Anda di halaman 1dari 66

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dengan semakin majunya perkembangan saat ini, kebutuhan akan
penggunaan jalan sangatlah penting. Baik untuk masyarakat yang ada di
perkotaan maupun di pedesaan, terlebih dalam memenuhi perekonomian
masyarakat itu sendiri yang nantinya diharapkan dapat menciptakan keselarasan
dan kesejahteraan masyarakat sehingga negara kita dapat maju dan dapat
tercapainya tujuan pembangunan itu sendiri. Seperti diketahui bahwa sekarang ini
banyak sekali alat transportasi yang digunakan, namun alat transportasi daratlah
yang banyak dan sering digunakan oleh pemakainya.
Untuk memenuhi hal-hal tersebut, setiap pihak - pihak yang berkaitan
sangatlah dituntut kerjasamanya yang baik. Pemerintah telah merencanakan dan
meningkatkan prasarana jalan yang sudah ada sedangkan pemakai jalan dituntut
untuk menjaga dan memelihara jalan tersebut agar tingkat pelayanan dapat
terpenuhi. Selain hal diatas perlu juga fasilitas penunjang, antara lain rambu-
rambu lalu lintas, pemisah arah dan geometrik jalan. Pemisah arah (Median)
merupakan salah satu fasilitas yang juga berpengaruh pada karakteristik arus lalu
lintas.
Jalan merupakan suatu sarana transportasi yang sangat penting karena
dengan jalan maka daerah yang satu dapat berhubungan dengan daerah yang
lainnya. Untuk menjamin agar jalan dapat memberikan pelayanan sebagaimana
yang diharapkan maka selalu diusahakan peningkatan-peningkatan jalan itu.
Dengan bertambahnya jumlah kendaraan bermotor, hal ini menyebabkan
meningkatnya jumlah arus lalu lintas dengan kemampuan jalan yang terbatas.
Keadaan jalan yang macet bukanlah hal yang baru di kota – kota besar khususnya
di Indonesia. Hal ini di utamakan karena bertambahnya keinginan masyarakat
untuk menggunakan kendaraan – kendaraan bermotor atau mobil pribadi untuk
memenuhi aktifitas kehidupannya tanpa melihat dampak yang di timbulkan.
Melihat kondisi di kota Jayapura terutama pada jam-jam tertentu menuntut
adanya peningkatan kualitas dan kuantitas suatu jalan, karena semakin banyaknya
kendaraan di kota Jayapura sehingga kemacetan tidak dapat dihindari, untuk
itulah perlu adanya tinjauan mengenai kapasitas jalan yang ada sehingga dapat
dievaluasi dan dianalisa untuk mengantisipasi perkembangan jumlah kendaraan
dan perkembangan penduduk khususnya di kota Jayapura.Untuk mencegah hal –
hal tersebut, perlu diperhatikan mengenai perencanaan dan pembuatan jalan.
Secara khusus mengenai peraturan perencanaan geometrik jalan oleh Direktorat
Jendral Bina Marga.
Sehubungan dengan hal di atas, jalan yang terdapat di Kodam lama-
Kodam baru Kota Jayapura sangat berperan penting saat terjadi kemacetan di
daerah kota Jayapura dan sekitarnya. Dengan adanya ruas jalan tersebut, akses
jalan ini juga mempermudah para pengendara lebih menghemat waktu pada saat
menuju ke daerah Abepura. Seiring dengan berkembangnya ekonomi di Kota
Jayapura, mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan lalu lintas yang cepat
pada jalan tersebut. Melihat kondisi jalan yang ada sekarang ini khususnya
geometrik jalan terdapat beberapa alinyemen horizontal yang kurang memenuhi
standar geometrik jalan sesuai aturan Bina Marga yang berlaku yaitu jarak
pandangan bebas, superelevasi dan pelebaran pada tikungan bahkan mungkin
alinyemen vertikal yang perlu ditinjau kembali.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis terdorong untuk meninjau
kembali kondisi geometrik jalan tersebut. Karena salah satu pemecahan masalah
tersebut adalah dengan merencanakan geometrik jalan dengan baik sehingga
kriteria perencanaan dapat terpenuhi, dengan demikian pengguna jalan dapat
dengan aman dan nyaman berlalu lintas pada jalan tersebut ekonomis dalam
pembuatanya.Berdasarkan pengamat akan pentingnya perencanaan geometrik
jalan khususnya pada ruas jalan Kodam lama – Kodam baru Kota Jayapura, maka
penulis berharap tugas akhir ini yang berjudul “ TINJAUAN GEOMETRIK
JALAN PADA RUAS KODAM LAMA-KODAM BARU KOTA JAYAPURA
TERHADAP ATURAN BINA MARGA “, dapat memberikan masukkan yang
berguna bagi perencanaan geometrik yang akan datang.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, makarumusan
masalah dalam tugas akhir ini adalah bagaimana bentuk geometrik pada ruas jalan
Kodam lama– Kodam baru Kota Jayapura berdasarkan Tata Cara Perencanaan
Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997 ?

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan yang hendak dicapai dalam tugas akhir ini adalah untuk
mengetahui bentuk geometrik pada ruas jalan Kodam lama– Kodam baru Kota
Jayapura berdasarkan Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen
Bina Marga 1997.

1.4. Batasan Masalah


Penulis membahas mengenai perencanaan geometrik jalan, adapun batasan
masalah sebagai berikut :
1. Menggunakan Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen
Bina Marga 1997.
2. Tidak menghitung perkerasan jalan
3. Tidak menghitung drainase jalan
4. Tidak menghitung Rencana Anggaran Biaya (RAB)
5. Lokasi penelitian di daerah Kodam XVII Cenderawasih Kota Jayapura,
Kodam Lama - Kodam Baru, sta. 0+000 KM s/d sta. 2+000 KM

1.5. Sistematika Penulisan


Dalam penulisan Tugas Akhir ini penulis mengelompokkan dalam bab-bab
dan sub-sub antara lain :

BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang LatarBelakang, RumusanMasalah, Tujuan
Penulisan, Batasan Masalah, serta Sistematikapenulisaan, yang dimaksudkan
sebagai pengantar sebelum memasuki pembahasan lebih lanjut dari tugas akhir
ini.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Bab ini menjelaskan uraian tentang teori-teori dasar yang berhubungan
dengan tugas akhir, sebagai pedoman sebelum memasuki pembahasan.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


Bab ini merupakan bab yang menyajikan metode penelitian, serta
penyajian data – data, baik data penelitian langsung maupun data tidak langsung,
yang berkaitan dengan pokok masalah serta gambaran umum lokasi penelitian,
dan selanjutnya digunakan untuk menganalisis masalah tersebut.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


Bab ini menjelaskan tentang inti dari pembahasan masalah dengan
menggunakan metode yang relevan serta penyajian olahan data hasil penelitian
sesuai dengan maksud dan tujuan penulisan.

BAB V PENUTUP
Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan dari hasil analisis dan
memberikan saran-saran sehubungan dengan analisis yang telah dilakukan.
BAB II
TUNJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Perencanaan Geometrik


Jalan adalahprasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu
lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah
permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api,
jalan lori, dan jalan kabel (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006).
Geometrik jalan adalah bagian dari perencanaan jalan dimana geometrik
adalah dimensi yang nyata dari suatu jalan serta bagian–bagiannya, disesuaikan
dengan tuntutan sifat–sifat lalu lintas. Adapun tujuan perencanaan geometrik jalan
adalah perencana berusaha menciptakan hubungan yang baik antar waktu dan
ruang, sehingga dapat tercipta efisiensi keselamatan dan kenyamanan yang
optimal dala batas – batas pertimbangan ekonomi yang masih layak.
Perencanaa geometrik pada umumnya meliputi bagian – bagian jalan seperti
lebar jalan, alinyemen horizontal/vertikal dan juga kombinasi dari bagian – bagian
terebut. Jalan raya merupakan jalur - jalur tanah di atas permukaan bumi yang
dibuat oleh manusia dengan bentuk, ukuran - ukuran dan jenis konstruksinya
sehingga dapat digunakan untuk menyalurkan lalu lintas orang, hewan dan
kendaraan yang mengangkut barang dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan
mudah dan cepat (Clarkson H.Oglesby,1999).
Untuk perencanaan jalan raya yang baik, bentuk geometriknya harus
ditetapkan sedemikian rupa sehingga jalan yang bersangkutan dapat memberikan
pelayanan yang optimal kepada lalu lintas sesuai dengan fungsinya, sebab tujuan
akhir dari perencanaan geometrik ini adalah menghasilkan infrastruktur yang
aman, efisiensi pelayanan arus lalu lintas dan memaksimalkan ratio tingkat
penggunaan biaya juga memberikan rasa aman dan nyaman kepada pengguna
jalan.

2.2 Kriteria Perencanaan Geometrik


2.2.1 Peran Jalan

Jalan menurut Undang - Undang No. 13 Tahun 1980 adalah suatu prasarana
penghubung darat dalam bentuk apapun, tidak terbatas pada bentuk jalan yang
konversional yaitu jalan pada permukaan tanah, akan tetapi juga jalan yang
melintasi sungai besar, danau dan laut. Jalan adalah lintasan yang bertujuan
melewati lalu lintas dari satu tempat ke tempat yang lain.
Jalan raya juga sebagai sarana pembangunan dan membantu suatu wilayah
agar lalu lintas di jalan tersebut berjalan dengan baik, aman, efisien dan ekonomis.
Jalan disuatu wilayah mempunyai perkembangan yang merata disemua daerah
serta sebagai penghubunng pusat – pusat pertumbunhan dengan wilayah yang
berada di wilayah pengaruhnya.

A. Sistem jaringan primer


Sistem jaringan primer adalah jalan yang menghubungkan simpul – simpul
jasa distribusi dalam Struktur Pengembangan Wilayah (SPW), di bagi atas :
1. Jalan arteri primer, menghubungkan kota janjang ke- satu, yang terletak
berdampingan, atau menghubungkan kota jenjang ke- satu dengan kota
jenjang ke- dua.
a. Didesain paling rendah dengan kecepatan 60 km/jam.
b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 7 meter.
c. Kapasitasnya rendah dari volume lalu lintas rata – rata.
d. Lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik,
lalu lintas lokal dan kegiatan lokal.
e. Jumlah jalan masuk dibatasi secar efisien sehingga kecepatan 60
km/jam dan kapasitas besar dapat trepenuhi.
f. Persimpangan pada jalan arteri primer harus dapat memenuhi
ketentuan kecepatan dan volume lalu lintas.

2. Jalan kolektor primer, menghubungkan kota jenjang ke- dua dengan kota
jenjang ke- dua, atau menghubungkan kota jenjang ke- satu dengan kota
jenjang ke- tiga, atau jugamenghubungkan kota jenjang ke- dua dengan
jenjang ke- tiga.
a. Didesain untuk kecepatan paling rendah 40 km/jam.
b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 7 meter.
c. Kapasitas sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata – rata.
d. Jumlah jalan masuk dibatasi, dan direncanakan sehingga dapat
dipenuhi kecepatan paling rendah 40 km/jam.
e. Jalan kolektor primer, tidak terputus walau memasuki kota.

3. Jalan lokal primer, menghubungkan kota jenjang ke- tiga dengan kota
jenjang ke- tiga, atau menghubungkan mota jenjang ke- dua dengan
persil, atau menghubungkan kota ke- 3 dengan persil.
a. Didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam.
b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 6 meter.
c. Jalam lokal primer tidak terputus, walaupun memasuki daerah.

B. Sistem jaringan jalan sekunder


Sistem jaringan jalan sekunder adalah jalan yang menghubungkan kawasan
fungsi primer, fungsi sekunder ke- satu, fungsi sekunder ke- dua, fungsi
sekunder ke- tiga dan seterusnya sampai ke perumahan dalam satu Wilayah
Perkotaan ( WP )
1. Jalan arteri sekunder, menghubungkan kawasan primer dengan kawasan
sekunder ke- satu, atau menghubungkan kawasan sekunder ke- satu
dengan kawasan sekunder ke- dua.

a. Didesain untuk kecepatan rencan paling rendah 30 km/jam.


b. Kapasitas sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata – rata.
c. Lebar badan jalan tidak kurang dari 8 meter.
d. Pada jalan arteri sekunder, lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh
lalu lintas lambat.
e. Persimpangan jalan dengan pengaturan tertentu harus memenuhi
kecepatan tidak kurang dari 30 km/jam.
2. Jalan kolektor sekunder, menghubungkan kawasan sekunder ke- dua
dengan kawasan sekunder ke- dua, atau menghubungkan kawasan
sekunder ke- dua dengan kawasan sekunder ke- tiga.

a. Didesain untuk kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam.


b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 7 meter.

3. Jalan lokal sekunder, menghubungkan kawasan sekunder ke- satu


dengan perumahan, atau menghubungkan kawasan sekunder ke- dua
dengan perumahan, atau menghubungkan kawasan sekunder ke- tiga
dengan perumahan.

a. Didesain berdasarkan kecepatan paling rendah 10 km/jam.


b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 5 meter.
c. Dengan kecepatan paling rendah 10 km/jam, bukan peruntukan
untuk roda tiga atau lebih.
d. Yang tidak diperuntukan kendaraan beroda tiga atau lebih harus
mempunyai lebar jalan tidak kurang dari 3,5 meter.

Dari hasil pantauan maka ruas jalan Kodam lama-Kodam baru dikategorikan
menurut fungsi dan peran jalan merupakan jalan Lokal Sekunder.

2.2.2 Volume Jam Perencanaan

Berdasarkan buku Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota oleh
Deepartemen Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Bina Marga menyatakan bahwa
suatu kriteria dalam perencanaan geometrik jalan raya adalah dengan mengetahui
VJP ( Volume Jam Perencanaa ) yang mana VJP adalah suatu perkiraan volume
lalu lintas per jam pada jam sibuk tahun rencana lalu lintas secara teliti. Dari
perhitungan jumlah kendaraaan yang lewat dapat diketahui volume lalu lintas
yang dinyatakn dalam satuan smp/jam.
Berdasarkan volume jam perencanaan pula dipakai sebagai dasar untuk
meningkatkan jalan tersebut. Pola lalu lintas pada setiap jalan raya menunjukkan
volume berbeda – beda untuk berbagai jam dari suatu hari dalam satu tahun
pengamatan, maka yang menjadi persoalan adalah berapa volume tiap jam
sebagaimana yang dimaksud selanjutnya dapat dipakai sebagai dasar perencanaan.
Dasar suatu perencanaan sampai batas tertentu berpedoman pada volume
waktu sibuk yaitu saat menerima beban maksimum. Tetapi cukup dimengerti
bahawa perencanaan berdasarkan waktu sibuk akan berarti suatu penghamburan,
karena volume tiap jam rata – rata akan menghasilkan jalan yang tidak
mencukupi. Jadi volume yang dipakai sebagai dasar perencaaan haruslah
sedemikian sehingga volume lalu lintas tersebut tidak terlalu sering dan tidak
besar terlampaui sehingga jalan tersebut tidak ekonomis.

2.2.3 Klasifikasi Menurut Kelas Jalan


Dalam penentuan kelas jalan sangat diperlukan adanya data lalu Lalu lintas
Harian Rata-rata (LHR), baik itu merupakan data jalan sebelumnya bila jalan yang
akan direncanakan tersebut merupakan peningkatan atau merupakan data yang
didapat dari jalan sekitar bila jalan yang akan dibuat merupakan jalan baru.
Salah satu penentuannya adalah dengan cara menghitung LHR akhir umur
rencana. LHR akhir umur rencana adalah jumlah perkiraan kendaraan dalam
Satuan Mobil Penumpang (SMP) yang akan dicapai pada akhir tahun rencana
dengan mempertimbangkan perkembangan jumlah kendaraan mulai dan saat
merencanakan dan pelaksanaan jalan itu dikerjakan.

Adapun rumus yang akan digunakan dalam menghitung nilai LHR umur
rencana yaitu :
Pn = Po + ( 1 + i ) n .....................................................................(2.1)

Dimana :
Pn = jumlah kendaraan pada tahun ke n
Po = jumlah kendaraan pada awal tahun
i = Angka pertumbuhan lalu lintas (%)
n = Umur rencana
Setelah di dapat nilai LHR yang direncanakan dan dikalikan dengan faktor
(FE), maka didapat klasifikasi kelas jalan tersebut. Nilai faktor ekivalensi dapat
dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini :

Tabel 2.1 Nilai Faktor Ekivalensi Kendaraan

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.)

Kelas jalan sesuai dengan Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya (PPGJR
1997) dapat dilihat pada tabel 2.2 dibawah ini :

Tabel 2.2 Klasifikasi Kelas Jalan

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997.)

Dalam menghitung besarnya volume lalu lintas untuk keperluan penetapan


kelas jalan kecuali untuk jalan-jalan yang tergolong dalam kelas II C dan II,
kendaraan yang tidak bermotor tak diperhitungkan dan untuk jalan-jalan kelas II
A dan I, kendaraan lambat tak diperhitungkan.

Khusus untuk perencanaan jalan-jalan kelas I sebagian dasar harus


digunakan volume lalu lintas pada saat-saat sibuk.Sebagai volume waktu
sibukyang digunakan untuk dasar suatu perencanaan ditetapkan sebesar 15% dari
volume harian rata-rata.
a. Kelas I
Kelas jalan ini mencakup semua jalan utama dan dimaksudkan untuk dapat
melayani lalu lintas cepat dan berat.Dalam komposisi lalu lintasnya tak
terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor.Jalan raya dalam kelas
ini merupakan jalan-jalan raya yang berlajur banyak dengan konstruksi
perkerasan dari jenis yang terbaik.

b. Kelas II
Kelas jalan ini mencakup semua jalan-jalan sekunder.Dalam komposisi
lalu lintasnya terdapat lalu lintas lambat. Kelas jalan ini, selanjutnya
berdasarkan komposisi dan sifat lalu lintasnya, dibagi dalam tiga kelas, yaitu :
II A, II B dan II C.

c. Kelas II A
Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur atau lebih dengan konstruksi
permukaan jalan dari jenis aspal beton (hotmix) atau yang setarap, dimana
dalam komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat, tapi tanpa
kendaraan yang tak bermotor.

d. Kelas II B
Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi permukaan
dari penetrasi berganda atau yang setara dimana dalam kompoisi lalu lintasnya
terdapat kendaraan lambat tapi tanpa kendaraan tak bermotor.

e. Kelas II C
Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi permukaan
jalan dari jenis penetrasi tunggal dimana dalam komposisi lalu lintasnya
terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor.

f. Kelas III
Kelas jalan ini mencakup semua jalan-jalan penghubung dan merupakan
konstruksi jalan berjalur tunggal atau dua.Konstruksi permukaan jalan yang
paling tinggi adalah pelaburan dengan aspal.
Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk
menerima beban lalu lintas yang dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST)
dalam satu ton, dan kemampuan jalan tersebut dalam menyalurkan kendaraan
dengan dimensi maksimum tertentu.
Didaerah perbukitan dan gunung, koefisien untuk kendaraan bermotor tidak dapat
dinaikkan. Dari angka kesusaian tersebut menunjukkan nilai hambatan untuk tiap
– tiap jenis kendaraan. Sehubungan dengan peraturan klasifikasi jalan oleh
Departemen Pekerjaan Umum seperti pada tabel berikut :

Tabel 2.3 Klasifikasi menurut kelas jalan dalam MST

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen


BinaMarga 1997.)

Klasifikasi menurut kelas jalan, fungsi jalan dan dimensi kendaraan maksimum
(panjang dan lebar) kendaraan yang diijinkan melalui jalan tersebut, secara umum
dapat dilihat dalam tabel 2.3

2.2.4 Kecepatan Rencana


Kecepatan rencana adalah kecepatan yang ditetapkan untuk design dan
korelasi dari bentuk fisik jalan yang mempengaruhi kendaraan. Kecepatan rencana
adalah kecepatan maksimum yang tidak menceritakan bila di lakukan sepanjang
jalan itu apabila kondisinya begitu menyenangkan sehingga kendaraan hanya
diatur oleh aspek design jalan raya.
Suatu kecepatan rencana yang rendah dianggap jalan kelas II dimana
topografi sedemikian rupa sehingga pengendara ingin menjalankan kendaraan
dengan kecepatan tinggi, pengendara tidak menyesuaikan kecepatan pada
kepentingan jalan, tetapi pembatasan keadaan fisik jalan dan lalu lintas.Kecepatan
yang digunakan oleh pengemudi selain bergantung pada dirinya juga bergantung
pada beberapa hal ini antara lain :
a. Sifat fisik jalan
b. Cuaca
c. Adanya kendaraan lain
d. Pembatasan kecepatan

Tujuan dari perencanaan jalan adalah untuk menberikan pelayanan yang


nyaman, aman dan ekonomis mungkin. Untuk melaksanakan prinsip ini yang
direncanakan harus didasarkan pada kecepatan yang diinginkan oleh sebagian
besar para pengemudi. Lebih tinggi akan sangat berbahaya sedangkan lebih
rendah tidak ekonomis.Oleh karena itu penetapan kecepatan rencana sangatlah
penting karena segala bentuk aspek rencana jalan raya harus disesuaiakan baik
menyangkut alinyemen vertikal, alinyemen horizontal serta jarak pandang
berhubungan erat dengan kecepatan rencana jalan. Maka suatu jalan didaerah
datar dan terbuka lebih pantas mempunyai kecepatan rencana lebih tinggi dari
pada didaerah pegununganan dan kota.
Perlu diperhatikan bahwa kecepatan rencana yang tidak selalu tepat
digunakan pada jalan – jalan kelas rendah karena apabila jalan tersebut tidak
terletak pada daerah yang sedemikian rupa sehingga memungkinkan pengemudi
untuk berjalan dengan kecepatan yang lebih tinggi, keadaanya berbahaya.
Kecepatan rencana untuk masing – masing fungsi jalan dapat ditetapkan dari tabel
berikut :
Tabel 2.4 kecepatan rencana ( VR ) sesuai klasifikasi fungsi dan klasifikasi
medan jalan.

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen


BinaMarga 1997.
2.2.5 Keadaan Topografi
Topografi menentukan lokasi jalan, dan pada umumnya mempengaruhi
alinyemen jalan sebagai standar perencanaan geometrik. Penetapan lokasi serta
perencanaan bagian suatu jalan sampai batas – batas tertentu sangat di pengaruhi
oleh keadaan topografi. Pada daerah datar keadaan topografi tidak memberikan
penentuan dan pengaruhnya sangat sedikit terhadap lokasi jalan. Pada daerah yang
berbukit – bukit atau pegunungan, penetuan lokasi jalan dan beberapa bagian dari
perencanaan mungkin secara keseluruhan ditentukan oleh topografi.
Topografi pada umumnya dapat digolongkan atau dibedakan menurut
besarnya lereng melintang dalam arah tegak lurus sumbu jalan. Dalam hal ini
jenis medan dapat dibagi dalam tiga golongan umum. Klasifikasi medan dan besar
lereng melintang yang bersangkutan adalah sebagai berikut :

Tabel 2.5 Klasifikasi Medan Jalan

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen


Bina Marga 1997)

2.2.6 Volume Lalu Lintas Rencana


Pengetahuan akan volume lalu lintas juga sangat berguna untuk dasar
pertimbangan penggunaan syarat – syarat perencanaan geometrik. Dalam hal ini
tidak hanya untuk keperluan perencanaan geometrik saja, tetapi juga untuk
perencanaan konstruksi jalan yang bersangkutan meliputi titik tertentu dalam
suatu satuan waktu ( hari, jam, menit ).
Volume lalu-lintas harian rata-rata (VLHR), adalah perkiraan volume lalu-
lintas harian pada akhir tahun rencana lalu lintas yang dinyatakan dalam satuan
mobil penumpang per hari (smp/hari).
a. Satuan Mobil Penumpang (SMP )
Satuan mobil penumpang adalah angka satuan kendaraan dalam hal
kapasitas jalan, dari berbagai tipe kendaraan telah diubah menjadi kendaraan
ringan (termasuk mobil penumpang) dengan menggunakan ekivalen mobil
penumpang.volume lalu lintas dapat dinyatakan dalam satuan mobil
penumpang ( smp ). Direktorat Jendral Bina Marga Departemen Pekerjaan
Umum, juga menetapkan angka kesesuaian atau ikivalensi setiap jenis
kendaraan arus lalu lintas.

Tabel 2.6 Satuan Mobil Penumpang (SMP)

(sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen


Bina Marga 1997)

b. Ekivalen Mobil Penumpang (EMP)

Faktor konservasi sebagai jenis kendaraan dibandingkan dengan mobil


penumpang atau kendaraan lainnya sehubungan dengan dampaknya pada
perilaku lalu lintas (Ekivalen mobil penumpang =1,0).

Tabel 2.7 Ekivalen Mobil Penumpang (EMP)

(sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen


Bina Marga 1997.)

Satuan Volume lalu lintas yang umum dipergunakan sehubungan dengan jumlah
dan lebar jalur adalah :
a) Lalu Lintas Harian Rata-Rata Tahunan (LHRT)
Lalu lintas Harian Rata-rata Tahunan (LHRT) adalah jumlah lalu lintas
kendaraan rata-rata yag melewati satu jalur jalan selama 24 jam dan
diperoleh dari data satu tahun penuh.
Rumus yang digunakan :

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐿𝑎𝑙𝑢 𝐿𝑖𝑛𝑡𝑎𝑠 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 1 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛


𝐿𝐻𝑅𝑇 = ………………...…(2.2)
365 ℎ𝑎𝑟𝑖

b) Lalu Lintas Harian Rata – Rata (LHR )


Adalah Hasil bagi jumlah kendaraan yang diperoleh selama
pengamatan dengan lamanya pengamatan.
Rumus yang digunakan :

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐿𝑎𝑙𝑢 𝐿𝑖𝑛𝑡𝑎𝑠 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛


𝐿𝐻𝑅 = ………….…..(2.3)
𝐿𝑎𝑚𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛

2.2.7 Penampang Melintang Jalan


1. Komposisi Penampang Melintang
Penampang melintang jalan adalah potongan suatu jalan secara
melintang tegak lurus sumbu jalan (Sukirman, 1994). Bagian – bagian
penampang melintang terdiri dari Jalur lalu lintas, Lajur, Bahu jalan, Selokan
( Drainase ), Median, Fasilitas pejalan kaki dan lereng. Penampang melintang
jalan ini umumnya dipakai dalam perencanaan baru, untuk memberikan
bentuk potongan melintang dan hal ini dipergunakan pada perbaikan jalan
yang tidak sesuai lagi dengan volume lalu lintas.
Suatu penampang melintang tertentu dapat menentukan tingkat
pelayanan keselamatan menjadi pertimbangan utama. Walaupun potensi
kecelakaan dijadikan kriteria tunggal dalam peningkatan jalan, bahkan
mungkin berbagai pengeluaran untuk hal ini akan jauh lebih hemat dari pada
mengusahakan standar jalan yang tinggi.
Penampang melintang jalan terdiri atas bagian-bagian sebagai berikut
(lihat Gambar 2.1 s. d. Gambar 2.3).
1. Jalur Ialu lintas
2. Median dan jalur tepian (kalau ada)
3. Bahu
4. Jalur pejalan kaki;
5. Selokan
6. Lereng

Gambar 2.1 Penampang Melintang Jalan Tipikal

Gambar 2.2 Penampang Melintang Jalan Tipikal yang dilengkapi trotoar

Gambar 2.3 Penampang Melintang Jalan Tipikal yang dilengkapi median

2. Jalur Lalu Lintas


Jalur Ialu lintas adalah baglan jalan yang dipergunakan untuk Ialu lintas
kendaraan yang secara fisik berupa perkerasan jalan.
Batas jalur Ialu lintas dapat berupa:
1. Median
2. Bahu
3. Trotoar
4. Pulau jalan
5. Separator.

a. Jalur Ialu lintas dapat terdiri atas beberapa lajur.


Jalur Ialu lintas dapat terdiri atas beberapa tipe :
1. 1 lajur-2 lajur-2 arah (2/2 TB)
2. 1 lajur-2 lajur-1 arah (2/1 TB)
3. 1 lajur-4 lajur-2 arah (4/2 B)
4. 2 jalur-nlajur-2arah (n/2 B), di mana n=Jumlah Jalur
Keterangan: TB = tidak terbagi .
B = terbagi

b. Lebar Jalur
Lebar jalur sangat ditentukan oleh jumlah dan lebar lajur
peruntukannya.Lebar jalur minimum adalah 4.5 meter, memungkinkan 2
kendaraan kecil saling berpapasan.Papasan dua kendaraan besar yang
terjadl sewaktu-waktu dapat menggunakan bahu jalan.

2.2.8 Bahu Jalan


Bahu jalan atau tepian jalan adalah bagian jalan yang terletak di antara tepi
jalan lalu lintas dengan tepi saluran, parit, kreb atau lereng tepi (Clarkson
H.Oglesby,1999). AASHTO menetapkan agar bahu jalan yang dapat digunakan
harus dilapisi perkerasan atau permukaan lain yang cukup kuat untuk dilalui
kendaraan dan menyarankan bahwa apabila jalur jalan dan bahu jalan dilapisi
dengan bahan aspal, warna dan teksturnya harus dibedakan.
Bahu jalan berfungsi sebagai Tempat berhenti sementara kendaraan,
Menghindarkan diri dari saat-saat darurat sehingga dapat mencegah terjadinya
kecelakaan, memberikan sokongan pada konstruksi perkerasan jalan dari arah
samping agar tidak mudah terkikis, ruang pembantu pada waktu mengadakan
pekerjaan parbaikan atau pemeliharaan jalan (Bina Marga, 1997).

Tabel 2.8 Penentuan Lebar Jalur dan Bahu Jalan Arteri

(sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar


Kota, Ditjen Bina Marga 1997.)

Tabel 2.9 Penentuan Lebar Jalur dan Bahu Jalan Kolektor

(sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar


Kota, Ditjen Bina Marga 1997.)

Tabel2.10 Penentuan Lebar Jalur dan Bahu Jalan Lokal

(sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar


Kota, Ditjen Bina Marga 1997.)
Keterangan tabel:
**) = Mengacu pada persyaratan ideal
*) = 2 Jalur terbagi,masing-masing n x 3,5 m, di mana n = Jumlah lajur
per jalur
- = tidak ditentukan

2.3 Jarak Pandangan


Jarak pandang adalah jarak dimana pengemudi dapat melihat benda yang
menghalanginya, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak dalam batas
mana pengemudi dapat melihat dan menguasai kendaraan pada satu jalur lalu
lintas. Kemampuan untuk dapat melihat dengan jelas merupakan hal yang sangat
penting bagi keselamatan dan pemakai kendaraan yang efisien bagi pengmudi
dijalan.Hal ini memungkinkan pengemudi dapat mengendalikan kecepatan
kendaraannya untuk dapat menghidari timbulnya bahaya pada jalur lintasannya.

2.3.1 Jarak Pandang Henti (Jh)


Jarak pandang henti (Jh) adalah jarak yang diperlukan untuk menghentikan
kendaraan bila ada suatu halangan di tengah jalan (Sony Sulaksono, 2001).
1. Jh adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap pengemudi untuk
menghentikan kendaraannya dengan aman begitu mellhat adanya halangan di
depan. Setlap titik di sepanjang jalan harus memenuhi Jh.

2. Jh dlukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm


dan tinggi halangan 15 cm diukur darl permukaan jalan.

3. Jh terdiri atas 2 elemen jarak, yaitu:


a. jarak tanggap (Jht) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak
pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan la harus berhenti
sampai saat pengemudi menginjak rem
b. jarak pengereman (Jhr) adalah jarak yang dibutuhkan untuk menghentikan
kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampal kendaraan berhenti.
4. Jh, dalam satuan meter, dapat dihitung dengan rumus:
VR
VR (3,6 )2
Jh = T. … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . . (2.4)
3,6 2gf

di mana:
VR = kecepatan rencana (km/jam)
T = waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik
g = percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m/det'
f = koefisien gesek memanjang perkerasan jalan aspal, ditetapkan 0,35-0,55.

Persamaan (2.4) disederhanakan menjadi:

𝑉𝑅 2
Jh = 0,694 VR + 0,004 … … … … … … … … … … … … … … … … (2.5)
f

5. Tabel 2.11 berisi Jh minimum yang dihitung berdasarkan persamaan (2.5)


dengan pembulatan-pembulatan untuk berbagal VR

Tabel 2.11 Jarak Pandang Henti ( Jh ) Minimum.


VR, km/jam 120 100 80 60 50 40 30 20

Jh minimum (m) 250 175 120 75 55 40 27 16

(sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen


Bina Marga 1997.)
Keterangan :
VR = kecepatan rencana (km/jam)
Jh = jarak pandang henti minimum

2.3.2 Jarak Pandang Mendahului (Jd)


Jarak pandang mendahului (Jd) adalah jarak yang memungkinkan suatu
kendaraan mendahului kendaraan lain di depannya dengan aman sampai
kendaraan tersebut kembali ke lajur semula (Bina Marga,1997). Dengan kata lain
Jarak pandang mendahului merupakan panjang bagian jalan yang diperlukan oleh
pengemudi suatu kendaraan untuk melaksanakan gerakan mendahului atau
menyiap kendaraan lain yang lebih lambat dan aman.Jarak pandangan mendahului
(Jd) standar pada jalan dua lajur dua arah dihitung berdasarkan beberapa asumsi
terhadap sifat arus lalu lintas yaitu:

e. Kendaraan yang akan didahului harus mempunyai kecepatan yang tetap

f. Sebelum melakukan gerakan mendahului, kendaraan harus mengurangi


kecepatannya dan mengikuti kendaraan yang akan disiap dengan kecepatan
yang sama.

g. Apabila kendaraan sudah berada pada lajur untuk mendahului, maka


pengemudi harus mempunyai waktu untuk menentukan apakah gerakan
mendahului dapat diteruskan atau tidak.

h. Kecepatan kendaraan yang mendahului mempunyai perbedaan sekitar 15


km/jam dengan kecepatan kendaraan yang didahului pada waktu melakukan
gerakan mendahului.

i. Pada saat kendaraan yang mendahului telah berada kembali pada lajur
jalannya, maka harus tersedia cukup jarak dengan kendaraan yang bergerak
dari arah yang berlawanan.

j. Tinggi mata pengemudi diukur dari permukaan perkerasan menurut Bina


Marga (TPGJAK 1997) sama dengan tinggi objek yaitu 105 cm.

Gambar 2.4 Ilustrasi pergerakan kendaraan untuk mendahului.


Tabel 2.12 Jarak Pandang Mendahului Untuk Jalan Perkotaan
Kecepatan Jarak
Jarak
Rencana Pandang
Pandang
(Km/jam) Mendahului
Mendahului
standar (m)
minimum
(m)
80 550 350
60 350 250
50 250 200
40 200 150
30 150 100
20 100 70
(sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota,
Ditjen Bina Marga 1997.)

Adapun estimasi jarak pandangan mendahului diformulasikan dengan


persamaan sebagai berikut:

Jd = d1 + d2 + d3 + d4 ..................................................................... ( 2.6 )

Dimana :
d1 = jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (m)
d2 =jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali ke
lajur semula (m)
d3 =jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang datang
dari arah berlawanan setelah proses mendahului selesai (m)
d4 =jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah berlawanan
besarnya diambil sama dengan 2/3 d2 (m)

Adapun rumusan estimasi d1, d2, d3, dan d4 adalah sebagai berikut :

a.t1
d1 =0,278 T1 (V-m+ 2 )
d2 =0,278 VR T2
d3 =antara 30 – 100 m
d4 = 3/2 d2
dimana:
T1 = waktu dalam (detik), = 2,12 + 0,026 VR.
T2 = waktu kendaraan berada di jalur lawan, (detik), = 6,56 + 0,048 VR.
a = percepatan rata-rata, (km/jam/detik), = 2,052 + 0,0036 VR.
m = perbedaan kecepatan dari kendaraan yang mendahului dan kendaraan
yang didahului, (biasanya diambil 10 – 15 km/jam).

2.3.3 Daerah Bebas Samping di Tikungan


Jarak pandang pengemudi pada lengkung horisontal (di tikungan), adalah
pandangan bebas pengemudi dari halangan benda-benda di sisi jalan (daerah
bebas samping).

1. Daerah bebas samping di tikungan adalah ruang untuk menjamin kebebasan


pandang di tikungan sehingga Jh dipenuhi.
2. Daerah bebas samping dimaksudkan untuk memberikan kemudahan
pandangan di tikungan dengan membebaskan obyek-obyek penghalang
sejauh E (m), diukur dari garis tengah lajur dalam sampai obyek penghalang
pandangan sehingga persyaratan Jh dipenuhl (Lihat Gambar 2.5).
Daerah bebas samping di tikungan dihitung berdasarkan rumus-rumus sebagai
berikut:

1. jika Jh < Lt :
90𝑜 𝐽ℎ
E = R { 1 − Cos ( )} … … … … … … … … … … … … … … … . . (2.7)
𝜋R

Gambar 2.5 Daerah bebas samping ditikungan, untuk Jh < Lt


2. Jika Jh >Lt :
90𝑜 𝐽ℎ 1 90𝑜 𝐽ℎ
E = R { 1 − Cos ( )} + ( 𝐽ℎ − 𝐿𝑡 )𝑆𝑖𝑛 ( ) … … … (2.8)
𝜋R 2 𝜋R

Gambar 2.6 Daerah bebas samping ditikungan, untuk Jh > Lt

di mana:
R = Jari-jari tikungan (m)
Jh = Jarak pandang henti (m)
Lt = Panjang tikungan (m)

Tabel 2.13 berisi nilai E, dalarn satuan meter, yang dihitung menggunakan
persamaan (2.5) dengan pembulatan-pembulatan untuk Jh<Lt. Tabel tersebut
dapat dipakai untuk menetapkan E.
Berikut adalah tabel untuk menetapkan E :

Tabel 2.13 E (m) untuk jh<Lt, VR(km/jam) dan Jh (m).


(sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota,
Ditjen BinaMarga 1997.

Tabel 2.14 E (m) untuk Jh>Lt, VR(km/jam) dan Jh (m), di mana Jh-L,=25 m.
(sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen
BinaMarga 1997.)

Tabel 2.15 E (m) untuk Jh>L,VR(km/jam) dan Jh (m), di mana Jh - Lt=50 m.


(sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen
BinaMarga 1997.)

2.4 Alinyemen Horizontal


2.4.1 Pengertian Umum
Alinyemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal.
Alinemen horizontal dikenal juga dengan nama “situasi jalan” atau “trase jalan”,
yang terdiri dari garis-garis lurus yang dihubungkan dengan garis-garis lengkung.
Garis lengkung tersebut dapat terdiri dari busur lingkaran ditambah busur
peralihan, busur peralihan saja atau busur lingkaran saja (Sukirman, 1994).
Alinyemen horizontal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung (disebut juga
tikungan). Perencanaan geometrik pada bagian lengkung dimaksudkan untuk
mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima oleh kendaraan yang berjalan pada
kecepatan VR.
Desain alinyemen horizontal sangat dipengaruhi oleh kecepatan rencana
yang ditentukan berdasarkan tipe dan kelas jalan. Pada perencanaan alinyemen
horizontal, umumnya akan ditemui dua jenis bagian jalan, yaitu bagian lurus dan
bagian lengkung. Umumnya disebut tikungan yang terdiri dari tiga jenis tikungan.
Tikungan yang digunakan yaitu:
1. Full Circle (FC).
2. Spiral Circle Spiral (S-C-S).
3. Spiral-Spiral (S-S).

Beberapa hal yang penting dalam perencanaan ini dimana secara prinsip
akan sangat berpengaruh dan berhubungan erat dengan alinyemen secara
horizontal yaitu :
1. Alinyemen pada titik kontrol harus searah langsung kura – kurva yang
panjang dan penyesuaiannya berdasarkan keadaan topografi.
2. Diupayakan tidak terjadi kurva – kurva yang pendek ( berdekatan ) karena
akan menjadi suatu rangkauan yang kurang baik.
3. Hindarkan penimbunan yang sangat tinggi dari kurva yang sangat datar.
Keterkaitan langsung sebagai akibat dari adanya alinyaemen horizontal
dan superelevasi, pada saat kendaraan bergerak akan terjadi gaya sentrifugal pada
kendaraan tersebut.
Ada beberapa gaya sentrifugal yang akan mungkin terjadi sebagai akibat
dari bergeraknya kendaraan gesekan kesamping dari ban ( roda ) dengan
permukaan jalan raya yaitu seperti gambar berikut :

GV2 K F max

gR

FL
FR
G
NL NR

Gambar 2.7.Gaya Sentrifugal Diimbangi Gesekan Ban Vs Perkerasan

Keterangan :

G = Berat kendaraan
g = Gaya gravitasi bumi
V = Kecepatan kendaraan
R = Jari – jari lengkung lintasan
FL = Gaya gesekan ban kiri dengan permukaan jalan
FR = Gaya gesekan ban kanan dengan permukaan jalan
NL = Gaya perlawanan terhadap berat kendaraan pada ban kiri
NR =Gaya perlawanan terhadap berat kendaraan pada ban kanan

Pada gambar yang terlihat diatas bahwa gaya sentrifugal yang muncul masih
seimbang dengan gaya gesekan antara ban dengan permukaan jalan sehingga
berlaku rumus :

Fm = GV2 ............................................................................. ( 2.9 )


127R
Pada gambar dibawah ini menujukkan keseimbangan yang akan terjadi saat
melakukan tikungan serta gaya – gaya yang akan terjadi seperti pada gambar
posisi keseimbangan normal.
G

9R R

NL NR

Gambar 2.8 Keseimbangan pada tikungan.

Pada posisi seperti ini gaya sentrifugal yang ditimbulkan sebagai akibat
gaya pesat ( laju ) kendaraan dapat diimbangi karena kemiringan jalan aspal.
Dengan kata lain bahwa bentuk miring dari bentuk jalan akan memberikan
pertimbangkan atau mengurangi kemungkinan terjadinya pengulingan pada
kendaraan dan kemudahan kepada pengemudi untuk menguasai kendaraan
sehingga akan memberikan kenyamanan kepada penumpang.

Dengan posisi seperti ini memberikan gambaran suatu bentuk kurva yang
dianggap cukup ideal pada suatu tikungan jalan yang dapat dilihat seperti
hubungan rumus dibawah ini :

GV2
E= .............................................................................(2.10)
127.R

Dimana :
e = Superelevasi
R = Jari – jari lengkung ( m )
V = Kecepatan kendaraan ( km/jam )
G
G sin a GV2

9R

G cos a

NL G cos a NR

Gambar 2.9 Posisi Keseimbangan Kuranng.

Pada stadium ini kemiringan teradap jalan yang diberikan tiaklah cukup,
sehinngga untuk mengimbangi dari gaya sentrifugal yang terjadi oleh suatu
kendaraan sangatlah kecil ( tidak memenuhi ). Misalnya kendaraan tersebut pada
saat waktu ditikungan sedang berada dalam kecepatan cukup tinggi, mak jari –
jari tikungan yang kecil, pada saat inilah akan timbul gaya antara ban ( roda )
dengan aspal yang kurang normal pada kejadian ini gaya di perhitungkan dengan
menggunakan rumus :

GV2
e + Fm = ............................................................................. (2.11)
127.R

Dimana :
E = Superelevasi
R= Jari – jari lengkung ( M )
V= Kecepatan kendaraan ( km/jam )
Fm = Koefisien gesekan melintang

2.4.2 Panjang Bagian Lurus


Dengan mempertimbangkan faktor keselarnatan pernakai jalan, ditinjau
dari segi kelelahan pengernudi, maka panjang maksimum bagian jalan yang lurus
harus ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 2,5 menit (sesuai VR).
Panjang bagian lurus dapat ditetapkan dari Tabel 2.16.

Tabel 2.16 Panjang Bagian Lurus Maksimum


Fungsi PanjangBagianLurusMaximum(m)
Datar Perbukitan Pegunungan
Arteri 3.000 2.500 2.000
Kolektor 2.000 1.750 1.500
(sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen
BinaMarga 1997.)

2.4.3 Menentukan Bentuk Tikungan


Dengan memperlihatkan akan terjadinya perubahan diman jalan lurus akan
berbelok, akan terjadilah suatu perubahan gaya terhadap kendaraan. Maka dalam
menjaga suatu upaya keselamatan pada saat kendaraan melakukan tikungan
dibuatlah lengkung perihal perantara yang merupakan parantara dari kedua jalur
lurus, dimana diupayakan perubahan itu secara berangsur – angsur.

a). Jari – jari minimum


Agar kendaraan stabil saat melalui tikungan, perlu dibuat suatu
kemiringan melintang jalan pada tikungan yang disebut superelevsi (e) . Pada
saat kendaraan melalui daerah superelevasi, akan terjadi gesekan arah
melintang jalan antara ban dengan permukaan aspal yang menimbulkan gaya
gesekan melintang. Perbandingan gaya gesekan melintang dengan gaya
normal disebut koefisien gesekan melintang (f). Untuk pertimbangan
perencanaan panjang jari-jari minimum untuk berbagai variasi kecepatan
dapat dilihat pada (tabel 2.17.)
Jari-jari tikungan minimum (Rmin) ditetapkan sebagai berikut:

𝑉𝑟2
𝑅𝑚𝑖𝑛 = . . … … … … … … … … … … … … … … (2.12)
127 × (𝑒𝑚𝑎𝑘𝑠 + 𝑓)

di mana:
R.min = Jari-jari tikungan minimum (m),
VR = Kecepatan Rencana (km/j),
emax = Superelevasi maximum (%),
f = Koefisien gesek, untuk perkerasan aspal f = O, 14 - 0,24

Tabel 2.17 Panjang Jari-jari Minimum untuk emaks = 10%

(sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen


Bina Marga 1997.)

b). Lengkung peralihan


Lengkung peralihan adalah lengkung yang disisipkan diantara bagian
lurus jalan dan bagian lengkung jalan berjari-jari tetap R; berfungsi
mengantisipasi perubahan alinyemen jalan dari bentuk lurus (Rtakterhingga)
sampai bagian lengkung jalan berjari-jari tetap R sehingga gaya sentrifugal
yang bekerja pada kendaraan saat berjalan ditikungan berubah secara
berangsur-angsur, baik ketika kendaraan mendekati tikungan maupun
meninggalkan tikungan. Bentuk lengkung peralihan dapat berupa parabola
atau spiral(clothoid). Dalam tata cara ini digunakan bentuk spiral.
Panjang lengkung peralihan (L,) ditetapkan atas pertimbangan bahwa:
a. Lama waktu perjalanan dilengkung peralihan perlu dibatasi untuk
menghindarkan kesan perubahan alinyemen yang mendadak, ditetapkan 3
detik (pada kecepatanVR);

b. Gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan dapat diantisipasi berangsur


angsur pada lengkung peralihan dengan aman;dan

c. Tingkat perubahan kelandaian melintang jalan (re) dari bentuk kelandaian


normal ke kelandaian superelevasi penuh tidak boleh melampaui re-max
yang ditetapkan sebagai berikut:

Untuk VR ≤ 70km/jam, re-max = 035 m/m/detik,


Untuk VR ≥ 80km/jam, re-max. = 0.025 m/m/detik.
Ls ditentukan dari 3 rumus dibawah ini dan diambil nilai yang terbesar:
(1) Berdasarkan waktu tempuh maksimum dilengkung peralihan.

𝑉𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎
𝐿𝑠 = 𝑇 … … … … … … … … … … … … … … … . … … … … . (2.13)
3,6

dimana:

T=waktu tempuh pada lengkung peralihan, ditetapkan 3 detik.


VR= kecepatan rencana (km/jam).

(2) Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal.

𝑉𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 𝑉𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 . 𝑒
𝐿𝑠 = 0,002 − 2,727 … … … … … . … … … (2.14)
𝑅. 𝐶 𝐶

dimana:

e = Superelevasi,
C = Perubahan percepatan, diambil 13m/dee.
R = jari-jari busur lingkaran (m/m/detik)

(3) Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian

(𝑒𝑚 − 𝑒𝑛 )𝑉𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎
𝐿𝑠 = … … … … … … … … … … … … … … … . . (2.15)
3,6. 𝑟𝑒

dimana:
VR = kecepatan rencana (km/jam),em=super elevasi maximum,
en = super elevasi normal,
re = tingkat pencapaian perubahan kemiringan melintang jalan
(m/m/detik).

Selain menggunakan rumus-rumus (2.13)s.d.(2.15), untuk tujuan praktis Ls


dapat ditetapkan dengan menggunakan berikut (Tabel2.18.) :
Tabel 2.18 Panjang Lengkung Peralihan (Ls) dan panjang pencapaian
Superelevasi (Le) untuk jalan 1 jalur – 2 Lajur – 2 arah.

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota)

Lengkung dengan R lebih besar atau sama dengan yang ditunjukkan pada
(Tabel2.19) tidak memerlukan lengkung peralihan.

Tabel 2.19 Jari-jari minimum yang tidak memerlukan lengkung peralihan

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen


Bina Marga 1997

Jika lengkung peralihan digunakan, posisi lintasan tikungan bergeser


dari bagian jalan yang lurus kearah sebelah dalam (lihatGambar2.9)sebesar p.
Nilai p (m) dihitung berdasarkan rumus berikut:

𝐿𝑠 2
𝑝= … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . … (2.16)
24𝑅𝑐
Dimana :

P = Jarak pergeseran (m)


Ls = Panjang lengkung (m)
R = Jari-jari lengkung (m)

Gambar 2.10. Pergeseran Lengkung Peralihan

a. Apabila nilai p kurang dari 0,25 meter, maka lengkung peralihan tidak
diperlukan sehingga tipe tikungan menjadi fc.
b. Super elevasi tidak diperlukan apabila nilai R lebih besar atau sama dengan
yang, ditunjukkan dalam Tabel 2.20.

Tabel 2.20 Jari-jari yang diizinkan tanpa lengkung peralihan

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen


Bina Marga 1997)
c). Jenis – jenis Tikungan
Didalam suatu perencanaan garis lengkung maka perlu diketahui
hubungan kecepatan rencana dengan kemiringan melintang jalan (superelevasi)
karena garis lengkung yang direncankan harus dapat mengurangi gaya
sentrifugal secara berangsur-angsur mulai dari nol sampai nol kembali. Bentuk
tikungan dalam perencanaan tersebut adalah
1. Lengkung Lingkaran Penuh (Full Circle / FC)
2. Lengkung Spiral Lingkaran Spiral (Spiral – Circle – Spiral / SCS )
3. Lengkung Spiral – Spiral ( SS )

1. Tikungan Full Circle ( FC )

Bentuk tikungan full circle disebut juga bentuk busur lingkaran


sederhana. Bentuk ini hanya dipergunakan pada lengkungan yang
mempunyai radius yang besar dan sudut tangen yang kecil. Adapun gambar
full circle seperti pada gambar berikut :

Gambar 2.11 Lengkung Busur Lingkaran Sederhana ( Full Circle )

Rumus yang digunakan :

T = R . tg . 0,5 ..................................................................... (2.17)

R
Ec = - R................................................................(2.18)
Cos . 0,5
C
Lc = x 2.π.R ............................................................... (2.19)
360

Keterangan :

P.I= Titik perpotongan tangen (Point of intersection)


V = Kecepatan rencana (km/jam)
R = Jari-jari (m)
= Sudut tangent (derajat)
TC= Tangent circle
CT= Circle tangent
T = Jarak antara TC dan PI (m)
Lc= Panjang bagian tikungan (m)
Ec= Jarak PI ke bentuk lengkung (m)

2. Tikungan Spiral-Circle-Spiral (SCS)

Lengkung peralihan dibuat untuk menghindari terjadinya


perubahanalinyemen yang tiba-tiba dari bentuk lurus ke bentuk lingkaran,
jadi lengkungperalihan ini diletakkan antara bagian lurus dan bagian
lingkaran (circle), yaitupada sebelum dan sesudah tikungan berbentuk
busur lingkaran.
Ketika kendaraa memasuki atau meninggalkan lengkungan
Horizontal melingkar maka penambahaan atau pengurangan gaya
sentrifugal tidak dapat tercapai langsung karena faktor keselamatan dan
kenyamanan. Dalam hal ini menyisipkan lengkungan transisi antara tangen
dan lengkungan melingkar memerlukan pertimbanagan (Jotin
Khisty,2003)
Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan tikungan spiral–
circle–spiralyaitu:

𝐿𝑠 2
𝑌𝑠 = . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . … . . . (2.20)
6𝑅𝑐
90 𝐿𝑠
𝑞𝑠 = . . . . . . . . . . . . . . … . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . … . . . . . . . . … . . . . . . . . . . (2.21)
𝑝 𝑅𝑐

𝑝 = 𝑌𝑠 − 𝑅𝑐(1 − 𝑐𝑜𝑠𝑞𝑠). . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . … . … … . . (2.22)

𝑘 = 𝑋𝑠 − 𝑅𝑐. 𝑠𝑖𝑛𝑞𝑠. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . … . . . . … . . . … . . . . . (2.23)

1
𝑇𝑠 = (𝑅𝑐 + 𝑝) tan ( ∆) + 𝑘. . . . . . . . . . . … … … . . . . . . . . . . . . … . . . . … . . . (2.24)
2

1
𝐸𝑠 = (𝑅𝑐 + 𝑝) 1
− 𝑅𝑐. . . . . . . . . . . . . . . . . . . … … … . . . . . . . … . . . . (2.25)
𝑐𝑜𝑠 (2 ∆)

(∆ − 2𝑞𝑠)
𝐿𝑐 = 𝑝. 𝑅𝑐. . . . . . . . . . . … … … … . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.26)
180

𝐿𝑡𝑜𝑡 = 𝐿𝑐 + 2𝐿𝑠. . . . . . . . . . . . . . . . . . . … . . . . . . . . … … . . . . . . . . … . . . . . . . . . . . (2.27)

Gambar 2.12 Lengkung Spiral – Circle – Spiral

Di mana :

PI = Titik perpotongan tangen (Point of Intersection)


TS = Titik dari tangen ke spiral
SC = Titik dari spiral ke lingkaran
ST = Titik perubahan spiral ke tangen
Xs = Absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titk TS ke SC (jarak
lurus lengkung peralihan)
Ys= Ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis tangen, jarak tegak lurus
ke titik SC pada lengkung
Ls= Panjang Lengkung peralihan (panjang dari titik TS ke SC atau CS
ke ST)
Lc = Panjang busur lingkaran (panjang dari titik SC ke CS)
Ts = Panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST
Es = Jarak dari PI ke busur lingkaran
Ѳs = Sudut lengkung spiral
Rc = Jari-jari lingkaran
e maks = Kemiringan Maksimum Tikungan
p =Pergeseran tangen terhadap spiral
k = Absis dari p pada garis tangen spiral

Jika diperoleh Lc < 25 m, maka sebaiknya tidak digunakan bentuk


S-C-S, tetapi digunakan lengkung S-S, yaitu lengkung yang terdiri dari dua
buah lengkung peralihan

3. Bentuk Tikungan Spiral – Spiral

Spiral–Spiral (S–S) yaitu bentuk tikungan yang digunakan pada


keadaan yang sangat tajam. Bentuk lingkaran spiral – spiral disebut juga
lengkungan Horizontal berbentuk spiral adalah lingkaran (circle) sehingga
titik SC berimpit dengan titik CS. Panjang besar lingkaran Lc = 0, dan Ɵ s
– ½ yang dipilih harus sesuai sehingga Ls yang dibutuhkan lebih besar dari
Ls yang dihasilkan relatif minimum yang disyaratkan.

Untuk spiral –spiral ini berlaku rumus sebagai berikut :

............................................................................ (2.28)
…......................................................................... (2.29)

Untuk menentukan Ls, dapat menggunakan rumus:

.........................................................................(2.30)

Gambar 2.13 Lengkung Spiral – Spiral

Syarat pemakaian spiral – spiral :

1. Ɵs = 0,5

2. Spiral – spiral dipakai jika dengan menggunakan spiral – circle – spiral


tak memenuhi Ls < 20m atau c=0

Dalam menghitung spiral :


Lc = 0
C=0

3. Spiral R dengan spiral – circle – spiral yang merupakan fungsi


kecepatan ( V ).
2.4.4 Superelevasi
Penggambaran superelevasi dilakukan untuk mengetahui kemiringan-
kemiringan jalan pada bagian tertentu, yang berfungsi untuk mempermudah dalam
pekerjaannya atau pelaksanaannya dilapangan.

1) Superelevasi dapat dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang normal


pada bagian jalan yang lurus sampai kemiringan penuh (superelevasi) pada
bagian lengkung.

2) Pada tikungan spiral-circle-spiral (SCS), pencapaian superelevasi dilakukan


secara linier(lihat pada gambar 2.13), diawali dari bentuk normal sampai
lengkung peralihan (TS) yang berbentuk pada bagian lurus jalan, lalu
dilanjutkan sampai superelevasi penuh pada akhir bagian lengkung peralihan.

3) Pada bagian full circle (FC), pencapaian superelevasi dilakukan secara


linier(lihat pada gambar 2.14),diawali dari bagian lurus sepanjang 2/3 Ls
sampai dengan bagian lingkaran penuh sepanjang 1/3 Ls. Pada tikungan
spiralspiral, pencapaian superelevasi seluruhnya dilakukan pada bagian spiral.
Superelevasi tidak diperlukan jika radius cukup besar, untuk itu cukup lereng
luar diputar sebesar lereng normal (LN) atau bahkan tetap lereng normal (LN).

4) Pada tikungan spiral-spiral (S-S), pencapaian super elevasi seluruhnya


dilakukan pada bagian spiral.

Gambar 2.14 Metode Pencapaian Superelevasi pada Tikungan tipe SCS


Gambar 2.15 Metode PencapaianSuperelevasi pada Tikungan tipe FC

2.4.5 Pelebaran Jalur Lalu Lintas diTikungan


Pelebaran pada tikungan dimaksudkan untuk mempertahankan konsistensi
geometrik jalan agar kondisi operasional Ialu lintas di tikungan sama dengan di
bagian lurus.
Pelebaran jalan di tikungan mempertimbangkan:
1. Kesulitan pengemudi untuk menempatkan kendarann tetap pada lajurya.

2. Penambahan lebar (ruang) lajur yang dipakai saat kendaraan


melakukangerakan melingkar. Dalam segala hal pelebaran di tikungan
harusmemenuhi gerak perputaran kendaraan rencana sedemikian sehingga
proyeksi kendaraan tetap pada lajurnya.

3. Pelebaran di tikungan ditentukan oleh radius belok kendaraan rencana dan


besamya ditetapkan sesuai Tabel 2.21.

4. Pelebaran yang lebih kecil dari 0.6 meter dapat diabaikan.

5. Untuk jalan 1 jalur 3 lajur, nilai-nilai dalarn Tabel 2.21 harus dikalikan 1,5.

6. Untukjalan 1 jalur 4 lajur, nilai-nilai dalam Tabel 2.21 harus dikalikan 2.


Tabel 2.21 Pelebaran ditikungan perlajur (m) Lebar jalur 20x3.50m, 2
arah atau 1 arah.

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen


Bina Marga 1997)

2.4.6 TikunganGabungan

Ada dua macam tikungan gabungan, sebagai berikut :

a) Tikungan gabungan searah, yaitu gabungan dua arah atau lebih tikungan
dengan arah putaran yang sama tetapi dengan jari-jari yang berbeda (lihat
Gambar 2.5)
b) Tikungan gabungan balik arah, yaitu gabungan dua tikungan dengan arah
putaran yang berbeda (lihat Gambar 2.16)
Berikut adalah gambar tikungan balik searah dan tikungan gabungan balik arah :
Gambar 2.16 Tikungan gabungan Gambar 2.17 Tikungan
gabungan
searah balik

Penggunaan tikungan gabungan tergantung perbandingan R1 dan R2:

R1 2
> tikungan gabungan searah harus dihindarkan
R2 3

R1 2
< tikungan gabungan harus dilengkapi bagian lurus atau 𝑐𝑙𝑜𝑡ℎ𝑜𝑖𝑑
R2 3

Setiap tikungan gabungan balik arah harus dilengkapi dengan bagian lurus
diantara kedua tikungan tersebut sepanjang minimal 20 meter (lihat Gambar
2.18).

Gambar 2.18 Tikungan gabungan searah dengan sisipan


bagian lurus minimum sepanjang 20 meter
Gambar 2.19 Tikungan gabungan balik dengan
sisipan bagian lurus minimum sepanjang 20 meter

Pada dasarnya tidak ada ketentuan baku tentang pemilihan jenis tikungan
yang akan digunakan. Untuk keseragaman perancangan, Bina Marga
menyarankan menggunakan tikungan Spiral-Circle-Spiral sebagai dasar
perancangan.

2.5 Alinyemen Vertikal


2.5.1 Pengertian Uumum
Alinyemen vertikal adalah perencanaan evaluasi sumbu jalan pada setiap
titik yang ditinjau, berupa profil memanjang. Pada perencanaan alinyemen
vertikal akan ditemui kelandaian positif ( tanjakan ) dan kelandaian negatif
( keturunan ), sehingga kombinasinya berupa lengkung cembung dan lengkung
cekung. Disamping kedua lengkung tersebut ditemui pula kelandaian = 0 ( datar ).

Kondisi tersebut dipengaruhi oleh keadaan topografi yang dilalaui rete jalan
rencana. Kondisi topografi tidak saja berpengaruh pada perencanaan alinyemen
horizontal tetapi juga mempengruhi perencanaan vertikal.
Jenis lengkung vertikal dilihat dari letak titik perpotongan kedua bagian lurus
(tangen), adalah :
1. Lengkung vertikal cekung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara
kedua tangen berada di bawah permukaan jalan.
2. Lengkung vertikal cembung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara
kedua tangen berada di atas permukaan jalan yang bersangkutan.
Maka persamaan umum dari lengkung vertikal, yaitu :

…………………………………………...………….(2.31)

Lengkung vertikal terbagi atas :


1) Lengkung vertikal cembung
2) Lengkung vertikal cekung

……………………………………………..……………….(2.32)
Dimana :
A = ( g1 + g2 )
L = Panjang lengkung vertikal

2.5.2 Kelandaiaan
Pada perencanaan alinyemen vertikal terdapat kelandaian positif (tanjakan)
dan kelandaian negatif (turunan), sehingga kombinasinya berupa lengkung
cembung dan lengkung cekung. Disamping kedua lengkung tersebut terdapat pula
kelandaian = 0 (datar). (Shirley L. Hendarsin, 2000).
Kalau pada alinyemen horizontal bagian yang kritis adalah pada tikungan,
maka pada alinyemen vertikal bagian kritis justru pada bagian lurus. Beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam perencanaan alinyemen vertikal adalah :

1) Bila memungkinkan diusahakan agar pada bagian lengkung horizontal


(tikungan) tidak terjadi adanya lengkungan vertikal (tanjakan dan turunan).
2) Grade (kemiringan memanjang) min 0,5 %.
3) Grade (kemiringan memanjang) maximum dibatasi oleh panjang kritisnya
dengan ketentuan sebagai berikut :
Tabel 2.22 Panjang Kritis

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen


Bina Marga 1997.)

4). Penentuan elevasi jalan rencana harus memperhatikan kemungkinan


terjadinya galian dan timbunan serta volume galian dan timbunan
diusahakan sama sejauh kriteria perencanaan terpenuhi.

Untuk menghitung dan merencanakan lengkung vertikal, ada beberapa hal yang
perlu diprhatikan yaitu :
1. Karakteristik Kendaraan Pada Kelandaian
2. Kelandaian Maksimum
3. Kelandaian Minimum
4. Panjang kritis suatu kelandaian
5. Lajur pendakian pada kelandaian khusus

a. Landai Minimum
Untuk jalan-jalan di atas tanah timbunan dengan medan datar dan
menggunakan kerb, kelandaian yang dianjurkan adalah sebesar 0,15 % yang
dapat membantu mengalirkan air dari atas badan jalan dan membuangnya ke
saluran tepi atau saluran pembuangan. Sedangkan untuk jalan-jalan di daerah
galian atau jalan yang memakai kerb, kelandaian jalan minimum yang
dianjurkan adalah 0,30 - 0,50 %.

b. Landai Maksimum
Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk memungkinkan kendaran
bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan berarti.Kelandaian maksimum
didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh yang mampu bergerak
dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh kecepatan semula tanpa
harus menggunakan gigi rendah.
Tabel 2.23 Kelandaian Maksimum Yang Diijinkan
Kecepatan 120 110 100 80 60 50 40 <40
Rencana (km/jam)

Kelandaian 3 3 4 5 8 9 10 10
Maksimum (%)
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997)

Panjang kritis yaitu panjang landai maksimum yang harus disediakan agar
kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian sehingga
penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh VR. Lama perjalanan tersebut
ditetapkan tidak lebih dari satu menit.

Tabel 2.24 Panjang Kritis (m)


Kecepatan awal Kelandaian %
tanjakan 4 5 6 7 8 9 10
(km/jam)
80 630 460 360 270 230 230 200

60 320 210 160 120 110 90 80

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen


Bina Marga 1997)

2.5.3 Lengkung Vertikal


Pada setiap penggantian landai harus dibuat lengkung vertikal yang
memenuhi keamanan, kenyamanan dan drainase yang baik. Lengkung vertikal
adalah lengkung yang dipakai untuk mengadakan peralihan secara berangsur-
angsur dari suatu landai ke landai berikutnya.
Gambar lengkung vertikal dapat dilihat pada Gambar 2.19 Dibawah ini :

Gambar 2.20 Lengkung Vertikal


a. Kelandaian menaik diberi tanda (+) dan kelandaian menurun diberi tanda (-).
Ketentuan pendakian atau penurunan ditinjau dari kiri ke kanan.

b. Dari gambar diatas, besarnya defleksi (y’) antara garis kemiringan (tangen) dan
garis lengkung dapat dihitung dengan rumus :

………………………...........………………….(2.33)

Dimana :
x = jarak horizontal dari titik PLV ke titik yang ditinjau (m)
y’ = besarnya penyimpangan (jarak vertikal) antara garis kemiringan
dengan lengkungan (m).
g1, g2 = besar kelandaian (kenaikan/penurunan) (%).
Lv = panjang lengkung vertikal (m).
Untuk x = ½ Lv, maka y’ = Ev dirumuskan sebagai :

……………………………………..……….……(2.34)

Tabel 2.25 Panjang Minimum Lengkung Vertikal


Kecepatan Rencana Perbedaan Kelandaian Panjang Lengkung (m)
(km/jam) Memanjang (%)
< 40 1 20 – 30
40 – 60 0,6 40 – 80
> 60 0,4 80 - 150
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen
Bina Marga 1997)

Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami


perubahan kelandaian dengan tujuan mengurangi goncangan akibat perubahan
kelandaian dan menyediakan jarak pandang henti. Lengkung vertikal terdiri dari
dua jenis yaitu lengkung cembung dan lengkung cekung.
1. Lengkung vertikal cembung
Lengkung vertikal cembung adalah lengkung dimana titik
perpotongan antara kedua tangen berada diatas permukaan jalan yang
bersangkutan. Pemilihan panjang lengkung vertikal cembung haruslah
merupakan panjang terpanjang yang dibutuhkan setelah mempertimbangkan
jarak pandangan baik jarak pandang henti maupun jarak pandang menyiap,
persyaratan drainase dan bentuk visual. Pada lengkung vertikal cembung, ada
batasan yang didasarkan pada jarak pandang baik jarak pandang henti maupun
jarak pandang menyiap.

a. Jarak pandang berada seluruhnya dalam daerah lengkung (S < Lv)


b. Jarak pandang berada di luar dan di dalam daerah lengkung (S > Lv)

Gambar 2.21 Alinyemen Vertikal Cembung


Untuk menentukan Panjang lengkung vertikal cembung, Lv dapat juga
ditentukan berdasarkan Grafik I pada Gambar 2.21 (untuk jarak pandang
henti) dan Grafik II dan III pada Gambar 2.22 dan 2.23 (untuk jarak pandang
menyiap) dibawah ini :

Gambar 2.22 Grafik Panjang Lengkung Vertikal Cembung


Gambar 2.23 Grafik Panjang Lengkung Vertikal Cembung
berdasarkan Jarak Pandang Henti

Gambar 2.24 Grafik Panjang Lengkung Vertikal Cembung


berdasarkan Jarak Pandang Menyiap

Ketentuan tinggi menurut Bina Marga ( 1997 ) untuk lengkungcembung


seperti Tabel berikut :
Tabel 2.26Jarak Pandang Mendahului
Untuk Jarak Panjang Pandang h1 (m) Tinggi mata h2 (m) Tinggi objek

Henti (Jh) 1,05 1,15


Mendahului (Jd) 1,05 1,05

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga 1997)
Gambar 2.25 Jarak Pandang Lengkung Vertical Cembung

2. Lengkung Vertikal Cekung


Tidak ada dasar yang digunakan untuk menentukan panjang lengkung
vertikal (L) akan tetepi ada empat kriteria sebagai pertimbangan yang dapat
digunakan, yaitu :
a. Jarak sinar lampu besar dari kendaraan
b. Kenyamanan drainase
c. Ketentuan drainase
d. Penampilan secara umum

Gambar 2.26 Grafik Panjang Lengkung Vertikal Cekung


Gambar 2.27 Jarak Pandang Lengkung Vertikal Cekung

Gambar 2.28 Alinyemen Vertikal Cekung

2.5.4 Lajur Pendakian


Lajur pendakian dimaksudkan untuk menarnpung truk-truk yang berrnuatan
berat atau. kendaraan lain yang berjalan lebih lambat dari kendaraan kendaraan
lain pada umumnya, agar kendaraan kendaraan lain dapat mendahului kendaraan
lambat tersebut tanpa harus berpindah lajur atau menggunakan lajur arah
berlawanan. Lajur pendakian harus disediakan pada ruas jalan yang mempunyai
kelandaian yang besar, menerus, dan volume lalu lintasnya relatif padat.
Penempatan lajur pendakian harus dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. disediakan pada jalan arteri atau. kolektor,
b. apabila panjang kritis terlampaui, jalan memiliki VLHR > 15.000 SMP/hari,
dan persentase truk > 15 %.

Lebar lajur pendakian sama dengan lebar lajur rencana, lajur pendakian
dimulai 30 meter dari awal perubahan kelandaian dengan serongan sepanjang 45
meter dan berakhir 50 meter sesudah puncak kelandaian dengan serongan
sepanjang 45 meter (lihat Gambar II.29) danJarak minimum antara 2 lajur
pendakian adalah 1,5 Km(Lihat Gambar II.30).

Gambar 2.29 Lajur Pendakian Tipikal

Gambar 2.30 Jarak antara dua lajur pendakian

2.6 Penomoran (Stationing)


Penomoran (stationing) panjang jalan pada tahap perencanaan adalah
memberikan nomor pada interval-interval tertentu dari awal pekerjaan.Nomor
jalan (STA Jalan) dibutuhkan sebagai saran komunikasi untuk dengan cepat
mengenali lokasi yang sedang dibicarakan, selanjutnya menjadi panduan untuk
lokasi suatu tempat.Nomor jalan ini sangat bermanfaat pada saat pelaksanaan dan
perencanaan.Disamping itu dari penomoran jalan tersebut diperoleh informasi
tentang panjang jalan secara keseluruhan.Setiap STA jalan dilengkapi dengan
gambar potongan melintangnya.
Adapun interval untuk masing-masing penomoran jika tidak adanya
perubahan arah tangen pada alinyemen horizontal maupun alinyemen vertikal
adalah sebagai berikut :

a. Setiap 100 m, untuk daerah datar


b. Setiap 50 m, untuk daerah bukit
c. Setiap 25 m,untuk daerah gunung

Nomor jalan (STA Jalan) ini sama fungsinya dengan patok-patok km


disepanjang jalan, namun juga terdapat perbedaannya antara lain :

1. Patok km merupakan petunjuk jarak yang diukur dari patok km 0, yang


umumnya terletak di ibu kota provinsi atau kota madya, sedangkan patok STA
merupakan petunjuk jarak yang diukur dari awal sampai akhir pekerjaan.

2. Patok km berupa patok permanen yang dipasang dengn ukuran standar yang
berlaku, sedangkan patok STA merupakan patok sementara selama masa
pelaksanaan proyek jalan tersebut

Gambar 2.31 Sistem Penomoran Jalan


(Sumber :Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota
No. 038/BM/1997)
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian


Dalam penelitian ini penulis mengambil objek penelitian di daerah Kodam
XVII Cenderawasih Kabupaten Jayapura Provinsi Papua.Jalan yang berada di
daerah Kodam XVII Cenderawasih ini menghubungkan kota Jayapura dengan
daerah Abepura sebagai jalan alternatif. Dengan adanya ruas jalan tersebut, maka
pengendara yang menuju ke daerah Abepura dapat menghemat waktu, tetapi jika
dilihat dari kondisi jalan yang ada sekarang ini khususnya geometrik jalan
terdapat beberapa alinyemen horizontal yang kurang memenuhi standar geometrik
jalan sesuai aturan Bina Marga yang berlaku yaitu jarak pandangan bebas,
superelevasi dan pelebaran pada tikungan bahkan mungkin vertikal yang perlu
ditinjau kembali. Berdasarkan hal tersebut maka penulis terdorong untuk
meninjau kembali kondisi geometrik jalan tersebut.
Secara visual kondisi tikungan yang ada dilapangan pada umumnya
mempunyai jari-jari tikungan yang cukup besar, namun ada beberapa tempat yang
menyesuaikan kondisi existing dan topografi yang memiliki jari-jari tikungan
agak kecil.Adapun data-data perencanaan jalan pada ruas jalan Kodam Lama –
Kodam Baru yang digunakan sebagai data pendukung adalah data dari
pengukuran kembali ruas jalan tersebut.Dalam penulisan Tugas Akhir ini penulis
menggunakan metode pengumpulan data yaitu data primer dan data sekunder.
Dalam penulisan ini menggunakan bagan alir (flow chart). Flow Chart ini berguna
sebagai sebagai paduan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam proses
prosedur perhitungan geometrik jalan.

Penulis mengambil objek penelitian dimulai dari setelah jembatan Paldam (Jln.
Makodam Lama) sta. 0+000 KM sampai dengan daerah lapangan golf Kantor
Kodam Baru XVII Cenderawasih (Jln. Polimak IV) sta. 2+000 KM.
Gambar 3.1 Lokasi Penelitian. ( Kodam XVII Cenderawasih )

3.2 Waktu Penelitian


Waktu penelitian dilakukan berdasarkan lama waktu kegiatan penelitian
dimulai dari melakukan pembuatan proposal, melakukan penelitian, kegiatan
survey lapangan, pengumpulan data penelitian, sampai dengan perampungan hasil
penelitian dan proses kegiatan penyelesaian penelitian. Lama waktu penelitian
diperkirakan dua bulan setelah pelaksanaan seminar proposal Tugas Akhir.

3.3 Teknik Pengumpulan Data


Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Studi Pustaka
Studi Pustaka dilakukan untuk mendapatkan data sekunder
penelitian yang didapatkan dari instansi-instansi terkait. Dilaksanakan dengan
mencatat, menyalin, mempelajari dan memilah data yang termuat, baik berupa
peta, diagram, maupun data-data lain yang sesuai kebutuhan penelitian.
2. Observasi Lapangan
Observasi adalah cara atau teknik pengumpulan data dengan
melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala atau
fenomena yang ada pada objek penelitian. Data yang dikumpulkan dengan
observasi lapangan terhadap lingkungan jalan yang diamati, kemudian hasil
pengamatan direkap dalam lembar observasi.
Dalam hal ini terlebih dahulu dilakukan Tracking dan Marking
menggunakan alat GPS untuk memastikan tempat-tempat yang akan disurvey,
apakah akan mendukung atau tidaknya dalam pengambilan data serta dapat
terlebih dahulu menentukan penempatan-penempatan dari pada alat theodolit,
patok-patok, sketsa atau gambar lokasi yang ada di lapangan. Manfaat dari
observasi lapangan ini adalah untuk mempermudah dalam survey lanjutan dan
mendapatkan titik titik lokasi tikungan yang di anggap mempunyai sudut
tangen dan koordinasi antar tikungan terekstrim.

3. Wawancara
wawancara (interview) yaitu dengan mewancarai narasumber yang
dapat dipercaya untuk memperoleh data yang diperlukan. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewancara (intervieweer) yang mengajukan
pertanyaan dan yang diwawancarai (interview) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu. Kegiatan ini dilakukan dengan mengadakan tanya jawab secara
lisan dengan informan, pertanyaan tersebut mengacu pada geometrik jalan
pada ruas jalan Kodam lama – Kodam baru.

3.4 Sumber Data


Secara umum untuk mengevaluasai kondisi geometrik kawasan ruas jalan
Kodam lama-Kodam baru kota Jayapura, diperlukan suatu acuan. Acuan tersebut
dapat berupa data teknis maupun data non teknis. Data tersebut digunakan sebagai
dasar untuk menganalisa kembali dari perencanaan yang ada sehingga hasil yang
dicapai sesuai dengan yang diharapkan. Data – data yang diperoleh dapat
dibedakan menjadi :

3.4.1 Data Primer


Data primer adalah data – data yang didapatkan dari data perencanaan awal
Kegiatan Paket Perencanaan Teknis Jalan Kodam lama -Kodam baru kota
Jayapura yang berhubungan langsung dengan perencanaan geometrik jalan. Lebih
spesifik dalam hal ini menentukan kelayakan alinyemen horizontal dan alinyemen
vertikal berdasarkan kriteria perencanaan teknis jalan, data tersebut berupa :

a. Data Lalu Lintas


Data lalu lintas yang digunakan dalam perencanaan geometrik jalan ruas
Kodam lama -Kodam baru adalah dengan anggapan data lalu lintas harian rata
– rata (LHR) tahun 2018.

b. Topografi

Topografi merupakan faktor penting dalam menentukan lokasi jalan dan


pada umumnya mempengaruhi alinyemen sebagai standar perencanaan
geometrik seperti landai kaki, jarak pandang, penampang melintang dan lain –
lainnya. Dalam hal ini topografi dimaksudkan untuk mendapatkan peta kontur
dengan cara pengukuran menggunakan alat teodolit, dari peta kontur tersebut
digunakan untuk mengumpulkan data topografi yang cukup guna menentukan
kecepatan sesuai dengan daerahnya. Bukit , lembah, sungai, dan danau sering
memberikan pembatasan terhadap lokasi dan perencanaan.
Pengukuran peta topografi dilakukan pada sepanjang trase jalan dengan
mengadakan tambahan dan pengukuran detail pada tempat yang memerlukan
alinyemen dan tempat-tempat persilangan dengan sungai atau jalan lain,
sehingga memungkinkan didapatkannya trase jalan yang sesuai dengan
standar.

c. Data Rencana Geometrik


Secara visual kondisi tikungan yang ada di lapangan pada umumnya
mempunyai jari – jari tikungan yang cukup besar. Namun ada beberapa tempat
yang menyesuaikan kondisi existing topografi yang memiliki jari – jari
tikungan agak kecil.Adapun data – data pada perencanaan lama dalam
perencanaan jalan pada ruas Kodam lama-Kodam baru yang digunakansebagai
data pendukung adalah data dari Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua.
d. Kelas dan Fungsi Jalan
Kelas dan fungsi jalan merupakan elemen utama yang digunakan untuk
pengelompokan standar perencanaan geometrik. Dari hasil pantauan maka
jalan ruas Kodam lama -Kodam baru di kategorikan sebagai jalan Lokal
Sekunder.

3.4.2 Data Sekunder


Data ini merupakan data yang bersifat menunjang untuk
mempertimbangkan perencanaan jalan. Data ini dapat diperoleh berdasarkan :

a. Mendapatkan informasi dari pihak Instansi Pemerintah dalam hal ini Dinas
Pekerjaan Umum Propinsi Papua, Swasta dan sebagainya.
b. Membaca buku – buku literatur yang ada hubungannya dengan pembahasan
tulisan ini.
3.5 Analisa Data
Analisa data dilakukan setelah semua data – data terkumpul terutama data
primer dan perhitungan disesuaikan dengan literatur yang ada, apabila data primer
dianggap atau dinilai belum mencukupi maka dilengkapi dengan data sekunder.
Pengolahan data dalam arti perhitungan teknis secara lengkap untuk menghasilkan
input dan proses perancangan selanjutnya. Analisis pengolahan data meliputi :

1) nilai LHR

Pn = Po + ( 1 + i ) n

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐿𝑎𝑙𝑢 𝐿𝑖𝑛𝑡𝑎𝑠 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛


𝐿𝐻𝑅 =
𝐿𝑎𝑚𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛

2) Jarak Pandang

a. Jarak Pandang Henti (Jh)


VR
VR (3,6 )2
Jh = T.
3,6 2gf
Persamaan tersebut disederhanakan menjadi:

𝑉𝑅 2
Jh = 0,694 VR + 0,004
f
b. Jarak Pandang Mendahului (Jd)

Jd = d1 + d2 + d3 + d4

c. Daerah Bebas Samping Di Tikungan

- Jika Jh < Lt :

90𝑜 𝐽ℎ
E = R { 1 − Cos ( )}
𝜋R

- Jika Jh >Lt :

90𝑜 𝐽ℎ 1 90𝑜 𝐽ℎ
E = R { 1 − Cos ( )} + ( 𝐽ℎ − 𝐿𝑡 )𝑆𝑖𝑛 ( )
𝜋R 2 𝜋R

3) Alinyemen

a. Alinyemen Horizontal

- Jari-jari tikungan minimum (Rmin)

𝑉𝑟2
𝑅𝑚𝑖𝑛 =
127. (𝑒𝑚𝑎𝑘𝑠 + 𝑓)

- Lengkung peralihan

1. Waktu tempuh maksimum dilengkung peralihan.

𝑉𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎
𝐿𝑠 = 𝑇
3,6

2. Antisipasi gaya sentrifugal.

𝑉𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 𝑉𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 . 𝑒
𝐿𝑠 = 0,002 − 2,727
𝑅. 𝐶 𝐶
3. Tingkat pencapaian perubahan kelandaian

(𝑒𝑚 − 𝑒𝑛 )𝑉𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎
𝐿𝑠 =
3,6 ∗ 𝑟𝑒

- Jenis – jenis Tikungan

1. Tikungan Full Circle ( FC ) / Lengkung Penuh

T = R . tg . 0,5

2. Tikungan Spiral-Circle-Spiral (SCS)

𝐿𝑠 2
𝑌𝑠 =
6𝑅𝑐

90 𝐿𝑠
𝑞𝑠 = 𝑥
𝑝 𝑅𝑐

𝑝 = 𝑌𝑠 − 𝑅𝑐 (1 − 𝑐𝑜𝑠𝑞𝑠)

𝑘 = 𝑋𝑠 − 𝑅𝑐. 𝑠𝑖𝑛𝑞𝑠

1
𝑇𝑠 = (𝑅𝑐 + 𝑝) tan ( ∆) + 𝑘
2
1
𝐸𝑠 = (𝑅𝑐 + 𝑝) 1
− 𝑅𝑐
𝑐𝑜𝑠 (2 ∆)

(∆ − 2𝑞𝑠)
𝐿𝑐 = 𝑝. 𝑅𝑐
180

𝐿𝑡𝑜𝑡 = 𝐿𝑐 + 2𝐿𝑠

3. Bentuk Tikungan Spiral – Spiral

Untuk menentukan Ls, dapat menggunakan rumus:

b. Alinyemen Vertikal

3.6 Bagan Alir


Secara sistematis alur penelitian dapat digambarkan seperti dibawah ini yang
menggambarkan proses penelitian dari awal hingga akhir.Alur penelitian adalah
sebagai berikut:

Mulai

Studi Pendahuluan

Survey Lokasi

Data Primer Data Sekunder


( Pengumpulan Data) 1. Tata Cara Geometrik
1. Data LHR Jalan, Bina Marga
2. Data Topografi
1997
3. Data Geometrik
2. Peta Lokasi

Analisa Data

Kesimpulan dan saran

Selesai

Gambar 3.2 Sistematis Alur Penelitan

Anda mungkin juga menyukai