Anda di halaman 1dari 17

AUTISME

BKI BERKEBUTUHAN KHUSUS

Dosen Pengampu : Ferra Puspito Sari, M. Pd.

Disusun Oleh :

Rifki Yuldi Pratama (17102020067)

Annisa Robbiatun Tammimah (17102020003)

Isam Syamsudin (17102020008)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
TAHUN AKADEMIK 2019-2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, yang Maha Pengasih, lagi Maha
Penyayang, kepada seluruh hambaNya. Dengan nikmat dan KaruniaNya lah kita
masih diberikan kesempatan untuk beribadah sampai saat ini dan masih diberikan
rahmat untuk menjalankan kehidupan kita. Shalawat dan salam tak lupa kita
sampaikan kehadirat Nabi besar Muhammad Saw yang kita tunggu syafaatnya di
hari akhir kelak.

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki kekurangan dalam


diri mereka secara fisik dan psikis atau mental yang tidak seperti orang lain pada
umumnya. Salah satu kategori anak berkebutuhan khusus adalah autisme. Autisme
ditandai dengan adanya kelainan pada sistem syaraf pusat otak akibat hereditas dan
sudah dapat dideteksi sejak usia 6 bulan. Autisme merupakan gangguan
perkembangan yang merupakan bagian dari spektrum autisme atau autisme
spcetrum dissorders. Pada dasarnya autisme bukanlah gangguan kejiwaan
melainakan gangguan pada otak sehingga kinerja otak tidak berfungsi selayaknya
otak normal.

Akhir kata, makalah yang kami buat ini masih jauh dari sempurna sehingga
masih perlunya perbaikan baik dari segi sistematika, literatur, dan redaksi. Kritik
dan saran yang membangun sangat kami harapkan dalam meningkatkan dan
memperbaiki makalah ini. Terima kasih kami ucapkan kepada dosen pengampu
mata kuliah BKI Berkebutuhan Khusus ibu Ferra Puspito Sari, M.Pd atas arahan
dan bimbingan yang diberikan kepada kami.

Yogyakarta, 27 November 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar......................................................................................................2

Daftar Isi...............................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan..........................................................................................................4

Latarbelakang........................................................................................................4

Rumusan masalah………………………………………………………………..4

Tujuan penelitian………………………………………………………………...4

BAB II PEMBAHASAN

Pengertian Autis………………………………………………………………….5

Penyebab Autis…………………………………………………………………...5

Karakteristik Autis………………………………………………………………..8

Ciri-ciri Anak Autis……………………………………………………………....10

Hambatan-hambatan Anak Autis………………………………………………...11

Bentuk layanan konseling ABK…………………………………………………..12

Pendekatan – Pendekatan Konseling terhadap ABK……………………………...14

BAB III PENUTUP

Kesimpulan……………………………………………………………………....15

Daftar Pustaka........................................................................................................16

Penutup...................................................................................................................17

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Autisme adalah kelainan perkembangan sistem syaraf pada seseorang yang


kebanyakan diakibatkan oleh faktor hereditas dan kadang-kadang telah dapat
dideteksi sejak bayi berusia 6 bulan 1 . Deteksi dan terapi sedini mungkin akan
menjadikan si penderita lebih dapat menyesuaikan dirinya dengan yang normal.
Kadang-kadang terapi harus dilakukan seumur hidup, walaupun demikian penderita
Autisme yang cukup cerdas, setelah mendapat terapi autisme sedini mungkin,
seringkali dapat mengikuti sekolah umum, menjadi sarjana dan dapat bekerja
memenuhi standar yang dibutuhkan. Autis merupakan satu kelompok dari
gangguan pada anak yang ditandai dengan gangguan dan keterlambatan dalam
bidang kognitif, komunikasi, ketertarikan pada interaksi sosial dan perilakunya.
Autisme pada anak berbeda-beda tarafnya, dari yang paling ringan ke yang paling
berat. Autisme dapat terjadi pada siapa saja tanpa membedakan status sosial atau
ekonomi. Dengan perbandingan 4:1 pada anak laki-laki. Rumusan Masalah

1. Apa saja penyebab terjadinya anak autis ?


2. Bagaimana karakteristik anak Autis ?
3. Ciri-ciri Anak Autis ?
4. Hambatan-hambatan Anak Autis ?
5. Konseling unuk Anak berkebutuhan Khusus ?
6. Pendekatan konseling terhadap Anak ABK ?

B. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah untuk
memberikan pengertian kepada orang-orang yang belum mengetahui tentang autis,
bagaimana faktor penghambat, dan penyebab apa saja yang bisa terjadinya autis.

1
Wahyu Budiman, Fenomena Autis, etheses Universitas Muhammadiyah Malang, (Malang,
2012), hlm. 2

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Autisme

Autisme berasal dari bahasa Yunani; aut‟ : diri sendiri, isme‟


orientation/state, orientasi/keadaan. Maka autisme dapat diartikan sebagai kondisi
seseorang yang secara tidak wajar terpusat pada dirinya sendiri; kondisi seseorang
yang senantiasa berada di dalam dunianya sendiri2.

Istilah “autisme” pertama kali diperkenalkan oleh Leo Kanner pada tahun
1943, selanjutnya ia juga memakai istilah “Early Infantile Autism”, atau dalam
bahasa Indonesianya diterjemahkan sebagai “Autisme masa kanak-kanak”. Hal ini
untuk membedakan dari orang dewasa yang menunjukkan gejala autisme seperti
ini3.

Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan pada anak yang sifatnya


komplek dan berat, biasanya telah terlihat sebelum berumur 3 tahun, tidak mampu
untuk berkomunikasi dan mengekspresikan perasaan maupun keinginannya.
Akibatnya perilaku dan hubungannya dengan orang lain menjadi terganggu,
sehingga keadaan ini akan sangat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya.

B. Penyebab Autisme

Penyebab autisme masih misterius. Pada masa sekarang, berkat alat


kedokteran yang canggih, diperkuat dengan autopsy, ditemukan beberapa penyebab
antara lain :

1. Faktor neurobiologis

Gangguan neurobiologis pada sistem syaraf (otak). Biasanya, gangguan ini


terjadi pada tiga bulan pertama masa kehamilan, bila pertumbuhan sel-sel otak di
beberapa otak tidak sempurna.

2. Masalah Genetik

2
Anah, Autisme, ejournal Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, (Januari, 2016), hlm 20
3
Ibid, hlm. 21

5
Faktor genetik juga berpengaruh kuat dan faktor ini masih akan terus diteliti.
Karena banyaknya manusia yang mengalami mutasi genetik yang bisa terjadi
karena gaya hidup yang semakin modern (penggunaan zat kimia setiap hari, faktor
udara yang semakin tercemar polusi). Beberapa faktor yang juga terkait adalah usia
ibu saat hamil, usia ayah saat istri hamil, serta masalah yang terjadi saat hamil dan
proses kelahiran.

3. Masalah selama kehamilan dan kelahiran

Masalah pada masa kehamilan dan kelahiran, resiko autisme berhubungan


dengan masalah-masalah yang terjadi pada masa 8 minggu pertama kehamilan. Ibu
yang mengkonsumsi alkohol, terkena virus rubella, menderita infeksi kronis, atau
mengkonsumsi obat-obatan terlarang diduga meningkatkan risiko tinggi terhadap
penyebab autisme.

4. Keracunan logam berat

Keracunan logam berat merupakan kondisi yang sering dijumpai ketika anak
dalam kandungan. Keracunan timbal seperti timbal, merkuri, melamin, spasma
infantile, rubella kongenital, scelrosis tuberosa, lipidosis serebral, dan anomaly
komosom X rapuh. Racun dan logam berat dari lingkungan, berbagai racun yang
berasal dari pestisida, polusi udara, dan cat tembok, dapat mempengaruhi kesehatan
janin. Penelitian terhadap sejumlah anak autis menunjukan bahwa kadar logam
berat (merkuri, timbal, timah) dalam darah mereka lebih tinggi daripada anak-anak
normal.

5. Terinveksi Virus

Lahirya anak autistik diduga dapat juga disebabkan oleh virus seperti rubella,
toxoplasmosis, herper, jamur, nutrisi yang buruk dan pendarahan sera keracunan
makanan saat kehamilan yang dapat menghambat berkembangnya sel otak yang
menyebabkan pertumbuhan sel otak bayi yang dikandung terganggu terutama
fungsi pemahaman, komunikasi, dan interaksi. Efek virus dari keracunan tersebut
dapat terjadi terus menerus setelah anak lahir dan merusak pertumbuhan sel otak,
sehingga anak terlihat tidak mengalami kemajuan dan gejala yang semakin parah.

6
Ganggaun metabolisme, pendengaran, dan penglihatan, juga dapat diperkirakan
dapat menjadi penyebab lahirnya anak autistik.

6. Vaksinasi

Vaksinasi MMR (measles, mumps, and rubella) menjadi salah satu faktor
yang diduga kuat menjadi penyebab autisme walaupun hal ini masih simpang siur
antara pendapat para ilmuwan. Banyak orangtua melihat anaknya berkembang
normal setelah mendapat vaksinasi MMR. Zat pengawet pada vaksinasi inilah yang
diduga menjadi penyebab autisme. Untuk menghindari resiko besar maka beredar
informasi bahwa sebaiknya vaksinasi dilakukan secara terpisah atau menggunakan
vaksinasi yang tidak menggunakan thermosal. Cara lain adalah menunggu anak
berusia 3 tahun untuk meyakinkan bahwa masa kemunculan-kemunculan ciri-ciri
autisme telah lewat.

7. Kelebihan Peptida Opitoid

Peptida berasal dari pecahan protein guten yang ditemukan dalam gandum
dan protein casein. Protein gluten berasal dari protein susu yang diperlukan dalam
jumlah sedikit untuk aktivitas otak. Keadaan abnormal dapat meningkatkan jumlah
peptida opoid, antara lain sebagai berikut :

a. Protein yang masuk kedalam usus tidak dicerna secara sempurna menjadi
amino sehingga jumlah dan penyerapan peptida menjadi meningkat.
b. Jumlah peptida dalam usus normal, tapi terjadi kebocoran pada dinding usus.
Hal tersebut mengakibatkan penyerapan ke dalam darah terlalu banyak.
c. Jumlah protein normal, tetapi kebocoran pada dinding usus dan batas darah
otak.

C. Karakteristik Autis

Karakteristik gangguan autisme pada sebagian individu sudah mulai muncul


sejak bayi4. Ciri yang sangat menonjol adalah tidak ada kontak mata dan reaksi
yang sangat minim terhadap ibunya atau pengasuhnya. Ciri ini semakin jelas

4
Muhammad Sugiarmin, “Individu Dengan Gangguan Autisme”, Artikel Direktorat Fakultas Ilmu
Pendidikan Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, hlm. 3

7
dengan bertambahnya umur. Pada sebagian kecil lainnya dari individu penyandang
autisme, perkembangannya sudah terjadi secara “relatif normal”. Pada saat bayi
sudah menatap, mengoceh, dan cukup menunjukkan reaksi pada orang lain, tetapi
kemudian pada suatu saat sebelum usia 3 tahun ia berhenti berkembang dan terjadi
kemunduran pada perkembangan. Ia mulai menolak tatap mata, berhenti mengoceh,
dan tidak bereaksi terhadap orang lain.

Oleh karena itu kemudian diketahui bahwa seseorang baru dikatakan


mengalami gangguan autisme, jika ia memiliki gangguan perkembangan dalam tiga
aspek yaitu kualitas kemampuan interaksi sosial dan emosional, kualitas yang
kurang dalam kemampuan komunikasi timbal balik, dan minat yang terbatas
disertai gerakan-gerakan berulang tanpa tujuan Ciri-ciri tersebut harus sudah
terlihat sebelum anak berumur 3 tahun5.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merumuskan suatu kriteria yang


harus dipenuhi untuk dapat melaksanakan diagnosis autisme. Rumusan ini dipakai
di seluruh dunia untuk menjadi panduan diagnosis yaitu 13 dikenal dengan nama
DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) 1994, yang dibuat oleh grup psikiatri
dari Amerika. Isi dari DSM-IV tersebut dalam Sunu (2012: 13-14) terdapat
beberapa kriteria yang menyangkut pada anak dengan Autistic Spectrum Disorder
(ASD), diantaranya sebagai berikut :

Minimal ada 6 gejala dari (1), (2), dan (3), dengan sedikitnya dua gejala dari
(1) dan masing-masing satu gejala dari (2) dan (3). Gangguan kualitatif dalam
interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada 2 gejala sebagai berikut:

a. Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai : kontak mata
sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerakgerik yang kurang tertuju.
b. tidak bisa bermain dengan teman sebaya.
c. tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.
d. kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.

Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi yang ditunjukkan oleh minimal satu
dari gejala-gejala sbb:

5
Ibid, hlm. 4

8
a. Berbicara terlambat atau bahkan sama sekali tidak berkembang (tidak ada
usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain selain bicara).
b. Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipergunakan untuk berkomunikasi.
c. Sering mempergunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang.
d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa meniru.

Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat dan
kegiatan. Sedikitnya harus ada satu dari gejala sbb :

a. Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan
berlebih-lebihan.
b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada
gunanya.
c. Ada gerakan-gerakan yang aneh yang khas dan diulang-ulang.
d. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda.
e. Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam
bidang interaksi sosial, bicara dan berbahasa, cara bermain yang kurang
variatif.
f. Bukan disebabkan oleh oleh Sindroma Rett dan Gangguan Disintegratif Masa
Anak-anak.

Menurut Sutadi (2000) dalam Purwanta (2012 : 116-117), ada dua jenis
problema perilaku pada anak autis, yaitu :

1. Perilaku berlebihan (excessive) pada anak autisme ditandai dengan:

a. Tantrum, seperti menjerit, menangis, mengamuk, dan sejenisnya.


b. Stimulasi diri, seperti tangan mengepak-ngepak, memutarmutar badan,
membanting-banting, berjalan “lurus” dan sebagainya.
c. Self-abuse, seperti memukul, menggigit, mencakar diri sendiri.
d. Agresif, seperti menendang, memukul, menggigit, dan mencubit orang
lain.

2. Perilaku yang berkekurangan (deficient) ditandai dengan :

a. Mengalami gangguan bicara, sedikit kata dan suara, membeo seperti


bicara sendiri.

9
b. Menganggap orang lain seperti suatu benda.
c. Mengalami defisit sensasi, tampak seperti tuli, buta.
d. Apabila ia bermain satu permainan, ia akan bermain terus.
e. Tidak dapat bermain dengan benar, misalnya ia mengendarai truk
mainan, tetapi malah truk mainannya dibalik dan rodanya diputar-putar.
f. Ekspresi yang diberikan tidak sesuai, misalnya mestinya ia menjerit atau
tertawa pada saat digelitik tetapi malah bengong saja.
g. Pandangannya sering kosong.

C. Ciri-ciri Anak Autis

Secara garis besar, ciri-ciri anak autis yang dapat terlihat dalam kehidupan
sehari-hari yang bisa dilihat yang termasuk:

1. Kesulitan komunikasi

Anak dengan autisme cenderung kesulitan berkomunikasi dengan orang lain,


termasuk berbicara, memahami pembicaraan, hingga membaca dan menulis. Selain
itu beberapa masalah komunikasi lainnya, antara lain kesulitan memulai
percakapan, memahami perkataan dan mengikuti petunjuk.

Anak dengan autisme umumnya juga bermasalah dalam memahami penggunaan


bahasa tubuh seperti menunjuk, melambai, atau memperlihatkan suatu objek
kepada orang lain. Ciri-ciri anak autis lain seperti mengulang-ulang satu kata yang
baru didengar atau didengar beberapa waktu lalu, mengatakan sesuatu seakan dalam
nada lagu, atau melakukan tantrum untuk mengungkapkan keinginannya.

2. Gangguan dalam berhubungan sosial

Ciri-ciri anak anak autis yaitu anak seperti asyik dengan dunianya sendiri,
sehingga sulit terhubung dengan orang-orang di sekitarnya. Anak dengan autisme
sulit melakukan kontak mata. Mereka juga sulit memahami rasa sakit, sedih dan
perasaan orang lain. Oleh karena itu, anak autis umumnya tidak mudah berteman,
bermain dan berbagi mainan dengan teman, atau fokus terhadap objek yang sama
dengan orang lain.

10
3. Perilaku-perilaku khas lain

Beberapa perilaku khas dari anak dengan autisme, antara lain cepat marah
dengan suara tertentu, kesulitan mengubah satu aktivitas ke aktivitas lainnya dan
memiliki keterbatasan atau minat yang unik. Misalnya, hanya membicarakan satu
topik atau menatap mainan tertentu. Selain itu, ciri-ciri anak autis juga tampak suka
mengibaskan tangan, menyimpan batu, memutar badan, dan menatap dengan
pandangan kosong. Mereka juga biasanya hanya menyukai sedikit jenis makanan.

D. Hambatan-hambatan Anak Autis

Ada beberapa permasalahan yang dialami oleh anak autis yaitu: Anak autis
memiliki hambatan kualitatif dalam interaksi sosial artinya bahwa anak autistik
memiliki hambatan dalam kualitas berinteraksi dengan individu di sekitar
lingkungannya, seperti anak-anak autis sering terlihat menarik diri, acuh tak acuh,
lebih senang bermain sendiri, menunjukkan perilaku yang tidak hangat, tidak ada
kontak mata dengan orang lain dan bagi mereka yang keterlekatannya terhadap
orang tua tinggi, anak akan merasa cemas apabila ditinggalkan oleh orang tuanya.
Sekitar 50 persen anak autis yang mengalami keterlambatan dalam berbicara dan
berbahasa. Mereka mengalami kesulitan dalam memahami pembicaran orang lain
yang ditujukan pada mereka, kesulitan dalam memahami arti kata-kata dan apabila
berbicara tidak pada konteks yang tepat. Sering mengulang kata-kata tanpa
bermaksud untuk berkomunikasi, dan sering salah dalam menggunakan kata ganti
orang, contohnya menggunakan kata saya untuk orang lain dan menggunakan kata
kamu untuk diri sendiri.

Mereka tidak mengkompensasikan ketidakmampuannya dalam berbicara


dengan bahasa yang lain, sehingga apabila mereka menginginkan sesuatu tidak
meminta dengan bahasa lisan atau menunjuk dengan gerakan tubuh, tetapi mereka
menarik tangan orang tuanya untuk mengambil obyek yang diinginkannya. Mereka
juga sukar mengatur volume suaranya, kurang dapat menggunakan bahasa tubuh
untuk berkomunikasi, seperti: menggeleng, mengangguk, melambaikan tangan dan
lain sebagainya. Anak autis memiliki minat yang terbatas, mereka cenderung untuk

11
menyenangi lingkungan yang rutin dan menolak perubahan lingkungan, minat
mereka terbatas artinya mereka apabila menyukai suatu perbuatan maka akan terus
menerus mengulang perbuatan itu. anak autistik juga menyenangi keteraturan yang
berlebihan. Lorna Wing (1974) menuliskan dua kelompok besar yang menjadi
masalah pada anak autis yaitu:

1. Masalah dalam memahami lingkungan (Problem in understanding the


world)
a. Respon terhadap suara yang tidak biasa (unusually responses to sounds).
Anak autis seperti orang tuli karena mereka cenderung mengabaikan suara
yang sangat keras dan tidak tergerak sekalipun ada yang menjatuhkan benda
di sampingnya. Anak autis dapat juga sangat tertarik pada beberapa suara
benda seperti suara bel, tetapi ada anak autis yang sangat tergangu oleh
suara-suara tertentu, sehingga ia akan menutup telinganya.
b. Sulit dalam memahami pembicaraan (Dificulties in understanding speech).
Anak autis tampak tidak menyadari bahwa pembicaraan memiliki makna,

A. Bentuk layanan konseling ABK


1. Model segresi

Layanan dengan model segresi adalah layanan terhadap ABK yang dapat
dijumpai secara umum dan mudah di masyarakat sekitar kita, karena layanan ini
adalah pemberian kesempatan hak pendidikan seperti anak lainnya yang tidak
berkebutuhan khusus. contoh dari model ini adalah dengan adanya SLB khusus
Tunanetra, SLB Khusus Tunarungu, SLB Tunaganda, dan jenis sekolah khusus
lainnya. dengan keadaan demikian, anak tidak merasa minder dan dapat melakukan
aktivitasnya lebih leluasa. tidak akan ada yang merasa dirinya kurang, karena
mereka mempunyai keadaan fisik atau keterbatasan yang sama, perlakuan yang
sama dan kesempatan yang sama dari pendidik, konselor, temandan lingkungan
lainnya. Sehingga dengan didikan di sekolah seperti ini, anak akan lebih mudah
beradaptasi lebih mudah ketimbang dengan masyarakat luas yang berbeda
dengannya. Namun kekurangan model ini adalah anak tidak akan tau akan dunia
luar ia hanya mengenal dengan orang yang berkebutuhan khusus yang sama dengan

12
dirinya. Ia akan sulit beradaptasi jika berhdapan dengan dunia atau orang orang
yang berbeda dengannya. Oleh sebab itu, meskipun model pelayanan terhadap
ABK dengan segresi ini sesekali konselor menyarankan agar anak sesekali turun ke
masyarakat, berinteraksi dengan masyarakat agar ia mengerti walaupun ia berbeda
tapi ia memiliki hak yang sama dengan anak yang lainnya.

2. Model Kelas Khusus

Tidak sedikit ada orangtua yang tidak mengerti dengan keadaan anaknya yang
berkebutuhan khusus, memasukkan mereka ke sekolah umum bersama anak yang
berbeda darinya. Karena kesalahan ini, anak menjadi korban bullyan karena
dianggap berbeda dengan teman di sekitarnya. Karena alasan inilah, kelas khusus
terwujud. Kelas khusus ini dapat diberikan seusai pelajaran normal. peristiwa ini
dilakukan hanya sementara dan sisiwa akan dikembalikan lagi ke kelas normal usai
mendapatkan bimbingan di kelas khusus. Namun jika hasilnya adalah bahwa anak
tersebut harus mengenyam pendidikan di sekolah khusus, maka sekolah harus
menggunakan kebijakannya agara anak tersebut tidak menderita berada di lembaga
pendidikan yang kurang tepat. Berikut adalah dua cara penangannannya:

3. Model guru kunjung

Dengan model ini, guru/konselor ditugaskan untuk mengunjungi rumah-rumah


yang susah dijangkau dan mereka juga tidak mempunyai fasilitas untuk
menjangkau konselor. Jadi konselor datang ke rumah klien untuk memberikan
pelayanan atau pemerikasaan untuk mereka.

4. Sekolah Terpadu

Sekolah terpadu ini sebenarnya sama dengan sekolah pada umumnya. Namun
dengan seiring berjalannya waktu, sekolah ini memiliki murid yang merupakan
anak berkebutuhan khusus dan anak normal biasanya. Dalam pelaksanaannya,
sekolah ini membutuhkan lebih banyak guru daripada biasanya, karena siswa ABK
akan mendaatkan konselor pribadi atau satu konselor mengatasi 2-3 siswa dalam
sekolah. Biasanya ada pendampingan pada pelajaran tertentu yang membutuhkan
bantuan dari guru tersebut.

13
5. Sekolah Inklusi

Secara sekilas sekolah ini terlihat sama dengan sekolah terpadu, namun sekolah
ini biasanya merupakan sekolah yang ditunjuk oleh pemerinta untuk menjadi
sekolah inklusi. Di mana, sekolah ini dapat dikatakan sebagai sekolah yang ramah
difabel. Dalam sekolah ini, berisi anak anak normal dan anak berkebutuhan khusus.
Mereka hidup saling berdampingan dan baik anak normal maupun anak yang
berkebutuhan khusus saling beradaptasi, saling meghargai dan mernghormati satu
sama lain. 6

B. Pendekatan – Pendekatan Konseling terhadap ABK


a. Pendekatan Individu (Individual approach)

Pendekatan secara perseonal sangat diperlukan sebelum memulai aktivitas


konseling pada konseli. Dalam pendekatan ini berisikan pengenalan lebih jauh
mengenai konseli dengan tujuan membangun chemistry antara konselor dan konseli
agar kenyamanan terbangun sehingga konseli lebih mudah dalam menyampaikan
segala masalahnya. Dalam pendekatan ini, yang dijadikan objek bisa anak
berkebutuhannya langsung atau bisa juga kepada orangtua atau wali dari sang anak.
Dari pendekatan ini pula, konselor dapat menganalisa keadaan jiwa/mental mereka
dapat melakukan beberapa aktivitas seperti melakukan test (intelejensi, minat dan
bakat) yang nanti hasilya dapat diserahkan pada orangtua atau wali.

b. Pendekatan Tingkah Laku (Behavioral Approach)

Pendekatan ini dapat digunakan sebagai fase pendekatan ke-2 dalam pelayanan
konseling. Setelah mengetahui aspek dasar klien, konselor dapat meneruskan
aktivitasnya dengan berbagai aktivitas motorik yang mana nantinya menghasilkan
sebuah laporan melalui tingkah laku klien. Namun di lain hal, cara pendekatan
semacam ini dapat dilakukan ketika pendekatan dengan cara individual approacah
gagal dilakukan atau hasilnya tidak maksimal.

6 muninggar, k. d. hubungan parenting. uinversitas indonesia , (2008). 11-28.

14
c. Pendekatan Realitas (Reality Approach)

Terapi realitas adalah suatu model aktif direktif dan didaktik. Penenkanannya
pada perilaku sekarang bukan pada sikap, wawasan, sesuatu yang lalu atau motivasi
ketidaksadaran. Pendekatan ini adalah pendekatan secara singkat yang dilakukan
konselor terhadap klien. Pendekatan realitas ini didasarkan atas ide empiris individu
atau kelompok yang memberikan tanggung jawab terhadap beban yang diberikan
konselor terhadap klien ABK, agar diketahui seberapa besar ukuran keberhasilan
yang dicapai. Ini juga dapat untuk mengetahui perkembangan dan kemampuan
anak, agar konselor dapat mengamati secara benar. Dikarenakan ini untuk menguji
keproduktivitasan klien ABK, maka ini dapat diterapkan di segala instansi atau
keadaan yang memang membutuhkan hasil ini. Jadi tidak menutup kemungkinann
hanya dapat dilakukan secara pribadi oleh konselor yang mendapatkan tugas dari
klien, tetapi juga bisa di sekolah, lembaga sosial, lembaga rehabilitasi, rumah sakit
dan sebagainya. Namun, praktek pelaksanaan untuk jenis pendekatan ini akan lebih
efisien apabila ABK yang ditangani berada dalam lingkungan yang memang benar
benar bercampur dengan masyarakat umum. Apabila diadakan di sekolah, maka
akan lebih efisien apabila diadakan di sekolah terpadu dan sekolah inklusi.7

7
Sunanto, J. Konsep Dasar Individu dengan Hambatan Majemuk. UPI , (2013), 76 - 81

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarakan pembahasan di atas kita bisa melihat bahwa anak autis kelainan
perkembangan sistem syaraf pada seseorang yang kebanyakan diakibatkan oleh
faktor hereditas dan kadang-kadang telah dapat dideteksi sejak bayi berusia 6 bulan.
Deteksi dan terapi sedini mungkin akan menjadikan si penderita lebih dapat
menyesuaikan dirinya dengan yang normal. Tetapi tidak selamanya anak autis yang
memiiki kekurangan baik fisik atau psikis menjadi alasan untuk tidak mendapatkan
pendidikan yang layak dan hak yang sama dengan yang lain mereka memiliki hak
yang sama seperti kita tetapi membutuhkan keistimewaan yang lebih. Karena
penyebab terjadinya anak Autis yaitu Faktor neurobiologis, Masalah Genetik ,
Masalah selama kehamilan dan kelahiran, Keracunan logam berat , Terinveksi
Virus, Vaksinasi, Kelebihan Peptida Opitoid.

Salah atuu bentuk konseling bagi anak berkebtuhan khusus bisa dengan Model
segresi, Model Kelas Khusus, Model guru kunjung, Sekolah Terpadu, Sekolah
Inklusi sehingga menunjang kualitas akademik bagi penyandang Autis. Agar
mereka bisa membaca, berbicara dengan lancar dan kelebihan bakat mereka bisa
tersalurkan pada tempatnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Lukman Hakim S.Ag., M. (2013). Konseling Berkebutuhan Khusus. Surabaya:


digilib.uinsby.ac.id.

muninggar, k. d. (2008). hubungan parenting. uinversitas indonesia

Danuatmaja, b (2003). Terapi Anak AUTIS di Rumah. Jakarta: Pustaka Suara

Sunanto, J. (2013). Konsep Dasar Individu dengan Hambatan Majemuk. UPI

Fadli, Aulia. (2010). Buku Pintar Kesehtan Anak. Yogyakarta:Pustaka Anggrek

17

Anda mungkin juga menyukai