Anda di halaman 1dari 12

PRESPEKTF RUU KPK DALAM KOMPONEN SISTEM PERADILAN PIDANA DI

INDONESIA

Oleh :

Yan Demian Tutkey


NIM : 201721532

“Sangat tidak mudah berkata tidak, ketika


kekuasaan tergila-gila dengan kata ya.. ”

(Najwa Shihab)

A. Pendahuluan

Indriyanto Seno Adji, memberikan gambaran yang lebih jelas berkaitan mengenai
gesekan kewenangan diantara sub-sistem Polisi dan Jaksa dalam berbagai kasus, yang pada
akhirnya bukan menimbulkan keterpaduan sub-sistem dalam Sistem Peradilan Pidana,
melainkan “arogansi” di antara sub-sistem tersebut untuk memperlihatkan dan
mempertahankan monopoli kewenangannya masing-masing. Saat ini, semenjak derasnya
gelombang ketidakpercayaan terhadap Kepolisian dan Kejaksaan, yang kemudian
memunculkan lembaga-lembaga baru dalam proses penegakan hukum, yaitu Komisi
Pemberatasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),
menambah panjang polemik kewenangan dalam proses law enforcement.

Masih segar dalam ingatan masyarakat Indonesia atas benturan kewenangan antara
Kepolisian dengan KPK dalam hal melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi,
mulai dari kasus kriminalisasi terhadap pimpinan KPK hingga perebutan proses pemeriksaan
kasus tindak pidana korupsi terkait pengadaan alat simulasi SIM. Kemudian benturan
kewenangan antara LPSK dengan Kepolisian terkait status hukum Susno Duadji. Walaupun
telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahn 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, berkaitan dengan kewenangan KPK dalam melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana korupsi yang berada di atas kewenangan Penyidik Kepolisian, namun,
budaya melakukan koordinasi yang berujung kepada munculnya Memorandum of
Understanding (MoU) antara Kepolisian, KPK dan Kejaksaan Agung dalam membagi
kewenangan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, jsutru
memperburuk keteraturan norma yang telah diatur secara yuridis normatif dalam suatu
peraturan perundang-undangan.

Demikian pula yang terjadi dalam kewenangan untuk menentukan suatu peristiwa
adalah merupakan tindak pidana atau bukan, dapat kita cermati dalam peristiwa “Souvenir
Ipod” pada pernikahan Sekretaris Mahkamah Agung. Dimana Mahkamah Agung bersama
Komisi Yudisial melakukan penafsiran sendiri atas klasifikasi tindak pidana gratifikasi.
Merujuk kepada perilaku-perilaku tersebut, Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa jika
dilihat dari aspek kebijakan hukum pidana (penal policy), adressat dari hukum pidana tidak
hanya mengatur perbuatan warga masyarakat pada umumnya, tetapi juga mengatur
penguasa/aparat penegak hukum. Bahwa pembatasan dan pengawasan/pengendalian
kekuasaan Negara merupakan dimensi yuridis dari hukum pidana bukanlah “mengatur
masyarakat” tetapi “mengatur penguasa”. Sehingga, kebijakan Hukum Pidana pada hakikatnya
mengandung kebijakan mengatur/mengalokasi dan membatasi kekuasaan, baik
kekuasaan/kewenangan warga masyarakat pada umumnya, yaitu untuk bertindak/bertingkah
laku dalam pergaulan masyarakat, maupun kekuasaan atau kewenangan penguasa/penegak
hukum. Dilihat dari aspek kebijakan hukum pidana tersebut, masalah dasar dari hukum pidana
terletak di luar bidang hukum pidana itu sendiri, yaitu di bidang Hukum Tata Negara.

Oleh karena itu, merancang Sistem Perdilan Pidana tidak terlepas dari bagaimana
suatu Negara mengadopsi, mengundangkan dan mengimplementasikan suatu sistem hukum.
Pembentukan sistem hukum, pun sangat bergantung bagaimana Pembentuk Undang-undang,
dalam hal ini Presiden bersama DPR, dalam menyusun suatu peraturan perundang-undangan
yang bersifat integral dan komprehensif. Dan pula seharusnya memahami terkait kajian-kajian
atas teori-teori separation of power dan kebijakan administrasi publik. Berbagai macam
peraturan perundang-undangan terkait institusi penegak hukum mengatur secara partial,
walaupun kemudian terdapat pandangan bahwa kewenangan penyidik memiliki
ketergantungan dengan kewenangan Jaksa, dan kewenanan pengadilan dalam memutus perkara
tergantung kepada kewenangan Polisi dan Jaksa, namun eksistensi peraturan perundang-
undangan tersebut, belumlah mengatur secara komprehensif berkaitan mengenai interrelasi
dari masing-masing kewenangan. Sehingga, jika Sistem Peradilan Pidana menginginkan
keterpaduan, maka perlu dibentuk satu kebijakan hukum pidana yang mengatur kewenangan-
kewenangan itu dalam satu peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dikarenakan,
peraturan perundang-undangan yang ada saat ini mengatur struktur suatu lembaga/institusi
yang tercampur dengan kewenangan fungsional, yang pada dasarnya telah pula diatur di dalam
KUHAP. Sehingga terjadi pengulangan redaksional dan penafsiran yang sumir.

B. Pembahasan

1. Komponen sistem peradilan pidana

Keseragaman komponen atau sub-sistem, diungkapkan oleh Indriyanto Seno Adji,


yang membagi lembaga pelaksanaan menjadi 4 (empat) institusi, yaitu:

1. Lembaga Kepolisian;
2. Lembaga Kejaksaan;
3. Lembaga Peradilan; dan
4. Lembaga Pemasyarakatan.

Demikian pula diungkapkan oleh Rusli Muhammad, bahwa dalam pandangan


Sistem Peradilan Pidana, terdapat beberapa institusi penegak hukum yang ikut mengambil
peran dalam melakukan proses peradilan pidana diantaranya adalah institusi Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan.

Hal senada pula diungkapkan Jeremy Travis, bahwa Sistem Peradilan Pidana terdiri
dari Polisi, Jaksa, dan pengadilan, dan penjara, namun pula ditambahkan dengan lembaga
masyarakat.[57] Sedikit ilustrasi yang berbeda diungkapkan oleh Larry J. Siegel dan Joseph
J. Senna, dengan memuat lembaga-lembaga yang terlibat dalam Sistem Peradilan Pidana
dengan menyebutkan kewenangan dari lembaga-lembaga tersebut yaitu kewenangan dalam
melakukan penangkapan, penuntutan dan pengawasan terhadap mereka yang dituduh
melakukan tindak pidana.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa komponen dari
Sistem Peradilan Pidana menjadi 3 (tiga) unsur besar, yaitu:

1. Unsur Primer, yang dalam pandangan akademis pada tingkat penal policy adalah
Pembentuk Undang-Undang, yaitu Presiden bersama DPR, sebagaimana diungkapkan
oleh Romli Atmasasmita.
Penyusunan unsur primer ini didasarkan kepada pandangan bahwa bekerjanya Sistem
Peradilan Pidana, sangat bergantung dengan bagaimana suatu Negara menerapkan sistem
hukum yang valid. Sistem hukum yang dianut suatu Negara akan mewarnai bagaimana
Pembentuk Undang-Undang melakukan perancangan peraturan perundang-undangan.

Peraturan perundang-undangan di suatu negara merupakan suatu bagian integral atau sub
sistem dari suatu sistem hukum di negara tersebut. Sebagai suatu bagian integral atau sub
sistem dalam sistem hukum suatu negara peraturan perundang-undangan tidak dapat berdiri
sendiri terlepas dari sistem hukum Negara tersebut.

Oleh karena itu, pembentukan peraturan perundang-undangan mengenai Sistem Peradilan


Pidana, sangat bergantung bagaimana Pembentuk Undang-Undang mengimplementasikan
politik hukum Indonesia ke dalam sebuah rancangan peraturan perundang-undangan.

Bahwa sangat dimungkinkan adanya pengaruh sistem hukum negara lain dalam menjabarkan
politik hukum ke dalam sebuah rancangan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut
nampak pada penyusunan RKUHAP, dimana tim RKUHAP banyak melakukan kunjungan ke
negara-negara lain, baik yang memiliki kesamaan sistem hukum maupun yang berbeda sistem
hukumnya.

Bahwa kemudian terjadi perdebatan secara akademis mengenai apakah perlu Indonesia
mengadopsi KUHAP dari negara-negara lain ataukah cukup dengan menjabarkan nilai-nilai
Pancasila dan hukum yang sudah lama hidup di dalam masyarakat (the living law),

Pembentukan peraturan perundang-undangan pidana merupakan bagian dari kebijakan


legislatif hukum pidana (penal policy) menjadi salah satu syarat utama dalam membentuk
pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan
metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat
peraturan perundang-undangan. Sebagaimana diungkapkan oleh Hans Kelsen yang
menjelaskan bahwa pembentukan hukum adalah rangkaian awal dari penegakkan hukum yang
sangat penting untuk diperhatikan.[60]

Menurut Jimly Asshiddiqie, sebagaimana mengutip pendapat dari Montesquieu, bahwa


pembentukan hukum dilakukan oleh kekuasaan legislatif. Montesquieu membagi kekuasaan
negara dalam tiga cabang kekuasaan yaitu: kekuasaan Legislatif, kekuasaan Eksekutif dan
kekuasaan Yudikatif. Dimana kekuasaan Legislatif sebagai pembuat undang-undang,
kekuasaan eksekutif yang melaksanakan undang-undang dan kekuasaan yudikatif adalah
kekuasaan menghakimi atau menyelesaikan sengketa/konflik. Pembatasan kekuasaan pada tiga
cabang kekuasaan diatas berkaitan erat dengan teori pemisahan kekuasaan. Dimana konsep
awal mengenai pemisahan kekuasaan negara ini adalah kekuasaan untuk menetapkan aturan
hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya.[61]

Dalam praktek pembentukan hukum di kenal beberapa karakter diantaranya karakter-karakter


yang dikemukan oleh Moh. Mahfud MD yaitu:

1. Proses pembentukan hukum partisifatit/responsif adalah pembentukan hukum yang


memberikan peranan besar dan partisispasi penuh kelompok sosial atau individu didalam
masyarakat Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan keolmpok sosial atau
individu dalam masyarakat. Pembentukan hukum dengan partisipasi masyarakat akan
mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat.Pembentukan hukum
seperti ini dilakukan pada produk hukum yang responsif/populistik.
2. Pembentukan Hukum non partisipatif atau berlawanan dengan hukum responsif, adalah
produk hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan–tuntutan kelompok maupun
individu-individu didalam masyarakat. Dalam pembuatan hukumnya peranan dan
partisipasi masyarakat relatif kecil. Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis adalah
produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan
keinginan pemerintah bersifat positivis-instrumentalis yakni menjadi alat pelaksanaan
ideologi dan program negara.

Sedangkan menurut CFG. Sunarjati Hartono, bahwa Setelah 17 Agustus 1945, idealnya
politik hukum yang berlaku adalah politik hukum nasional, artinya telah terjadi unifikasi
hukum (berlakunya satu sistem hukum di seluruh wilayah Indonesia), karena sistem hukum
nasional harus dibangun berdasarkan dan untuk memperkokoh sendi-sendi Proklamasi,
Pancasila dan UUD 1945.

2. Unsur Sekunder (Sub-System)

Unsur Sekunder ini lebih dikenal dalam berbagai literatur mengenai Sistem Peradilan dengan
istilah “sub-sistem”.

Secara umum, pada dasarnya institusi yang digolongkan ke dalam unsur kedua ini adalah:
1. Kepolisian;
2. Kejaksaan;
3. Pengadilan; dan
4. Lembaga Pemasyarakatan.

Jika kita memperhatikan perkembangan perjalanan institusi-institusi aparatur penegak hukum,


telah terjadi pengembangan guna memenuhi kebutuhan praktek akan penegakan hukum yang
efektif dan effesien. Dimana, di dalam ranah kekuasaan penyidikan telah dikembangkan satu
lembaga yang sejenis, yaitu Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), dan 1 (satu) institusi
partikelir[64], yaitu profesi Advokat.

Namun demikian, berdasarkan pendapat Romli Atmasasmita, terkait dengan pandangannya


bahwa pendekatan terhadap Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem kemasyarakatan dari
sudut pandang ilmu sosial, maka masyarakat dibebankan kewajiban untuk ikut
bertanggungjawab atas keberhasilan dari suatu Sistem Peradilan Pidana. Maka Penulis, hendak
menegaskan bahwa Masyarakat harus diasumsikan sebagai suatu bagian dari sub-sistem dari
Sistem Peradilan Pidana.

Sehingga komponen yang termasuk ke dalam ruang lingkup sub-sistem pada Sistem Peradilan
Pidana adalah:

1. Advokat/Penasehat Hukum
2. Kepolisian;
3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
4. Kejaksaan;
5. Pengadilan;
6. Lembaga Pemasyarakatan; dan
7. Masyarakat.
8. Unsur Tertier (supporting system)

Di dalam supporting system ini, Penulis mencoba memberikan gambaran bahwa kinerja dari
sub-sistem tidak dapat berdiri sendiri. Lembaga-lembaga atau institusi pemerintahan yang lain
pun memiliki peranan yang cukup strategis dalam memberikan masukan data-data penunjang
bagi proses penegakan hukum di Indonesia.

Secara garis besar, institusi penunjang dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu:
1. Lembaga Konvensional, dalam hal ini terdiri Kementerian, Non-Kementerian dan
Pemerintah Daerah
2. Lembaga extra-Structure (Ekstra Struktural)

Kedua jenis lembaga tersebut memiliki peranan yang cukup penting sebagai penopang dari
unsur sub-sistem. Pemerintah Daerah, misalnya, memiliki peranan cukup penting dalam
melakukan pendataan kependudukan di wilayah kewenangannya. Yang kemudian dapat
digunakan oleh aparat penegak hukum untuk dapat dengan segera melakukan identifikasi
individu, baik sebagai tersangka/pelaku tindak pidana maupun sebagai korban kejahatan.

Hanya saja cukup disayangkan pentingnya pendataan kependudukan, masih dianggap sebagai
keperluan kepentingan administrasi kedaerahan semata. Data kependudukan yang dimiliki
Pemerintah Daerah masih bersifat pasial, sehingga di dalam proses penegakan hukum,
pemetaan kependudukan untuk memperoleh gambaran sejelas wilayah-wilayah yang masih
rawan tingkat kejahatan, tidak terkonfigurasi dengan baik. Walaupun pihak apartur penegak
hukum dapat meminta data-data tersebut, namun sifatnya adalah menunggu permintaan.
Aparatur penegak hukum tidak dapat secara langsung mengakses data-data tersebut.

Hal ini perlu dipahami, bahwa proses bekerjanya aparatur penegak hukum dalam suatu Sistem
Peradilan Pidana bukan saja sebagai penindak, namun juga sebagai pengendali tingkat
kejahatan.

Demikian pula, posisi lembaga ekstra struktural di dalam Sistem Peradilan Pidana. Lembaga
Perlindungan Saksi & Korban, misalnya, memiliki posisi yang tidak kalah pentingnya di dalam
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, terkait dengan fungsinya sebagai lembaga yang
memberikan perlindungan hukum kepada Saksi dan Korban, seringkali justru berbenturan
dengan aparatur penegak hukum.

1. Revisi UU KPK oleh DPR


Niat DPR untuk melakukan revisi UU KPK tidak tanggung-tanggung, Semua
fraksi di DPR bersuara sama, tidak dilihat apakah itu partai pendukung pemerintah ataupun
oposisi. Sepertinya mereka (DPR) ketemu "meeting of minds" (persamaan kehendak) jika
dihadapkan ke KPK. Akan tetapi hal itu dapat dilihat dari pertimbangan draf RUU KPK
tersebut mengenai pandangan DPR ke KPK dan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan draf RUU KPK yang diajukan DPR, nampak kedudukan tindak
pidana korupsi bukan lagi sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Hal ini
sejalan juga dengan draf RUU KUHP yang meletakkan tipikor sebagai delik umum dan
bukan khusus lagi. Jika kita melihat dari pertimbangan draf RUU KPK, secara filosofis,
bahwa dalam mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 masih diperlukan
penyelenggaraan negara yang bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Akan tetapi, secara sosiologisnya, pertimbangan menyebutkan UU KPK sudah
tidak sesuai lagi dengan ketatanegaraan, perkembangan hukum, dan kebutuhan masyarakat
sehingga yang diharapkan di KPK adalah strategi pencegahan bukan penindakan. Hal inilah
juga disebutkan perlunya peningkatan sinergitas antara sesama penegak hukum dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan asas kesetaraan kewenangan. Dari
pertimbangan draf di atas, selanjutnya tidak tanggung-tanggung DPR sebagai lembaga
legislatif yaitu fungsi legislasi: Memasukkan beberapa pasal tambahan di dalam RUU KPK
ini dalam uraian batang tubuh pasal demi pasal yang disisipkan.

2. Kedudukan KPK dalam Sistem Peradilan Pidana indonesia


Secara sederhana ada 2 (dua) hal pokok yang kami bagi yaitu:
Pertama, kedudukan KPK dalam dalam kekuasaan negara dan kewenangan organ KPK
khususnya bidang penindakan dalam sistem peradilan pidana. Terhadap tindakan DPR ini,
sebagian besar publik langsung bereaksi di antaranya tokoh-tokoh bangsa dari kalangan NU,
Muhammadiyah dan LSM yang peduli dengan pemberantasan tipikor seperti ICW, serta
bahkan Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan “KPK di ujung tanduk”. Kedudukan KPK
dalam kekuasaan negara apakah itu bagian dari kekuasaan yudikatif maupun kekuasaan
eksekutif sepertinya tidak akan diperdebatkan lagi. Walaupun sebelumnya ada beberapa
putusan MK yang saling kontras yakni Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006 dengan
Putusan MK No. 36/PUU/XV/2017 dikarenakan Pasal 1 angka 3 draf RUU KPK
menyebutkan KPK sebagai “Lembaga Pemerintah Pusat” menggantikan UU sebelumnya
pada Pasal 3 menyebutkan KPK “Lembaga Negara”. Hal paling prinsip “bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun” sudah tidak melekat lagi nantinya di KPK karena dalam pasal 3 pada
draf UU KPK hanya memasukkan kata “independen” saja. Hal ini tentunya tidak sejalan
dengan prinsip-prinsip kekuasaan yudikatif yang diamanatkan dalam Pasal 27 UUD 1945
mengenai kekuasaan yang independendan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Kedua, mengenai organ KPK khususnya di penindakan dalam konteks sistem peradilan
pidana, banyak mengalami perubahan yang sering disebut para tokoh politik “bau” pengaruh
kekuasaan lain kuat sekali. Sebagaimana dalam Pasal 26 butir 4 UU KPK menyebutkan ada 3
(tiga) organ dalam penindakan KPK yaitu penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan,
beberapa tahun terakhir dibuat organ baru yaitu unit LABUKSI (pengelola barang bukti,
asset tracing dan eksekusi). Pasal-pasal yang disisipkan/ditambah dalam draf UU KPK
sepertinya membuat “barisan baru” dalam penanganan perkara yang tidak sesuai dengan
sistem peradilan pidana (criminal justice system). Bau menyengat kekuasaan lain itu adalah
dengan dimasukannya "dewan pengawas" dalam pelaksaan penyelidikan dan penyidikan
yang mana dewan pengawas ini dipilih oleh DPR dan diangkat oleh Presiden nantinya.
Memang benar, dalam penegakan hukum di manapun harus ada "lembaga pengawas"-nya,
termasuk di KPK biar tetap on the track dalam penegakan hukumnya. Akan tetapi lembaga
pengawas ini haruslah bagian dari kekuasaan kehakiman yang terlepas dari kekuasaan
manapun. Untuk kedudukan organ lainnya seperti penyelidik dan penyidik, tentunya dengan
draf RUU KPK ini sangat berpengaruh yaitu penyelidik karena dalam ketentuan, penyelidik
adalah Polri sedangkan di KPK sekarang penyelidik hampir semua berasal dari
internal/independen. Konsep dalam draf RUU KPK ini mengenai penyelidik tidak sejalan
dengan draf RUU KUHAP yang tidak menyebutkan adanya penyelidik. Jika nanti RUU
KUHP disahkan dan memasukkan tipikor di dalamnya, apakah masih relevan menyebutkan
penyelidik di draf UU KPK?
Kesalahan berpikir dalam draf RUU KPK mengenai tindakan penyadapan yang
harus meminta izin kepada dewan pengawas sangatlah tidak patut, karena dewan pengawas
bukan bagian dari kekuasaan kehakiman, seharusnya meminta pesetujuan hakim komisaris
melalui penuntut umum sebagaimana dalam draf RUU KUHAP.
Pertanyaan sederhana: Mengapa harus melalui penuntut umum atas persetujuan hakim
komisaris? Jawaban sederhananya, jika hasil penyadapan itu nanti digunakan di persidangan
maka penuntut umum lah yang membawanya ke persidangan dan hakim lah yang menilai
bukti tersebut.
Dalam draf UU KPK mengenai kedudukan jaksa KPK harus berkordinasi terlebih dahulu ke
Kejaksaan Agung, jika sepanjang itu harus dipahami koordinasi mengenai tuntutan maka itu
telah
sejalan UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menyebutkan Jaksa Agung sebagai
penuntut umum tertinggi. Namun untuk penanganan perkaranya tetap sepenuhnya
dipercayakan kepada jaksa diperkerjakan di KPK karena role model pola penanganan perkara
di KPK adalah satu atap. Artinya tanpa bolak-balik berkas perkara (tanpa P.18 dan P.19),
yang ada saling koordinasi internal.
Jika kita mengacu pertimbangan dalam draf RUU KPK yang menyebutkan UU
KPK sudah tidak lagi mengikuti perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat maka yang
harus dipertanyakan perkembangan hukum seperti apa? Dan masyarakat mana? seharusnya
DPR tidak perlu tergesa-gesa “mengutak-atik” UU KPK, jika bicara masalah perkembangan
hukum dan perkembangan masyarakat maka solusinya DPR memprioritaskan pengesahan
draf RUU KUHAP bukan merevisi UU KPK. Dalam kejahatan pidana apapun, hukum acara
dalam proses penanganan perkara tersebut harus jelas tidak multitafsir sebagaimana dalam
asas legalitas yang penjelasannya dapat diuraikan salah satunya lex scripta dan lex stricta
serta harus memiliki check and balance sesama penegak hukum sehingga terjadi abuse of
power/penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum.

3. Perkembangan pemeriksaan kasus Tipikor dalam RUU KPK


Sekarang ini perkembangan kejahatan pidana termasuk tipikor makin berkembang
dari modus, perbuatan, sehingga diperlukan perkembangan dari sebuah alat bukti untuk
mengungkap kejahatan termasuk tipikor. Pola-pola konvensional melalui surat, akta, atau
dokumen tertulis lainnya akan menjadi bagian masa lalu dari sebuah kejahatan karena era
sekarang pola itu menjadi dunia digital, elektronik, mata uang virtual, dan pasar digunakan
untuk kejahatan berupa bursa (market place).
Konsep draf RUU KUHAP itu sangat sejalan dengan perkembangan hukum
khususnya dalam sistem peradilan pidana yang harusnya sudah terterintegrasi. KUHAP lama
(UU No. 8 tahun 1981) yang menerapkan “diferensial fungsional” sudah sangat tidak
kompetitif karena perlu satu bangunan yang terintegrasi dalam penanganan perkara pidana
baik itu penyelidik/penyidik, penuntut umum, hakim, dan lembaga pemasyarakatan yang
sering disebut integrated criminal justice system.
Kedudukan penuntut umum sebagai pihak yang mendalilkan/mendakwakan maka
ia mempunyai kewajiban untuk membuktikannya. Oleh sebab itu DPR harus memperkuat
fungsi penuntut umum ini dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Hal ini sudah sejalan
dengan RUU KUHAP: Jika fungsi penuntutan ini berjalan dengan baik artinya sejak awal
(penyelidikan) penuntut umum maka tidak menjadi persoalan siapa yang harus disebut
sebagai penyelidik. Karena tindakan-tindakan penyelidikan itu haruslah dikordinasikan ke
penuntut umum dan bukan hanya ke penyidik saja karena agar pemahaman konstruksi
hukumnya didapatkan sejak awal/dini.
Hal ini sangat berguna dalam penerapan asas dalam pidana yaitu peradilan
sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. Sederhana menilainya, lihat berkas perkara, apakah
berkas perkara itu sudah layak dengan asas-asas sederhana, cepat, dan berbiaya ringan artinya
apakah semua hasil berkas perkara tersebut yang di antaranya memiliki cost atau biaya (biaya
meriksa saksi, barang bukti, dll) itu sudah seefesien mungkin artinya akan dihadirkan di
persidangan?

C. Kesimpulan

Kesimpulan dalam penulisan ini, Kedudukan KPK dalam sistem peradilan Pidana
untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi lebih diperluas lagi dengan
wewenang untuk mengambil alih penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini
didasarkan pada tugas KPK sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 huruf b UU KPK, yang
berbunyi KPK mempunyai tugas supervise terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi.Selanjutnya, dalam melaksanakan tugas supervisi
tersebut, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap
instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan
tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.Undang-
Undang KPK tidak memberikan definisi tentang penuntutan, dengan demikian maka
pengertian tentang penuntutan mengacu pada KUHAP sebagai hukum acara pidana yang
bersifat umum. Undang-Undang KPK tersebut hanya mengatur tentang kewenangan KPK
untuk melakukan penuntutan, yang mana dilakukan oleh Penuntut Umum pada KPK yang
diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Penuntut Umum yang dimaksud adalah Jaksa Penuntut
Umum yang melaksanakan fungsi penuntutan tindak pidana korupsi.

1. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang sifatnya konstitusional
walaupun tidak disebutkan secara jelas dalam konstitusi negara yaitu UUD 1945.

2. KPK dibentuk dengan melihat sifat dari korupsi itu sendiri yaitu merupakan kejahatan luar
biasa, sehingga diperlukan suatu lembaga yang independen untuk memberantas korupsi di
Indonesia.

3. Latar belakang terbentuknya KPK bukanlah karena desain konstitusional yang diartikan
secara kaku, tetapi lebih kepada isu insidentil dalam negara dan kehendak bersama dari bangsa
Indonesia untuk memerangi tindak pidana korupsi. Kedudukan KPK sebagai salah satu
lembaga negara bantu adalah independen, dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, hal
ini dimaksudkan agar dalam memberantas korupsi KPK tidak mendapatkan intervensi dari
pihak manapun. Terbentuknya KPK juga merupan jawaban atas tidak efektifnya kinerja
lembaga penegak hukum selama ini dalam memberantas korupsi, yang terkesan berlarut-larut
dalam penanganannya bahkan terindikasi ada unsur korupsi dalam penanganan kasusnya.

4. Kewenangan penuntutan yang diberikan oleh UU kepada KPK merupakan kewenangan yang
sah.UU tentang Kejaksaan RI merupakan UU yang mengatur secara umum keberadaan dan
kewenangan Jaksa dan UU Kejaksaan tersebut dapat dikesampingkan dengan UU KPK yang
merupakan aturan khusus. Kewenangan penuntutan pada KPK adalah konstitusional, hal ini
dipertegas dengan sejumlah putusan dari Mahkamah Kontitusi. Kewenangan penuntutan tidak
dapat dimonopoli oleh Kejaksaan, dengan melihat bahwa Kejaksaan masih berada dalam
lingkup eksekutif/pemerintah sehingga independensinya masih dipertanyakan. Hal ini dapat
dilihat dari Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sehingga dapat
memungkinkan adanya intervensi politik.

5. Sehingga kewenangan penuntutan yang ada pada KPK sudah tepat karena lembaga ini
bergerak secara independen tanpa intervensi kekuasaan manapun.

draf RUU KPK sangat tidak sejalan dengan sistem peradilan pidana dengan dimasukannya
dewan pengawas sebagai bagian di luar kekuasaan kehakiman oleh sebab itu solusi diutamakan
pengesahan RUU KUHAP dalam menjawab tantangan perkembangan hukum dan masyarakat
dengan menerapkan sistem integrated criminal justice system di bawah kekuasaan kehakiman
termasuk di KPK karena di dalamnya ada unsur kepolisian dan kejaksaan.

Anda mungkin juga menyukai