Anda di halaman 1dari 16

KONFLIK KEWENANGAN ANTARA PENGADILAN NEGERI

DAN PENGADILAN AGAMA


DALAM MENANGAI PERKARA SENGKETA WARIS ORANG ISLAM

Ilham Thohari*
Abstract
This article aims at discussing about a lawsuit of authority between a state court and a religion court related to
authorities to receive, investigate, and decide a lawsuit of heir among Muslim. In this article, it is explained that
receiving, investigating, and deciding a lawsuit of heir among Muslim are not absolutely the authorities of the
religion court, but the state court also has these authorities. It is based on (1) The Law number 2, 1986 jo Stbl.
1937 number 116, the article 50 which states that the state court has duty and authority to investigate, decide,
and solve criminal and civil cases in the first level, and (2) the explanation of The Law number 3, 2006, article 49
about the religion court which states that the meaning of among Muslim is included people or companies which
voluntarily follow Islamic law. Therefore, it can be conclude that the religion court has authorities to receive,
investigate, and decide a lawsuit of heir among Muslim if they voluntarily follow the Islamic law, and the state
court has authorities to receive, investigate, and decide a lawsuit of heir among Muslim if they do not voluntarily
follow the Islamic law.
Keywords: Konflik Kewenangan, Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Perkara Sengketa Waris Orang Islam

A. Pendahuluan disebutkan bahwa bagi umat Islam lembaga


Sebagaimana kita ketahui bahwa bangsa penyelesai perkara waris adalah Pengadilan
Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, Agama sehingga jika tejadi sengketa waris tidak
budaya dan adat-istiadat. Keragaman budaya ada pilihan bagi mereka kecuali diselesaikan di
dan adat-istiadat melahirkan keragaman dalam Pengadilan Agama. Namun demikian, beberapa
bidang hukum tidak terkecuali hukum waris, perkara sengketa waris umat Islam diterima,
keragaman hukum waris berakibat pada adanya diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan
beberapa lembaga peradilan yang memiliki Negeri. Inilah yang kemudian menyebabkan
kewenangan menyelesaikan sengketa waris. terjadi konflik hukum antara Pengadilan
Lembaga peradilan dimaksud adalah Peradilan Agama dan Pengadilan Negeri.
Umum dan Peradilan Agama yang masing- Meskipun kewenangan Pengadilan Agama
masing peradilan memiliki kewenangan yang sudah dipertegas dengan adanya amandemen
diberikan oleh undang-undang. Pengadilan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang
Negeri sebagai salah satu pelaksana kekuasaan Pengadilan Agama. Akan tetapi, benarkah
kehakiman yang berada dalam lingkup badan bahwa lembaga Peradilan Umum tidak lagi
peradilan umum mempunyai kewenangan memiliki kewenangan untuk menerima,
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus memeriksa, dan memutus perkara sengketa
perkara pidana dan perdata di tingkat pertama.1 waris orang yang beragama Islam. Tulisan ini
Sementara itu kewenangan Pengadilan dimaksudkan untuk menjelaskan dasar-dasar
Agama didasarkan pada Undang-Undang Nomor hukum yang dapat digunakan oleh Peradilan
7 tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 tahun Umum untuk menerima, memeriksa, dan
2006 tentang Peradilan Agama. Sekalipun bagi memutus perkara sengketa waris masyarakat
orang Islam berdasarkan Undang-Undang muslim pasca amandemen Undang-Undang
No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama,
dan sekaligus memaparkan kelemahan dalam
* Dosen STAIN Kediri Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang
1
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tersebut
menentukan bahwa Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang
Peradilan Agama.
memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara pidana
dan perkara perdata di tingkat pertama.

Ilham Thohari, Konflik Kewenangan 173


B. Politik Hukum Pemerintah Belanda Hukum kewarisan Islam secara legal formal
Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran berjalan seiring dengan sejarah perkembangan
Belanda di Indonesia di satu pihak ia hadir lembaga peradilan yang berlaku di Indonesia.
sebagai penjajah, tetapi Belanda juga membawa Lembaga yang melaksanakan fungsi peradilan
perubahan bagi bangsa Indonesia di pihak agama sudah ada sejak kerajaan-kerajaan Islam
yang lain. Dalam bidang hukum misalnya, seperti Kerajaan Aceh, Kerajan Pasai, Paga-
Belanda telah mewariskan berbagai macam ruyung, Demak, Mataram, Jambi dan sebagainya.
aturan-aturan hukum, baik dalam hukum yang Meskipun pada waktu itu secara tertulis yuridis
berkenaan dengan hubungan antara masya- Peradilan Agama belum ada, namun secara
rakat dengan negara maupun hukum yang praktis penyelesaian yang diberikan secara
mengatur hubungan antara masyarakat dengan taḥkim dari masyarakat Muslim kepada pemuka
masyarakat. Yang pertama disebut disebut agama di daerahnya masing-masing telah dapat
sebagai hukum publik dan yang kedua disebut dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.4
dengan hukum privat. Dasar untuk memutus suatu perkara
Bangsa Indonesia sendiri mengalami biasanya dikaitkan dengan al-Qurān dan al-
kemajuan intelektual dalam bidang hukum Ḥadith serta kitab-kitab fiqh yang telah disusun
utamanya setelah pemerintah Hindia Belanda oleh para fuqaha (orang yang ahli dalam ilmu
memberi kesempatan kepada orang-orang fiqh). Di samping itu juga didasarkan kepada
pribumi untuk mengikuti kuliah di Universitas hukum adat sebagai hukum yang hidup (living
Leiden Belanda. Pendidikan hukum yang law) yang tidak bertentangan dengan hukum
diperoleh di Leiden telah membuka cakrawala Islam. Istilah hukum adat yang dijadikan
pengetahuan hukum untuk kemudian pada sebagai sumber hukum ini dalam Islam disebut
tahun 1890-an menemukan momentumnya ‘urf.5
untuk membentuk hukum nasionanl Indonesia.2 Kedatangan VOC (Vereenigde Oost Indische
Sebagaimana diketahui bahwa bangsa Compagnie atau Gabungan Perusahaan Dagang
Indonesia adalah bangsa yang multikultural Belanda Hindia Timur) ke Indonesia yang tu-
dan majemuk yang terdiri dari berbagai macam juan utamanya hanya untuk berdagang namun
suku, ras dan agama. Terkait agama, Islam pada perkembangannya ternyata juga ingin
adalah agama yang paling banyak dianut oleh menguasai kepulauan Nusantara sehingga
bangsa Indonesia. Sebagai agama—seperti VOC mempunyai 2 (dua) fungsi, yaitu sebagai
agama-agama lain—Islam mengajarkan atur- pedagang dan sebagai badan pemerintahan.
an-aturan hukum yang harus ditaati oleh Dalam rangka melaksanakan fungsi tersebut,
pemeluknya, oleh karena itu, hukum Islam me- maka VOC mempergunakan hukum Belanda
nempati posisi sentral dan menjadi inti serta untuk daerah-daerah yang telah dikuasainya,
jantung dari ajaran Islam itu sendiri. Karena
itu wajar jika Islam seringkali disebut sebagai merumuskan dan menformulasikan teori-teori yang dijadikan
agama hukum (a religion of law).3 pijakan dalam kaitannya dengan pemikiran dan implementasi
hukum Islam di Indonesia. Di antara teori yang amat dikenal
2
Terbukanya pintu pendidikan ke arah ilmu dan budaya luas adalah Receptio in Complexu oleh L. W. C. van den Berg dan
Eropa untuk anak-anak kaum elit pribumi, maka membukakan Receptie oleh Christian Snouck Hurgronje. Akh. Minhaji dalam
kesempatan untuk mereka guna memasuki posisi-posisi yang Abdul Ghofur Anshari, Filsafat Hukum Kewarisan Islam: Konsep
relatif tinggi dalam organ-organ pemerintah dan peradilan di Bilateral Hazairin, (Yogyakarta: UII Press: 2010), hlm. viii.
Hindia Belanda. Sutandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial 4
Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan
ke Hukum Nasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya), hlm. 4.
11. 5
Sesuai dengan pengertian ini, maka di dalam kaidah
3
Menyadari pentingnya posisi hukum Islam tersebut, maka umum dirumuskan: “al-‘Adah Muḥakkamah” yang berarti bahwa
wajar jika Pemerintah Kolonial Belanda ketika itu memberikan adat itu, baik yang bersifat umum ataupun yang bersifat khusus
perhatian khusus terhadap pemikiran dan implementasi hukum bisa dijadikan dasar hukum untuk menetapkan ketentuan
Islam di daerah jajahannya. Salah satu kebijakan sentral yang hukum syariat Islam. Sobhi Mahassani, Filsafat Hukum Dalam
diambil oleh Pemerintah Kolonial Belanda waktu itu adalah Islam, (Bandung: PT al-Ma’arif, 1976), hlm. 261

174 Vol. 9 No. 2 Juli 2015 | 173-188


dan tentunya secara berangsur-angsur VOC sama artinya memberi peluang hidup terhadap
juga membentuk badan-badan peradilan. hukum bangsa Indonesia.10
Walaupun badan-badan peradilan sudah Apa yang terjadi dalam Peradilan Agama
dibentuk tentunya tidak dapat berfungsi efek- ini didukung dan dipengaruhi oleh teori yang
tif, sebab ketika itu hukum yang di bawah oleh berkembang pada waktu itu, yaitu receptio
VOC tersebut tidak sesuai dengan hukum yang in complexu yang dikemukakan oleh Van den
hidup dan diikuti oleh masyarakat. Dalam per- Berg dan teori receptie yang dikemukakan oleh
kembangannya, VOC meminta kepada D. W. Snouck Hurgronje dan Van Vollenhaven. Teori
Freijer untuk menyusun compendium atau receptie yang dicetuskan oleh Christian Snouck
ringkasan yang memuat hukum perkawinan Hurgronje (1857-1936) seorang penasehat Pe-
dan hukum kewarisan Islam. Selanjutnya kitab merintah Hindia Belanda urusan Islam dan Bumi
hukum tersebut disepakati oleh VOC untuk Putra, adalah upaya menentang teori receptio in
dipergunakan pada lembaga-lembaga peradilan complexu, yang dikemukakan pendahulunya,
untuk menyelesaikan perkara-perkara yang Van den Berg. Berdasarkan penyelidikannya
terjadi di kalangan umat Islam.6 terhadap orang-orang Aceh dan Goya di Banda
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda Aceh, ia berpendapat bahwa yang berlaku
atau tepatnya tahun 1882 keluarlah ordonansi bagi umat Islam di kedua daerah itu adalah
Stbl. 1882-152 tentang Peradilan Agama di Jawa bukan hukum Islam, tetapi hukum adat. Pada
dan Madura.7 Khusus bagi Kalimantan Selatan hukum adat yang berlaku telah dipengaruhi
berdasarkan Staatsblad 1937 Nomor 638 dan oleh hukum Islam, tetapi pengaruh itu baru
Nomor 639 dibentuk Peradilan Tingkat Pertama mempunyai kekuatan hukum jika benar-benar
dan Kerapatan Qadhi Besar untuk tingkat diterima oleh hukum adat.11 Dengan demikian,
banding.8 Lembaga Peradilan Agama dengan hukum yang berlaku di Indonesia tidak
Stbl. 1882-152 diistilahkan oleh Pemerintah didasarkan pada ajaran agama (Isalam) tetapi
Kolonial Belanda sebagai “priesterraad” yang lebih pada hukum adat setempat.12
artinya peradilan pendeta. Namun demikian Dengan munculnya teori receptie tersebut
dalam Stbl. 1882-152 tersebut tidak ditentukan menyebabkan Peradilan Agama dikurangi ke-
wewenang Peradilan Agama, sehingga kewe-
nangannya tetap berlaku sebagaimana yang 10
Selain itu orang-orang Belanda baik di negerinya
telah ada sebelumnya.9 Pada waktu itu ke- sendiri maupun di Hindia Belanda berharap segera dapat
wenangan Peradilan Agama terkadang menghilangkan pengaruh Hukum Islam dari sebagian besar
berbenturan dengan Pengadilan Negeri karena orang Indonesia dengan berbagai cara di antaranya melalui
proses kristenisasi. Hal ini didasarkan pada anggapan tentang
sengaja dibuat tidak jelas oleh pemerintah superioritas agama Kristen terhadap agama Islam dan sebagian
Belanda. Sebab pemerintah Hindia Belanda lagi berdasarkan kepercayaan bahwa sifat sinkretik agama
sejak semula takut dan hawatir terhadap Islam di pedesaan Jawa akan memudahkan orang Islam
Hukum Islam. Oleh karenanya, menurut me- Indonesia dikristenkan jika dibandingkan dengan mereka yang
berada di nagara-negara muslim lainnya.lihat juga Daud Ali,
reka, memberikan hak hidup bagi Hukum Islam Asas-Asas Hukum Islam (Hukum Islam I) Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1991),
hlm. 215.
6
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris 11
Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam, hlm. 243.
Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 7. 12
Penelitian yang dilakukan oleh Snouck adalah dalam
7
Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: rangka menjaga agar adat di Aceh dan Sumatera tetap hidup
PT Raja Grafindo, 2003), hlm. 1. sebagaimana adat itu telah lahir dari keadaan masyarakat dan
8
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris berkembang bersamanya. Selain itu, juga menjaga dari uasaha
Islam, hlm. 10. Lihat juga penjelasan atas Undang-Undang pihak Islam yang keras untuk menghapuskannya sekaligus
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan mengubah bentuknya, yang pada akhirnya akan merusak dan
Agama. merugikan masyarakat tersebut. Karena itu patut mendapat
9
Dikeluarkannya aturan Nomor 152 tahun 1882 adalah perlindungan dan bantuan dari undang-undang Pemerintah
merupakan respons Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Belanda. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck
teori Receptio in Complexu oleh Ven den Berg. Hurgronje, (Jakarta: INIS), hlm. 24-25.

Ilham Thohari, Konflik Kewenangan 175


wenangannya, misalnya Pengadilan Agama Peraturan Pemerintah tersebut memberi
tidak lagi berwenang menerima, memeriksa pengertian bahwa kewenangan perkara wa-
dan memutus sengketa perkara di bidang ke- ris dimiliki oleh Pengadilan Agama di luar
warisan umat Islam. Perubahan kewenangan Jawa-Madura. Namun hal tersebut telah
ini didasarkan pada perubahan Pasal 134 ayat menimbulkan persoalan sehubungan dengan
(2) Indische Staatsregeling (IS) pada tahun 1937 masalah wewenang untuk mengadili, karena
dibatasi mulai Pasal 2a ordonansi peradilan sengketa mengenai harta waris adalah
di Jawa-Madura Staatsblad 1937 Nomor 116 juga wewenang Pengadilan Negeri untuk
yaitu hanya berwenang mengenai masalah mengadilinya.16 Oleh karena itu dalam masalah
perkawinan, sedangkan masalah kewarisan kewarisan, Pengadilan Agama pada waktu itu
dicabut dan diserahkan kepada Peradilan hanya bisa memberi fatwa saja, yang disebut
Umum.13 Selain itu putusan yang dikeluarkan dengan fatwa waris.17
oleh para hakim Pengadilan Agama ternyata Perkara waris tersebut telah mendapat per-
juga tidak secara langsung dilaksanakan, me- hatian setelah diberlakukan Undang-Undang
lainkan memerlukan adanya fiat eksekusi Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Aga-
(executor verklaring) dari Ketua Pengadilan ma. Dalam Undang-Undang tersebut Peradilan
Negeri (landraad).14 Agama berwenang menangani sengketa
Pada kenyataannya sisa-sisa peninggalan perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf
Belanda di bidang Peradilan Agama masih ada dan sadaqah. Namun demikian penyelesaian
di zaman awal kemerdekaan, khususnya yang sengketa waris bagi umat Islam masih
terkait dengan diperlukannya fiat eksekusi diberlakukan proses pemilihan hukum (hak
(executor verklaring) dari Ketua Pengadilan opsi), yaitu hak untuk memilih sisten hukum
Negeri terhadap putusan yang dikeluarkan yang dikehendaki para pihak yang berperkara
oleh para hakim Pengadilan Agama sehingga sebagai acuan hukum yang akan diterapkan
dapat dinilai bahwa kedudukan Peradilan dalam penyelesaian suatu perkara.18 Dalam hal
Agama pada waktu itu adalah subordinatif ini penyelesaian perkara waris dapat dipilih
terhadap Peradilan Umum atau Peradilan untuk diselesaikan di Pengadilan Umum atau di
Negeri, sehingga keberadaannya tidak memiliki Pengadilan Agama.19
kemandirian dalam hal melaksanakan fungsi
dan peran yang dimilikinya.
Sementara itu, Peradilan di luar daerah sejak 1882 Peradilan Agama secara berangsur dikurangi arti
Jawa, Madura, dan sebagian Kalimantan Se- dan peranannya dan puncaknya terjadi pada bulan April
1937 ketika kewenangannya Peradilan agama dikurangi lagi.
latan masih berjalan seperti biasa sampai Sehingga praktis Peradilan agama hanya berwenang menangani
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) perkara-perkara sengketa nilak, talak, dan rujuk, yang berlaku
Tahun 1957 setelah Indonesia merdeka yaitu di Jawa, Madura, dan sebagian Kalimantan Selatan. Lihat
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), hlm. 51.
1957. Pada Peraturan Pemerintah tersebut 16
Kewenangan Pengadilan Negeri berdasar pada Undang-
mengatur kewenangan Peradilan Agama se- Undang Nomor 2 Tahun 1986 jo. Stbl. 1937 No. 116. Pasal 50
cara legislatif meliputi hukum perkawinan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tersebut menentukan
kewarisan, hadlanah, waqaf, hibah, dan sedekah bahwa Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa,
memutuskan, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara
baitulmal.15 perdata di tingkat pertama.
17
Wantjik Saleh, Kehakiman dan Peradilan, (Jakarta: Ghalia
Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil, (Surabaya:
13
Indonesia, 1977), hlm. 71.
Airlangga Universitas Press, 2010), hlm. 37. 18
Abdullah Tri Wahydi, Peradilan Agama di Indonesia,
14
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 73.
Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo 19
Dalam penjelasan atas Undang-Undang Republik
Persada, 2000), hlm. 253. Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan agama
15
Sebelum tahun 1882 Peradilan Agama benar-benar dinyatakan: “sehubungan dengan hal tersebut, para pihak
merupakan peradilan dalam arti yang sebenarnya. Namun sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih

176 Vol. 9 No. 2 Juli 2015 | 173-188


C. Kewenangan Pengadilan Negeri Pengadilan Negeri sebagai salah satu pe-
Indonesia adalah Negara hukum (recht- laksana kekuasaan kehakiman yang berada
staat), sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 dalam lingkup badan peradilan umum mem-
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai punyai kewenangan untuk memeriksa, meng-
konsekuensi dari negara hukum, maka adili, dan memutus perkara pidana dan perdata
semua tindakan yang dilakukan baik oleh di tingkat pertama. Kewenangan Pengadilan
penyelenggara negara maupun oleh warga Negeri dalam perkara pidana mencakup segala
negara harus didasarkan pada ketentuan- bentuk tindak pidana, kecuali tindak pidana
ketentuan hukum yang berlaku. Apabila terjadi militer yang merupakan kewenangan Peradilan
pelanggaran hukum, hukum harus ditegakkan Militer. Sedangkan dalam perkara perdata,
dengan menindak pelaku sesuai dengan Pengadilan Negeri berwenang mengadili per-
ketentuan, dan apabila terjadi sengketa, maka kara perdata secara umum, kecuali perkara
sengketa itu harus diselesaikan secara hukum perdata tertentu yang merupakan kewenangan
pula. Pengadilan agama.22
Untuk mewujudkan tercapainya ne- Kewenangan Pengadilan Negeri mengadili
gara hukum tersebut, diperlukan adanya ke- perkara perdata mencakup perkara per-
kuasaan kehakiman yang merdeka untuk data dalam bentuk gugatan dan perkara per-
menyelenggarakan peradilan, guna mene- mohonan. Perkara perdata gugatan adalah
gakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan ke- perkara yang mengandung sengketa antara
hakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah dua pihak atau lebih yang disebut penggugat
Agung dan badan peradilan yang berada dan tergugat. Sedangkan perkara permohonan
di bawahnya dalam lingkungan Peradilan adalah perkara yang tidak mengandung
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan senketa dan hanya ada satu pihak yang disebut
Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah pemohon. Perkara yang tidak mengandung
Mahkamah Konstitusi.20 sengketa disebut juga dengan perkara valunter,
Adapun kewenangan atau kompetensi sedangkan perkara yang mengandung sengketa
absolut (yurisdiksi) masing-masing badan disebut perkara contensius.
peradilan di empat lingkungan peradilan diatur Terkait kewenangan Pengadilan Negeri,
sebagai berikut:21 dalam hukum acara perdata dikenal 2 macam
a Peradilan Umum berwenang memeriksa, kewenangan, ialah:23
mengadili dan memutus perkara pidana dan 1) Wewenang mutlak atau absolute competentie.
perdata. 2) Wewenang relative atau relative competentie.
b Peradilan agama berwenang memeriksa, Wewenang mutlak adalah menyangkut
mengadili, memutus dan menyelesaikan pembagian kekuasaan antar badan-badan per-
perkara antara orang-orang yang beragama adilan. Dilihat dari macam-macam pengadilan
Islam. menyangkut pemberian kekuasan untuk meng-
c Peradilan Militer berwenang memeriksa, adili, dan dalam bahasa Belanda disebut attri-
mengadili, dan memutus perkara tindak butie van rechtsmacht. Misalnya persoalan me-
pidana meliter. ngenai perceraian, bagi mereka yang beragama
d Peradilan Tata Usaha Negara berwenang
memeriksa, mengadili, memutus dan 22
Kewenangan ini didasarkan pada Undang-Undang
menyelesaikan sengketa tata usaha Negara. Nomor 2 Tahun 1986 jo. Stbl. 1937 Nomor 116. Pasal 50 Undang-
undang Nomor 2 Tahun 1986 tersebut menentukan bahwa
hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan. Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa,
Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, hlm. 98 memutuskan, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara
20
Pasal 18 jo Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 perdata di tingkat pertama.
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 23
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata,
21
Pasal 25 ayat (2), ayat ( 3), s/d ayat ( 5) Undang-Undang Hukum Acara Perdata: Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung: Mandar
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Maju, 2009), hlm. 11.

Ilham Thohari, Konflik Kewenangan 177


Islam berdasarkan ketentuan Pasal 63 (1)a mengadili perkara-perkara perdata bidang (a)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah Perkawinan; (b) Kewarisan, Wasiat, Hibah yang
wewenang Pengadilan Agama. Demikian juga dilakukan berdasarkan hukum Islam; (c) Wakaf,
persoalan warisan bagi yang beragama Islam Zakat, infaq, sodakoh dan ekonomi Islam.
adalah wewenang Pengadilan Agama yang Ruang lingkup kekuasaan kehakiman yang
didasarkan pada Pasal 49 Undang-Undang diberikan undang-undang kepada lingkungan
Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Peradilan Agama dicantumkan dalam Bab III
Sedangkan perkara perceraian dan kewarisan UU Nomor 7 Tahun 1989 yang meliputi Pasal
selain orang-orang yang beragama Islam adalah 49 sampai Pasal 53. Menurut Yahya Harahap,
wewenang Pengadilan Negeri. ada lima tugas dan wewenang yang terdapat
Lawan dari wewenang mutlak adalah di lingkungan Peradilan Agama, yaitu: (1)
wewenang relatif, wewenang relatif mengatur Fungsi kewenangan mengadili; (2) Memberi
pembagian kekuasaan mengadili antara keterangan, pertimbangan, dan nasehat tentang
pengadilan yang serupa, tergantung tempat hukum Islam kepada instansi pemerintah; (3)
tinggal tergugat. Pasal 118 HIR menyangkut Kewenangan lain oleh atau berdasarkan atas
kekuasaan relatif yang dalam bahasa Belanda undang-undang; (4) Kewenangan Pengadilan
disebut distributie van rechtsmacht. Asasnya Tinggi Agama mengadili perkara dalam tingkat
adalah “yang berwenang adalah pengadilan banding dan mengadili sengketa kompetensi
Negeri tempat tinggal tergugat”. Asas ini dalam relatif, serta (5) Bertugas mengawasi jalannya
Bahasa Latin dikenal dengan sebutan “Actor peradilan.
Sequitur Forum Rei”. 24 Kekuasaan Peradilan Agama ini pada
prinsipnya tidak berbeda terkait makna, pe-
D. Kewenangan Pengadilan Agama rumusan dan cara pengaturannya dengan yang
Sebagaimana telah diketuhi, bahwa ditentukan untuk lingkungan Peradilan Umum,
kekuasaan kehakiman dalam penyelenggaraan Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha
kehidupan bernegara di Indonesia, dilakukan Negara. Bahkan jenis kekuasaan fungsi dan ke-
oleh empat badan peradilan, yakni Peradilan wenangan pun sama. Perbedaannya pada ruang
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha lingkup (bidang) kekuasaan mengadili, yaitu
Negara dan Peradilan Militer, serta sebuah disesuaikan dengan ciri yang melekat pada
badan peradilan tertinggi sebagai puncak masing-masing lingkungan peradilan. Kata
dari keempat badan peradilan tersebut, yaitu “kekuasaan” sering disebut “kompetensi” yang
Mahkamah Agung. Badan-badan peradilan berasal dari bahasa Belanda “Competentie”, yang
tersebut, oleh negara diberi kekuasaan dan kadang-kadang diterjemahkan dengan “ke-
wewenang mengadili masing-masing atas wenangan” dan terkadang dengan “kekuasaan”.
bidang-bidang tertentu. Kekuasaan atau kewenangan peradilan
Peradilan Agama misalnya, wewenang atau terkait dengan hukum acara, menyangkut dua
kompetensi peradilan ini diatur dalam Pasal 49 hal, yaitu: “kekuasaan relatif’ dan “kekuasaan
sampai dengan Pasal 53 UU Nomor 3 Tahun 2006 absolut”. Kekuasaan relatif diartikan sebagai
Tentang Peradilan Agama. Wewenang tersebut kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu
terdiri atas wewenang relatif dan wewenang tingkatan, dalam perbedaannya dengan ke-
absolut. Wewenang relatif Peradilan Agama kuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama
merujuk pada Pasal 118 HIR, atau Pasal 142 RB.g tingkatan. Misalnya, antara Pengadilan Negeri
jo Pasal 66 dan Pasal 73 UU Nomor 7 Tahun 1989, Malang dengan Pengadilan Negeri Mojokerto
sedang wewenang absolut berdasarkan Pasal dengan Pengadilan Agama Jombang dan
49 UU Nomor 7 Tahun 1989, yaitu kewenangan Pengadilan agama Kediri.
Pengadilan Negeri Malang dan Mojokerto
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata,
24
sama-sama lingkungan Pengadilan Umum
Hukum Acara Perdata: Dalam Teori Dan Praktek, hlm. 12.

178 Vol. 9 No. 2 Juli 2015 | 173-188


dan sama-sama Pengadilan Tingkat Pertama, pengecualian yaitu yang tercantum dalam Pasal
sedangkan Pengadilan Agama Jombang dan 118 Ayat (2), Ayat (3) dan Ayat (4), yaitu:
Pengadilan Agama Kediri satu jenis yaitu sama- − Apabila tergugat lebih dari satu, maka
sama lingkungan Peradilan Agama dari satu gugatan diajukan kepada pengadilan
tingkatan, sama-sama tingkat pertama. yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman salah seorang dari tergugat;
1. Kekuasaan Relatif Pengadilan Agama
− Apabila tempat tinggal tergugat tidak
Yang dimaksud dengan kekuasaan dan
diketahui, maka gugatan diajukan kepada
wewenang adalah kekuasaan dan wewenang
pengadilan di tempat tinggal penggugat;
yang diberikan antar pengadilan dalam ling-
− Apabila gugatan mengenai benda tidak
kungan badan peradilan yang sama. Kekuasaan
bergerak, maka gugatan diajukan kepada
relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan
peradilan di wilayah hukum di mana barang
yang satu jenis dan satu tingkatan, misalnya
tersebut terletak; dan
antara Pengadilan Negeri Malang dengan
− Apabila ada tempat tinggal yang dipilih
Pengadilan Negeri Surabaya, antara Pengadilan
dengan suatu akad, maka gugatan dapat
Agama Blitar dengan Pengadilan Agama Kediri,
diajukan kepada pengadilan tempat tinggal
dan bukan antar Pengadilan Agama dengan
yang dipilih dalam akta tersebut.
Pengadilan Negeri.
Tiap-tiap Pengadilan Agama mempunyai
Dengan kata lain, yang dimaksudkan de-
wilayah hukum tertentu atau mempunyai
ngan kekuasaan dan wewenang macam ini,
“yurisdiksi relative” tertentu, dalam hal ini
adalah pemberian kekuasaan dan wewenang
meliputi satu kotamadya atau satu kabupaten.
yang berhubungan dengan wilayah hukum
Yurisdiksi relative ini mempunyai arti penting
kerja antar pengadilan dalam lingkungan ba-
sehubungan dengan ke Pengadilan Agama
dan peradilan yang sama, antar Pengadilan
mana orang akan mengajukan perkaranya dan
Agama dengan Pengadilan Agama, antar
sehubungan dengan hak eksepsi tergugat.
Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Negeri,
Menurut Taufiq Hamami,25 bahwa faktor
antar Pengadilan Tata Usaha Negara dengan
yang menimbulkan terjadinya pembatasan
Pengadilan Tata Usaha Negara.
kewenangan relatif masing-masing pengadilan
Kompetensi relatif setiap Pengadilan
pada setiap lingkungan pengadilan adalah
Agama dasar hukumnya berpedoman pada
faktor wilayah hukum. Menurut ketentuan
ketentuan Undang-Undang Hukum Acara
Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU No. 7 Tahun 1989
Perdata. Dalam Pasal 54 UU Nomor 7 Tahun
“tempat kedudukan” Pengadilan Agama
1989 menjelaskan bahwa hukum acara yang
berkedudukan di ibu kota Kabupaten atau Kota
berlaku pada lingkungan Peradilan Agama
dan daerah hukumnya meliputi Kabupaten
adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku
atau Kota.
pada lingkungan Peradilan Umum. Oleh karena
Dasar hukum untuk menentukan patokan
itu, landasan untuk menentukan kewenangan
relatif setiap Pengadilan Agama berpedoman
relatif Pengadilan Agama merujuk kepada
kepada ketentuan Undang-Undang Hukum
ketentuan Pasal 118 HIR, atau Pasal 142 RB.g jo
Acara Perdata. Oleh karena Pasal 54 UU Nomor
Pasal 73 UU Nomor 7 Tahun 1989.
7 Tahun 1989 telah menyatakan hukum acara
Penentuan kompetensi relatif ini bertitik
yang berlaku pada lingkungan Peradilan Agama
tolak dari aturan yang menetapkan ke
adalah hukum acara perdata yang berlaku pada
Pengadilan Agama mana gugatan diajukan agar
Peradilan Umum, landasan untuk menentukan
gugatan memenuhi syarat formal. Pasal 118
patokan kewenangan relatif Pengadilan Agama
Ayat (1) menganut asas bahwa yang berwenang
adalah pengadilan tempat kediaman tergugat. 25
Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama
Asas ini dalam bahasa latin disebut “actor Dalam Sistem Tata Hukum Di Indonesia, (Bandung: Alumni, 2003),
sequitur forum rei”. Namun ada beberapa hlm. 117.

Ilham Thohari, Konflik Kewenangan 179


merujuk kepada ketentuan HIR dan RB.g jo Keluarga dari orang-orang yang beragama
Pasal 66 dan Pasal 73 UU Nomor 7 Tahun 1989. Islam.27
Penentuan kompetensi relatif bertitik tolak Menurut Bustanul Arifin, Peradilan Agama
dari aturan yang menetapkan ke Pengadilan dapat dikatakan sebagai peradilan keluarga
Agama mana gugatan diajukan, agar gugatan bagi orang-orang yang beragama Islam, seperti
memenuhi syarat formal. yang terdapat di beberapa negara lain. Sebagai
suatu peradilan keluarga, yaitu peradilan
2. Kewenangan Absolut Peradilan Agama
yang menangani perkara-perkara di bidang
Kewenangan absolute adalah kewenangan
hukum keluarga, tentulah jangkauan tugasnya
mengadili yang menyangkut pembagian ke-
berbeda dengan Peradilan Umum. Oleh karena
kuasaan antar badan-badan peradilan, atau
itu, segala syarat berbeda dengan Peradilan
kewenangan mengadili yang diberikan kepada
Umum. Segala sayarat yang harus dipenuhi
masing-masing pengadilan di lingkungan badan
oleh para hakim, panitera, dan sekretaris harus
peradilan yang berbeda.26 Kewenangan seperti
disesuaikan dengan tugas-tugas yang diemban
ini berhubungan dengan bidang-bidang perkara
Peradilan Agama. 28
yang diberikan. Kewenangan mengadili bidang
perkara apa yang diberikan kepada pengadilan 3. Kewenangan Pengadilan Agama Pasca
di lingkungan Badan Peradilan Umum, Badan Berlakunya UU No. 3 Tahun 2006
Peradilan Tata Usaha Negara, maupun Badan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 juga
Peradilan Militer. memberikan perluasan kewenangan Peradilan
Kekuasaan absolute artinya kekuasaan Agama, yang mana sebelumnya hanya mena-
Pengadilan yang berhubungan dengan jenis ngani sengketa di bidang perkawinan, waris,
perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan wasiat, hibah, dan sadaqah. Maka ditambah
Pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis menangani sengketa zakat, infaq dan ekonomi
perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan syariah. Sebagaimana dituangkan dalam per-
Pengadilan lainnya, misalnya Pengadilan Aga- ubahan Pasal 49 yang berbunyi:
ma berkuasa atas perkara perkawinan bagi Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
mereka yang beragama Islam sedangkan bagi memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan di tingkat pertama antara orang-orang yang Ber-
gama Islam di bidang: a. Perkawinan; b, Waris;
Umum. Pengadilan Agama yang berkuasa
c. Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f. Zakat; g. Infaq; h.
memeriksa dan mengadili perkara tingkat Sadaqah; dan i. Ekonomi Sayariah.
pertama, tidak boleh langsung berperkara di
Pengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah Dengan adanya penegasan tentang adanya
Agung. perluasan kewenangan Peradilan Agama
Berdasarkan uraian di atas dapat disebutkan tersebut, dimaksudkan untuk memberikan
bahwa kewenangan mutlak (kompetensi ab- dasar hukum kepada Peradilan Agama dalam
solute) Peradilan Agama meliputi bidang- menyelesaikan perkara tertentu. Termasuk
bidang perdata tertentu seperti tercantum pelanggaran atas undang-undang tentang
dalam Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006 dan perkawinan dan peraturan pelaksanaannya,
berdasarkan atas asas personalitas keislaman. serta memperkuat landasan hukum Mahkamah
Dengan perkataan lain, bidang-bidang tertentu Syariah dalam melaksanakan kewenangannya
dari hukum perdata yang menjadi kewenangan di bidang jinayah berdasarkan qanun (bagi
absolut Peradilan Agama adalah bidang Hukum daerah tertentu). Sehingga dalam pasal 2 istilah
27
Adapun bidang perkaranya meliputi: Perkawinan;
kewarisan; wasiat; hibah; wakaf; zakat; infak; sadakah; dan
ekonomi syariah.
28
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia,
Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama
26
akar sejarah, Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani,
Dalam Sistem Tata Hukum Di Indonesia, hlm. 106. 1996), hlm. 94.

180 Vol. 9 No. 2 Juli 2015 | 173-188


“perdata tertentu” dalam Undang-Undang Anshari berpendapat bahwa hukum waris yang
Namor 7 Tahun 1989 diubah menjadi “perkara berlaku adalah berdasarkan agama pewaris.
tertentu” dalam Undang-undang Nomar 3 Jadi bukan berdasarkan agamanya para ahli
Tahun 2006. Penghapusan kata “perdata” waris. Apabila pewaris beragama Islam, maka
tersebut mengandung pengertian bahwa tidak hukum waris yang berlaku adalah hukum waris
hanya perkara perdata saja yang menjadi Islam. Begitu juga apabila pewarisnya beragama
kompetensi Peradilan Agama, tetapi juga selain agama Islam, maka hukum waris yang
termasuk di dalamnya adalah perkara pidana berlaku menurut agama pewaris tersebut.29
yang berdasarkan syariat Islam seperti yang
berlaku di Nanggroe Aceh Darus Salam. E. Konflik Kewenangan Dan Interpretasi
Khusus dalam bidang kewarisan, Undang- Keragaman hukum waris berakibat pada
Undang No. 3 Tahun 2006 telah memberikan adanya beberapa lembaga yang akan menye-
kekuasaan dan kewenangan penuh terhadap lesaikan sengketa waris tersebut. Sekalipun
Peradilan Agama dalam menyelesaikan bagi orang Islam berdasarkan Undang-Undang
sengketa waris bagi umat Islam. Hal ini No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama,
ditandai dengan dihapuskannya pilihan hukum disebutkan bahwa bagi umat Islam lembaga
penyelesaian perkara waris baik di Peradilan penyelesai perkara waris adalah Pengadilan
Agama atau di Peradilan Umum. Sebagaimana Agama sehingga jika tejadi sengketa waris
ditegaskan dalam penjelasan umum Undang- tidak ada pilihan bagi mereka kecuali dise-
Undang Nomor 3 tahun 2006 paragraf kedua lesaikan di Pengadilan Agama. Namun di sisi
yang berbunyi: lain, beberapa sengketa waris orang Islam
Dalam kaitannya dengan perubahan undang- diselesaikan di Pengadilan Negeri. Inilah yang
undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam
kemudian menyebabkan terjadi konflik hukum
penjelasan umum Undang-undang Nomor. 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama yang menyatakan: antara Pengadilan Agama dan Pengadilan
“Para pihak sebelum berperkara dapat Negeri. Berikut ini adalah penjelasan konflik
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa hukum yang terjadi antara Pengadilan Agama
yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, (PA) dengan Pengadilan Negeri (PN) dalam
dinyatakan dihapus. penyelesaian sengketa waris.
Dan pernyataan tersebut dikuatkan dengan 1. Konflik Hukum Pengadilan Negeri Dan
Pasal 50 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor Pengadilan Agama
3 Tahun 2006, yang berbunyi: Dalam amandemen pasal 24 ayat (2) UUD
1. Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau seng- 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970
keta lain dalam perkara sebagaimana dimaksud sebagaimana diubah dengan UU No. 35 tahun
dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa 1999 dan kini diganti dengan Pasal 18 UU No.
tersebut harus diputus lebih dahulu oleh 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh
2. Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di
dimaksud pada Ayat (1) yang subyek hukumnya bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum,
antara orang-orang yang beragama Islam, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan
obyek tersebut diputus oleh Pengadilan Agama Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan
bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud Militer.
dalam pasal (49). Peraturan perundang-undangan tersebut
Dengan demikian, penyelesaian sengketa merupakan landasan sistem peradilan negara
waris menjadi kewenangan Peradilan Agama (state court system) di Indonesia yang dibagi
jika pewaris beragama Islam. Tetapi jika pe-
waris beragama selain Islam, maka menjadi ke- 29
Abdul Ghafur al-Anshari, Peradilan Agama di Indonesia
wenangan Peradilan Umum. Abdul Ghofur Al- Pasca UU No. 3 tahun 2006, (Yogyakarta: UII Press, 2007), hlm. 55.

Ilham Thohari, Konflik Kewenangan 181


dan dipisah berdasarkan yurisdiksi atau dalam persidangan agar perkara tersebut tidak
separation court system based on yurisdiction.30 diterima.
Secara sederhana yurisdiksi diartikan sebagai Bila kedua belah pihak tidak menyadari
kekuasaan atau kewenangan berdasarkan atau tidak mengetahui kewenangan sebuah
hukum. Yurisdiksi yang dimaksud dengan pengadilan, maka dalam pemeriksaan, seorang
peraturan-peraturan tersebut adalah hakim diberikan wewenang secara ex officio
kewenangan absolut atau dalam bahasa Belanda untuk menyatakan pengadilan tersebut
disebut attributive competentie atau attributive tidak berwenang meskipun tidak ada eksepsi
jurisdiction. Pada akhirnya masing-masing dari tergugat.32 Begitu detailnya pengaturan
peradilan diberi kewenangan berdasarkan mengenai kewenangan absolut tersebut untuk
sengketa atau perkara yang ditanganinya menghindari kekacauan atau ketidakpastian
sesuai dengan undang-undang.31 hukum bagi pencari keadlilan. Oleh karenanya
Kendati masing-masing peradilan Yahya Harahap menyebut kewenangan absolut
memiliki undang-undang yang mengatur adalah termasuk public order atau kepentingan
kewenangannya, pada prakteknya masih umum. 33
ditemukan jenis perkara yang menjadi rebutan Titik singgung memang sebuah persoalan,
lebih dari satu pengadilan untuk menangani dan hukum acara telah memberikan jalan keluar
jenis perkara tersebut dan persoalan ini dikenal bagi para pihak penggugat maupun tergugat
dengan titik singgung. Perkara yang masuk juga majelis hakim yang menangani perkara.
wilayah titik singgung seolah memiliki dua sisi Dengan harapan perkara tersebut dapat
kewenangan. Sebagai contoh perkara harta dikembalikan pada kewenangan yang tepat
bersama yang diajukan oleh mantan suami istri atau on the right track. Peraturan perundang-
yang non Muslim dan saat dalam pernikahan undangan juga mengatur bila memang pada
yang dilaksanakan saat keduanya beragama akhirnya terjadi sengketa kewenangan antara
Islam dan baru pindah agama setelah keduanya peradilan, maka Mahkamah Agung yang akan
bercerai. Perkara harta bersama tersebut menyelesaikannya sebagaimana tercantum
menjadi wilayah titik singgung Pengadilan dalam SEMA RI No. 1 tahun 1996.
Agama dan Pengadilan Negeri dengan alasan Dalam praktek di lapangan, ada persoalan
pada satu sisi pihak yang berperkara adalah yang sejenis dengan titik singgung yaitu
non muslim, namun di sisi lain perkara harta pilihan forum hukum atau choice of jurisdiction
bersama tersebut adalah akibat dari hubungan atau choice of court. Persoalan ini terjadi bila
perdata secara Islam yakni perkawinan secara subyek hukum diberikan keluasan secara legal
agama Islam. berdasarkan peraturan perundang-undangan
Terkait wilayah titik singgung tersebut untuk memilih pengadilan yang menyelesaikan
pihak yang mengajukan perkara harus teliti perkaranya dan secara otomatis juga akan
melihat pokok perkara kemana harus diajukan. tunduk pada hukum yang diterapkan pada
Bila salah memasukkan, maka perkara pengadilan pilihannya baik secara formil
dianggap cacat formil dan tidak dapat diterima maupun materiil.34
oleh Pengadilan atau Majelis Hakim. Bagi pihak Secara historis, persoalan mengenai pilihan
lawan dapat menggunakan lembaga eksepsi hukum atau choice of jurisdiction telah muncul
absolut untuk memohon kepada Majelis Hakim
32
Lihat Pasal 160 RBg dan Pasal 134 HIR.
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar
30 33
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), hlm. 181. Grafika, 2008), hlm. 203-209.
31
Lihat pasal 50 dan pasal 51 UU No. 2 tahun 1986 Tentang 34
Pengertian choice of jurisdiction atau choice of court di sini
Peradilan Umum, pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 Tentang bukan memilih forum pengadilan yang dianggap berwenang
Peradilan Agama, pasal 47 UU No. 5 tahun 1986 Tentang pada dua negara atau lebih sebagaimana dipaparkan oleh
Peradilan Tata Usaha Negara, dan pasal 40 UU No. 31 tahun Yahya Harahap lihat. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata,
1997 Tentang Peradilan Militer. hlm. 203-209.

182 Vol. 9 No. 2 Juli 2015 | 173-188


sejak berlakunya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Selain perluasan kewenangan perkara,
Peradilan Agama. Pada Pasal 49 ayat 1 huruf b, perubahan yang cukup signifikan adalah diha-
Pengadilan Agama diberikan wewenang untuk pusnya pilihan hukum atau choice of jurisdiction
menangani perkara waris bagi orang-orang atau choice of court untuk perkara waris bagi
yang beragama Islam, namun dalam penjelasan yang beragama Islam sebagaimana dalam
UU tersebut kewenangan tersebut menjadi penjelasan UU No.3 Tahun 2006 bahwa pilihan
ambigu sebagaimana tersebut dalam butir 2 bagi para pihak perkara waris yang beragama
alinea 6 bahwa para pihak yang beragama Islam Islam telah dihapus dan kini mutlak menjadi
sebelum berperkara dapat mempertimbangkan kewenangan Pengadilan Agama.37
untuk memilih hukum apa yang akan diper- Dengan melihat batang tubuh dan pen-
gunakan dalam pembagian warisan. jelasan UU No.3 Tahun 2006 maka sepintas
Pilihan hukum tersebut mengarah pada tidak ditemukan lagi adanya pilihan hukum
dualisme karena pihak yang berperkara boleh untuk perkara-perkara waris masyarakat yang
memilih hukum adat atau hukum perdata beragama Islam. Namun persoalan akan muncul
barat (BW) yang otomatis menjadi wewenang bila melihat peraturan yang terkait dengan
Pengadilan Negari atau memilih hukum Islam pengadilan lain seperti Pengadilan Negeri di-
yang menjadi wewenang Pengadilan Agama. mana perkara sengketa waris bagi pemohon
Sebagaimana ditegaskan, pilihan hukum ini yang beragama Islam masih tetap diterima
merupakan masalah yang terletak di luar badan oleh Pengadilan Negeri. Perbedaan pendapat
peradilan dengan pengertian ketika pihak telah tentang boleh tidaknya dilakukan pilihan
memasukkan perkara pada sebuah peradilan hukum dalam perkara waris orang Islam antara
maka otomatis dinyatakan telah tunduk atau lain dapat ditinjau dari pendekatan asas hukum
memilih hukum yang dipilihnya.35 yaitu: Asas lex spesialis derogat lex generalis, lex
Semenjak tanggal 30 Maret 2006 UU No. 7 posteriori derogat legi priori dan lex superior derogat
Tahun 1989 diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 legi inferiori.38
tentang Peradilan Agama dengan mencakup Pengadilan Agama memiliki kewenangan
42 perubahan. Dalam pasal 49, kewenangan mengadili perkara yang telah dibingkai oleh
Pengadilan Agama ditambah dengan perkara UU No.7 Tahun 1989 sebagaimana tercantum
zakat, infak, dan ekonomi syariah. Lebih lanjut dalam Pasal 2, penjelasan umum angka 2 alinea
dalam penjelasan pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 ketiga dan pasal 49 ayat (1). Pasal tersebut
huruf (a) telah merinci perkara apa saja yang mengisyaratkan asas personalitas keislaman
dimaksud dengan “perkawinan” dan pada pada setiap perkara yang ditangani Pengadilan
angka (20) terdapat penambahan perkara Agama. Asas ini yang menjadi trademark bagi
pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Pengadilan Agama sebagai pengadilan dengan
Dalam pasal yang sama disebutkan 11 kegiatan label Islam. Pengertian personalitas keislaman
usaha yang termasuk dalam perkara ekonomi juga mengalami perkembangan setelah
syariah. Tidak juga ketinggalan tentang penye- berlakunya UU No.3 Tahun 2006. Personalitas
lesaian sengketa hak milik antara sesama keislaman bukan hanya pihak yang beragama
orang Islam, istbat kesaksian rukyat hilal, Islam dan perkara yang berdasarkan hubungan
dalam penentuan awal bulan tahun hijriyah perdata keislaman, namun juga untuk orang
serta pemberian keterangan atau nasehat atau badan yang tunduk dengan hukum Islam
mengenai perbedaan penentuan arah kiblat sebagaimana diisyaratkan Pasal 50 Ayat (2) UU
dan penentuan waktu shalat.36 No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.39
35
SEMA No. 2 tahun 1990 tentang petunjuk Pelaksanaan 37
Lihat penjelasan umum UU No. 3 tahun 2006.
Undang-Undang No. 7 tahun 1989 butir 4.2. 38
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta:
36
Wahyu Widiana (Dirjen BADILAG MA-RI (UU No. 50 tahun Liberty, 1996), hlm. 112.
2009 dan Pasang Surut Perkembangan Pengadilan agama, 39
Bunyi pasal tersebut adalah: Apabila terjadi sengketa
dalam www. Badilag. net. 23 Desember 2012. hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek

Ilham Thohari, Konflik Kewenangan 183


Asas personalitas keislaman menjadikan salah satu unsur penyebab masa berlakunya
Pengadilan Agama menjadi pengadilan khusus, suatu undang-undang berakhir.40
sehingga bila ada perkara yang terkait dengan Dari sini dapat disimpulkan bahwa pilihan
asas personalitas keislaman tidak lagi menjadi hukum merupakan persoalan laten dalam
wewenang Pengadilan Negeri. Sebagaimana hukum Indonesia khususnya wilayah perdata,
kaidah hukum lex spesialis derogat lex generalis dan terlebih antara Pengadilan Agama dan
atau ketentuan khusus harus didahulukan dari Pengadilan Umum. Berdasarkan paparan di
ketentuan yang bersifat umum. atas, tidak ada alasan lagi bagi Pengadilan
Undang-Undang No. 7 tahun 1989 men- Negeri untuk memeriksa perkara sengketa
jadi pembatas bagi beberapa kewenangan waris orang-orang yang beragama Islam baik
Pengadilan Umum. Bigitu juga setelah ber- secara materiil maupun formil, dan kiranya ke
lakunya Undang-Undang No. 3 tahun 2006 depan tidak ada lagi peraturan-peraturan yang
tentang Pengadilan Agama dengan masuknya mencatumkan persoalan pilihan hukum bagi
perkara sengketa waris bagi orang-orang sebuah perkara.
yang beragama Islam berdasarkan asas lex Setelah Indonesia merdeka, telah diupaya-
spesialis derogat lex generalis, maka Pengadilan kan penyelesaian konflik tersebut agar selesai
Negeri tidak lagi memiliki kewenangan untuk namun sampai saat ini tak kunjung usai. Pe-
memeriksa perkara tersebut. Undang-Undang merintah selalu menggariskan perlunya pem-
No 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama binaan dan pengembangan hukum nasional.41
secara otomatis mencabut atau lebih kurang Namun sampai saat ini di Indonesia tetap
membatasi kewenangan Pengadilan Negeri pa- berlaku tiga sistem hukum, hukum adat, hukum
da perkara sengketa waris orang-orang Islam perdata Indonesia (BW) dan hukum Islam.
tanpa harus diikuti lagi peraturan lain tentang
1. Interpretasi Hukum
kewenangan tersebut.
Meskipun lahirnya Undang-Undang Nomor
Penyelesaian konflik kewenangan meng-
3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama telah
adili perkara waris orang Islam, antara Peng-
memberi batas yang jelas bahwa Pengadilan
adilan Agama yang berdasarkan Undang-Un-
Negeri tidak memiliki kewenangan untuk
dang Nomor 7 Tahun 1989 dengan Pengadilan
mengadili perkara sengketa waris orang-orang
Negeri yang berdasarkan Undang-Undang
yang beragama Islam, dan undang-undang
Nomor 2 Tahun 1986 jo. Stbl. 1937 No. 116,
tersebut tidak memberi pilihan kepada orang
dapat dikembalikan pada pedoman yang
Islam untuk memilih hukum apa yang akan
dirumuskan dalam asas lex posteriori derogat
dipakai untuk menyelesaikan perkara waris
lex priori. Asas ini menyatakan bahwa undang-
mereka. Namun demikian, tidak berarti orang-
undang yang baru mengalahkan undang-un-
orang Islam tidak lagi memiliki hak untuk
dang yang lama. Dengan demikian jelaslah
memilih hukum waris dan tidak berarti pula
bahwa Undang-Undang Peradilan Agama
Pengadilan Negeri tidak berwenang menerima
(Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo.
dan mengadili perkara sengketa waris mereka.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006) dapat
Ada beberapa argumen yang dapat dijadikan
menyisihkan Undang-Undang Peradilan
alasan untuk membantah kewenangan absolut
Umum (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986)
Peradilan Agama antara lain: pertama, bahwa
dalam hal kewenangannya mengadili perkara
Pengadilan Negeri menerima, memeriksa, dan
warisan orang Islam. Dalam hal ini Sudikno
berpendapat bahwa asas ini yang merupakan
40
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, hlm. 83. Lihat
juga Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil, (Surabaya:
Airlangga Press, 2003), hlm. 42.
hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek 41
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia:
sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama- Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani
sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. Press, 1996), hlm. 33-34.

184 Vol. 9 No. 2 Juli 2015 | 173-188


memutus perkara sengketa waris orang-orang setiap warga negara memiliki hak yang sama
Islam adalah karena hakim tidak boleh menolak dan setara di depan hukum. Pasal 28D ayat (1)
perkara yang diajukan kepadanya dengan UUD 1945 juga dapat dipakai oleh Pengadilan
alasan apapun. Dalam Kitab Hukum Acara Negeri untuk menunjukkan hak konstitusional
Perdata sudah diatur caranya jika perkara yang masyarakat muslim untuk melakukan gugatan
diajukan tersebut ternyata bukan kewenangan waris di Pengadilan Negeri, terlepas dari agama
Pengadilan Negeri (PN) maka hakim dapat mereka. Di sini, yang dijadikan pertimbangan
melakukan Niet Ontvankelijk Verklaard (NO) adalah identitas mereka sebagai warga negara
atau eksepsi, demikian juga eksepsi dari pihak Indonesia apapun agamanya.
tergugat. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa
Kedua, pada Penjelasan Pasal 49 Undang- Penjelasan Pasal 49 sebagai aturan yang
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Per- dirancang bagi umat Islam yang dengan suka
adilan Agama yang menyatakan bahwa “Yang rela tidak menundukkan diri pada aturan
dimaksud dengan ‘antara orang-orang yang agama mereka, yaitu dua pihak (penggugat
beragama Islam’ adalah termasuk orang atau dan tergugat) yang menyelesaikan perkara
badan hukum yang dengan sendirinya me- sengketa waris mereka di Pengadilan Negeri
nundukkan diri dengan sukarela kepada masih merasa sebagai muslim dan tidak ke-
hukum Islam”. Penjelasan Pasal 49 tersebut luar dari agamanya. Lebih dari itu, para ha-
dapat dijadikan dasar bagi hakim Pengadilan kim Pengadilan Negeri menerima gugatan
Negeri untuk menerima, memeriksa, dan me- perkara waris antar umat Islam bukan sebagai
mutus kasus sengketa waris masyarakat yang masalah agama, namun lebih sebagai masalah
bergama Islam. Meskipun Pasal 50 Ayat 2 masih Hak Asasi Manusia. Hal tersebut melahirkan
memberi wewenang kepada Pengadilan Agama keputusan bahwa sengketa waris antar umat
di satu pihak, tetapi Penjelasan Pasal 49 masih Islam dapat diselesaikan di Pengadilan Negeri.
membuka peluang bagi Pengadilan Negeri Selama mereka masih warga negara Indonesia,
untuk mengadili kasus tersebut di pihak yang maka negara bertanggung jawab melindungi
lain. Hak Asasi Manusianya, berupa hak untuk me-
Sesungguhnya Penjelasan Pasal 49 tersebut nyelesaikan perkara sengketa waris di Peng-
bisa jadi tidak terlalu signifikan jika kasus adilan Negeri.
sengketa kewarisan tidak banyak terjadi. Keempat, argumen lain yang dapat dija-
Karena itu, tanggung jawab negara seharusnya dikan pertimbangan bagi Pengadilan Negeri
diarahkan pada pembahasan usaha sedapat untuk menerima gugatan perkara orang-orang
mungkin agar peraturan yang jelas tentang Islam adalah motif mereka semata-mata untuk
perkara sengketa waris antar umat Islam menyelesaikan sengketa waris di antara mereka.
dapat dihasilkan. Penjelasan Pasal 49 tersebut Mereka tidak memiliki motif apapun kecuali
menunjukkan adanya ketidak pastian hukum, hanya untuk menyelesaikan sengketa waris
sehingga kewenangan Pengadilan Agama dalam agar permasalahannya menjadi jelas siapa yang
menangani perkara waris orang Islam menjadi menjadi ahli waris dari pewaris sehingga tidak
tidak absolut. ada pihak yang dirugikan dan tidak ada pihak
Ketiga, menarik untuk dicermati bahwa yang menguasai harta dengan cara melawan
dari sudut pandang ketidakpastian hukum hukum. Oleh karena itu, Pengadilan Negeri di-
tentang kewenangan menyelesaikan sengketa anggap melakukan hal yang tidak masuk akal
waris antar umat Islam, selain alasan atau jika niat baik mereka dinafikan semata-mata
argumen tersebut di atas hakim Pengadilan Ne- hanya karena orang-orang tersebut beragama
geri dapat mendasarkan kewenangannya pada Islam.
Konstitusi Negara Repiblik Indonesia. Pasal Kelima, hal lain yang menarik untuk di-
28D ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa cermati adalah bahwa penjelasan Pasal (49)

Ilham Thohari, Konflik Kewenangan 185


Undang-Undang Nomor 3 tahun 2003 tentang Hakim Pengadilan Negeri juga dapat
Pengadilan Agama tersebut masih menyediakan mendasarkan alasannya pada Pasal 28 Undang-
pilihan hukum untuk menyelesaikan perkara Undang Dasar 1945. Prinsip kesamaan hak
sengketa waris bagi masyarakat muslim di setiap warga negara yang diacu dalam pasal
Indonesia. Hakim Pengadilan Negeri dapat ini, walaupun tidak berkaitan langsung dengan
mendasarkan aspek legalitasnya pada kehendak kasus sengketa kewarisan antar umat Islam,
pelaku gugatan atau penggugat. tetapi dapat digunanakan sebagai landasan
Masyarakat muslim yang ingin menye- rasional untuk menerima kasus tersebut. Hak
lesaikan perkaranya di Pengadilan Negeri untuk mendapatkan penyelesaian dari kasus
berarti mereka telah menundukkan diri sengketa kewarisan adalah Hak Asasi Manusia
pada hukum selain hukum agamanya dan ini yang diakui di dalam UUD RI 1945, dan status
merupakan pertimbangan utama. Maka Peng- agama tidak dapat menjadi penghalang. De-
adilan Negeri tidak melanggar undang-undang ngan demikian, proposisi hukum umum yang
jika menerima dan memutus gugatan perkara terkandung dalam Pasal 28 UUD 1945 dapat
waris orang Islam yang didasarkan pada dipakai sebagai dasar bagi penanganan kasus
kenyataan bahwa kedua pihak—penggugat dan sengketa waris orang-orang yang beragama
tergugat—tidak melakukan perlawanan kepada Islam.
pengadilan. Akibatnya, hal ini mengindikasikan Dengan demikian, selain Penjelasan Pasal
kepada para hakim bahwa pada prinsipnya 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Aga-
penggugat dan tergugat tidak lagi mengikuti ma, alasan konstitusional tersebut di atas dapat
ajaran agamanya; atau kalau mereka masih memperoleh tambahan kekuatan hukum. Pasal
mengikutinya, mereka memilih untuk tidak 28 merupakan alasan hukum yang tepat bagi
menaati prinsip-prinsip agama mereka lagi. hakim Pengadilan Negeri untuk menerima,
Mereka yang berperkara di Pengadilan memeriksa, dan memutus perkara sengketa
Negeri telah menyatakan bahwa mereka tidak waris orang Islam. Pasal ini juga berfungsi
lagi tunduk pada ajaran hukum Islam yang sebagai cita-cita ideal penyatuan hukum
memerintahkan agar mereka menyelesaikan kewarisan nasional, yaitu perbedaan adat dan
sengketa warisnya dengan hukum agamanya. agama masyarakat yang bertempat tinggal
Hakim dapat menganggap mereka telah mele- di Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak
paskan diri dari ikatan hukum Islam untuk boleh menjadi penyebab pelanggaran konstitusi
menyelesaikan sengketa kewarisan di antara dalam melakukan tindakan hukum apapun.
sesama umat Islam. Jika demikian halnya, maka Prinsip bahwa setiap orang berhak menye-
adalah sah bagi para hakim Pengadilan Negeri lesaikan kasus sengketa kewarisannya di
untuk tidak menggunakan prinsip-prinsip hu- Pengadilan Negeri adalah prinsip kebangsaan
kum Islam sebagai dasar keputusan mereka, bangsa Indonesia, terlepas dari perbedaan latar
walaupun yang bersangkutan memang orang- belakang adat-istiadat atau agama masing-
orang muslim. masing. Negara pada dasarnya tidak berhak
Dengan demikian, Pengadilan Negeri telah melarang warga negaranya yang beragama
melandaskan keputusan mareka pada prin- Islam untuk menyelesaikan kasus warisnya di
sip “penerimaan suka rela” (vrijwillige onder- Pengadilan Negeri hanya karena mereka ber-
werping) penggugat untuk menemukan sebuah agama Islam, karena UUD 1945 sendiri men-
alasan hukum; dengan mengabaikan peraturan jamin hak asasi setiap warga negara Indonesia,
Pengadilan Agama yang melarang penyelesaian terlebih lagi karena prinsip hukum nasional
sengketa waris di Pengadilan Negeri, karena bahwa setiap warga negara tidak dilihat ber-
mereka dianggap telah menolak hukum Islam dasarkan perbedaan latar belakang mereka, ke-
sebagai alat untuk memutuskan kasusnya se- cuali perbedaan kewarganegaraannya.
cara sukarela dan tanpa paksaan.

186 Vol. 9 No. 2 Juli 2015 | 173-188


Kasus-kasus sengketa waris masyarakat mereka boleh diselesaikan di Pengadilan negeri.
muslim yang diperiksa dan diputus oleh hakim Konsekuensinya adalah hakim Pengadilan
Pengadilan Negeri adalah contoh yang baik Negeri tidak boleh menolak perkara yang di-
dari usaha hakim untuk menerapkan prinsip- ajukan kepadanya karena hal tersebut adalah
prinsip hukum nasional dalam membuat hak asasi warga negara Indonesia apapun
sebuah keputusan. Hal ini dikarenakan, secara agamanya, dan sebagai alat negara Pengadilan
teoritis, kewajiban hakim adalah tidak hanya Negeri tidak boleh diskriminasi dan wajib
terlibat dalam penyelesaian kasus berdasarkan melindungi warga negaranya.
regulasi normatif yang ada, tapi juga menaf-
sirkan bagaimana prinsip-prinsip hukum yang
dibentuk oleh negara dapat diterapkan ke-
pada setiap kasus yang dibawa ke Pengadilan
Negeri.42 DAFTAR PUSTAKA

F. Kesimpulan Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil.


Dari uraian tersebut di atas dapat disim- Surabaya: Airlangga Press, 2003.
pulkan bahwa dengan lahirnya Undang-Un- Al-Anshari, Abdul Ghafur. Peradilan Agama
dang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan di Indonesia Pasca UU No. 3 tahun 2006.
Agama telah dinyatakan secara jelas pada Pasal Yogyakarta: UII Press, 2007.
49 bahwa dalam menyelesaikan perkara seng-
keta waris antara orang-orang Islam adalah Arifin, Bustanul. Pelembagaan Hukum Islam
kewenangan mutlak Pengadilan agama dan ber- di Indonesia:Akar Sejarah, Hambatan dan
arti pula dihapusnya pilihan hukum bagi orang Prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press,
Islam yang menyelesaikan perkara sengketa 1996.
waris mereka.
Daud Ali, Muhammad. Hukum Islam: Pengantar
Namun demikian dalam Penjelasan Pasal
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
49 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan
Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
‘antara orang-orang yang beragama Islam’ ada-
2000.
lah termasuk orang atau badan hukum yang
dengan sendirinya menundukkan diri dengan ---------------------. Asas-Asas Hukum Islam
sukarela kepada hukum Islam. Penjelsan Pasal (Hukum Islam I) Pengantar Ilmu Hukum dan
49 ini membatalkan kewenangan absolut Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta:
pengadilan Agama dan masih memberi pilihan Rajawali Press, 1991.
hukum kepada orang Islam untuk memilih hu-
kum apa yang akan digunakan dalam menye- Djakfar, Idris dan Taufik Yahya. Kompilasi Hukum
lesaikan perkara sengketa waris di antara Kewarisan Islam. Jakarta: Pustaka Jaya.
mereka. Hamami, Taufiq. Kedudukan dan Eksistensi
Dengan pengertian lain jika orang Islam Peradilan Agama Dalam Sistem Tata Hukum Di
yang tunduk dengan sukarela pada hukum Is- Indonesia. Bandung: Alumni, 2003.
lam maka penyelesaian perkara sengketa waris
mereka di pengadilan Agama, namun jika orang Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta:
Islam yang tidak tunduk pada hukum Islam Sinar Grafika, 2008.
maka penyelesaian perkara sengketa waris Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjutak.
Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafika,
Lihat. Ilham Tohari, “Keragaman Hukum Waris Di
42
2009.
Jombang: Studi Tentang Konstruksi Sosial Masyarakat Muslim
Dalam Menyelesaikan Perkara Waris”, (Disertasi IAIN Sunan
Ampel Surabaya, 2013), hlm. 166-167.

Ilham Thohari, Konflik Kewenangan 187


Mahassani, Sobhi. Filsafat Hukum Dalam Islam.
Bandung: PT al-Ma’arif, 1976.
Mertokusumo, Sudikno.Mengenal Hukum.
Yogyakarta: Liberty, 1996.
Saleh, Wantjik. Kehakiman dan Peradilan. Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1977.
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar
Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata:
Dalam Teori Dan Praktek. Bandung: Mandar
Maju, 2009.
Rasyid, Raihan A. Hukum Acara Peradilan Agama.
Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003.
Tohari, Ilham, “Keragaman Hukum Waris Di
Jombang: Studi Tentang Konstruksi Sosial
Masymarakat Muslim Dalam Menyelesaikan
Perkara Waris”, (Disertasi IAIN Sunan
Ampel Surabaya, 2013.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Wahyudi, Abdullah Tri. Peradilan Agama di
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004.
Wignjosoebroto, Sutandyo. Dari Hukum Kolonial
ke Hukum Nasional. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1994.

188 Vol. 9 No. 2 Juli 2015 | 173-188

Anda mungkin juga menyukai