Anda di halaman 1dari 49

LONG CASE

TUBERKULOSIS ANAK

Diajukan Kepada :
dr. Chrisna Hendarwati, M.Si.Med, Sp.A

Disusun Oleh :
Sofyan Raharjo Sugiarto
(20120310267)

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR MAGELANG
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan kasus :

TUBERKULOSIS ANAK

Disusun Oleh:

Sofyan Raharjo Sugiarto

(20120310267)

Telah dipresentasikan pada tanggal 18 April 2018


dan telah disetujui oleh :

Dosen Pembimbing

dr. Chrisna Hendarwati, M.Si.Med, Sp.A


A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. S P
Tanggal lahir : 24-1-2016
Usia : 2 tahun 2 bulan
Jenis kelamin : perempuan
Nama ibu : Ny. RR
Usia : 23 tahun
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : IRT
Nama ayah : Tn. WW
Usia : 26 tahun
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Kuadran Krajan 1 RT2 RW1 Kajoran Magelang.
Tanggal MRS : 02-04-2018 pukul 14.00

B. ANAMNESIS
(Dilakukan alloanamnesis kepada ibu pasien di bangsal dahlia 2 tanggal 4
April 2018 pukul 10.00)
 Keluhan utama : sesak dan demam
 Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak kemarin pagi
sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai demam, 3 hari
sebelumnya pasien sudah batuk dan pilek. Pasien nampak sesak dengan
dada tampak kembang kempis 54x/menit saat pertama kali diperiksa.
Keluhan tidak membaik dengan istirahat. Tidak didapatkan BAB cair,
nyeri saat BAK, kejang. Makan minum masih mau namun sedikit.
Riwayat batuk dan demam sebelumnya pernah terjadi dan sembuh
sendiri dengan istirahat. Baru pertamakali diikuti dengan sesak. Pada
ayah dan ibu yang merawat tidak didapatkan riwayat batuk maupun
sakit lainnya, tapi kakek pasien yang pernah ikut merawat namun tidak
serumah memiliki riwayat batuk lama dan sesak. Kakek pasien
meninggal setahun lalu di RS dengan keluhan batuk dan sesak.
Keluarga tidak ada yang tahu pasti tentang sakit kakek pasien apakah
Tuberkulosis ataupun obat rutinnya.
Pada hari ketiga perawatan, keluarga menemukan hasil rontgen
kakek dengan bacaan TB paru. Kemudian dilakukan skoring TB anak
dan didapatkan total 6 sehingga menunjukan positif tuberculosis.

 Riwayat penyakit dahulu

Riwayat keluhan serupa : disangkal

Riwayat demam berulang : Ya

Riwayat kejang demam : disangkal

Riwayat batuk lama : Ya

Riwayat pengobatan lama/TB : disangkal

Riwayat alergi : disangkal

Simpulan: Ada riwayat penyakit dahulu yang berhubungan


dengan penyakit pasien saat ini.

 Riwayat penyakit keluarga

Riwayat keluhan serupa : disangkal

Riwayat batuk lama : Ya

Riwayat pengobatan lama/ TB : Ya

Riwayat alergi : disangkal

Riwayat kejang demam : disangkal


Kesimpulan: Ada riwayat penyakit keluarga yang berhubungan
dengan penyakit pasien saat ini.

 Riwayat pribadi
1. Riwayat kehamilan
Saat mengandung pasien ibu berusia 21 tahun, G0P0A0
merupakan kehamilan yang direncanakan. Ibu mengetahui
kehamilannya saat usia kehamilan ± 1 bulan, selanjutnya ibu
pasien rutin kontrol ke bidan sesuai yang dijadwalkan bidan
untuk kontrol. Keluhan mual, muntah dan pusing hanya
dirasakan pada trimester pertama. Ibu tidak pernah
mengonsumsi jamu ataupun obat lain selain yang diberikan
bidan. Kenaikan berat badan selama hamil 6kg. Keluhan
perdarahan selama hamil disangkal, tekanan darah selama hamil
dalam batas normal (110/80).
Simpulan: riwayat kehamilan dalam batas normal.
2. Riwayat persalinan
Bayi lahir pada tanggal 24 januari 2016 pada usia kehamilan 9
bulan secara normal (spontan) di bidan. Berat badan lahir 3600
gram, panjang badan 52cm. Ibu mengatakan lupa ukuran lingkar
kepala, lingkar dada dan lingkar lengan atas pasien.
Simpulan: riwayat persalinan dalam batas normal.
3. Riwayat pasca persalinan
Ibu dan bayi selamat, bayi menangis kuat, nafas spontan, warna
kemerahan, tidak sianosis, tidak ada retraksi. BAK dan BAB
<24 jam setelah kelahiran.
Simpulan: riwayat pasca persalinan dalam batas normal
Simpulan: Riwayat kehamilan, persalinan dan pasca persalinan
baik

 Riwayat makanan
Riwayat ASI eksklusif hanya sampai 6 bulan, selanjutnya usia 6-7
bulan ditambah makanan bubur halus (serelac). Mulai usia 9 bulan
diberikan nasi tim. Mulai usia 1 tahun sudah diberikan nasi seperti
anggota keluarga yang lainnya.
Selama ini pasien makan secara teratur dengan jenis berbeda beda..
Sampai sekarang belum dilakukan penyapihan.
Simpulan: Riwayat ASI eksklusif dan makanan baik

 Riwayat imunisasi
Ibu mengatakan riwayat imunisasi pasien sesuai jadwal di
Posyandu desa, namun tidak mengetahui jenis jenis yang telah
diberikan. Scar di lengan kanan (+)
Simpulan: riwayat imunisasi tidak dapat dinilai

 Riwayat sosial, ekonomi dan lingkungan


1. Sosial
Hubungan antar keluarga baik. Hubungan antara keluarga
pasien dengan tetangga baik. Pasien merupakan anak ketiga
dari tiga bersaudara. Hubungan dengan teman sepermainan dan
tetangga baik.
2. Ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai pegawai swasta dengan
penghasilan berkisar 3.000.000 rupiah tiap bulan. Penghasilan
digunakan untuk membiayai kelima anggota keluarga di
rumahnya.
3. Lingkungan
Keluarga pasien tinggal di rumah sendiri yang ditinggali oleh 3
orang yang terdiri dari ayah dan ibu pasien. Rumah beratap
genteng, berdinding bata dan berlantai sebagian tanah dan
semen. Rumah terdiri dari 1 kamar tidur, 1 ruang tamu dan 1
dapur yang menjadi satu dengan ruang makan dan ruang
tengah, 1 kamar mandi sendiri. Ventilasi ruangan cukup.
Cahaya sulit masuk. Jarak rumah pasien dan rumah tetangga
sekitar berjarak cukup. Belakang rumah pasien langsung
berbatasan dengan pekarangan dan jalan setapak.
Simpulan: riwayat sosial, ekonomi cukup baik.
riwayat lingkungan kurang bersih dan cahaya kurang.
 Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
Pertumbuhan
Ibu mengatakan tinggi badan anaknya setara dengan teman
sebayanya namun perawakan tubuhnya kurus. Ibu tidak
memperhatikan berat badan anaknya naik atau tidak setiap
bulannya.
Berat badan :10 kg
Tinggi badan :84 cm
Usia :2 tahun 2 bulan

Perkembangan
Aspek personal sosial, pasien dapat mencuci dan mengeringkan
tangan, menggosok gigi dengan bantuan, usia 2 tahun.
Aspek bahasa, pasien mulai berbicara tidak jelas usia 18 bulan,
bisa berbicara banyak kosa kata usia 2 tahun.
Aspek motorik kasar, saat ini pasien dapat berlari, melompat
dan melempar mainan ke atas. Pasien dapat tengkurap usia 4
bulan, dapat duduk usia 6 bulan, mulai rambatan usia 10 bulan,
pasien mulai berjalan usia 12 bulan, pasien bisa berjalan lancar
usia 14 bulan.
Simpulan: riwayat perkembangan dalam batas normal

 Anamnesis sistem
- Sistem serebrospinal : pasien sadar, demam (-), kejang (-).
- Sistem kardiovaskular : berdebar (-)
- Sistem pernapasan :Cekung dada (-) sesak nafas (-),
batuk (+), pilek (+), mimisan (-).
- Sistem gastrointestinal : kembung (-), mual (+), muntah (-),
BAB (+) tidak teratur.
- Sistem muskuloskeletal : tonus otot kuat, gerakan bebas,
kekuatan gerak normal, sensibilitas normal, tidak ada
deformitas.
- Sistem urogenital : tidak ada keluhan, BAK (+) normal.
- Sistem integumen : pucat (-), kebirua (-).

C. PEMERIKSAAN FISIK
(Dilakukan pada tanggal 4 April 2018 pukul 13.00)
1. Pemeriksaan umum:
a. Keadaan umum : Pasien tampak sakit sedang.
b. Vital sign
Suhu : 37,0 °C
Nadi : 98x/menit
Nafas : 26x/menit
Kesimpulan: tampak sakit sedang, tidak hipertermi, tidak
takikardia, tidak takipneu.
c. Status gizi
Berat badan : 9 kilogram
Tinggi badan : 84 cm
Usia : 2 tahun 2 bulan
TB/U : 0<Z<-2

BB/U : 0<Z<-2
BB/TB :-1<Z<-2

BB/U 0<Z<-2 Gizi cukup


TB/U 0<Z<-2 Perawakan
cukup/sesuai
TB/BB -1<Z<-2 Kurus
Simpulan : TB/U, kesan perawakan cukup, BB/U kesan gizi
anak cukup, TB/BB kesan sangat kurus.
2. Pemeriksaan Khusus
a. Leher : tidak terdapat pembesara limfonodi, JVP tidak meningkat,
pembesaran kelenjar tiroid (-).
b. Dada :
Paru
o Inspeksi : simetris, tidak ada ketinggalan gerak, retraksi (-)
o Palpasi : simetris, tidak ada ketinggalan gerak, vokal
fremitus kanan=kiri
o Perkusi : sonor (+/+)
o Auskultasi : SDV +/+ normal, ronkhi +/+, wheezing +/+
Kesimpulan : pemeriksaan paru ditemukan kelainan berupa
ronkhi dan wheezing positif
Jantung
o Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
o Palpasi : iktus cordis teraba kuat di ruang intercostal IV
o Perkusi : Batas jantung kiri atas = SIC II kiri linea
parasternalis kiri
Batas jantung kiri bawah = SIC V kiri agak ke
medial linea midclavicularis kiri.
Batas jantung kanan atas = ruang intercostal II
kanan linea parasternalis kanan.
Batas jantung kanan bawah = ruang intercostal IV
kanan, linea parasternalis kanan
o Auskultasi : S1>S2 reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Kesimpulan : pemeriksaan jantung dalam batas normal
c. Abdomen
o Inspeksi : permukaan dinding perut datar, tidak ada
luka, ataupun scar.
o Auskultasi : Bising usus (+) normal
o Palpasi : dinding perut supel, turgor baik, nyeri
tekan (-)
o Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)
Kesimpulan : pemeriksaan abdomen dalam batas normal
d. Anogenital
Anus : terdapat muara anus
Genital : jenis kelamin perempuan
Kesimpulan : pemeriksaan anogenital dalam batas normal
e. Ekstremitas
Akral teraba hangat, perfusi jaringan baik, sianosis (-), petechiae (-)
Superior Inferior
Deformitas -/- -/-
Akral hangat +/+ +/+
Akral sianosis -/- -/-
CRT <2” <2”

Simpulan : Akral teraba hangat, tidak terdapat petechiae dan


deformitas

f. Kepala
• Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
tidak terdapat discharge, refleks cahaya (+/+)
• Hidung : Bentuk normal, nafas cuping hidung (-/-),
sekret (+/+).
• Telinga : ukuran normal, discharge (-/-), membalik
seketika setelah dilipat.
• Mulut : Sianosis (-), labioschizis (-), palatoschizis (-)
Simpulan: pemeriksaan kepala ditemukan secret pada hidung.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah rutin

Pemeriksaan Hasil Nilai Nilai rujukan Keterangan


Hemoglobin 12,1 12,0-14,0 N
Leukosit 16,2 5,00-15,00 H
Eritrosit 4,2 3,60-5,20 N
Hematokrit 36,3 36,0-44,0 N
Angka 251 150-450 N
trombosit
Eosinofil 1 1-6 N
Basofil 1 0-1 N
Netrofil segmen 78 40-75 H
Limfosit 26 20-45 N
Monosit 5 2-10 N
RDW-CV 15,3 11,7-14,4 H
RDW-SD 39,9 36,4-46,3 N
P-LCR 17,8 9,3-27,9 N
MCV 73,6 76-92 N
MCH 25,2 24-30 N
MCHC 34,2 30-35 N
2. Pemeriksaan Radiologi
Kesan : Bronkopneumpnia, Susp TB paru

3. Skoring TB anak
E. DIAGNOSA
- Diagnosis utama : TB Paru
- Diagnosis penyerta : ISPA
- Diagnosis gizi : gizi kurang
- Diagnosis imunisasi : tidak dapat dinilai
- Dignosis perkembangan : sesuai usia
F. PLANNING
a. Medikamentosa
- Infus asering 13 tpm makro
- O2 1-2 LPM via nasal kanul
- Nebulizer farbivent 1 respul + Nacl 0,9% 2cc tiap 8 jam
- FDC TB anak 1x1
- Lasal Expectoran 3x ½ CTH
- Paracetamol Syrup 3x 1 CTH PRN
b. Non medikamentosa
- Tirah baring
- Edukasi keluarga untuk screening TB
- Edukasi pemberian nutrisi adekuat
- Edukasi kepatuhan meminum obat
c. Monitoring
- Pemantauan keadaan umum
- Pemantauan tanda-tanda vital
TINJAUAN PUSTAKA

TUBERKULOSIS PADA ANAK


I. Definisi
Tuberkulosis adalah infeksi menular (dapat ditularkan dari orang ke orang)
yang biasanya mempengaruhi paru-paru. Sekarang menyebar melalui tetesan
udara (droplet) ketika orang yang terinfeksi batuk atau bersin. Hal ini
disebabkan oleh bakteri yang disebut Mycobacterium TBC.
Pada saat diagnosis, orang dengan TB biasanya memiliki berbagai gejala
seperti demam ringan, batuk terus-menerus dengan sputum (dahak),
berkeringat di malam hari, dan penurunan berat badan yang tidak disengaja.
Sebagian besar kuman TB menyerang paru, namun dapat juga mengenai organ
tubuh lainnya.
Indonesia merupakan negara yang termasuk sebagai 5 besar dari 22 negara
di dunia dengan beban TB. Kontribusi TB di Indonesia sebesar 5,8%. Saat ini
timbul kedaruratan baru dalam penanggulangan TB, yaitu TB Resisten Obat
(Multi Drug Resistance/ MDR).

II. Epidemiologi
Hampir 10 tahun lamanya Indonesia menempati urutan ke-3 sedunia
dalam hal jumlah penderita tuberkulosis. Berdasarkan Data Badan Kesehatan
Dunia (WHO) pada tahun 2007 menyatakan jumlah penderita tuberkulosis di
Indonesia sekitar 528.000. Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat
Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebanyak
429.000 orang. Pada Global Report WHO 2010, didapat data TBC Indonesia,
total seluruh kasus TBC tahun 2009 sebanyak 294.731 kasus, dimana 169.213
adalah kasus TBC baru BTA positif, 108.616 adalah kasus TBC BTA negatif,
11.215 adalah kasus TBC ekstra paru, 3.709 adalah kasus TBC kambuh, dan
1.978 adalah kasus pengobatan ulang diluar kasus kambuh.

III. Patofisiologi
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB.
Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik
(droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman
TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik.
Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian
kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut.
Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer
GOHN1.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai
saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan
terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus paru bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe
parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan
terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa
inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada
proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya
berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12
minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai
jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler. Selama berminggu-minggu awal proses infeksi,
terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang
awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami
perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer
inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai
oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu
timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi,
uji tuberculin masih negatif.
Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh
terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system
imun yang berfungsi baik, begitu system imun seluler berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat
tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman
TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. Setelah
imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe
regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun
dalam kelenjar ini1.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi
yang terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe
regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat,
bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau
paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat
menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus,
sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa
kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut
sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler,
dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran
limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk
kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB
masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai
penyakit sistemik2.
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam
bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread).
Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi
sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian
akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya
dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak,
tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru.
Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk
koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk
dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit,
tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di apkes
paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahuntahun kemudian, bila daya
tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat 5 mengalami reaktivasi
dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang,
dan lain-lain1.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran
hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread).
Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam
darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.
TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB
yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis
diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host)
dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita3.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized
hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel
yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih
kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang
menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi
anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara
histologi merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah
protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu
focus perkijuan menyebar ke saluran vascular di dekatnya, sehingga
sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara
klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan
acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara
berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun
pertama), biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3
bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB
endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran
limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini
biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis
endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar
regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan).
Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia
terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi
kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi
ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang
terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang
terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3
tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi
primer.
IV. Manifestasi Klinis

Patogenesis Tb sangat kompleks, sehingga manifestasi klinis TB


sangan bervariasi dan bergantung pada beberapa faktor. Faktor yang
berperan adalah kuman TB, pejamu, serta interaksi antar keduanya. Faktor
kuman bergantung pada jumlah dan virulensi kuman, sedangkan pejamu
bergantung pada usia, dan kompetensi imun serta kerentanan pejamu pada
awal terjadinya infeksi. Manifestasi klinis TB terbagi dua, yaitu
manifestasi sistemik dan manifestasi spesifik organ/lokal.
Manifestasi Sistemik:
a. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain), yang dapat
disertai keringat malam. Demam umunya tidak tinggi.
b. Batuk lama >3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan.
c. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau tidak naik dalam 1 bulan
dengan penanganan gizi yang adekuat.
d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan BB tidak naik
dengan adekuat (failure to thrive).
e. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.1

Manifestasi Spesifik Organ/LokalManifestasi klinis spesifik bergantung pada


organ yang terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang,
dan kulit.
1. Kelenjar limfe superfisialis
Pembesaran kelenjar limfe superfisialis sebagau manifestasi TB sering
dijumpai. Kelenjar yang sering terkena adalah kelenjar limfe kolli anterior
atau posterior, tetapi juga dapat terjadi di aksila, inguinal, submandibula, dan
supraklavikula. Secara klinis, karakteristik kelenjar yang dijumpai biasanya
multiple, unilateral, tidak nyeri tekan, tidak hangat pada perabaan, mudah
digerakkan, dan dapat saling melekat (confluence) satu sama lain. Perlekatan
ini terjadi akibat adanya inflamasi pada kapsul kelenjar limfe (perifocal
inflammation). Pembesaran kelenjar superfisialis ini dapat disebabkan
penyakit lain.

2. Susunan saraf pusat


Tuberkulosis pada SSP yang tersering adalah meningitis TB. Penyakit
ini merupakan penyakit yang berat dengan mortalitas dan kecatatan yang
tinggi. Gejala klinis yang terjadi berupa nyeri kepala, penurunan kesadaran,
kaku kuduk, muntah proyektil, dan kejang. Proses patologis meningitis TB
biasanya terbatas di basal otak, sehingga gejala neurologis lain berhubungan
dengan gangguan saraf kranial.
Bentuk TB SSP yang lain adalah tuberkuloma, yang manifestasi
klinisnya lebih samar daripada meningitis TB, sehingga sering terdeteksi
secara tidak sengaja. Bila telah terjadi lesi yang menyebabkan proses desak
ruang, maka manifestasi klinisnya sesuai dengan lokasi lesi.

3. Sistem Skeletal
Gejala yang umum ditemukan pada TB sistem skeletal adalah nyeri,
bengkak pada sendi yang terkena, dan gangguan atau keterbatasan gerak.
Gejala infeksi sistemik biasanya tidak nyata. Pada bayi dan anak yang sedang
dalam masa pertumbuhan, epifisis tulang merupakan daerah dengan
vaskularisasi tinggi yang disukai oleh kuman TB. Oleh karena itu, TB sistem
skeletal lebih sering terjadi pada anak daripada orang dewasa. Tuberkulosis
sistem skeletal yang sering terjadi adalah spondilitis TB, koksitis TB, dan
gonitis TB. Manifestasi klinis TB sistem skeletal biasanya muncul secara
perlahan dan samar sehingga sering lambat terdiagnosa. Manifestasi klinis
dapat muncul pascatrauma, yang berperan sebagai pencetus. Tidak jarang
pasien datang pada tahap lanjut dengan kelainan tulang yang sudah lanjut dan
ireversibel. Gejalanya dapat berupa pembengkakan sendi, gibbus, pincang,
lumpuh, dan sulit membungkuk.

4. Kulit
Mekanisme terjadinya manifestasi TB pada kulit dapat melalui dua
cara, yaitu inokulasi langsung (infeksi primer) seperti tuberculosis chancre,
dan akibat limfadenitis TB yang pecah menjadi skrofuloderma (TB
pascaprimer). Menifestasi TB pada kulit yang paling sering dijumpai adalah
bentuk kedua, yaitu dalam bentuk skrofuloderma. Skrofuloderma sering
ditemukan di leher dan wajah, di tempat yang mempunyai kelenjar getah
bening (KGB), misalnya daerah parotis, submandibula, supraklavikula, dan
lateral leher.
V. Klasifikasi TB

1. TB aktif menggambarkan infeksi yang sedang berlangsung di mana seseorang


mengembangkan gejala dan memiliki positif (abnormal) hasil pada tes TB.
2. TB laten terjadi ketika seseorang tanpa gejala memiliki hasil positif pada kulit
TB atau tes darah. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang terinfeksi dengan
TB di masa lalu tapi bakteri berada dalam keadaan tidak aktif atau tidak aktif.
Orang dengan TB laten tidak bisa menyebarkan bakteri TB kepada orang lain.
3. Multidrug-resistant TB (MDR-TB) adalah bentuk TB aktif yang disebabkan
oleh bakteri yang tidak merespon obat yang paling umum digunakan untuk
mengobati TB.7
Cara penularan
1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak.9
3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat
bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.9
4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.9
5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.9

Risiko penularan
1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien
TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan
lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
2. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko
Terinfeksi TB selama satu tahun.
3. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk
terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
4. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi
positif.9

VI. Pemeriksaan Penunjang


I. Uji Tuberkulin
Uji tuberkulin merupakan alat diagnosis TB yang sudah sangat lama
dikenal, tetapi hingga saat ini masih mempunyai nilai diagnostik yang tinggi
terutama pada anak, dengan sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%.
Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2TU
(tuberculin unit) buatan Statens Serum Institute Denmark, dan PPD (purified
protein derivative) dari Biofarma.
Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml
PPD RT-23 atau PPD S 5TU, secara intrakutan di bagian volar lengan bawah.
Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengkuran dilakukan
terhadap indurasi yang timbul, bukan hiperemi/eritemanya. Indurasi diperiksa
dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi, ditandai dengan pulpen,
kemudian diameter transversal indurasi diukur dengan alat pengukur
transparan, dan hasilnya dinyatakan dalam milimeter. Jika tidak timbul
indurasi sama sekali, hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm, jangan hanya
dilaporkan sebagai negatif. Selain ukuran indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya
indurasi dan perlu dicatat jika ditemukan vesikel hingga bula.
Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi >10 mm
dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini
sebagian besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih dapat
mungkin disebabkan oleh imunisasi Bacille Calmette Guerin (BCG) atau
infeksi M. atipik. Pengaruh BCG terhadap reaksi positif tuberkulin secara
bertahap akan semakin berkurang dengan berjalannya waktu, dan paling lama
berlangsung hingga 5 tahun setelah penyuntikan.
Pada anak balita yang telah mendapatkan BCG, diameter indurasi 10-
15 mm dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi
TB alamiah, tetapi masih dapat mungkin disebabkan oleh BCGnya. Akan
tetapi, bila ukuran indurasi >15 mm, hasil positif ini sangat mungkin karena
infeksi TB alamiah. Jika membaca hasil tuberkulin pada anak berusia lebih
dari 5 tahun, faktor BCG dapat diabaikan.1
Apabila diameter indurasi 0-4 mm, dinyatakan uji tuberkulin negatif.
Diameter 5-9 mm dinyatakan positif meragukan. Hal ini dapat disebabkan
oleh kesalahan teknis, keadaan anergi, atau reaksi silang dengan M. atipik.
Bila mendapatkan hasil yang meragukan, uji tuberkulin dapat diulang. Untuk
menghindari efek booster tuberkulin, ulangan dilakukan 2 minggu kemudian
dan penyuntikan dilakukan di lokasi yang lain, minimal berjarak 2 cm.1

Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut:
1. Infeksi TB alamiah, infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten), infeksi
TB dan sakit TB, TB yang telah sembuh.
2. Imunisasi BCG (infeksi TB buatan).
3. Infeksi mikobakterium atipik.

Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut:
1. Tidak ada infeksi TB.
2. Dalam masa inkubasi infeksi TB.
3. Anergi.
Anergi adalah keadaan penekanan sitem imun oleh berbagai
keadaan, sehingga tubuh tidak memberikan reaksi terhadap tuberkulin
walaupun sebenarnya sudah terinfeksi TB. Beberapa keadaan dapat
menimbulkan alergi, misalnya gizi buruk, keganasan, penggunaan steroid
jangka panjang, sitostatik, penyakit morbili, pertusis, varisela, influenza,
TB yang berat, serta pemberian vaksinasi dengan vaksin viru yang hidup.

Tabel Klasifikasi Individu Berdasarkan Status Tuberkulosisnya


Sumber: CDC & American Thoracic Society (ATS)1,2
Kelas TB Kontak Infeksi Sakit Tindakan
0 - - - -
1 + - - Profilaksis I
2 + + - Profilaksis II
3 + + + Terapi

Keterangan:
 Kelas 0: seseorang atau sekelompok orang yang tidak mengalami kontak
dengan pasien TB paru dewasa aktif, tentu tidak terinfeksi TB, dan tidak
sakit TB.
 Kelas 1: orang/anak yang sedang mengalami kontak dengan pasien TB
paru dewasa aktif, namun tidak/belum terinfeksi TB, dan tentu tidak sakit
TB.
 Kelas 2: orang/anak yang sedang mengalami kontak dengan pasien TB
paru dewasa aktif, telah terinfeksi TB, namun tidak sakit TB.
 Kelas 3: orang/anak yang sedang mengalami kontak dengan pasien TB
paru dewasa aktif, telah terinfeksi TB, dan sakit TB.

2. Uji Interferon
Telah dikembangkan suatu pemeriksaan imunitas selular yang lebih
praktis yaitu dengan memeriksa spesimen darah, dan diharapkan dapat
membedakan infeksi TB dan sakit TB. Pemeriksaan yang dimaksud adalah
uji interferon (interferon gamma release assay, IGRA). Terdapat dua jenis
IGRA, pertama adalah inkubasi darah dengan early secretory antigenic
target-6 (ESAT-6) dan culture filtrate protein-10 (CFP-10) dengan nama
dagang QFT/QFT-G (Quantiferon TB dan Quantiferon TB Gold). Kedua
adalah pemeriksaan enzyme linked immunospot dengan nama dagang T-spot
TB.
Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan antigen
tertentu, diantaranya antigen dari kuman TB. Bila sebelumnya limfosit T
tersebut telah tersensitisasi dengan antigen TB (pasien telah mengalami
infeksi TB), maka limfosit T akan menghasilkan interferon gamma, yang
kemudian dikalkulasi. Dari hasil kalkukasi tadi diharapkan dapat dilakukan
penentuan cut-off point yang membedakan infeksi dengan sakit TB. Antigen
yang digunakan untuk uji ini adalah ESAT-6 dan CFP-10. Akan tetapi, uji
klinis menunjukkan bahwa QFT TB memiliki sensitivitas dan spesifitas yang
tidak terlalu baik, terlebih untuk pasien anak. Kemudian dikembangkan uji
QFT-G, hanya saja jumlah penelitian yang menyatakan efektivitas
pemeriksaan ini pada anak usia <17 tahun masih terbatas. Sejauh ini hasilnya
juga belum menggembirakan, sehingga harapan untuk dapat membedakan
infeksi TB dengan sakit TB belum dapat dicapai.
Selain itu, pemeriksaan imunitas selular lain dengan spesimen darah,
yaitu enzyme-linked immunospot interferon gamma untuk TB (ELISpoT TB).
Pemeriksaan ini dapat membedakan antara hasil positif yang disebabkan oleh
infeksi M. tuberculosis, oleh BCG, dan oleh infeksi M. atipik. Akan tetapi,
pemeriksaan tersebut hingga saat ini belum dapat membedakan antara infeksi
TB dan sakit TB.

3. Radiologi
Gambaran foto toraks pada TB anak tidak khas, kelainan-kelainan
radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya, foto
toraks yang normal (tidak terdeteksi secara radiologis) tidak dapat
menyingkirkan diagnosis TB jika klinis dan pemeriksaan penunjang lain
mendukung. Dengan demikian, pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat
digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran milier. Ciri khas TB
paru pada anak adalah limfadenitis hilus yang relatif besar dan penting
dibandingkan dengan fokus parenkim awal dengan ukuran yang kurang, dulu
dikenal sebagai kompleks Ghon (dengan atau tanpa kalsifikasi dari kelenjar
limfe). Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah sebagai
berikut:1
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat.
b. Konsolidasi segmental/lobar.
c. Milier.
d. Kalsifikasi dengan infiltrat.
e. Atelektasis.
f. Kavitas.
g. Efusi pleura.
h. Tuberkuloma.

Foto toraks tidak cukup hanya dibuat secara antero-posterior (AP),


tetapi harus disertai dengan foto lateral, mengingat bahwa pembesaran KGB
di daerah hilus biasanya lebih jelas pada foto lateral. Sebagai pegangan
umum, jika ditemui ketidaksesuaian (diskongruensi) antara gambaran
radiologis yang berat dan gambaran klinis ringan, maka harus dicurigai TB.
Pada keadaan foto toraks tidak jelas, bila perlu dilakukan pemeriksaan
pencitraan lain seperti CT-Scan toraks.

4. Serologi
Pada awalnya pemeriksaan serologis diharapkan dapat membedakan
antara infeksi TB dan sakit TB. Berbagai penelitian dan pengembangan
pemeriksaan imunologik antigen-antibodi spesifik untuk M. tuberculosis
ELISA dengan menggunakan PPD, A60, 38kDa, lipoarabinomanan (LAM)
dengan bahan pemeriksaan dari darah, sputum, cairan bronkus (bronkus dan
bronchoalveolar lavage, BAL), cairan pleura, dan CSS terus dilakukan. Juga
yang belakangan ini diteliti adalah deteksi anti-interferon-gamma-
autoantibody (anti IFN-ɡ). Beberapa pemeriksaan serologis yang ada
diantaranya adalah PAP TB, Mycodot, immunochromatographic test (ICT)
dan lain-lain. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada satu pun pemeriksaan
serologis yang dapat memenuhi harapan itu. Semua pemeriksaan tersebut
umumnya masih dalam taraf penelitian untuk pemakaian klinis praktis.

5. Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologis yang dilakukan terdiri dari dua macam,
yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung untuk menemukan BTA dan
pemeriksaan biakan kuman M. Tuberculosis.
Pemeriksaan di atas sulit dilakukan pada anak karena sulitnya
mendapatkan spesimen berupa sputum. Sebagai gantinya, dilakukan
pemeriksaan bilas lambung (gastric lavage) 3 hari berturut-turut, minimal 2
hari. Hasil pemeriksaan mikroskopis langsung pada anak sebagian besar
negatif, sedangkan hasil biakan M. tuberculosis memerlukan waktu yang
lama yaitu sekitar 6-8 minggu. Saat ini ada pemeriksaan biakan yang hasilnya
diperoleh lebih cepat (1-3 minggu), yaitu pemeriksaan Bactec, tetapi
biayanya mahal dan secara teknologi lebih rumit.
Perkembangan lain di bidang mikrobiologi adalah pemeriksaan PCR.
Pemeriksaan PCR merupakan teknik amplifikasi urutan DNA yang spesifik.
Secara teori, dengan metode ini, kuman yang berasal dari spesimen bilas
lambung akan dapat dideteksi meskipun hanya ada satu kuman M.
tuberkulosis pada bahan pemeriksaan, sehingga diiharapkan sensitivitasnya
cukup tinggi.
Akan tetapi, terdapat beberapa kelemahan untuk menerapkan PCR
sebagai pemeriksaan rutin, yaitu variasi tingkat sensitivitas pada pemeriksaan
di berbagai laboratorium, dan mudahnya terjadi kontaminasi kuman/bagian
dari kuman yang berasal dari pemeriksaan sebelumnya, sehingga dapat
menyebabkan positif palsu. Hasil positif pun tidak selalu menunjukkan
kuman yang aktif, karena kuman dorman atau persister dapat terdeteksi
dengan pemeriksaan ini. Selain itu, teknologi yang digunakan masih
tergolong rumit, sehingga menyebabkan tingginya biaya PCR. Oleh karena
itu, hingga saat ini pemeriksaan PCR belum digunakan untuk pemeriksaan
klinis rutin.
Spesimen darah tidak bermanfaat pada pemeriksaan PCR. Spesimen
yang dapat digunakan adalah sputum, bilas lambung, cairan pleura, atau CSS.

6. Patologi Anatomik
Pemeriksaan penunjang yang mempunyai nilai tinggi meskipun tidak
setinggi mikrobiologi adalah pemeriksaan histopatologik, yang dapat
memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan PA dapat memberikan
gambaran granuloma yang ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel
epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tersebut mempunyai
karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma.
Gambaran kahas lainnya adalah ditemukannya multinucleated giant cell (sel
datia Langhans). Diagnosis histopatologik dapat ditegakkan denan
menemukan perkijuan, sel epiteloid, limfosit, dan sel datia Langhans.
Kadang-kadang dapat ditemukan juga BTA.
Kendalanya adalah kesulitan mendapatkan spesimen yang
representatif. Spesimen yang paling mudah dan paling sering diperiksa adalah
limfadenopati kolli. Idealnya kelenjar diambil secara utuh agar gambaran
histopatologi yang khas dapat terlihat. Pemeriksaan PA kelenjar limfe ini
mempunyai perancu, yaitu infeksi M. atipik dan limfadenitis BCG yang
secara histopatologis sulit dibedakan dengan TB. Pada kenyataannya,
seringkali KGB kolli ini diambil dengan cara biopsi jarum halus. Sebenarnya,
spesimen yang diambil dengan menggunakan jarum halus kurang
representatif karena jaringan yang terambil hanya berupa sel, sehingga lebih
mendekati pemeriksaan serologi yang sulit untuk dibuat kesimpulan pasti.

VII. Diagnosis

Rekomendasi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tentang diagnosis


tuberkulosis (TB) pada anak didasarkan pada:
1. Bukti atau kecurigaan adanya kontak dengan sumber infeksi TB, biasanya
pasien TB dewasa dengan hasil basil tahan asam (BTA) positif.
2. Gejala dan tanda klinis sugestif TB, termasuk penilaian seksama terhadap
kurva tumbuh kembang anak.
3. Uji tuberkulin positif.
4. Gambaran radiologis sugestif ke arah TB.
VIII. Tatalaksana

Tatalaksana TB pada anak merupakan suatu kesatuan yang tidak


terpisahkan antara pemberian medikamentosa, penanganan gizi, dan pengobatan
penyakit penyerta. Selain itu penting untuk dilakukan pelacakan sumber infeksi,
dan bila ditemukan sumber infeksi juga harus mendapatkan pengobatan. Upaya
perbaikan kesehatan lingkungan juga diperlukan untuk menunjang keberhasilan
pengobatan. Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari penyuluhan kesehatan
kepada masyarakat atau kepada orang tua pasien mengenai pentingnya menelan
obat secara teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, pengawasan terhadap
jadwal pemberian obat, keyakinan bahwa obat diminum dan sebagainya.1
1. Medikamentosa
Obat TB utama (first line, lini pertama) saat ini adalah rifampisin (R),
isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan streptomisin (S).
Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah
dengan pirazinamdi, etambutol, dan steptomisin. Obat TB lain (lini kedua)
adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide,
prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, moxiflokxacin, gatifloxacin,
ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika
terjadi MDR.1
a. Isoniazid1
Isoniazid (isonikotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT)
yang sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap
kuman dalam keadaan metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang),
dan bersifak bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif
pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh
jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites,
jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi simpang (adverse reaction)
yang sangan rendah.
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan
adalah 5-15 mg/kgBB/hari, maksimal 300 mg/hari, dan diberikan dalam
satu pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100
mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/5 ml. Sediaan dalam
bentuk sirup biasanya tidak stabil, sehingga tidak dianjurkan
penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum dan CSS
dapat dicapai dalam 1-2 jam, dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam.
Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di hati. Terdapat dua kelompok
pasien berdasarkan kemampuannya melakukan asetilasi, yaitu asetilator
cepat dan asetilator lambat.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan
neuritis perifer. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan isoniazid
mengalami peningkatan kadar transmaninase darah yang tidak terlalu
tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa
penghentian obat. Neuritis perifer akibat inhibisi kompetitif karena
metabolisme piridoksin. Manifestasi klinis neuritis perifer yang paling
sering adalah mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki.

b. Rifampisin1
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat
memasuki semua jaringan, dan dapat membunuh kuman semidorman yang
tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorpsi dengan baik
melalui sistem gastrointestinal pada perut kosong (1 jam sebelum makan),
dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin
diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis
maksimal 600 mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika
diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak melebihi 15
mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari. Seperti halnya
isoniazid, rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan
tubuh, termasuk CSS. Distribusi rifampisin ke dalam CSS lebih baik pada
keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan daripada keadaan
normal. Ekskresi rifampisin terutama terjadi melalui traktus bilier. Kadar
yang efektif juga dapat ditemukan di ginjal dan urin.
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi daripada isoniazid.
Efek yang kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin,
ludah, keringat, sputum, dan air mata, menjadi orange kemerahan. Selain
itu, efek samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (muntah dan
mual), dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai
dengan peningkatan kadar transminase serum yang asimtomatik. Jika
rifampisin diberikan bersama isonoazid, terjadi peningkatan risiko
hepatotoksisitas yang dapat diperkecil dengan cara menurunkan dosis
harian isoniazid menjadi maksimal 10 mg/kgBB/hari. Rifampisin juga
dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi
oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat,
termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofilin, kloramfenikol,
kortikosteroid, dan sodium warfarin. Rifampisin umumnya tersedia dalam
sediaan kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg, sehingga kurang sesuai untuk
digunakan pada anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat
dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya
tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat timbul
malabsorpsi.

c. Pirazinamid1
Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada
jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel
pada suasana asam, dan diresorbsi baik pada saluran cerna.
Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-30
mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45
ug/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan dalam fase intensif karena
pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam, yang timbul
akibat jumlah kuman masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman
pada anak. Kira-kira 10% orang dewasa yang diberikan pirazinamid
mengalami efek samping berupa atralgia, artritis atau gout akibat
hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat
jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan
iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak.
Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid,
dapat digerus dan diberikan bersama dengan makanan.

d. Etambutol1
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya
pada mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat
bakterisid, jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten.
Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya
resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20
mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gram/hari, dengan sosis tunggal. Kadar
serum puncak 5 ug dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk
tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa
dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari,
tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan
meningitis.
Eksresi terutama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat
dengan etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utama adalah
neuritis optik dan buta warna merah-hijau, sehingga penggunaannya
dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya.
Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa pemberian etambutol dengan
dosis 15-25 mg/kgBB/hari tidak ditemukan kejadian neuritis optika pada
pasien yang dipantau hingga 10 tahun pascapengobatan. Rekomendasi
WHO terakhir mengenai pelaksanaan TB anak, etambutol dianjurkan
penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol
dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten
obat jika obat-obat lainya tidak tersedia atau tidak dapat digunaka.

e. Streptomisin1
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraselular. Saat ini, streptomisin jarang digunakan
dalam pengobatan TB, tetapi penggunaannya penting pada pengobatan fase
intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara
intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram/hari,
dan kadar puncak 40-50 ug/ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang.
Streptomisin berdifusi dengan baik pada pada jaringan dan cairan pleura,
dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika
terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak
menderita TB berat. Toksisitas utama sterptomisin terjadi pada nervus
kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran, dengan
gejala berupa telingan berdengung (tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal
sangat jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga
perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat
merusak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.

Tabel 2. Obat Antituberkulosis yang Biasa Dipakai dan Dosisnya


Sumber: Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak oleh IDAI1
Dosis harian Dosis maksimal
Nama Obat Efek samping
(mg/kgBB/hari) (mg per hari)
Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas
Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
Rifampisin** 10-20 600 trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan
tubuh berwarna orange kemerahan
Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, artralgia, gastrointestinal
Neuritis optik, ketajaman mata berkurang, buta
Etambutol 15-20 1250 warna merah-hijau, penyempitan lapang
pandnag, hipersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksik, nefrotoksik

* Bila isoniazid dikombinasi dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10


mg/kgBB/hari.
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabilitas rifampisin.

Panduan Obat TB
Pengobatan TB menjadi dua fase, yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan
sisanya fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Prinsip dasar pengobatan TB adalah
minimal tiga macam obat pada fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam
obat pada fase lanjutan. Pemberian paduan obat ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraselular dan
ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman
juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya relaps.1
Berbeda dengan orang dewasa, OAT pada anak diberikan setiap hari,
bukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujun untuk mengurangi
ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan
setiap hari. Saat ini, paduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada
anak adalah paduan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid. Pada fase intensif
diberikan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamidm sedangkan pada fase lanjutan
hanya diberikan rifampisin dan isoniazid. Etambutol ditambahkan pada kasus
berat seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang dan TB ekstra paru berat
lainnya.1

Fixed Dose Combination (FDC)


Salah satu masalah dalam terapi TB adalah keteraturan pasien dalam
menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak. Untuk
mengatasi hal tersebut, dibuat suatu sediaan obat kombinasi dengan dosis yang
telah ditentukan, yaitu FDC atau kombinasi dosis tetap (KDT).1

Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan TB adalah sebagai berikut:1


1. Menyederhanakan pengobatan dan mengurangi kesalahan penulisan resep.
2. Meningkatkan penerimaan daan keteraturan pasien.
3. Memungkinkan petugas kesehatan untuk memberikan pengobatan standar
dengan cepat.
4. Mempermudah pengelolaan obat.
5. Mengurangi kesalahan penggunaan obat TB sehingga mengurangi resistensi
terhadap obat TB.
6. Mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan terjadinya kekambuhan.
7. Mempercepat dan mempermudah pengawasan menelan obat sehingga dapat
mengurangi beban kerja.
8. Mempermudah penentuan dosis berdasarkan BB.

Tabel 3. Dosis Kombinasi pada Tuberkulosis Anak


Sumber: Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI1
2 Bulan 4 Bulan
Berat Badan (Kg)
RHZ (75/50/150 mg) RH (75/50 mg)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet

Catatan:
 Bila BB >33 kg, dosis disesuaikan dengan obat yang biasa dipakai pada TB
anak.
 Bila BB <5 kg sebaiknya dirujuk ke RS.
 Obat tidak boleh diberikan setengah dosis tablet.
 Perhitungan pemberian tablet di atas sudah memperhatikan kesesuaian dosis
per kgBB.

Tips untuk Pembuatan Resep OAT2


1. Pastikan Anda paham tentang regimen pemberian OAT, yaitu:
a. Fase intensif 2 bulan pertama: harus 3 macam OAT (4 macam untuk TB
berat): INH, Rifampisin, Pirazinamid, (dan Etambutol).
b. Fase lanjutan bulan 3-6: INH dan Rifampisin (saja).
2. Setiap OAT harus dengan resep terpisah, tidak boleh dicampur dalam satu
resep. Alasannya adalah karena pencampuran ketiga OAT dalam waktu lama
akan merusak bioavaibilitas rifampisin, sehingga OAT tidak efektif. Harus
cek dan ricek setelah pasien mendapat OAT dari apotik, apakah peracikan
OAT sesuai dengan instruksi dokter. Kadang-kadang ada petugas apotek yang
tetap meracik OAT dalam satu bungkus, tidak sesuai dengan resep yang
dibuat dokter.
3. Boleh juga memakai OAT dalam bentuk FDC, yaitu 3 atau 2 macam OAT
yang telah dicampur langsung oleh pabrik farmasi tertentu yang telah
direkomendasi WHO, sehingga bioavailabilitas rifampisin tidak rusak. FDC
yang beredar sekarang adalah fase intensif: Rimcure Paed, fase lanjutan:
Rimactazid Paed. Perhatikan dosis pemberiannya dalam bentuk rentang BB.
4. Kapan diperlukan pemberian vitamin B6?
a. Vitamnin B6 tidak direkomendasikan pada setiap pemberian OAT pada
anak, kecuali anak remaja dengan diet tidak adekuat, malnutrisi, dan pada
bayi yang hanya minum ASI.
5. Buat resep OAT pertama kali untuk pemakaian 2 minggu sambil memantau
efek samping OAT.

2. Nonmedikamentosa
a. Pendekatan DOTS
Hal yang paling penting pada tatalaksana TB adalah keteraturan
menelan obat. Pasien TB biasanya telah menunjukka pernaikan beberapa
minggu setelah pengobatan, sehingga merasa telah sembuh dan tidak
melanjutkan pengobatan.1
Keteraturan pasien dikatakan baik apabila pasien menalan obat
sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam paduan pengobatan.
Keteraturan menelan obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta
mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Salah satu upaya untuk
meningkatkan keraturan adalah melakukan pengawasan langsung terhadap
pengobatan (directly observed treatment). Directly observed treatment
shortcourse (DOTS) adalah strategi yang telah direkomendasi oleh WHO
dalam pelaksanaan penanggulangan TB, dan telah di Indonesia sejak tahun
1995. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka
kesembuhan yang tinggi.1
Sesuai dengan rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima
komponen yaitu:1
1) Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk
dukungan dana.
2) Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.
3) Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat (PMO).
4) Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu
terjamin.
5) Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan
pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB.

Kelima komponen DOTS di atas terutama untuk pasien TB dewasa,


khususnya pada butir dua dan lima. Butir dua menyatakan diagnosis TB
dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis, yang pada anak sulit
dilaksanakan. Sebagai gantinya, untuk diagnosis TB pada anak digunakan
uji tuberkulin. Butir lima pun sesuai dengan butir dua, sehingga format
pencatatan dan pelaporan dibuat untuk kelompok usia 15 tahun ke atas,
sedangkan format untuk kelompok usia 15 tahun ke bawah belum ada.
Oleh sebab itu, diperlukan format khusus untuk kelompok usia 15 tahun ke
bawah yang saat ini sedang dalam proses penyusunan.1
Syarat untuk menjadi PMO adalah sebagai berikut: dikenal,
dipercaya, disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, serta
harus disegani dan dihormati oleh pasien, tempat tinggalnya dekat dengan
pasien, bersedian membantu pasien dengan sukarela, bersedia dilatih atau
mendapatkan penyuluhan.1
Orang yang dapat menjadi PMO adalah petugas kesehatan, keluarga
pasien, kader, pasien yang sudah sembuh, tokoh masyarakat, serta guru
sekolah atau petugas unit kesehatan sekolah yang sudah dilatih strategi
DOTS.1
Keterbatasan akses terhadap pelayanan DOTS yang berkualitas
masih dijumpai terutama pada masyarakat miskin dan rentan di perkotaan,
populasi di rutan/lapas, dan penduduk dikawasan terpencil, perbatasan dan
kepulauan terutama di kawasan Indonesia Timur khususnya. Masyarakat
miskin di perkotaan mempunyai kendala sosial ekonomi untuk dapat
mengakses pelayanan DOTS. Sebagian besar rutan dan lapas belum
terintegrasi dalam program pengendalian TB dan belum melaksanakan
upaya pengendalian infeksi TB, sehingga akses pelayanan DOTS juga
terbatas. Selain kelompok masyarakat miskin-rentan tertentu, perhatian
khusus perlu diberikan kepada Kawasan Timur Indonesia secara umum,
termasuk masyarakat yang tinggal di daerah terpencil di wilayah tersebut.
Papua khususnya memerlukan pendekatan spesifik terkait dengan epidemi
HIV yang meluas. Kesenjangan kuantitas dan kualitas SDM di provinsi
tersebut masih sangat lebar sehingga memerlukan investasi yang cukup
besar untuk memenuhi persyaratan ketenagaannya. Tantangan lain di
kawasan ini adalah tingginya angka kasus mangkir dikarenakan masalah
akses serta tingginya biaya transportasi serta opportunity cost.1

b. Sumber Penularan dan Case Finding


Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus
dicari suumber penularannya yang menyebabkan anak tersebut tertular TB.
Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan
kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan
dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan
sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu juga dilakukan
pelacakan sentifugal yaitu mencari anak lain di sekitarnya yang mungkin
juga tertular dengan cara uji tuberkulin.1
Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak di
sekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi
TB. Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan
fisis, dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin.1

c. Aspek Edukasi dan Sosial Ekonomi


Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosioekonomi. Karena
pengobatan TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka
waktu yang cukup lama, maka biaya yang diperlukan cukup besar. Selain
itu, diperlukan juga penanganan gizi yang baik, meliputi kecukupan asupan
makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang baik,
pengobatan dengan medikamentosa saja tidak akan mencapai hasil yang
optimal. Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar
mengetahui mengenal TB. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena
sebagian besar TB anak tidak menular kepada orang disekitarnya. Aktivitas
fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB berat.1

Komplikasi
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi
lanjut:
1. Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus Poncet’s
arthropathy.8
2. Komplikasi lanjut: obstruksi jalan napas-SOFT (Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat-SOPT/fibrosis paru, kor pulmonal,
amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering
terjadi pada TB milier dan kavitas TB.8

Pencegahan
1. Imunisasi BCG
Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 3 bulan, optimal umur 2
bulan.1,10 Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan
secara intrakutan di daerah insersi otot deltoid (penyuntikan lebih mudah dan
lemak subkutis lebih tebal, ulkus tidak mengganggu struktur otot dan sebagai
tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia >3 bulan, sebaiknya dilakukan uji
tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang mendapat BCG
berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin,
jarak pemberian vaksin, dan intensitas pemaparan infeksi.1
Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-
80%. Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis
TB, dan spondilitis TB pada anak. Imunisasi BCG relatif aman, jarang timbul
efek samping yang serius. Efek samping yang sering ditemukan adalah
ulserasi lokal dan limfadenitis dengan insidens 0,1-1%. Kontraindikasi BCG
adalah kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat,
gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi
mencapai BB optimal.1
2. Kemoprofilaksis
Terdapat dua macam kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer
dan sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya
infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya
infeksi menjadi sakit TB.1
Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10
mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak
yang kontak dengan TB menular, terutama dengan sputum BTA positif, tetapi
belum terinfeksi. Obat diberikan selama 6 bulan. Pada akhir bulan ketiga
pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif,
profilaksis dilanjutkan hingga 6 bulan. Jika terjadi konversi tuberkulin
menjadi positif, evaluasi status TB pasien. Pada akhir bulan keenam
pemberian profilaksis, dilakukan uji tuberkulin, jika tetap negatif profilaksis
dihentikan, jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif, evaluasi status TB
pasien.1
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi,
tetapi belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis
dan radiologis normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder,
tetapi hanya anak yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi untuk
berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan
imunokompromais. Contoh anak dengan imunokompromais adalah usia
balita, menderita morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat
imunosupresif yang lama, usia remaja, dan infeksi TB baru (konversi uji
tuberkulin dalam waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk
kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12 bulan.1
Tips untuk Edukasi Orangtua2
1. Pastikan orangtua memahami bahwa terapi OAT minimal 6 bulan dan tidak
boleh terputus. Oleh karena itu, sebelum OAT habis sudah harus kontrol
kembali untuk mendapatkan OAT selanjutnya.
2. Orangtua tidak perlu khawatir bila setelah memulai minum OAT buang kecil
anak akan berwarna merah.
3. Beritahu orangtua bahwa waktu yang paling baik minum OAT adalah pada
saat perut kosong, misalnya pagi hari bangun tidur. Minum sekaligus ketiga
macam OAT dan baru boleh makan atau minum susu 1 jam setelah minum
OAT.
4. Ajak orangtua mengamati kemungkinan timbulnya gejala reaksi dan efek
samping OAT, seperti gatal-gatal, muntah, dan mata kuning. Segera hentikan
dan bawa anak kembali ke dokter.
5. Beritahu orangtau bahwa anak kecil dengan TB tidak perlu
diasingkan/dikucilkan karena tidak akan menularkan kepada anak lain.

Prognosis
Pada umumnya, prognosis tuberkulosis pada bayi, anak, dan remaja baik
jika dikenali sejak dini dan pengobatan yang efektif. Pada sebagian besar anak
dengan TB paru, penyakit akan sembuh total, dan hasil radiologis menjadi
normal..
Diagnosis Banding pada Kasus TB Paru Anak
Tuberkulosis Pneumonia Bronkitis Asma
Bronkial
Micobacterium M. pneumoniae, S. Respiratory sel-sel infamasi,
tuberculosis pneumoniae, C. syncytial virus, mediator kimia,
pneumoniae, H. adenovirus, faktor
Etiologi
influenza. rhinovirus, kemotaktik.
parainfluenza
virus.
Demam, keringat Demam, mengigil, Batuk, coryza, Batuk, mengi,
malam, batuk, takipnoe, batuk, rinorea, mengi, sesak, napas
berat badan turun, malaise, nyeri ronki, demam, cepat, takikardia.
Gejala anoreksia, diare dada, retraksi, retraksi.
Klinis persisten, mengi, stridor,
pembesaran ronki kering.
kelenjar limfe
superfisialis.
INH, rifampisin, Ertitromisin, Saturasi oksigen, Kontrol
pirazinamid, azitromisin, rawat inap, lingkungan,
streptomisin, klaritromisin, injeksi kortikosteroid
Tatalaksa
etambutol, klindamisin, palivizumab. inhalasi,
na
imunisasi BCG, penisilin G, formoterol,
DOTS. vankomisin. teofilin,
omalizumab.
Tuberkulin test, Biakan darah, Leukositosis, Spirometri,
aspirasi lambung, radiologi, biopsi, ELISA, PCR, RAST,
Penunjan
radiologi, bronkoskopi. radiologi radiologi.
g
serologi, PA,
interferon.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB. Pedoman nasional


tuberkulosis anak. Edisi 2. Jakarta: UKK Respirologi PP IDAI; 2007. Hal. 1-90.
2. Setyanto DB. Anak tersangka tb (to treat or not to treat). Dalam: Gunardi H dkk,
penyunting. Kumpulan Tips Pediatri, Edisi Ke-2. Jakarta; Badan Penerbit IDAI:
2011. hal. 282-310.
3. Unit Kerja Koordinasi Respirologi IDAI. Rekomendasi IDAI tentang tuberkulosis.
25 Februari 2014. Diunduh 16 April 2018 Pukul 10.30 WIB.
http://idai.or.id/professional-resources/rekomendasi/tuberkulosis.html.
4. Sihombing H. 2012. Universitas Sumatera Utara. Diunduh 16 April 2018 Pukul
22.30 WIB.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33363/5/Chapter%20I.pdf.
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. Riset kesehatan
dasar, Riskesda 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2013. hal. 69-70.
6. Kemenkes RI Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Stop tb,
terobosan menuju akses universal, strategi nasional pengendalian tb di indonesia
2010-2014. Jakarta: Kemenkes RI; 2011. hal. 12-26.
7. Punnoose AR. Tuberculosis. The Journal of the American Medical Association.
2013;309(9):1.
http://jama.jamanetwork.com/solr/searchresults.aspx?q=tuberculosis&fd_JournalID=
67&f_JournalDisplayName=JAMA&SearchSourceType=24. Diunduh 17 April 2018
Pukul 20.30 WIB..
8. Marcdante KJ, Behrman RE, Kliegman RM. Nelson essentials of pediatrics. Edisi 6.
IDAI, penerjemah. Siangapore: Saunders Elsevier; 2014. hal. 339-557.
9. Werdhani RA. Patofisiologi, diagnosis, dan klasifikasi tuberkulosis. Jakarta;
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI. Diunduh 17
April 2018 Pukul 10.30 WIB..
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/retno.asti/material/patodiagklas.pdf.
10. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jadwal imunisasi IDAI 2014. 22 April 2014.
Diunduh 17 April 2018 Pukul 17.44 WIB.
http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal/imunisasi/idai/2014.

Anda mungkin juga menyukai