Anda di halaman 1dari 3

Isu radikalisme saat ini tengah ramai dibicarakan di Indonesia.

Istilah radikalisme
ini pertama kali muncul ketika terjadinya kasus bom Bali 1, bom Bali 2, bom malam natal,
bom Kuningan, bom kampung melayu, dan kasus-kasus bom panci. Para pelakunya
disebut sebagai teroris, dan diidentikkan dengan agama Islam, pada kalau fai pada setiap
agama atau organisasi apa pun ada kelompok atau aliran garis keras.
Isu radikalisme semakin menjadi perhatian setelah munculnya ISIS, dan faktanya
memang ada WNI yang bergabung dengan ISIS. Konflik antara ISIS dan pemerintah di
Marawi Philipina juga diwaspadai merembet ke Indonesia. Bahrun Naim yang disinyalir
pentolan ISIS di Asia Tenggara menjadi tokoh yang paling dicari karena disinyalir sebagai
tokoh yang berada dibalik aksi bom bunuh diri di beberapa tempat baru-baru ini.
Lalu pemerintah menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang tentang
Pembubaran Ormas dimana ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan karena
dinilai anti Pancasila. HTI pun melawan dengan mengajukan judicial reviewke Mahkamah
Konstitusi (MK).
Di kalangan masyarakat pun muncul pro dan kontra Perppu pembubaran ormas
tersebut. Pihak yang pro mengatakan bahwa memang pemerintah wajib melindungi
Pancasila sebagai ideologi bangsa, dan pembubaran ormas anti Pancasila dinilai sebagai
langkah yang tepat, sedangkan pihak yang kontra mengatakan bahwa Perppu
pembubaran ormas jadi senjata pemerintah untuk membubarkan ormas yang
bertentangan dengan pemerintah. Hal ini tentunya melanggar HAM, karena pada
dasarnya setiap orang berhak berserikat dan berkumpul.
Siapa sebenarnya anti Pancasila? Definisi anti Pancasila dalam pandangan
pemerintah lebih mengarah kepada pancasila dalam konteks ideologi, sedangkan
masyarakat banyak yang berpendapat bahwa anti Pancasila lebih dalam konteks sikap
dan perbuatannya yang bertentangan dengan sila-sila Pancasila. Misalnya ada ormas
yang berasas Pancasila tetapi kelakuannya tidak Pancasila. Suka melakukan tindakan
kekerasan, memeras, mengintimidasi, dan kadang hanya jadi alat untuk kepentingan
kelompok tertentu. Politisi yang korup, aparat hukum yang memperjualbelikan hukum,
pemimpin yang otoriter, tiran, dzalim, berbuat tidak adil, dan menjual aset negara, serta
melindungi kepentingan asing. Hal itu pun dapat dikatakan sebagai anti Pancasila.
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa monopoli
penguasa sebagai satu-satunya penafsir Pancasila juga dapat dikatakan sebagai
radikalisme Pancasila. Oleh karena itu, jangan sampai membubarkan ormas yang dinilai
anti Pancasila sementara di sisi lain terjadi radikalisme Pancasila. Masyarakat awam
melihat bahwa bahaya yang nyata di depan mata adalah ormas yang memang membuat
keresahan di tengah masyarakat, sedangkan HTI dalam setiap aksinya selalu tertib, tidak
pernah membuat kegaduhan dalam masyarakat. Bahkan termasuk bangkitnya kembali
ideologi komunis perlu diwaspadai dan ditindak tegas.
Ketua MK Arief Hidayat mengatakan bahwa Pancasila final bagi bangsa
Indonesia. Pancasila adalah kristalisasi jiwa dan karakter bangsa. Pancasila digali dari
nilai-nilai luhur dan budaya bangsa. Soekarno menyampaikan bahwa Pancasila falsafah
bangsa, dasar negara, dan ideologi bangsa. Pancasila terdapat pada alinea IV
pembukaan UUD 1945 yang telah disepakati tidak akan diamandemen, karena
mengubah pembukaan UUD 1945 sama dengan mengubah fondasi negara.
Berdasarkan kepada hal tersebut memang setiap bangsa Indonesia memang
harus setia, memahami, dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Walau demikian,
pengalaman nilai-nilai Pancasila harus disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Peran pemerintah sebagai penafsir tunggal Pancasila juga berpotensi memunculkan
otoriterianisme, karena ketika ada tafsir dari warga bangsa yang berbeda dengan
pemerintah bisa dianggap sebagai anti Pancasila.
Walau Pancasila sebagai ideologi bangsa, bukan berarti harus dianggap sakral
dan terlalu dikultuskan. Pancasila harus menjadi ideologi terbuka, dalam artian terbuka
juga untuk dikritisi dalam konteks pengamalannya, karena yang saat ini menjadi masalah
bukan pada nilai-nilai Pancasilanya, tetapi pada sikap dan perilaku pemimpin dan warga
secara umum yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.
Pancasila mengajarkan kebertuhanan YME, berperikemanusiaan, menjaga
persatuan dan kesatuan, musyawarah mufakat, serta berlaku adil. Pertanyaannya adalah
sudahkah kelima sila Pancasila tersebut dipahami, dihayati, dan dilaksanakan oleh
bangsa Indonesia? Jangan sampai Pancasila diradikalisasi dalam artian sila-silanya tidak
dilaksanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara oleh warga bangsa sendiri.
Berdasarkan kepada hal tersebut memang setiap bangsa Indonesia memang
harus setia, memahami, dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Walau demikian,
pengalaman nilai-nilai Pancasila harus disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Peran pemerintah sebagai penafsir tunggal Pancasila juga berpotensi memunculkan
otoriterianisme, karena ketika ada tafsir dari warga bangsa yang berbeda dengan
pemerintah bisa dianggap sebagai anti Pancasila.
Walau Pancasila sebagai ideologi bangsa, bukan berarti harus dianggap sakral
dan terlalu dikultuskan. Pancasila harus menjadi ideologi terbuka, dalam artian terbuka
juga untuk dikritisi dalam konteks pengamalannya, karena yang saat ini menjadi masalah
bukan pada nilai-nilai Pancasilanya, tetapi pada sikap dan perilaku pemimpin dan warga
secara umum yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.
Pancasila mengajarkan kebertuhanan YME, berperikemanusiaan, menjaga
persatuan dan kesatuan, musyawarah mufakat, serta berlaku adil. Pertanyaannya adalah
sudahkah kelima sila Pancasila tersebut dipahami, dihayati, dan dilaksanakan oleh
bangsa Indonesia? Jangan sampai Pancasila diradikalisasi dalam artian sila-silanya tidak
dilaksanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara oleh warga bangsa sendiri.

Rjghjkfg esjkfhjkdfdj jfehjef jfeh ejf efjf je ejf eejfh e ekjvhfkjs j hfjkehj h jkdhfckjehf
jfehjkwe fjksfhjk fh kjdzfh dkjfheuihyufh fef djkfh djh djf djdj fdjf jdf djf iweufeuf kf

Anda mungkin juga menyukai