Produksi rumput laut Indonesia banyak berasal dari Sulawesi Selatan, Bali, Jawa
Timur, Nusa Tenggara, Madura, dan Papua. Sebagian besar rumput laut kering
diekspor ke Cina, atau sebanyak 50 persen dari total produksi, lalu ke Eropa. Selain
itu, rumput laut juga diekspor ke sejumlah negara ASEAN, yaitu Filipina,
Thailand, dan Vietnam.
Menurut dia, ketidakmampuan industri dalam negeri menyerap rumput laut juga
karena masih banyak yang belum berstandar internasional. Dengan demikian,
produk olahan rumput laut yang diproduksi tak mampu menembus pasar ekspor.
"Kami optimistis pelaku usaha di dalam negeri bisa maju supaya kita jangan hanya
ekspor raw material rumput laut, tapi sudah bentuk olahan. Tapi perlu ada
dorongan dari pemerintah untuk melakukan sinkronisasi industri dengan
pembudidaya," katanya.
Ia mengkritisi pemerintah yang tidak memiliki road map jelas soal pengembangan
rumput laut nasional. Pemerintah dianggap sering kali hanya menetapkan target
produksi rumput laut basah yang tidak bisa diukur dengan pasti. Tidak hanya itu,
beberapa kementerian juga dinilai tidak mampu berkoordinasi sehingga road
map yang dibuat untuk mengembangkan rumput laut berjalan masing-masing.
"Tidak ada strategi pengembangan nasional," katanya.
Memasuki April ini, lanjutnya, harga rumput laut kembali turun di angka Rp 7.000-
8.000 per kilogram karena pasokan melimpah namun permintaan sedikit. Harga
tinggi biasanya terjadi pada periode musim hujan, yang berkisar Rp 10 ribu per
kilogram, karena permintaan tinggi namun pasokan terbatas. "Biasanya permintaan
tinggi pada Januari-Februari karena ada perayaan hari-hari besar, salah satunya
Imlek," ujar dia. Bergantung pada penjemuran matahari.