INDONESIA
Oleh :
(Najwa Shihab)
A. Pendahuluan
Indriyanto Seno Adji, memberikan gambaran yang lebih jelas berkaitan mengenai
gesekan kewenangan diantara sub-sistem Polisi dan Jaksa dalam berbagai kasus, yang pada
akhirnya bukan menimbulkan keterpaduan sub-sistem dalam Sistem Peradilan Pidana,
melainkan “arogansi” di antara sub-sistem tersebut untuk memperlihatkan dan
mempertahankan monopoli kewenangannya masing-masing. Saat ini, semenjak derasnya
gelombang ketidakpercayaan terhadap Kepolisian dan Kejaksaan, yang kemudian
memunculkan lembaga-lembaga baru dalam proses penegakan hukum, yaitu Komisi
Pemberatasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),
menambah panjang polemik kewenangan dalam proses law enforcement.
Masih segar dalam ingatan masyarakat Indonesia atas benturan kewenangan antara
Kepolisian dengan KPK dalam hal melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi,
mulai dari kasus kriminalisasi terhadap pimpinan KPK hingga perebutan proses pemeriksaan
kasus tindak pidana korupsi terkait pengadaan alat simulasi SIM. Kemudian benturan
kewenangan antara LPSK dengan Kepolisian terkait status hukum Susno Duadji. Walaupun
telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahn 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, berkaitan dengan kewenangan KPK dalam melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana korupsi yang berada di atas kewenangan Penyidik Kepolisian, namun,
budaya melakukan koordinasi yang berujung kepada munculnya Memorandum of
Understanding (MoU) antara Kepolisian, KPK dan Kejaksaan Agung dalam membagi
kewenangan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, jsutru
memperburuk keteraturan norma yang telah diatur secara yuridis normatif dalam suatu
peraturan perundang-undangan.
Demikian pula yang terjadi dalam kewenangan untuk menentukan suatu peristiwa
adalah merupakan tindak pidana atau bukan, dapat kita cermati dalam peristiwa “Souvenir
Ipod” pada pernikahan Sekretaris Mahkamah Agung. Dimana Mahkamah Agung bersama
Komisi Yudisial melakukan penafsiran sendiri atas klasifikasi tindak pidana gratifikasi.
Merujuk kepada perilaku-perilaku tersebut, Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa jika
dilihat dari aspek kebijakan hukum pidana (penal policy), adressat dari hukum pidana tidak
hanya mengatur perbuatan warga masyarakat pada umumnya, tetapi juga mengatur
penguasa/aparat penegak hukum. Bahwa pembatasan dan pengawasan/pengendalian
kekuasaan Negara merupakan dimensi yuridis dari hukum pidana bukanlah “mengatur
masyarakat” tetapi “mengatur penguasa”. Sehingga, kebijakan Hukum Pidana pada hakikatnya
mengandung kebijakan mengatur/mengalokasi dan membatasi kekuasaan, baik
kekuasaan/kewenangan warga masyarakat pada umumnya, yaitu untuk bertindak/bertingkah
laku dalam pergaulan masyarakat, maupun kekuasaan atau kewenangan penguasa/penegak
hukum. Dilihat dari aspek kebijakan hukum pidana tersebut, masalah dasar dari hukum pidana
terletak di luar bidang hukum pidana itu sendiri, yaitu di bidang Hukum Tata Negara.
Oleh karena itu, merancang Sistem Perdilan Pidana tidak terlepas dari bagaimana
suatu Negara mengadopsi, mengundangkan dan mengimplementasikan suatu sistem hukum.
Pembentukan sistem hukum, pun sangat bergantung bagaimana Pembentuk Undang-undang,
dalam hal ini Presiden bersama DPR, dalam menyusun suatu peraturan perundang-undangan
yang bersifat integral dan komprehensif. Dan pula seharusnya memahami terkait kajian-kajian
atas teori-teori separation of power dan kebijakan administrasi publik. Berbagai macam
peraturan perundang-undangan terkait institusi penegak hukum mengatur secara partial,
walaupun kemudian terdapat pandangan bahwa kewenangan penyidik memiliki
ketergantungan dengan kewenangan Jaksa, dan kewenanan pengadilan dalam memutus perkara
tergantung kepada kewenangan Polisi dan Jaksa, namun eksistensi peraturan perundang-
undangan tersebut, belumlah mengatur secara komprehensif berkaitan mengenai interrelasi
dari masing-masing kewenangan. Sehingga, jika Sistem Peradilan Pidana menginginkan
keterpaduan, maka perlu dibentuk satu kebijakan hukum pidana yang mengatur kewenangan-
kewenangan itu dalam satu peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dikarenakan,
peraturan perundang-undangan yang ada saat ini mengatur struktur suatu lembaga/institusi
yang tercampur dengan kewenangan fungsional, yang pada dasarnya telah pula diatur di dalam
KUHAP. Sehingga terjadi pengulangan redaksional dan penafsiran yang sumir.
B. Pembahasan
1. Lembaga Kepolisian;
2. Lembaga Kejaksaan;
3. Lembaga Peradilan; dan
4. Lembaga Pemasyarakatan.
Hal senada pula diungkapkan Jeremy Travis, bahwa Sistem Peradilan Pidana terdiri
dari Polisi, Jaksa, dan pengadilan, dan penjara, namun pula ditambahkan dengan lembaga
masyarakat.[57] Sedikit ilustrasi yang berbeda diungkapkan oleh Larry J. Siegel dan Joseph
J. Senna, dengan memuat lembaga-lembaga yang terlibat dalam Sistem Peradilan Pidana
dengan menyebutkan kewenangan dari lembaga-lembaga tersebut yaitu kewenangan dalam
melakukan penangkapan, penuntutan dan pengawasan terhadap mereka yang dituduh
melakukan tindak pidana.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa komponen dari
Sistem Peradilan Pidana menjadi 3 (tiga) unsur besar, yaitu:
1. Unsur Primer, yang dalam pandangan akademis pada tingkat penal policy adalah
Pembentuk Undang-Undang, yaitu Presiden bersama DPR, sebagaimana diungkapkan
oleh Romli Atmasasmita.
Penyusunan unsur primer ini didasarkan kepada pandangan bahwa bekerjanya Sistem
Peradilan Pidana, sangat bergantung dengan bagaimana suatu Negara menerapkan sistem
hukum yang valid. Sistem hukum yang dianut suatu Negara akan mewarnai bagaimana
Pembentuk Undang-Undang melakukan perancangan peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan di suatu negara merupakan suatu bagian integral atau sub
sistem dari suatu sistem hukum di negara tersebut. Sebagai suatu bagian integral atau sub
sistem dalam sistem hukum suatu negara peraturan perundang-undangan tidak dapat berdiri
sendiri terlepas dari sistem hukum Negara tersebut.
Bahwa sangat dimungkinkan adanya pengaruh sistem hukum negara lain dalam menjabarkan
politik hukum ke dalam sebuah rancangan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut
nampak pada penyusunan RKUHAP, dimana tim RKUHAP banyak melakukan kunjungan ke
negara-negara lain, baik yang memiliki kesamaan sistem hukum maupun yang berbeda sistem
hukumnya.
Bahwa kemudian terjadi perdebatan secara akademis mengenai apakah perlu Indonesia
mengadopsi KUHAP dari negara-negara lain ataukah cukup dengan menjabarkan nilai-nilai
Pancasila dan hukum yang sudah lama hidup di dalam masyarakat (the living law),
Sedangkan menurut CFG. Sunarjati Hartono, bahwa Setelah 17 Agustus 1945, idealnya
politik hukum yang berlaku adalah politik hukum nasional, artinya telah terjadi unifikasi
hukum (berlakunya satu sistem hukum di seluruh wilayah Indonesia), karena sistem hukum
nasional harus dibangun berdasarkan dan untuk memperkokoh sendi-sendi Proklamasi,
Pancasila dan UUD 1945.
Unsur Sekunder ini lebih dikenal dalam berbagai literatur mengenai Sistem Peradilan dengan
istilah “sub-sistem”.
Secara umum, pada dasarnya institusi yang digolongkan ke dalam unsur kedua ini adalah:
1. Kepolisian;
2. Kejaksaan;
3. Pengadilan; dan
4. Lembaga Pemasyarakatan.
Sehingga komponen yang termasuk ke dalam ruang lingkup sub-sistem pada Sistem Peradilan
Pidana adalah:
1. Advokat/Penasehat Hukum
2. Kepolisian;
3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
4. Kejaksaan;
5. Pengadilan;
6. Lembaga Pemasyarakatan; dan
7. Masyarakat.
8. Unsur Tertier (supporting system)
Di dalam supporting system ini, Penulis mencoba memberikan gambaran bahwa kinerja dari
sub-sistem tidak dapat berdiri sendiri. Lembaga-lembaga atau institusi pemerintahan yang lain
pun memiliki peranan yang cukup strategis dalam memberikan masukan data-data penunjang
bagi proses penegakan hukum di Indonesia.
Secara garis besar, institusi penunjang dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu:
1. Lembaga Konvensional, dalam hal ini terdiri Kementerian, Non-Kementerian dan
Pemerintah Daerah
2. Lembaga extra-Structure (Ekstra Struktural)
Kedua jenis lembaga tersebut memiliki peranan yang cukup penting sebagai penopang dari
unsur sub-sistem. Pemerintah Daerah, misalnya, memiliki peranan cukup penting dalam
melakukan pendataan kependudukan di wilayah kewenangannya. Yang kemudian dapat
digunakan oleh aparat penegak hukum untuk dapat dengan segera melakukan identifikasi
individu, baik sebagai tersangka/pelaku tindak pidana maupun sebagai korban kejahatan.
Hanya saja cukup disayangkan pentingnya pendataan kependudukan, masih dianggap sebagai
keperluan kepentingan administrasi kedaerahan semata. Data kependudukan yang dimiliki
Pemerintah Daerah masih bersifat pasial, sehingga di dalam proses penegakan hukum,
pemetaan kependudukan untuk memperoleh gambaran sejelas wilayah-wilayah yang masih
rawan tingkat kejahatan, tidak terkonfigurasi dengan baik. Walaupun pihak apartur penegak
hukum dapat meminta data-data tersebut, namun sifatnya adalah menunggu permintaan.
Aparatur penegak hukum tidak dapat secara langsung mengakses data-data tersebut.
Hal ini perlu dipahami, bahwa proses bekerjanya aparatur penegak hukum dalam suatu Sistem
Peradilan Pidana bukan saja sebagai penindak, namun juga sebagai pengendali tingkat
kejahatan.
Demikian pula, posisi lembaga ekstra struktural di dalam Sistem Peradilan Pidana. Lembaga
Perlindungan Saksi & Korban, misalnya, memiliki posisi yang tidak kalah pentingnya di dalam
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, terkait dengan fungsinya sebagai lembaga yang
memberikan perlindungan hukum kepada Saksi dan Korban, seringkali justru berbenturan
dengan aparatur penegak hukum.
C. Kesimpulan
Kesimpulan dalam penulisan ini, Kedudukan KPK dalam sistem peradilan Pidana
untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi lebih diperluas lagi dengan
wewenang untuk mengambil alih penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini
didasarkan pada tugas KPK sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 huruf b UU KPK, yang
berbunyi KPK mempunyai tugas supervise terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi.Selanjutnya, dalam melaksanakan tugas supervisi
tersebut, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap
instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan
tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.Undang-
Undang KPK tidak memberikan definisi tentang penuntutan, dengan demikian maka
pengertian tentang penuntutan mengacu pada KUHAP sebagai hukum acara pidana yang
bersifat umum. Undang-Undang KPK tersebut hanya mengatur tentang kewenangan KPK
untuk melakukan penuntutan, yang mana dilakukan oleh Penuntut Umum pada KPK yang
diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Penuntut Umum yang dimaksud adalah Jaksa Penuntut
Umum yang melaksanakan fungsi penuntutan tindak pidana korupsi.
1. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang sifatnya konstitusional
walaupun tidak disebutkan secara jelas dalam konstitusi negara yaitu UUD 1945.
2. KPK dibentuk dengan melihat sifat dari korupsi itu sendiri yaitu merupakan kejahatan luar
biasa, sehingga diperlukan suatu lembaga yang independen untuk memberantas korupsi di
Indonesia.
3. Latar belakang terbentuknya KPK bukanlah karena desain konstitusional yang diartikan
secara kaku, tetapi lebih kepada isu insidentil dalam negara dan kehendak bersama dari bangsa
Indonesia untuk memerangi tindak pidana korupsi. Kedudukan KPK sebagai salah satu
lembaga negara bantu adalah independen, dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, hal
ini dimaksudkan agar dalam memberantas korupsi KPK tidak mendapatkan intervensi dari
pihak manapun. Terbentuknya KPK juga merupan jawaban atas tidak efektifnya kinerja
lembaga penegak hukum selama ini dalam memberantas korupsi, yang terkesan berlarut-larut
dalam penanganannya bahkan terindikasi ada unsur korupsi dalam penanganan kasusnya.
4. Kewenangan penuntutan yang diberikan oleh UU kepada KPK merupakan kewenangan yang
sah.UU tentang Kejaksaan RI merupakan UU yang mengatur secara umum keberadaan dan
kewenangan Jaksa dan UU Kejaksaan tersebut dapat dikesampingkan dengan UU KPK yang
merupakan aturan khusus. Kewenangan penuntutan pada KPK adalah konstitusional, hal ini
dipertegas dengan sejumlah putusan dari Mahkamah Kontitusi. Kewenangan penuntutan tidak
dapat dimonopoli oleh Kejaksaan, dengan melihat bahwa Kejaksaan masih berada dalam
lingkup eksekutif/pemerintah sehingga independensinya masih dipertanyakan. Hal ini dapat
dilihat dari Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sehingga dapat
memungkinkan adanya intervensi politik.
5. Sehingga kewenangan penuntutan yang ada pada KPK sudah tepat karena lembaga ini
bergerak secara independen tanpa intervensi kekuasaan manapun.
draf RUU KPK sangat tidak sejalan dengan sistem peradilan pidana dengan dimasukannya
dewan pengawas sebagai bagian di luar kekuasaan kehakiman oleh sebab itu solusi diutamakan
pengesahan RUU KUHAP dalam menjawab tantangan perkembangan hukum dan masyarakat
dengan menerapkan sistem integrated criminal justice system di bawah kekuasaan kehakiman
termasuk di KPK karena di dalamnya ada unsur kepolisian dan kejaksaan.