Anda di halaman 1dari 12

Nama : Mara Hasayangan

NIM : F1D009039
Mata Kuliah : Sosiologi Politik

Otonomi Daerah Pada Era Reformasi


Latar Belakang

Penerapan pembangunan yang berpola ekonomi rakyat dicerminkan melalui


pemberlakuan otonomi daerah. Pemerintah pusat memberikan wewenang kepada pemerintah
daerah untuk dapat mengatur rumah tangganya sendiri. Pemerintahan daerah diselenggarakan
sebagai sub sistem pemerintahan negara yang dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan
efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Perjalanan otonomi daerah di indonesia sangat menarik
untuk di pelajari dan di bahas lebih dalam terutama ketika perubahan dari masa rezim orde baru
yang sentralitas ke masa reformasi yang akhirnya melahirkan model desentralisasi yang paling
masif di dunia. Membicarakan otonomi daerah sangat kental dengan membahas permasalahan
pembagian kekuasaan secara vertikal dalam suatu negara. Dalam sistem ini, kekuasaan negara
akan terbagi antara ‘pemerintah pusat’ disatu pihak, dan ‘pemerintah daerah’ di lain pihak.
Sistem pembagian kekuasaan dalam rangka penyerahan kewenangan otonomi daerah, antara
daerah yang satu dengan daerah yang lain, tidak akan sama. Ketika pemerintahan berganti dari
masa orde baru ke masa reformasi pemerintah daerah langsung diberikan sebelas kewenangan
wajib yang harus dilaksanakan. Mulai kewenangan bidang pendidikan hingga ketenagakerjaan.

Pemerintahan pusat hanya memegang lima kewenangan pada masa reformasi, yaitu
kewenangan bidang pertahanan dan keamanan, hukum dan peradilan, moneter, agama, dan
hubungan luar negeri. Selebihnya, di luar sebelas kewenangan wajib dan lima kewenangan
pemerintah pusat, itu dibagi habis antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah di daerah berwenang untuk menyelenggarakan
semua urusan yang diserahkan oleh pemerintah pusat, dengan prinsip negara kesatuan artinya
tidak bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah pusat. Tetapi dari beberapa kewenangan
tersebut pemerintah pusat menarik beberapa kewenangan kembali untuk di urusi oleh
pemerintaha pusat, diantaranya kewenangan tentang bidang pertanahan, industri, dan
perdagangan serta sebagian kewenangan bidang kesehatan dan pendidikan. Semua penarikan
kewenangan tersebut diantaranya diawali dengan adanya UU sektoral, Peraturan Pemerintah
(PP), hingga surat edaran menteri. Dan puncak penarikan dari beberapa kewenangan tersebut
ketika beredarnya revisi UU 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU 25/1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Revisi tersebut kemudian melahirkan UU 33/2004
tentang Pemerintah Daerah dan UU 34/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah.
PEMBAHASAN

Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang dari semua urusan yang


menyangkut urusan pemerintahan untuk diserahkan kepada pemerintah tingkat pusat.
Pemerintahan Indonesia telah sejak lama mengunakan sentralisasi sebelum adanya otonomi
daerah atau desentralisasi. Bahkan sudah ada pada zaman kerajaan, pemerintah kolonial, maupun
pada zaman kemerdekaan. Istilah sentralisasi sendiri sering digunakan dalam kaitannya dengan
kontrol terhadap kekuasaan dan lokasi yang berpusat pada satu titik. Sentralisasi dan
desentralisasi sebagai salah satu bentuk sistem politik di Indonesia untuk penyelengaraan negara
adalah persoalan mengenai pembagian sumber daya dan wewenag. Pembahasan masalah ini
sebelum tahun 1980-an hanya terbatas pada perimbangan sumber daya dan wewenang yang ada
pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tujuan dari perimbangan tersebut adalah
pelayanan Negara terhadap masyarakat.

Pada zaman kolonial, Indonesia mengalami sistem politik sentralisasi dibawah


pemerintahan Belanda dan pemerintahan Jepang. Pemerintahan Belanda melakukan sentralisasi
pada saat itu dikarenakan untuk memudahkan pengaturan pemerintahan, karena pemerintah
Belanda menjajah Indonesia bertujuan untuk mengambil sumber daya yang ada di Indonesia.
Akan tetapi selama menjajah Indonesia, Belanda tidak hanya menggunakan sistem politik
sentralisasi tetapi juga desentralisasi. Hal ini terbukti dengan adanya pembentukan Locale Raad
untuk urusan pemerintah daerah; Keuangan daerah dimana daerah mengurus keuangan sendiri
dan dilakukan oleh Raad bagi Gewest; dan Pengawasan daerah yaitu hak menunda atau
membatalkan keputusan daerah berada ditangan Gubernur Jendral. Sedangakan pemerintah
Jepang selama menjajah di Indonesia mengunakan sistem politik sentalisasi dan militeristik. Hal
ini dilakukan Jepang karena pada saat itu Jepang menjajah Indonesia adalah untuk menghadapi
sekutu. Pemerintah Jepang memperkuat tentara dengan mengambil sumber daya dari Indonesia.
Akan tetapi kolonialisme Jepang cukup memberikan dampak positif bagi pemerintahan
Indonesia yaitu denagn dibentuknya organisasi bersenjata dan adanya pengenalan militerisme.
Selain itu pemerintah Jepang juga membentuk Tonari Gumi yang merupakan cikal bakal dari
RT/RW. Tonari Gumi sendiri adalah sisem sel yang terdiri dari 10-20 Kepala Keluarga yang
bertujuan untuk melakukan mobilisasi dan kontrol.
Setelah lebih dari tiga abad dijajah oleh Belanda dan Jepang, bangsa Indonesia
mencapai kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 dimana Sukarno dipilih sebagai presiden
pertama Indonesia. Pada awal kemerdekaan, Indonesia menerapkan sistem politik sentralisasi
dikarenakan sentralisasi bertujuan untuk membangun Nation and Buillding. Hal ini karena sesuai
dengan keadaan bangsa Indonesia pada saat itu, yang mana banyak daerah-daerah yang ingin
melepaskan diri dari Negara Indonesia. Sentralisasi pada tingkat lokal juga terlihat dari beberapa
hal seperti Kepala Daerah sebagai alat pusat dan alat daerah, kekuasaan Kepala Daerah bersifat
tunggal bukan kolegal, Kepala Daerah tidak lagi dipilih tetapi diangkat pemerintah pusat dan
dijadikan sebagai pegawai negara yang tidak dapat ditumbangkan oleh DPRD, keputusan DPR
GR sedapat mungkin diambil melalui jalan mufakat atau voting tabu, DPR GR hanya sebagai
tukang stempel, dan masih banyak lagi kareteristik politik lokal dibawah pengaturan sentralisasi.

Lebih dari dua puluh tahun era orde lama dibawah kekeuasaan Sukarno berkuasa yang
kemudian digantikan oleh rezim Suharto yang lebih dikenal dengan era orde baru. Pada rezim
Suharto, sentralisasi begitu kental dan sangat dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Semua
urusan pemerintahan diserahkan kepada pusat, pemerintah daerah seakan-akan dijadikan sebagai
sapi perah pemerintah pusat. Suharto melakukan sistem politik sentralisasi dikarenakan
keinginan Suharto yang ingin menjadi presiden seumur hidup. Selain itu, sistem sentralisasilah
yang dapat menunjang agar rezim Suharto dapat bertahan lama. Selain sistem politik sentralisasi,
ada pula sistem otoriter yang dijalankan pada saat rezim Suharto. Adapun ciri-ciri dari sistem
politik sentralisasi dan otoriter pada masa rezim Suharto, antara lain: Pembentukan lembaga
represif seperti KOPKAMTIB, OPSUS, BAKIN dsb; depolitisasi masyarakat; Pemerintah daerah
adalah Kepala Daerah dan DPRD.

Melihat hal diatas, dapat disimpulkan bahwa system politik sentralisasi sudah
dijalankan di Indonesia pada zaman penjajahan, bahkan sentralisasi juga sudah digunakan pada
zaman kerajaan sampai pada masa orde baru. Awalnya pemerintah menerapkan sentralisasi
dengan tujuan menjaga kestabilan politik dan ekonomi, menjaga batas kesenjangan agar tidak
terlalu buruk, dan mendorong program secara cepat. Akan tetapi implementasi dari sentralisasi
tidak sesuai dengan tujuan awal yang diharapkan oleh pemerintah, karena sentralisasi justru
merugikan rakyat.
Otonomi daerah pada era reformasi

Era reformasi merupakan awal babak baru dalam pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Sekitar 400 Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota akan
mendapat kebebasan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Otonomi yang sangat luas mulai
dijalankan bagi daerah-daerah yang memang telah siap melakukannya. Dikarenakan yang
menjadi pokok penting dari reformasi adalah dengan diberikanya otonomi khusus untuk setiap
daerah agar tiap-tiap daerah dapat menentukan kebijakanya sendiri. Sehingga tidak terjadi
otonomi yang sentralitas atau terpusat seperti yang terjadi di era orde baru. Hal ini disebabkan
setiap daerah tidak memiliki kebutuhan dan sumberdaya yang sama sehingga apabila pemerintah
pusat yang mengaturnya bisa saja dikatakan tidak adil bagi daerah yang masih dianggap daerah
kecil.

Pemberian otonomi daerah kepada setiap daerah pada era reformasi bertujuan untuk
menjadikan daerah tingkat II sebagai lahan karir yang menarik, sehingga setiap orang akan
berlomba untuk berkarir di daerah. Untuk itu, harus diciptakan suatu kondisi yang memberikan
peluang kepastian dan pengembangan karir yang lebih luas dan memikat serta menjangkau
segenap jajaran dan satuan-satuan kerja. Agar pelaksanaan otonomi daerah benar-benar efektif,
pemerintah telah bertekad membenahi dan memperkuat organisasi di daerah tingkat II. Salah
satu upaya ini adalah disusunnya klasifikasi jabatan berdasarkan kriteria yang objektif antara lain
dengan penghitungan beban kerja. Dengan demikian penghitungan dan penetapan suatu jabatan
termasuk eselonisasi bukan hanya sekedar membedakan keberadaan jabatan itu ada di pusat atau
di daerah.

Dalam hali ini pemerintah pusat hanya bertugas untuk melakukan pengawasan dan
monitoring demi terselenggaranya otonomi daerah yang bertanggung jawab. Landasan ini amat
berbeda dengan azas-azas otonomi dan desentralisasi pada Undang-undang Nomor 22 tahun
1999 dan berbagai Peraturan Pemerintah (PP) yang disusun semata-mata atas desakan pemberi
utang, IMF. Tetapi pemberian otonomi oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pun
harus diketahui batasanya. Pada masa reformasi pemberian keputusan otonomi daerah kepada
pemerintahan daerah tidak berlangsung sebagai mana yang seharusnya. Pada masa reformasi
masih cenderung tidak konsisten dalam pemberian otonomi daerah. Dibuktikan dengan
pencabutanya beberapa kebijakan yang tadinya diberikan kepada pemerintahan daerah. Hal
tersebut karena pada masa reformasi merupakan titik awal dari pelaksanaan kebijakan otonomi
daerah dari sebelumnya masa orde baru yang mengunakan kebijakan sentralitas dimana semua
kebijakan dan keputusan di daerah mengacu dan atas perintah dari pusat bahkan untuk hal kecil
sekalipun.
Dalam masa reformasi sebaliknya. Pemerintahan daerah dapat menentukan kebijakan
bagi daerahnya sendiri meskipun pemerintah pusat masih melakukan pengawasan. Setidaknya
keputusan yang di ambil kecil kemungkinan meleset dari target yang di inginkan oleh
pemerintah daerah tersebut. Karena keputusan yang di ambil oleh pemerintaan daerah dianggap
lebih mengetahui apa yang dibutuhkan pemerintah daerah tersebut, sehingga lebih cenderung
tepat sasaran. Dan lebih cepat untuk mensosialisasikan kebijakan terhadap masyarakat yang
merupakan sasaran dari kebijakan yang di ambil apabila kebijakan tersebut dibuat di tingkat
masarakakat. Selain itu pemerintahan daerah dapat mengatur sendiri anggaran pengeluaran dan
pendapatan daerahnya sendiri, pemerintahan daerah juga dapat mengatur UMR nya sendiri
sesuai dengan keadaan di derahnya.

Peraturan yang mengkaji tentang otonomi daerah

Desentralisasi dan otonomi daerah diatur lewat Undang-undang Nomor 22 tahun 1999,
memang sangat berbeda dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah. Azas-azas otonomi dan desentralisasi dalam Undang-undang Nomor 5
tahun 1974 ditujukan untuk melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh
pelosok NKRI, meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah di daerah
terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat dan untuk
membina kestabilan politik serta kesatuan bangsa. UU No. 5/74, khususnya pasal 18 telah
memberikan peluang pengaturan yang sangat besar pada undang-undang pelaksanaannya.
Pengaturan yang ringkas dan luwes itu mempunyai arti yang sangat positif, terutama karena
memungkinkan pengaturan pembagian wilayah dan susunan pemerintahan di daerah yang
dinamis dan akomodatif terhadap proses kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Peraturan yang dikeluarkan pemerintah tentang kebijakan otonomi daerah selain itu
adalah pasal 7 UU No. 22 . Beberapa perubahan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22
tahun 1999 lebih banyak bersifat mendasar, sehingga memperlihatkan paradigma baru tentang
pemerintahan daerah. Perubahan yang mendasar dalam UU ini dimaksud menyangkut asas-asas
penyelenggaraan pemerintahan daerah; pembagian wilayah; kewenangan daerah otonom; prinsip
otonomi daerah; susunan pemerintahan daerah; mekanisme pencalonan, pemilihan,
pengangkatan, dan pertanggungjawaban kepala daerah; mekanisme pengawasan; prosedur
penyusunan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah; serta penyatuan pengaturan tentang
Pemerintahan Desa dan Kelurahan dengan pemerintahan daerah. Disebutkan dalam pasal ini
kewenangan daerah mencakup kewenangan seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan
dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama,
serta kewenangan bidang lain. Sementara pasal berikutnya menjelaskan, kewenangan bidang lain
tersebut meliputi perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro,
dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara,
pendayagunaan sumberdaya alam serta teknologi tinggi yang strategis, koservasi, dan
standardisasi nasional.

Bila dikaji lebih lanjtut kebijakan tersebut dapat membuat propinsi dan kabupaten atau
kota akan menjadi daerah otonom yang sederajat. Pada saat yang sama, titik berat
pelaksanaannya diletakkan di kabupaten/kota, karena keduanya lebih dekat ke masyarakat. Ini,
lebih karena pertimbangan penekanan pada pelayanan publik. Hal yang tidak pernah dilakukan
sepanjang sejarah Orde Baru. Karena pada orde baru pemerintah daerah tidak bisa menentukan
kebijakannya sendiri, semuanya ditentukan oleh pemerintah pusat, sehingga kadang kebijakan
yang diambil tidak sesuai dengan yang dibutuhkan daerah tersebut, karena mungkin pemerintah
pusat tidak mengetahui apa yang dibutuhkan daerah tersebut, semua dikarenakan kebutuhan tiap
daerah berbeda. Dengan kata lain pemerintahan kabupaten dapat lebih mengerti apa yang
daerahnya butuhkan. Sehingga pembangunan daerah dan pembangunan ekonomi dalam tingkat
daerah sulit terwujud. Karena pemerintah pusat pada masa orde baru khususnya sangat tertutup
dan tidak adil.

Diberikanya kewenangan otonomi daerah kepada suatu daerah dalam negara kita , tidak
dapat diartikan adanya kebebasan penuh dari daerah untuk menjalankan hak dan fungsi
otonominya menurut kehendaknya tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional secara
keseluruhan, walaupun tidak tertutup kemungkinan untuk memberikan otonomi yang luas
kepada daerah. Dalam hal ini pemberian kewenangan kepada daerah bukan untuk
menggemukkan birokrasi pemerintahan daerah dan bukan pula menjadikan birokrasi daerah
sebagai pusat kekuasaan. Melainkan memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk
memfasilitasi peran serta, prakarsa, aspirasi, dan pemberdayaan masyarakat. Alasan ini pula
yang sekaligus menjadi dasar dari munculnya UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai
pengganti UU 5/1974. Sebagai paketnya kemudian muncul UU 25/1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sekaligus sebagai pengganti UU 32/1956.

Dampak positif dan negatif dari pemberian otonomi daerah

Dampak Positif

Dampak positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah maka pemerintah
daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas lokal yang ada di
masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi
dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan
dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari
pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan
daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata. Dengan melakukan
otonomi daerah maka kebijakan-kebijakan pemerintah akan lebih tepat sasaran, hal tersebut
dikarenakan pemerintah daerah cenderung lebih mengerti keadaan dan situasi daerahnya, serta
potensi-potensi yang ada di daerahnya dari pada pemerintah pusat. Contoh di Maluku dan Papua
program beras miskin yang dicanangkan pemerintah pusat tidak begitu efektif, hal tersebut
karena sebagian penduduk disana tidak bisa menkonsumsi beras, mereka biasa menkonsumsi
sagu, maka pemeritah disana hanya mempergunakan dana beras meskin tersebut untuk
membagikan sayur, umbi, dan makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat. Selain itu, dengan
system otonomi daerah pemerintah akan lebih cepat mengambil kebijakan-kebijakan yang
dianggap perlu saat itu, tanpa harus melewati prosedur di tingkat pusat.

Dampak Negatif
Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagi oknum-oknum di
pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugika negara dan rakyat seperti
korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu terkadang ada kebijakan-kebijakan daerah yang tidak
sesuai dengan konstitusi negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan
daerah tetangganya, atau bahkan daerah dengan negara, seperti contoh pelaksanaan Undang-
undang Anti Pornografi di tingkat daerah. Hal tersebut dikarenakan dengan system otonomi
daerah maka pemerintah pusat akan lebih susah mengawasi jalannya pemerintahan di daerah,
selain itu karena memang dengan system otonomi daerah membuat peranan pemeritah pusat
tidak begitu berarti.

Selain itu, di tengah maraknya tuntutan agar pemerintah daerah diberikan hak yang
luas, muncul kekhawatiran dan kecemasan seputar munculnya gejala dan potensi disintegrasi
bangsa. Kecemasan ini masuk akal, mengingat sampai hari ini kecenderungan pecahnya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terus menguat dan masih menggema di sejumlah daerah.
Kebijakan desentralisasi melalui UU 22/1999 sebetulnya bukan hanya upaya koreksi total dari
kebijakan lama yang sentralistik, namun yang lebih penting, sebagai langkah untuk meredam
gejolak dan semangat pemisahan dari NKRI.

Ternyata kekhawatiran yang ditakutkan itu terjadi, dapat dibuktikan dampak yang
terjadi dari pemberian otonomi daerah adalah dengan terlepasnya timor timur dari negara kita.
Disana dapat kita lihat dampak dari kesalahan mengartikan kebebasan daerah untuk menentukan
kebijakannya. Sehingga diartikan dengan kebebasan sepenuhnya dari suatu daerah. Dengan
adanya kebikajan otonomi dalam era reformasi telah mengakibatkan dibebarapa daerah semakin
semangat untuk meimasahkan diri dari NKRI. Semua itu terprakarsai dengan khasus timor timur
tersebut. Problemnya, sebagai derivasi dari persoalan krusial di atas adalah sejauh mana
keleluasaan otonomi dapat diberikan kepada pemerintah daerah, agar daerah mampu berfungsi
otonom, mandiri, berdasarkan asas demokrasi dan kedaulatan rakyat tanpa mengganggu stabilitas
dan integrasi bangsa. Idealnya kemandirian daerah otonom yang kuat justru diharapkan menjadi
penyangga bagi tetap terjaganya eksistensi negara. Kebijaksanaan otonomi daerah sebenarnya
adalah positif dan realistis positif dalam artian bahwa pemerintah pusat mempunyai pandangan
yang sangat positif bagi penyelenggaraan otonomi daerah, tidak disertai dengan keuntungan dan
kekhawatiran akan kemungkinan-kemungkinan yang negatif. Kekhawatiran dari pemerintah
pusat akan terjadinya upaya memisahkan diri dari daerah apabila daerah diberi keleluasaan
terlalu jauh. Kecemasan ini sering tumbuh menjadi kecurigaan berlebihan dari pusat yang
akhirnya akan memunculkan konflik kepentingan yang berlarut-laut.

PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka didapat kesimpulan sebagai berikut:

1. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurusi sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundangundangan.
2. Wewenang pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah pemerintah
daerah rela melaksanakan sistem pemerintahanya sesuai dengan undang-undang
pemerintah pusat.
3. Dampak positif otonomi daerah adalah memunculkan kesempatan identitas lokal yang
ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan
respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di
daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak dari pada yang didapatkan
melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah
lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan
dan juga pariwisata. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah juga akan lebih tepat sasaran
dan tidak membutuhkan waktu yang lama sehingga akan lebih efisien.
4. Dampak negatif dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan bagi oknum-oknum
di tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran, munculnya pertentangan antara
pemerintah daerah dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan antara daerah yang
pendapatannya tinggi dangan daerah yang masih berkembang.

Saran

Sejak berlakunya Undang-undang No. 22/1999 tentang otonomi daerah membuat


pemerintahan Indonesia dapat lebih terbuka dan efektif setelah masa orde baru. Otonomi daerah
juga mempunyai dampak positif dan negatif. Dengan adanya dampak negatif dari otonomi
daerah, sebaiknya pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat menjahaui dampak tersebut dan
lebih meningkatkan dampak positif.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim 1. Otonomi Daerah Pada Era Reformasi dalam situs www.wikipedia.com, diakses
tanggal 11 April 2011.
Anonim 2. Dampak Positif dan Negatif dari Otonomi Daerah dalam situs www.wikipedia.com,
diakses tanggal 11 April 2011.
Budiarjo, Miriam. 1989. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan,
Strategi dan Peluang. Jakarta: Erlangga.
Syaukani, H. dkk. 2002. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Widjaja, Haw. 2007. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia dalam Rangka Sosialisasi UU no.
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
___________. 2001. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai