhadap benda modal, pada era inilah sesungguhnya perbincangan posisi benda modal menjadi titik perhatian. Di luar kegiatan arena pengikatan secara fidusia, memang keberadaan benda modal tidak sedemikian banyak menarik minat untuk dibahas. Namun demikian, tidak ada salahnya mengemukakan gagasan bahwa sudah terbit pembagian benda secara baru sehubungan dengan berlakunya UU Fidusia, yakni berupa benda modal dan benda bukan modal. Ani Turbuana, Kasi Pelayanan Fidusia, dalam wawancara di Jakarta tanggal 21-12-2017 menyatakan bahwa obyek fidusia telah diperluas sehingga KI sebagai Benda Bergerak bisa dijadikan obyek, yang diperlukan adalah sosialisasi terkait pemanfaatannya. Di Kantornya, tercatat ada Sembilan pendaftar Fidusia dengan jaminan sertifikat KI (baru-baru ini saja), namun belum dapat diberi gambaran bank mana atau lembaga non-perbankan mana yang menerima kredit dengan jaminan KI tersebut, dan KI apa saja yang potensial dijadikan obyek jaminan Fidusia. Selama