Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi virus varicella-zoster (VVZ) yang menyebabkan varisela atau cacar air
dapat menyerang hampir setiap individu di seluruh dunia. Setelah sembuh dari
varisela, virus menetap laten pada ganglia radiks dorsalis yang dapat mengalami
reaktivasi menjadi herpes zoster. Herpes Zoster muncul sebagai ruam vesicular sesuai
dermatom disertai dengan rasa nyeri. Penyembuhan terjadi dalam jangka waktu 2-4
minggu dan sering menyebabkan jaringan parut yang permanen dan pigmentasi kulit.
Insiden Herpes Zoster sangat terkait dengan usia dan 30% kasus terjadi pada pasien
berusia di atas 55 tahun.1
Neuralgia pasca herpetika (NPH) adalah komplikasi tersering dari penyakit
herpes zoster. Neuralgia pasca herpetika yang merupakan nyeri neuropatik persisten
yang terjadi setelah infeksi Herpes zoster akut. Perkiraan risiko terjadinya Neuralgia
pasca herpetika 5%-30% di antara penderita Herpes zoster. Faktor risiko utama
terjadinya Neuralgia pasca herpetika adalah usia yang lebih tua, nyeri akut yang lebih
besar, ruam yang lebih luas, adanya nyeri prodromal, dan keterlibatan mata.2
Pasien dengan neuralgia pasca herpetika menggambarkan nyeri yang
dirasakan seperti terbakar, berdenyut dan menusuk. Beberapa pasien juga melaporkan
allodynia, hyperalgesia dan dysesthesia. Nyeri yang dapat bertahan selama berbulan-
bulan hingga bertahun-tahun dan seringkali refrakter terhadap terapi farmakologis.
Patofisiologi neuralgia pasca herpetika adalah terjadinya neuronal injury yang
menyebabkan neuron sentral dan perifer menghasilkan spontaneous discharges dan
juga menurunkan ambang aktivasi rasa nyeri. Neuralgia pasca herpetika jika terjadi
dalam jangka waktu yang lama, menyebabkan terjadi gangguan pada kesehatan fisik,
sosial, psikologis dan fungsional.3
Neuralgia pasca herpetika dapat bertahan selama bertahun-tahun dan sulit
diobati. Keamanan dan tolerabilitas terapi farmakologis adalah masalah penting yang
perlu dipertimbangkan karena Neuralgia pasca herpetika memengaruhi populasi yang

1
lebih tua. Setelah Neuralgia pasca herpetika didiagnosis, pengobatan harus diarahkan
pada pengendalian nyeri dan meminimalkan efek samping terkait pengobatan.
Pedoman saat ini merekomendasikan pengobatan Neuralgia pasca herpetika secara
hierarkis, dengan saluran kalsium ligan α2-δ (gabapentin dan pregabalin), TCA
(amitriptyline, nortriptyline, atau desipramine) atau patch lidocaine topikal sebagai
obat lini pertama. Opioid dan patch capsaicin topikal sebagai pilihan pengobatan lini
kedua atau terapi kombinasi dengan mekanisme aksi berbeda.4
Tersedia beberapa alternatif terapi untuk neuralgia pasca herpetika, salah satu
alternatif terapi yang dapat diberikan pada pasien neuralgia pasca herpetika adalah
biolaser atau Laser berenergi rendah (Low-Level Light Therapy-LLLT). Biolaser atau
Laser berenergi rendah (LLLT) merupakan pengobatan non-invasif, yang
mengeluarkan sinar infrared berkekuatan rendah. Lebih dari dua dekade, LLLT telah
digunakan untuk membantu menghilangkan nyeri pada berbagai kondisi seperti
neuralgia pasca herpetika, neuralgia trigeminal dan nyeri muskuloskeletal. 5,6

Dalam kasus nyeri neuropatik, LLLT telah diusulkan untuk memediasi


analgesia dengan melepaskan neurotransmiter lokal seperti serotonin, yang
mempromosikan pelepasan endorfin, sementara secara bersamaan menurunkan kadar
prostaglandin E2 dan bradykinin. Peningkatan sitokin anti-inflamasi, interleukin (IL)
-10, bersama dengan penurunan sitokin pro-inflamasi, tumor necrosis factor-a, dan
IL-1b, memungkinkan untuk resolusi cepat dari proses inflamasi. Peradangan yang
menyebabkan stimulasi abnormal pada saraf dalam kasus neuralgia pasca herpetika
berkurang secara cepat dengan LLLT.5,6

Low-Level Light Therapy mengobati ketidaknyamanan rasa sakit,


meningkatkan kualitas hidup pasien dan terbukti menjadi pengobatan yang efektif,
aman dan menjanjikan, dengan potensi untuk menjadi terapi pilihan. Oleh karena itu,
protokol laser berenergi rendah Dengan tujuan standarisasi parameter
direkomendasikan penelitian lebih lanjut.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Neuralgia Paska Herpetika


2.1.1 Definisi Neuralgia Paska Herpetika
Neuralgia paska herpetika merupakan komplikasi herpes zoster yang paling sering
terjadi. Neuralgia paska herpetika didefinisikan sebagai nyeri yang dirasakan sesuai
dengan distribusi dermatomal, bertahan selama setidaknya 90 hari setelah muncul lesi
pada kulit. Nyeri dirasakan sebagai rasa terbakar atau sengatan listrik dan sering
dihubungkan dengan allodynia atau hiperalgesia. Neuralgia paska herpetika
disebabkan oleh kerusakan saraf sekunder akibat respons inflamasi yang disebabkan
oleh replikasi virus di dalam saraf. 7
Faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya neuralgia paska herpetika
salah satunya adalah usia yang lebih tua, nyeri prodromal, ruam pada kulit yang luas,
nyeri herpes zoster akut yang hebat, keterlibatan mata, keterlibatan imunosupresi dan
kondisi kronis seperti diabetes mellitus dan lupus. Neuralgia paska herpetika sering
melemahkan dan mempengaruhi fungsi fisik, psikologis serta kualitas hidup.
Manajemen nyeri diutamakan pada pengendalian gejala. 2,7

2.1.2 Epidemiologi Neuralgia Paska Herpetika


Neuralgia pasca herpetika (NPH) adalah komplikasi tersering dari penyakit herpes
zoster. Perkiraan risiko terjadinya Neuralgia pasca herpetika 5%-30% di antara
penderita Herpes zoster. Faktor risiko utama untuk Neuralgia pasca herpetika adalah
usia yang lebih tua, nyeri akut yang lebih besar, ruam yang lebih luas, adanya nyeri
prodromal, dan keterlibatan mata.2
Menurut penelitian Myoong-Joo Hong di korea pada tahun 2016, secara total
pada tahun 2013 didapatkan 127.657 individu dengan neuralgia pasca herpetika
(119.390 pada tahun 2012, 103.577 pada tahun 2011, 90.706 pada 2010, dan 80.389
pada 2009) dengan tingkat kejadian keseluruhan yaitu 2,5 per 1.000 orang pertahun.

3
Insiden ini sangat berkorelasi dengan usia, dimana lebih dari 50% pasien berusia di
atas 60 tahun. Kejadian Neuralgia pasca herpetika puncak terbanyak pada pasien
berusia 70 hingga 79 tahun yaitu 10,5 per 1.000 orang pertahun. Tingkat kejadian
lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria yaitu 3,1 per 1000 orang-tahun pada
wanita dan 1,9 per 1000 orang-tahun pada pria.8

2.1.3 Patofisiologi dan Manifestasi Klinis Neuralgia Paska Herpetika


Virus Varicella zoster adalah virus DNA untai ganda yang sangat menular dari
keluarga herpes. Varicella primer bermanifestasi secara umum sebagai cacar air pada
orang yang tidak kebal atau terdapat gangguan kekebalan tubuh. Selama infeksi
primer, virus masuk ke ganglia radik dorsalis. Reaktivasi virus terjadi setelah depresi
imunitas yang diperantarai sel, terutama pada pada pasien lanjut usia. Virus yang
diaktifkan kembali mereplikasi dan bermigrasi ke saraf sensorik yang mengarah ke
distribusi nyeri dermatomal. Peradangan yang terkait pada saraf perifer menyebabkan
demielinasi, degenerasi wallerian, dan fibrosis.9
Patogenesis NPH yaitu adanya perlukaan neuronal yang berefek, baik pada
komponen sentral maupun perifer dari sistim saraf. Replikasi virus di dalam ganglion
dorsalis menyebabkan respon inflamasi berupa pembengkakan, perdarahan, nekrosis
dan kematian sel neuron. Kemudian virus akan menyebar secara sentrifugal
sepanjang saraf menuju ke kulit, menyebabkan inflamasi dan kerusakan saraf
perifer.5,9 Kadang-kadang virus menyebar secara sentripetal ke arah medula spinalis
(mengenai area sensorik dan motorik) serta batang otak. Hal ini menyebabkan
sensitisasi ataupun de-aferenisasi elemen saraf perifer dan sentral.10

Sel-sel ganglion berukuran besar dirusak oleh virus dan yang tersisa adalah
sel-sel berukuran halus. Dampaknya adalah tidak terjadinya sumasi temporal
sehingga proses modulasi pada kornu posterior tidak berjalan secara normal, dan
akibatnya tidak terjadi proses antara sistem analgesik endogen dengan asupan nyeri
yang masuk ke kornu posterior. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya gejala

4
hiperalgesia (nyeri berat yang dihasilkan oleh stimulus yang secara normal
menghasilkan nyeri yang ringan). Signal impuls tiba pada waktu yang bersamaan ke
inti thalamus dan sebagian besar dihantarkan oleh serabut halus, yang merupakan
serabut penghantar impuls nyeri.11 Kedatangan impuls yang serentak dalam jumlah
yang besar dipersepsikan sebagai nyeri hebat yang sesuai dengan sifat neuralgia,
sensitisasi sentral disebabkan oleh aktivitas ektopik dari serabut saraf aferen.
Pelepasan isometrik yang persisten dari serabut saraf menginduksi sensitisasi sentral
dimana N-metil-D-aspartat berperan utama dan menyebabkan persepsi yang persisten
dari nyeri. Kerusakan serabut saraf ini menetap pada pasien NPH.12

2.1.4 Manifestasi klinis dan diagnosis Neuralgia Paska Herpetika


Pasien NPH biasanya mengeluh nyeri yang bersifat spontan (dideskripsikan sebagai
rasa terbakar, aching, throbbing), nyeri yang intermiten (nyeri seperti ditusuk,
ditembak) dan nyeri yang dibangkitkan oleh stimulus seperti alodinia. Alodinia
adalah nyeri yang dibangkitkan oleh stimulus yang secara normal tidak menimbulkan
nyeri. Alodinia merupakan nyeri yang terdapat pada hampir 90% pasien NPH. Pasien
dengan alodinia dapat menderita nyeri yang hebat setelah tersentuh baik dengan
sentuhan yang paling ringan sekalipun seperti angin sepoi-sepoi ataupun selembar
pakaian. Biasanya alodinia terjadi jelas di daerah yang masih mempunyai sensasi,
sedangkan nyeri spontan terjadi terutama di daerah yang sensasinya terganggu atau
hilang. Hampir seluruh pasien memiliki sensasi abnormal pada raba halus, suhu, dan
getar pada dermatom yang terkena. Pasien juga sering mengalami disestesia,
hiperalgesia, anestesia dan parestesia yang kontinyu.13
Nyeri seperti ini dapat menimbulkan gangguan tidur, depresi, anoreksia,
penurunan berat badan, kelelahan kronis dan mengganggu aktivitas sehari-hari seperti
berpakaian, mandi, belanja, memasak, pekerjaan rumah dan dalam melakukan
perjalanan. Diagnosis NPH merupakan diagnosis klinis. Adanya riwayat HZ diikuti
nyeri yang menetap dikaitkan dengan dermatom yang terkena atau daerah yang
berdekatan merupakan ciri khas NPH . Namun pada beberapa kasus tidak terdapat

5
riwayat erupsi HZ. Pada kasus seperti ini diagnosis definitif berdasarkan pemeriksaan
serologik serial yang kadang-kadang dapat dimungkinkan praktik klinis. Uji
diagnostik ini berguna dalam penelitian yang dapat membantu dalam penetapan
protokol terapi. Uji diagnostik ini meliputi uji sensoris kuantitatif, biopsi kulit dan uji
konduksi saraf.13

2.1.5 Modalitas Terapi untuk Neuralgia Paska Herpetika


1. Antikonvulsan
Sejak 1960-an obat antiepilepsi juga dikenal sebagai antikonvulsan telah digunakan
dalam manajemen nyeri, meskipun penggunaannya terutama terbatas pada nyeri
neuropatik. Antikonvulsan seperti gabapentin dan pregabalin direkomendasikan dan
disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) sebagai lini pertama pengobatan
untuk PHN
1) Gabapentin
Gabapentin secara struktural terkait dengan neurotransmitter GABA. Kerjanya
dengan mengikat ke situs α2β voltage-gated calcium channel, memodulasi masuknya
kalsium dan dengan demikian mengakibatkan berkurangnya pelepasan
neurotransmitter rangsang. Gabapentin dimulai pada 300 mg setiap hari dan dititrasi
perlahan hingga 1800 mg setiap hari sesuai kebutuhan untuk menghilangkan rasa
sakit. Terlepas dari kemanjurannya, gabapentin memiliki beberapa keterbatasan. Ini
membutuhkan dosis harian yang sering karena waktu paruh yang singkat (5-7 jam)
yang mengakibatkan kepatuhan pasien yang rendah. Dibutuhkan periode titrasi
panjang untuk mencapai dosis terapeutik dan memiliki waktu penyerapan terbatas.
Dua jenis formulasi extended-release gabapentin dikembangkan untuk meningkatkan
kemanjuran, keamanan, dan tolerabilitas terapi PHN, dan untuk mengatasi periode
titrasi yang lama.
Gastroretentive gabapentin memiliki sistem pengiriman obat berbasis polimer
dan ketersediaan hayati meningkat dengan makanan. Obat ini mengembang di
lambung ketika bersentuhan dengan lambung dan ditahan di lambung, perlahan-

6
lahan melepaskan obat selama lebih dari 10 jam, memungkinkan waktu penyerapan
lebih banyak Formulasi dosis sekali sehari ini sesuai untuk pasien, dan dosis
maksimum yang direkomendasikan 1800 mg dapat dicapai dalam waktu 2 minggu.
Mulai 300 mg dengan makan malam, itu dititrasi oleh 300 mg pada hari 2, 3, 7, 11,
dan 15, dan dipertahankan pada 1800 mg setelah hari 15.
Gabapentin enacarbil adalah prodrug alkil karbamat gabapentin, yang
memiliki profil absorpsi yang dinyatakan untuk memberikan bioavailabilitas yang
dapat diprediksi dan paparan dosis proporsional berkelanjutan. Mulai 300 mg setiap
hari selama 3 hari, ditingkatkan menjadi 600 mg dua kali sehari pada hari ke-4 dan
dipertahankan pada 1.200 mg setiap hari sampai penghilang rasa sakit. Efek samping
dari gabapentin gastro-retensi dalam uji klinis dilaporkan 11% untuk pusing dan 5%
untuk mengantuk dan untuk gabapentin enacarbil mereka dilaporkan 22% untuk
pusing dan 27% untuk mengantuk.
2) Pregabalin
Pregabalin telah disetujui oleh FDA untuk pengobatan PHN pada tahun 2005.
Kerjanya mirip dengan gabapentin, mengikat saluran kalsium, memodulasi masuknya
kalsium, dan mempengaruhi pelepasan neurotransmitter. Ini lebih kuat daripada
gabapentin, sehingga digunakan pada dosis yang lebih rendah. Dosis awal adalah 150
mg / hari dalam dosis terbagi, dan dapat ditingkatkan menjadi 300 mg / hari dalam
seminggu tergantung pada keamanan dan tolerabilitas. Dosis maksimum 600 mg /
hari dapat dicapai dalam waktu 2-4 minggu. Efek samping yang dilaporkan untuk
pregabalin dalam uji klinis adalah 26% untuk pusing dan 16% untuk mengantuk .
Sebuah penelitian yang dilakukan di Jepang melaporkan bahwa properti analgesik
pregabalin adalah 6 kali lipat dari gabapentin di PHN dalam hal kemanjuran dalam
konversi dosis. Namun, dosis harus ditingkatkan secara bertahap dan hati-hati untuk
mencegah efek samping terlepas dari pengurangan rasa sakit.14

7
2. Antidepresan
Banyak anti-depresan telah digunakan untuk nyeri neuropatik yang disebabkan oleh
PHN sejak awal 1980-an dengan dosis lebih rendah yang memberikan satu-satunya
analgesia dan bukan pembebasan dari depresi . Antidepresan trisiklik (TCA) seperti
amitriptyline, nortriptyline, dan desipramine, telah dipelajari dan biasa digunakan
sebagai pengobatan off-label untuk pasien dengan neuralgia pasca herpetika,
walaupun tidak disetujui oleh FDA.
TCA memberikan analgesia dengan menghambat reuptake serotin dan
norepinefrin neurotransmiter di terminal saraf prasinaps sehingga mengurangi
persepsi sensorik antara batang otak dan sumsum tulang belakang. Mereka juga
bertindak dengan memblokir saluran natrium dan reseptor ad-adrenergik yang
memodulasi jalur nyeri yang menurun. TCA harus dimulai dengan dosis rendah 10-
25 mg pada waktu tidur dan secara bertahap dititrasi setiap 3-7 hari dengan 10-25 mg
sebagaimana ditoleransi oleh pasien hingga dosis maksimum 150 mg setiap hari.
Pengobatan TCA dikurangi secara bertahap pada minggu ke 6 sampai 8 dengan dosis
maksimum yang dapat ditoleransi 1-2 minggu.
Meskipun TCA telah membuktikan kemanjurannya dalam manajemen PHN,
mereka memiliki onset aksi yang relatif lambat dan sering dikaitkan dengan efek
samping seperti sedasi, mulut kering, penglihatan kabur, sembelit, retensi urin,
perpanjangan interval QT, disfungsi seksual, dan hipotensi postural. ECG awal
disarankan sebelum memulai pengobatan terutama untuk pasien usia lanjut dan bagi
mereka yang memiliki riwayat penyakit jantung atau hipokalemia. Perhatian harus
diambil ketika meresepkan TCA untuk pasien yang berisiko bunuh diri dan overdosis
karena risiko disritmia jantung fatal dan sindrom serotonin. Amitriptyline adalah
TCA yang paling banyak diresepkan dan dipelajari untuk pengobatan PHN tetapi
ditoleransi dengan buruk oleh beberapa karena efek antikolinergik yang jauh lebih
tinggi. Nortriptyline dan desipramine lebih baik ditoleransi dengan kemanjuran yang
lebih besar daripada amitriptyline seperti yang ditunjukkan oleh uji klinis dan bukti.15

8
3. Lidocain
Lidocain adalah anestesi lokal dan dapat memberikan analgesia permukaan saat
dioleskan. Untuk memfasilitasi transfer di seluruh kulit yang tidak terluka, lidocaine
diformulasikan sebagai plester untuk pengobatan nyeri kronis seperti herpetika paska
neuralgia. Plester obat adalah perekat hidrogel 10 cm × 14 cm yang mengandung 700
mg, 5% lidokain yang melekat pada dukungan poliester bukan tenunan. Plester
diberikan sekali sehari pada kulit yang tidak rusak selama 12 jam dengan interval
bebas plester 12 jam. Total tiga plester dapat digunakan bersamaan tergantung pada
ukuran area yang menyakitkan. 16
Plester lidokain hidrogel memberikan sensasi pendinginan langsung dan
bertindak sebagai penghalang mekanis. Secara farmakologis, ia bekerja dengan cara
menghambat sebagian saluran kalsium tegangan-gated sehingga menstabilkan potensi
membran neuron pada serat Aβ dan C yang mengakibatkan berkurangnya
pengeluaran aktivitas ektopik pada kerusakan reseptor aferen nyeri. Setelah aplikasi
plester, lidokain dilepaskan terus menerus memberikan analgesia. Hanya 3% dari
lidokain mencapai sirkulasi sistemik, yang jauh di bawah konsentrasi toksik pada
individu dengan fungsi jantung, ginjal, dan hati yang sehat. Hati secara ekstensif
memetabolisme lidokain dan diekskresikan oleh ginjal kurang dari 10%
diekskresikan tidak berubah. Pada orang sehat, waktu paruh eliminasi lidokain adalah
7,6 jam.
Efek samping yang diamati setelah perawatan plester lidokain hanyalah reaksi
kulit lokal yang digambarkan sebagai pruritus, eritema, ruam, sensasi terbakar, dan
edema. 5% lidokain obat ditoleransi dengan baik oleh individu dari segala usia
dengan efek samping minimal. Sebuah uji klinis menunjukkan bahwa 5% lidokain
lebih dapat ditoleransi daripada pengobatan sistemik dengan pregabalin.17

4. Capsaicin
Capsaicin adalah bahan iritan yang ditemukan dalam cabai panas dari genus
Capsicum. Ini adalah agonis selektif saluran TRPV1 yang terletak di serabut saraf

9
nosiseptor kulit. Paparan capsaicin mengaktifkan TRPV1 yang menyebabkan
masuknya kalsium dan juga menghambat transpor rantai-elektron yang
mengakibatkan hilangnya integritas seluler dan defungsionalisasi serabut saraf
nosiseptor untuk periode yang lama. 18
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa formulasi capsaicin dosis rendah
(0,025 hingga 0,075%) hanya dapat memberikan pereda nyeri sedang dan
membutuhkan beberapa aplikasi dalam sehari. Patch transdermal capsaicin 8%
konsentrasi tinggi diperkenalkan pada tahun 2009 yang hanya membutuhkan satu
aplikasi tunggal untuk pengobatan nyeri neuropatik. Itu disetujui oleh FDA untuk
perawatan neuralgia pasca herpetika dan harus diterapkan oleh profesional terlatih di
pusat perawatan kesehatan.
Sebuah tinjauan Cochrane 2017 melaporkan bahwa capsaicin topikal
konsentrasi tinggi terbukti lebih efisien daripada konsentrasi rendah dalam mencapai
tingkat rasa sakit yang sangat baik. Patch capsaicin berukuran 14 × 9 × 20 cm yang
mengandung 8% capsaicin (640 mcg / cm2) dan total 179 mg capsaicin dalam satu
patch tunggal. Tambalan itu digunakan sebagai satu aplikasi pada daerah sakit yang
tidak terluka, dan dibiarkan di tempat selama 60 m. Satu tambalan dapat memberikan
penghilang rasa sakit hingga 3 bulan, dan pengobatan dapat diulang setelah 90 hari
jika rasa sakit berlanjut atau kembali.
Efek yang merugikan seperti aplikasi pembakaran situs, eritema, nyeri,
kekeringan, edema, dan pruritus diperhatikan. Kulit biasanya diobati dengan
analgesik topikal (lidokain 4%) untuk mengatasi sensasi terbakar awal yang dirasakan
pada aplikasi patch capsaicin. Penyerapan capsaicin secara sistemik dari tambalan
sangat rendah. Lapisan epidermis atau kulit menyerap hanya 1% dari capsaicin dalam
60 menit aplikasi. Paparan capsaicin sebanding dengan area perawatan dan durasi
pengobatan. Capsaicin yang diserap secara sistemik dimetabolisme oleh enzim
sitokrom P450 yang ada di hati, sementara kulit manusia memainkan peran kecil
dalam metabolism.19

10
5. Opioid
Meskipun memiliki efek analgesik yang baik, penggunaan opioid untuk mengobati
nyeri neuropatik seperti PHN masih kontroversial karena kekhawatiran tentang
penyalahgunaan, overdosis, ketergantungan, dan kecanduan. Opioid digunakan
sebagai agen lini kedua atau lini ketiga untuk PHN. Beberapa dokter
menggunakannya sebagai terapi tambahan pada dosis yang lebih rendah untuk
memberikan penghilang rasa sakit segera, sementara agen lini pertama sedang
dititrasi untuk mencapai dosis terapeutik mereka.
Opioid memberikan analgesia dengan memodulasi nyeri melalui berbagai
reseptor opioid dari kelas mu, kappa, dan delta yang hadir baik secara terpusat
maupun perifer selama respons inflamasi. Reseptor-reseptor ini digabungkan dengan
protein G penghambatan, ketika diaktifkan, menyebabkan penutupan saluran kalsium
tegangan-gated yang mengarah ke kalium eflux dan hiperpolarisasi, dan menurunkan
produksi siklik adenosin monofosfat siklik. Mekanisme ini menghasilkan
pengurangan rangsangan sel saraf dan transmisi impuls nosiseptif, sehingga
mengubah respons terhadap rasa sakit. Beberapa studi klinis telah menunjukkan
bahwa opioid berguna dalam manajemen nyeri neuropatik, termasuk Neuralgia paska
herpetika.
Beberapa efek samping dari penggunaan opioid termasuk mual, pruritus,
kantuk, konstipasi, dan sedasi. Profilaksis sembelit harus dipertimbangkan ketika
meresepkan opioid, karena itu satu-satunya efek samping jangka panjang. Opioid
harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat penyalahgunaan zat.20

2.2 Low-Level Laser Therapy


2.2.1 Mengenal LLLT
Terapi Laser Tingkat Rendah (LLLT) atau biasa dikenal sebagai Terapi Cahaya
Tingkat Rendah atau Fotobiomodulasi (PBM) adalah terapi cahaya intensitas rendah
dengan efek fotokimianya dan bukan sebagai termal. Cahaya memicu perubahan
biokimia dalam sel, contohnya seperti proses fotosintesis pada tanaman, di mana

11
foton diserap oleh fotoreseptor seluler dan memicu perubahan kimia. Low-level laser
therapy (LLLT) atau fotobiomodulasi merupakan aplikasi laser dengan tujuan
mempercepat perbaikan jaringan, mengurangi inflamasi, dan menghilangkan nyeri,
menggunakan sumber sinar dengan kekuatan rendah.21
Oleh karena itu, penggunaan perawatan Low-level laser therapy (LLLT)
merupakan pendekatan terapi yang layak untuk pengobatan Neuralgia paska
herpetika. Dalam ilmu kesehatan Low-level laser therapy telah secara konsisten
digunakan dalam praktek klinis karena efek anti-inflamasi, analgesik dan anti-
edematous dan kontribusi terhadap perbaikan jaringan. Efek yang disebutkan juga
termasuk percepatan dalam proses sedimentasi tulang dan degranulasi sel mast, serta
mempromosikan peningkatan sirkulasi perifer, vasodilasi dan proliferasi
fibroblastik.22

2.2.2 Sejarah dan Perkembangan LLLT


LLLT ditemukan sekitar 50 tahun yang lalu oleh Endre Mester di Hungaria.
Laser ruby (694 nm) yang ditemukan pada tahun 1960 dan laser HeNe (633 nm) yang
ditemukan pada tahun 1961 merupakan laser berenergi rendah yang pertama
digunakan. Awalnya pada tahun 1967, Endre Mester yang bekerja di Universitas
Semmelweis di Budapest, Hungaria, menyadari bahwa aplikasi laser pada punggung
mencit yang telah dicukur dapat menyebabkan rambut tumbuh kembali lebih cepat.
Dia juga menunjukkan bahwa laser Helium-Neon (HeNe) dapat menstimulasi
penyembuhan luka pada mencit. Mester lalu mengaplikasikan penemuannya untuk
manusia, menggunakan laser untuk terapi pasien dengan ulkus kutaneus kronis.24
LLLT adalah aplikasi cahaya, biasanya laser berdaya rendah atau LED dengan
kisaran daya (10mW-500mW). Cahaya dengan panjang gelombang merah di daerah
inframerah dekat spektrum (660nm-905nm), umumnya digunakan karena panjang
gelombang ini memiliki kemampuan untuk menembus kulit, dan jaringan lunak.
Dalam uji klinis memiliki efek yang baik pada nyeri, peradangan dan perbaikan
jaringan. Kepadatan daya radiasi biasanya antara 5W / cm2 diberikan pada daerah lesi

12
selama 30-60 detik beberapa kali seminggu selama beberapa minggu. Hasilnya adalah
pengurangan peradangan, penghilang rasa sakit dan regenerasi jaringan dipercepat. 25

2.2.3 Mekanisme Kerja LLLT untuk Neuralgia Paska Herpetika


LLLT akan memaparkan sel atau jaringan terhadap energi rendah yaitu sinar merah
atau mendekati infra merah, dan disebut sebagai energi rendah karena penggunaan
cahaya dan densitas energi yang rendah dibandingkan dengan bentuk terapi laser lain
yang digunakan untuk ablasi, memotong dan penggumpalan jaringan secara thermal.
LLLT adalah terapi berbasis cahaya noninvasif, bebas rasa sakit yang menggunakan
kombinasi cahaya merah dan inframerah dalam bentuk laser dan superluminous light-
emitting diodes. Output daya perangkat ini di bawah tingkat laser bedah atau
intensitas tinggi lainnya. Partikel-partikel cahaya foton diserap oleh mitokondria
melalui sitokrom c oksidase dan menghasilkan peningkatan kadar adenosin trifosfat
seluler.26
Dalam kasus nyeri neuropatik, LLLT telah diusulkan untuk memediasi
analgesia dengan melepaskan neurotransmitter lokal seperti serotonin, yang
mempromosikan pelepasan endorfin, sementara secara bersamaan menurunkan kadar
prostaglandin E2 dan bradykinin. Peningkatan sitokin anti-inflamasi, interleukin (IL)
-10, bersama dengan penurunan sitokin pro-inflamasi, tumor necrosis factor-a, dan
IL-1b, memungkinkan untuk resolusi cepat dari proses inflamasi. LLLT telah
didokumentasikan dengan baik untuk merangsang regenerasi jaringan termasuk
angiogenesis, produksi kolagen, regenerasi otot dan saraf, produksi tulang rawan, dan
bahkan pembentukan tulang.27
Pengobatan LLLT terdiri dari penerapan superluminous light-emitting diodes
merah dan inframerah dan probe laser baik untuk ruam secara langsung dan ke akar
saraf tulang belakang yang memasok saraf sensorik ke dermatom regional terkait.
Kami menggunakan Sistem Terapi Laser BioFlex dengan kontak langsung pada
lokasi lesi dan akar saraf yang terlibat — pada asalnya dan sepanjang saraf.
Pendekatan 3 langkah berikut digunakan untuk setiap situs:28

13
 660 nm (merah), GaAlAs, susunan dioda superluminous (SLD), berdenyut (50
Hz, 50% siklus kerja) 10 mW / cm2, 75 cm2, 6 menit
 840 nm (inframerah), GaAlAs, susunan SLD, berdenyut (10 Hz, 60% siklus
kerja), 20 mW / cm2, 75 cm2, 6 menit
 830 nm (inframerah), GaAlAs, dioda laser, 0,1 cm2, gelombang kontinu, 540
mW / cm2, 6 menit
Perawatan dapat memakan waktu 18 hingga 42 menit tergantung pada luasnya
lesi dan dermatom yang terkena. Program pengobatan terdiri dari 3 kali per minggu
selama 3 minggu pertama dan kemudian dikurangi menjadi 2 kali per minggu sampai
pasien tidak menunjukkan gejala. Perawatan bersifat noninvasif, tidak memiliki efek
samping, dan tidak ada interaksi obat. Itu dapat dengan aman diberikan melalui
implan logam dan alat pacu jantung tanpa khawatir.28

2.2.4 Kontraindikasi dan Perhatian Khusus


Konferensi Asosiasi Terapi Laser Amerika Utara pada tahun 2010 mengadakan
pertemuan konsensus tentang keamanan dan kontraindikasi penggunaan Low-level
laser therapy (LLLT) :29,30
I. Mata - Jangan mengarahkan sinar laser ke mata dan semua orang yang hadir harus
mengenakan kacamata keselamatan yang sesuai.
II Kanker - Jangan mengobati di atas lokasi dari karsinoma primer atau metastasis
sekunder yang diketahui kecuali pasien sedang menjalani kemoterapi ketika LLLT
dapat digunakan untuk mengurangi efek samping seperti mucositis. Namun LLLT
dapat dipertimbangkan pada pasien kanker yang sakit parah untuk penyembuhan
paliatif.
III. Kehamilan - Jangan mengobati secara langsung pada janin yang sedang
berkembang.
IV. Epilepsi - Ketahuilah bahwa sinar tampak berdenyut frekuensi rendah (<30Hz)
dapat memicu kejang pada pasien yang peka terhadap fotosensitif dan epilepsi.

14
15

Anda mungkin juga menyukai