PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang LatarBelakang, RumusanMasalah, Tujuan
Penulisan, Batasan Masalah, serta Sistematikapenulisaan, yang dimaksudkan
sebagai pengantar sebelum memasuki pembahasan lebih lanjut dari tugas akhir
ini.
BAB V PENUTUP
Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan dari hasil analisis dan
memberikan saran-saran sehubungan dengan analisis yang telah dilakukan.
BAB II
TUNJAUAN PUSTAKA
Jalan menurut Undang - Undang No. 13 Tahun 1980 adalah suatu prasarana
penghubung darat dalam bentuk apapun, tidak terbatas pada bentuk jalan yang
konversional yaitu jalan pada permukaan tanah, akan tetapi juga jalan yang
melintasi sungai besar, danau dan laut. Jalan adalah lintasan yang bertujuan
melewati lalu lintas dari satu tempat ke tempat yang lain.
Jalan raya juga sebagai sarana pembangunan dan membantu suatu wilayah
agar lalu lintas di jalan tersebut berjalan dengan baik, aman, efisien dan ekonomis.
Jalan disuatu wilayah mempunyai perkembangan yang merata disemua daerah
serta sebagai penghubunng pusat – pusat pertumbunhan dengan wilayah yang
berada di wilayah pengaruhnya.
2. Jalan kolektor primer, menghubungkan kota jenjang ke- dua dengan kota
jenjang ke- dua, atau menghubungkan kota jenjang ke- satu dengan kota
jenjang ke- tiga, atau jugamenghubungkan kota jenjang ke- dua dengan
jenjang ke- tiga.
a. Didesain untuk kecepatan paling rendah 40 km/jam.
b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 7 meter.
c. Kapasitas sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata – rata.
d. Jumlah jalan masuk dibatasi, dan direncanakan sehingga dapat
dipenuhi kecepatan paling rendah 40 km/jam.
e. Jalan kolektor primer, tidak terputus walau memasuki kota.
3. Jalan lokal primer, menghubungkan kota jenjang ke- tiga dengan kota
jenjang ke- tiga, atau menghubungkan mota jenjang ke- dua dengan
persil, atau menghubungkan kota ke- 3 dengan persil.
a. Didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam.
b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 6 meter.
c. Jalam lokal primer tidak terputus, walaupun memasuki daerah.
Dari hasil pantauan maka ruas jalan Kodam lama-Kodam baru dikategorikan
menurut fungsi dan peran jalan merupakan jalan Lokal Sekunder.
Berdasarkan buku Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota oleh
Deepartemen Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Bina Marga menyatakan bahwa
suatu kriteria dalam perencanaan geometrik jalan raya adalah dengan mengetahui
VJP ( Volume Jam Perencanaa ) yang mana VJP adalah suatu perkiraan volume
lalu lintas per jam pada jam sibuk tahun rencana lalu lintas secara teliti. Dari
perhitungan jumlah kendaraaan yang lewat dapat diketahui volume lalu lintas
yang dinyatakn dalam satuan smp/jam.
Berdasarkan volume jam perencanaan pula dipakai sebagai dasar untuk
meningkatkan jalan tersebut. Pola lalu lintas pada setiap jalan raya menunjukkan
volume berbeda – beda untuk berbagai jam dari suatu hari dalam satu tahun
pengamatan, maka yang menjadi persoalan adalah berapa volume tiap jam
sebagaimana yang dimaksud selanjutnya dapat dipakai sebagai dasar perencanaan.
Dasar suatu perencanaan sampai batas tertentu berpedoman pada volume
waktu sibuk yaitu saat menerima beban maksimum. Tetapi cukup dimengerti
bahawa perencanaan berdasarkan waktu sibuk akan berarti suatu penghamburan,
karena volume tiap jam rata – rata akan menghasilkan jalan yang tidak
mencukupi. Jadi volume yang dipakai sebagai dasar perencaaan haruslah
sedemikian sehingga volume lalu lintas tersebut tidak terlalu sering dan tidak
besar terlampaui sehingga jalan tersebut tidak ekonomis.
Adapun rumus yang akan digunakan dalam menghitung nilai LHR umur
rencana yaitu :
Pn = Po + ( 1 + i ) n .....................................................................(2.1)
Dimana :
Pn = jumlah kendaraan pada tahun ke n
Po = jumlah kendaraan pada awal tahun
i = Angka pertumbuhan lalu lintas (%)
n = Umur rencana
Setelah di dapat nilai LHR yang direncanakan dan dikalikan dengan faktor
(FE), maka didapat klasifikasi kelas jalan tersebut. Nilai faktor ekivalensi dapat
dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini :
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.)
Kelas jalan sesuai dengan Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya (PPGJR
1997) dapat dilihat pada tabel 2.2 dibawah ini :
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.)
b. Kelas II
Kelas jalan ini mencakup semua jalan-jalan sekunder.Dalam komposisi
lalu lintasnya terdapat lalu lintas lambat. Kelas jalan ini, selanjutnya
berdasarkan komposisi dan sifat lalu lintasnya, dibagi dalam tiga kelas, yaitu :
II A, II B dan II C.
c. Kelas II A
Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur atau lebih dengan konstruksi
permukaan jalan dari jenis aspal beton (hotmix) atau yang setarap, dimana
dalam komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat, tapi tanpa
kendaraan yang tak bermotor.
d. Kelas II B
Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi permukaan
dari penetrasi berganda atau yang setara dimana dalam kompoisi lalu lintasnya
terdapat kendaraan lambat tapi tanpa kendaraan tak bermotor.
e. Kelas II C
Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi permukaan
jalan dari jenis penetrasi tunggal dimana dalam komposisi lalu lintasnya
terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor.
f. Kelas III
Kelas jalan ini mencakup semua jalan-jalan penghubung dan merupakan
konstruksi jalan berjalur tunggal atau dua.Konstruksi permukaan jalan yang
paling tinggi adalah pelaburan dengan aspal.
Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk
menerima beban lalu lintas yang dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST)
dalam satu ton, dan kemampuan jalan tersebut dalam menyalurkan kendaraan
dengan dimensi maksimum tertentu.
Didaerah perbukitan dan gunung, koefisien untuk kendaraan bermotor tidak dapat
dinaikkan. Dari angka kesusaian tersebut menunjukkan nilai hambatan untuk tiap
– tiap jenis kendaraan. Sehubungan dengan peraturan klasifikasi jalan oleh
Departemen Pekerjaan Umum seperti pada tabel berikut :
Klasifikasi menurut kelas jalan, fungsi jalan dan dimensi kendaraan maksimum
(panjang dan lebar) kendaraan yang diijinkan melalui jalan tersebut, secara umum
dapat dilihat dalam tabel 2.3
Satuan Volume lalu lintas yang umum dipergunakan sehubungan dengan jumlah
dan lebar jalur adalah :
a) Lalu Lintas Harian Rata-Rata Tahunan (LHRT)
Lalu lintas Harian Rata-rata Tahunan (LHRT) adalah jumlah lalu lintas
kendaraan rata-rata yag melewati satu jalur jalan selama 24 jam dan
diperoleh dari data satu tahun penuh.
Rumus yang digunakan :
b. Lebar Jalur
Lebar jalur sangat ditentukan oleh jumlah dan lebar lajur
peruntukannya.Lebar jalur minimum adalah 4.5 meter, memungkinkan 2
kendaraan kecil saling berpapasan.Papasan dua kendaraan besar yang
terjadl sewaktu-waktu dapat menggunakan bahu jalan.
di mana:
VR = kecepatan rencana (km/jam)
T = waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik
g = percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m/det'
f = koefisien gesek memanjang perkerasan jalan aspal, ditetapkan 0,35-0,55.
𝑉𝑅 2
Jh = 0,694 VR + 0,004 … … … … … … … … … … … … … … … … (2.5)
f
i. Pada saat kendaraan yang mendahului telah berada kembali pada lajur
jalannya, maka harus tersedia cukup jarak dengan kendaraan yang bergerak
dari arah yang berlawanan.
Jd = d1 + d2 + d3 + d4 ..................................................................... ( 2.6 )
Dimana :
d1 = jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (m)
d2 =jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali ke
lajur semula (m)
d3 =jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang datang
dari arah berlawanan setelah proses mendahului selesai (m)
d4 =jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah berlawanan
besarnya diambil sama dengan 2/3 d2 (m)
Adapun rumusan estimasi d1, d2, d3, dan d4 adalah sebagai berikut :
a.t1
d1 =0,278 T1 (V-m+ 2 )
d2 =0,278 VR T2
d3 =antara 30 – 100 m
d4 = 3/2 d2
dimana:
T1 = waktu dalam (detik), = 2,12 + 0,026 VR.
T2 = waktu kendaraan berada di jalur lawan, (detik), = 6,56 + 0,048 VR.
a = percepatan rata-rata, (km/jam/detik), = 2,052 + 0,0036 VR.
m = perbedaan kecepatan dari kendaraan yang mendahului dan kendaraan
yang didahului, (biasanya diambil 10 – 15 km/jam).
1. jika Jh < Lt :
90𝑜 𝐽ℎ
E = R { 1 − Cos ( )} … … … … … … … … … … … … … … … . . (2.7)
𝜋R
di mana:
R = Jari-jari tikungan (m)
Jh = Jarak pandang henti (m)
Lt = Panjang tikungan (m)
Tabel 2.13 berisi nilai E, dalarn satuan meter, yang dihitung menggunakan
persamaan (2.5) dengan pembulatan-pembulatan untuk Jh<Lt. Tabel tersebut
dapat dipakai untuk menetapkan E.
Berikut adalah tabel untuk menetapkan E :
Tabel 2.14 E (m) untuk Jh>Lt, VR(km/jam) dan Jh (m), di mana Jh-L,=25 m.
(sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen
BinaMarga 1997.)
Beberapa hal yang penting dalam perencanaan ini dimana secara prinsip
akan sangat berpengaruh dan berhubungan erat dengan alinyemen secara
horizontal yaitu :
1. Alinyemen pada titik kontrol harus searah langsung kura – kurva yang
panjang dan penyesuaiannya berdasarkan keadaan topografi.
2. Diupayakan tidak terjadi kurva – kurva yang pendek ( berdekatan ) karena
akan menjadi suatu rangkauan yang kurang baik.
3. Hindarkan penimbunan yang sangat tinggi dari kurva yang sangat datar.
Keterkaitan langsung sebagai akibat dari adanya alinyaemen horizontal
dan superelevasi, pada saat kendaraan bergerak akan terjadi gaya sentrifugal pada
kendaraan tersebut.
Ada beberapa gaya sentrifugal yang akan mungkin terjadi sebagai akibat
dari bergeraknya kendaraan gesekan kesamping dari ban ( roda ) dengan
permukaan jalan raya yaitu seperti gambar berikut :
GV2 K F max
gR
FL
FR
G
NL NR
Keterangan :
G = Berat kendaraan
g = Gaya gravitasi bumi
V = Kecepatan kendaraan
R = Jari – jari lengkung lintasan
FL = Gaya gesekan ban kiri dengan permukaan jalan
FR = Gaya gesekan ban kanan dengan permukaan jalan
NL = Gaya perlawanan terhadap berat kendaraan pada ban kiri
NR =Gaya perlawanan terhadap berat kendaraan pada ban kanan
Pada gambar yang terlihat diatas bahwa gaya sentrifugal yang muncul masih
seimbang dengan gaya gesekan antara ban dengan permukaan jalan sehingga
berlaku rumus :
9R R
NL NR
Pada posisi seperti ini gaya sentrifugal yang ditimbulkan sebagai akibat
gaya pesat ( laju ) kendaraan dapat diimbangi karena kemiringan jalan aspal.
Dengan kata lain bahwa bentuk miring dari bentuk jalan akan memberikan
pertimbangkan atau mengurangi kemungkinan terjadinya pengulingan pada
kendaraan dan kemudahan kepada pengemudi untuk menguasai kendaraan
sehingga akan memberikan kenyamanan kepada penumpang.
Dengan posisi seperti ini memberikan gambaran suatu bentuk kurva yang
dianggap cukup ideal pada suatu tikungan jalan yang dapat dilihat seperti
hubungan rumus dibawah ini :
GV2
E= .............................................................................(2.10)
127.R
Dimana :
e = Superelevasi
R = Jari – jari lengkung ( m )
V = Kecepatan kendaraan ( km/jam )
G
G sin a GV2
9R
G cos a
NL G cos a NR
Pada stadium ini kemiringan teradap jalan yang diberikan tiaklah cukup,
sehinngga untuk mengimbangi dari gaya sentrifugal yang terjadi oleh suatu
kendaraan sangatlah kecil ( tidak memenuhi ). Misalnya kendaraan tersebut pada
saat waktu ditikungan sedang berada dalam kecepatan cukup tinggi, mak jari –
jari tikungan yang kecil, pada saat inilah akan timbul gaya antara ban ( roda )
dengan aspal yang kurang normal pada kejadian ini gaya di perhitungkan dengan
menggunakan rumus :
GV2
e + Fm = ............................................................................. (2.11)
127.R
Dimana :
E = Superelevasi
R= Jari – jari lengkung ( M )
V= Kecepatan kendaraan ( km/jam )
Fm = Koefisien gesekan melintang
𝑉𝑟2
𝑅𝑚𝑖𝑛 = . . … … … … … … … … … … … … … … (2.12)
127 × (𝑒𝑚𝑎𝑘𝑠 + 𝑓)
di mana:
R.min = Jari-jari tikungan minimum (m),
VR = Kecepatan Rencana (km/j),
emax = Superelevasi maximum (%),
f = Koefisien gesek, untuk perkerasan aspal f = O, 14 - 0,24
𝑉𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎
𝐿𝑠 = 𝑇 … … … … … … … … … … … … … … … . … … … … . (2.13)
3,6
dimana:
𝑉𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 𝑉𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 . 𝑒
𝐿𝑠 = 0,002 − 2,727 … … … … … . … … … (2.14)
𝑅. 𝐶 𝐶
dimana:
e = Superelevasi,
C = Perubahan percepatan, diambil 13m/dee.
R = jari-jari busur lingkaran (m/m/detik)
(𝑒𝑚 − 𝑒𝑛 )𝑉𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎
𝐿𝑠 = … … … … … … … … … … … … … … … . . (2.15)
3,6. 𝑟𝑒
dimana:
VR = kecepatan rencana (km/jam),em=super elevasi maximum,
en = super elevasi normal,
re = tingkat pencapaian perubahan kemiringan melintang jalan
(m/m/detik).
Lengkung dengan R lebih besar atau sama dengan yang ditunjukkan pada
(Tabel2.19) tidak memerlukan lengkung peralihan.
𝐿𝑠 2
𝑝= … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . … (2.16)
24𝑅𝑐
Dimana :
a. Apabila nilai p kurang dari 0,25 meter, maka lengkung peralihan tidak
diperlukan sehingga tipe tikungan menjadi fc.
b. Super elevasi tidak diperlukan apabila nilai R lebih besar atau sama dengan
yang, ditunjukkan dalam Tabel 2.20.
R
Ec = - R................................................................(2.18)
Cos . 0,5
C
Lc = x 2.π.R ............................................................... (2.19)
360
Keterangan :
𝐿𝑠 2
𝑌𝑠 = . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . … . . . (2.20)
6𝑅𝑐
90 𝐿𝑠
𝑞𝑠 = . . . . . . . . . . . . . . … . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . … . . . . . . . . … . . . . . . . . . . (2.21)
𝑝 𝑅𝑐
1
𝑇𝑠 = (𝑅𝑐 + 𝑝) tan ( ∆) + 𝑘. . . . . . . . . . . … … … . . . . . . . . . . . . … . . . . … . . . (2.24)
2
1
𝐸𝑠 = (𝑅𝑐 + 𝑝) 1
− 𝑅𝑐. . . . . . . . . . . . . . . . . . . … … … . . . . . . . … . . . . (2.25)
𝑐𝑜𝑠 (2 ∆)
(∆ − 2𝑞𝑠)
𝐿𝑐 = 𝑝. 𝑅𝑐. . . . . . . . . . . … … … … . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.26)
180
Di mana :
............................................................................ (2.28)
…......................................................................... (2.29)
.........................................................................(2.30)
1. Ɵs = 0,5
5. Untuk jalan 1 jalur 3 lajur, nilai-nilai dalarn Tabel 2.21 harus dikalikan 1,5.
2.4.6 TikunganGabungan
a) Tikungan gabungan searah, yaitu gabungan dua arah atau lebih tikungan
dengan arah putaran yang sama tetapi dengan jari-jari yang berbeda (lihat
Gambar 2.5)
b) Tikungan gabungan balik arah, yaitu gabungan dua tikungan dengan arah
putaran yang berbeda (lihat Gambar 2.16)
Berikut adalah gambar tikungan balik searah dan tikungan gabungan balik arah :
Gambar 2.16 Tikungan gabungan Gambar 2.17 Tikungan
gabungan
searah balik
R1 2
> tikungan gabungan searah harus dihindarkan
R2 3
R1 2
< tikungan gabungan harus dilengkapi bagian lurus atau 𝑐𝑙𝑜𝑡ℎ𝑜𝑖𝑑
R2 3
Setiap tikungan gabungan balik arah harus dilengkapi dengan bagian lurus
diantara kedua tikungan tersebut sepanjang minimal 20 meter (lihat Gambar
2.18).
Pada dasarnya tidak ada ketentuan baku tentang pemilihan jenis tikungan
yang akan digunakan. Untuk keseragaman perancangan, Bina Marga
menyarankan menggunakan tikungan Spiral-Circle-Spiral sebagai dasar
perancangan.
Kondisi tersebut dipengaruhi oleh keadaan topografi yang dilalaui rete jalan
rencana. Kondisi topografi tidak saja berpengaruh pada perencanaan alinyemen
horizontal tetapi juga mempengruhi perencanaan vertikal.
Jenis lengkung vertikal dilihat dari letak titik perpotongan kedua bagian lurus
(tangen), adalah :
1. Lengkung vertikal cekung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara
kedua tangen berada di bawah permukaan jalan.
2. Lengkung vertikal cembung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara
kedua tangen berada di atas permukaan jalan yang bersangkutan.
Maka persamaan umum dari lengkung vertikal, yaitu :
…………………………………………...………….(2.31)
……………………………………………..……………….(2.32)
Dimana :
A = ( g1 + g2 )
L = Panjang lengkung vertikal
2.5.2 Kelandaiaan
Pada perencanaan alinyemen vertikal terdapat kelandaian positif (tanjakan)
dan kelandaian negatif (turunan), sehingga kombinasinya berupa lengkung
cembung dan lengkung cekung. Disamping kedua lengkung tersebut terdapat pula
kelandaian = 0 (datar). (Shirley L. Hendarsin, 2000).
Kalau pada alinyemen horizontal bagian yang kritis adalah pada tikungan,
maka pada alinyemen vertikal bagian kritis justru pada bagian lurus. Beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam perencanaan alinyemen vertikal adalah :
Untuk menghitung dan merencanakan lengkung vertikal, ada beberapa hal yang
perlu diprhatikan yaitu :
1. Karakteristik Kendaraan Pada Kelandaian
2. Kelandaian Maksimum
3. Kelandaian Minimum
4. Panjang kritis suatu kelandaian
5. Lajur pendakian pada kelandaian khusus
a. Landai Minimum
Untuk jalan-jalan di atas tanah timbunan dengan medan datar dan
menggunakan kerb, kelandaian yang dianjurkan adalah sebesar 0,15 % yang
dapat membantu mengalirkan air dari atas badan jalan dan membuangnya ke
saluran tepi atau saluran pembuangan. Sedangkan untuk jalan-jalan di daerah
galian atau jalan yang memakai kerb, kelandaian jalan minimum yang
dianjurkan adalah 0,30 - 0,50 %.
b. Landai Maksimum
Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk memungkinkan kendaran
bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan berarti.Kelandaian maksimum
didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh yang mampu bergerak
dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh kecepatan semula tanpa
harus menggunakan gigi rendah.
Tabel 2.23 Kelandaian Maksimum Yang Diijinkan
Kecepatan 120 110 100 80 60 50 40 <40
Rencana (km/jam)
Kelandaian 3 3 4 5 8 9 10 10
Maksimum (%)
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997)
Panjang kritis yaitu panjang landai maksimum yang harus disediakan agar
kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian sehingga
penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh VR. Lama perjalanan tersebut
ditetapkan tidak lebih dari satu menit.
b. Dari gambar diatas, besarnya defleksi (y’) antara garis kemiringan (tangen) dan
garis lengkung dapat dihitung dengan rumus :
………………………...........………………….(2.33)
Dimana :
x = jarak horizontal dari titik PLV ke titik yang ditinjau (m)
y’ = besarnya penyimpangan (jarak vertikal) antara garis kemiringan
dengan lengkungan (m).
g1, g2 = besar kelandaian (kenaikan/penurunan) (%).
Lv = panjang lengkung vertikal (m).
Untuk x = ½ Lv, maka y’ = Ev dirumuskan sebagai :
……………………………………..……….……(2.34)
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997)
Gambar 2.25 Jarak Pandang Lengkung Vertical Cembung
Lebar lajur pendakian sama dengan lebar lajur rencana, lajur pendakian
dimulai 30 meter dari awal perubahan kelandaian dengan serongan sepanjang 45
meter dan berakhir 50 meter sesudah puncak kelandaian dengan serongan
sepanjang 45 meter (lihat Gambar II.29) danJarak minimum antara 2 lajur
pendakian adalah 1,5 Km(Lihat Gambar II.30).
2. Patok km berupa patok permanen yang dipasang dengn ukuran standar yang
berlaku, sedangkan patok STA merupakan patok sementara selama masa
pelaksanaan proyek jalan tersebut
METODOLOGI PENELITIAN
Penulis mengambil objek penelitian dimulai dari setelah jembatan Paldam (Jln.
Makodam Lama) sta. 0+000 KM sampai dengan daerah lapangan golf Kantor
Kodam Baru XVII Cenderawasih (Jln. Polimak IV) sta. 2+000 KM.
Gambar 3.1 Lokasi Penelitian. ( Kodam XVII Cenderawasih )
3. Wawancara
wawancara (interview) yaitu dengan mewancarai narasumber yang
dapat dipercaya untuk memperoleh data yang diperlukan. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewancara (intervieweer) yang mengajukan
pertanyaan dan yang diwawancarai (interview) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu. Kegiatan ini dilakukan dengan mengadakan tanya jawab secara
lisan dengan informan, pertanyaan tersebut mengacu pada geometrik jalan
pada ruas jalan Kodam lama – Kodam baru.
b. Topografi
a. Mendapatkan informasi dari pihak Instansi Pemerintah dalam hal ini Dinas
Pekerjaan Umum Propinsi Papua, Swasta dan sebagainya.
b. Membaca buku – buku literatur yang ada hubungannya dengan pembahasan
tulisan ini.
3.5 Analisa Data
Analisa data dilakukan setelah semua data – data terkumpul terutama data
primer dan perhitungan disesuaikan dengan literatur yang ada, apabila data primer
dianggap atau dinilai belum mencukupi maka dilengkapi dengan data sekunder.
Pengolahan data dalam arti perhitungan teknis secara lengkap untuk menghasilkan
input dan proses perancangan selanjutnya. Analisis pengolahan data meliputi :
1) nilai LHR
Pn = Po + ( 1 + i ) n
2) Jarak Pandang
𝑉𝑅 2
Jh = 0,694 VR + 0,004
f
b. Jarak Pandang Mendahului (Jd)
Jd = d1 + d2 + d3 + d4
- Jika Jh < Lt :
90𝑜 𝐽ℎ
E = R { 1 − Cos ( )}
𝜋R
- Jika Jh >Lt :
90𝑜 𝐽ℎ 1 90𝑜 𝐽ℎ
E = R { 1 − Cos ( )} + ( 𝐽ℎ − 𝐿𝑡 )𝑆𝑖𝑛 ( )
𝜋R 2 𝜋R
3) Alinyemen
a. Alinyemen Horizontal
𝑉𝑟2
𝑅𝑚𝑖𝑛 =
127. (𝑒𝑚𝑎𝑘𝑠 + 𝑓)
- Lengkung peralihan
𝑉𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎
𝐿𝑠 = 𝑇
3,6
𝑉𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 𝑉𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 . 𝑒
𝐿𝑠 = 0,002 − 2,727
𝑅. 𝐶 𝐶
3. Tingkat pencapaian perubahan kelandaian
(𝑒𝑚 − 𝑒𝑛 )𝑉𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎
𝐿𝑠 =
3,6 ∗ 𝑟𝑒
T = R . tg . 0,5
𝐿𝑠 2
𝑌𝑠 =
6𝑅𝑐
90 𝐿𝑠
𝑞𝑠 = 𝑥
𝑝 𝑅𝑐
𝑝 = 𝑌𝑠 − 𝑅𝑐 (1 − 𝑐𝑜𝑠𝑞𝑠)
𝑘 = 𝑋𝑠 − 𝑅𝑐. 𝑠𝑖𝑛𝑞𝑠
1
𝑇𝑠 = (𝑅𝑐 + 𝑝) tan ( ∆) + 𝑘
2
1
𝐸𝑠 = (𝑅𝑐 + 𝑝) 1
− 𝑅𝑐
𝑐𝑜𝑠 (2 ∆)
(∆ − 2𝑞𝑠)
𝐿𝑐 = 𝑝. 𝑅𝑐
180
𝐿𝑡𝑜𝑡 = 𝐿𝑐 + 2𝐿𝑠
b. Alinyemen Vertikal
Mulai
Studi Pendahuluan
Survey Lokasi
Analisa Data
Selesai