Anda di halaman 1dari 20

1.

Definisi

Sindrom gawat napas pada neonatus (SGNN), dalam bahasa Inggris disebut

neonatal respiratory distress syndrome (RDS) merupakan kumpulan gejala yang terdiri

dari dispnea atau hiperpnea dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60 kali per menit;

sianosis; merintih waktu ekspirasi (expiratory grunting); dan retraksi di daerah

epigastrium, suprasternal, intekostal pada saat inspirasi. Bila di dengar dengan stetoskop

akan terdengar penurunan masukan udara dalam paru.

Istilah SGNN merupakan istilah umum yang menunjukkan terdapatnya

kumpulan gejala tersebut pada neonatus. Sindrom ini dapat terjadi karena adanya

kelainan di dalam atau di luar paru. Beberapa kelainan paru yang menunjukkan sindrom

ini adalah pneumotoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH),

pneumonia aspirasi, dan sindrom Wilson-mikity (Ngastiyah, 2005).

Salah satu yang akan dibahas dalam makalah ini adalah idiopatic respiratory

distress syndrome (IRDS) atau disebut juga penyakit membran hialin (PMH).

Syndrome distress pernapasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem

pernapasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai

hyaline membrane disease (HMD) (Suriadierita Yulianni, 2006).

Sindrom gawat napas (respiratory distress syndrome, RDS) adalah istilah yang

digunakan untuk disfungsi pernapasan pada neonatus (Asrining Surasmi, dkk, 2003).

RDS adalah penyakit paru yang akut dan berat, terutama menyerang bayi-bayi

preterm, hal ini dapat terlihat pada 3% sampai 5% bayi-bayi cukup bulan (Donna L.

Wong, 2003).
2. Etiologi

RDS sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens berbanding terbalik dengan

usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan ibu. Semakin

tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya semakin tua usia kehamilan,

semakin rendah kejadian RDS (Asrining Surasmi, dkk, 2003).

PMH ini 60-80% terjadi pada bayi yang umur kehamilannya kurang dari 28

minggu, 15-30% pada bayi antara 32 dan 36 minggu, sekitar 5% pada bayi yang lebih

dari 37 minggu dan jarang pada bayi cukup bulan. Kenaikan frekuensi dihubungkan

dengan bayi dari ibu diabetes, persalinan sebelum umur kehamilan 37 minggu,

kehamilan multi janin, persalinan seksio sesaria, persalinan cepat, asfiksia, stress dingin

dan adanya riwayat bahwa bayi sebelumnya terkena, insidens tertinggi pada bayi

preterm laki-laki atau kulit putih (Nelson, 2004).

3. Patofisiologi

Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk

berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor kritis

dalam terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut terutama

disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan.

Surfaktan adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan alveolus

sehingga tidak terjadi kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu memohon sisa udara

fungsional (kapasitas residu fungsional ) (Ilmu Kesehatan Anak, 1985). Surfaktan juga

menyebabkan ekspansi yang merata dan jarang ekspansi paru pada tekanan intraalveolar

yang rendah. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi sufaktan menimbulkan

ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi tanpa

surfaktan, janin tidak dapat menjaga parunya tetap mengembang. Oleh karena itu, perlu

usaha yang keras untuk mengembangkan parunya pada setiap hembusan napas
(ekspirasi), sehingga untuk bernapas berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks

yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Akibatnya, setiap kali

perapasan menjadi sukar seperti saat pertama kali pernapasan (saat kelahiran). Sebagai

akibatnya, janin lebih banyak menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini

daripada ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan. Dengan meningkatnya

kekelahan, bayi akan semakin sedikit membuka alveolinya, ketidakmampuan

mempertahankan pengembangan paru ini dapat menyebabkan atelektasis.

Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary vaskular

resistem (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal. Akibatnya, terjadi

hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran darah pulmonal. Di

samping itu, peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan parsial sirkulasi, darah

janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri melalui duktus arteriosus dan foramen ovale.

Kolaps paru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan vektilisasi pulmonal yang

menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah kontraksi vaskularisasi pulmonal

yang menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan selanjutnya menyebabkan

metabolisme anaerobik. Metabolisme anaerobik menghasilkan timbunan asam laktat

sehingga terjadi asidosis metabolik pada bayi dan penurunan curah jantung yang

menurunkan perfusi ke organ vital. Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler dan

epitel duktus alveolus yang menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan

terbentuknya fibrin. Fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik

membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Membran hialin ini melapisi

alveoli dan menghambat pertukaran gas.

Atelektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbon dioksida dari

sisa pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik. Penurunan pH menyebabkan

vasokonstriksi yang semakin berat. Dengan penurunan sirkulasi paru dan perfusi
alveolar, PaO2 akan menurun tajam, pH juga akan menurun tajam, serta materi yang

diperlukan untuk produksi surfaktan tidak mengalir ke dalam alveoli.

Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh pH, suhu dan perfusi normal,

asfiksia, hipoksemia dan iskemia paru terutama dalam hubungannya dengan

hipovolemia, hipotensi dan stress dingin dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisan

epitel paru dapat juga terkena trauma akibat kadar oksigen yang tinggi dan pengaruh

penatalaksanaan pernapasan yang mengakibatkan penurunan surfaktan lebih lanjut

(Asrining Surasmi, dkk, 2003).

Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran setan yang

terdiri dari : atelektasis  hipoksia  asidosis  transudasi  penurunan aliran darah

paru  hambatan pembentukan substansi surfaktan  atelektasis. Hal ini akan

berlangsung terus sampai terjadi penyembuhan atau kematian bayi (Staf Pengajar IKA,

FKUI,2006).

4. Manifestasi Klinis

Penyakit membran hialin ini mungkin terjadi pada bayi prematur dengan berat

badan 100-2000 gram atau masa gestasi 30-36 minggu. Jarang ditemukan pada bayi

dengan berat badan lebih dari 2500 gram. Sering disertai dengan riwayat asfiksia pada

waktu lahir atau tanda gawat bayi pada akhir kehamilan. Tanda gangguan pernapasan

mulai tampak dalam 6-8 jam pertama. Setelah lahir dan gejala yang karakteristik mulai

terlihat pada umur 24-72 jam. Bila keadaan membaik, gejala akan menghilang pada

akhir minggu pertama.

Gangguan pernapasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis dan perfusi

paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran klinis seperti dispnea

atau hiperpneu, sianosis karena saturasi O2 yang menurun dan karena pirau vena-arteri

dalam paru atau jantung, retraksi suprasternal, epigastrium, interkostal dan respiratory

grunting. Selain tanda gangguan pernapasan, ditemukan gejala lain misalnya bradikardia
(sering ditemukan pada penderita penyakit membran hialin berat), hipotensi,

kardiomegali, pitting oedema terutama di daerah dorsal tangan/kaki, hipotermia, tonus

otot yang menurun, gejala sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi (Staf Pengajar

IKA, FKUI, 2006).

5. Pemeriksaan Diagnostik

1. Gambaran radiologis

Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan foto rontgen

toraks. Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan

penyakit lain yang diobati dan mempunyai gejala yang mirip penyakit membran

hialin, misalnya pneumotoraks, hernia diafragmatika dan lain-lain. Gambaran klasik

yang ditemukan pada foto rontgen paru ialah adanya bercak difus berupa infiltrate

retikulogranuler ini, makin buruk prognosis bayi. Beberapa sarjana berpendapat

bahwa pemeriksaan radiologis ini dapat dipakai untuk mendiagnosis dini penyakit

membran hialin, walaupun manifestasi klinis belum jelas.

2. Gambaran laboratorium

Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium diantaranya adalah :

a. Pemeriksaan darah

Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih dari 45 mg%,

prognosis lebih buruk, kadar bilirubin lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi

normal dengan berat badan yang sama. Kadar PaO2 menurun disebabkan

kurangnya oksigenasi di dalam paru dan karena adanya pirau arteri-vena. Kadar

PaO2 meninggi, karena gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2 sebagai akibat

atelektasis paru. pH darah menurun dan defisit biasa meningkat akibat adanya

asidosis respiratorik dan metabolik dalam tubuh.


b. Pemeriksaan fungsi paru

Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan pelik, frekuensi pernapasan

yang meninggi pada penyakit ini akan memperhatikan pula perubahan pada

fungsi paru lainnya seperti ‘tidal volume’ menurun, ‘lung compliance’ berkurang,

functional residual capacity’ merendah disertai ‘vital capacity’ yang terbatas.

Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi paru akan terganggu.

c. Pemeriksaan fungsi kardiovaskuler

Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperhatikan beberapa perubahan

dalam fungsi kardiovaskuler berupa duktus arteriosus paten, pirau dari kiri ke

kanan atau pirau kanan ke kiri (bergantung pada lanjutnya penyakit), menurunnya

tekanan arteri paru dan sistemik.

3. Gambaran patologi/histopatologi

Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis dan membran

hialin di dalam alveolus dan duktus alveolaris. Di samping itu terdapat pula bagian

paru yang mengalami enfisema. Membran hialin yang ditemukan yang terdiri dari

fibrin dan sel eosinofilik yang mungkin berasal dari darah atau sel epitel ductus yang

nekrotik.

6. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan medik tindakan yang perlu dilakukan

a. Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan

agar tetap dalam batas normal (36,5o-37oC) dengan cara meletakkan bayi dalam

inkubator. Kelembaban ruangan juga harus adekuat (70-80%).

b. Pemberian oksigen. Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati karena

berpengaruh kompleks terhadap bayi prematur. Pemberian O2 yang terlalu


banyak dapat menimbulkan komplikasi seperti : fibrosis paru, kerusakan retina

(fibroplasias retrolental), dll.

c. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlut untuk mempertahankan

homeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan glukosa 5-

10% dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat badan ialah 60-125

ml/kg BB/hari. asidosis metabolik yang selalu dijumpai harus segera dikoreksi

dengan memberikan NaHCO3 secara intravena.

d. Pemberian antibiotik. Bayi dengan PMH perlu mendapatkan antibiotik untuk

mencegah infeksi sekunder. Dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000-

100.000 u/kg BB/hari atau ampisilin 100 mg/kg BB/hari, dengan atau tanpa

gentamisin 3-5 mg/kg BB/hari.

e. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian surfaktan

eksogen (surfaktan dari luar), obat ini sangat efektif, namun harganya amat

mahal.

2. Penatalaksanaan keperawatan

Bayi dengan PMH adalah bayi prematur kecil, pada umumnya dengan berat badan

lahir 1000-2000 gram dan masa kehamilan kurang dari 36 minggu. Oleh karena itu,

bayi ini tergolong bayi berisiko tinggi. Apabila menerima bayi baru lahir yang

demikian harus selalu waspada bahaya yang dapat timbul. Masalah yang perlu

diperhatikan ialah bahaya kedinginan (dapat terjadi cold injury), risiko terjadi

gangguan pernapasna, kesuakran dalam pemberian makanan, risiko terjadi infeksi,

kebutuhan rasa aman dan nyaman (kebutuhan psikologik) (Ngastiyah, 2005).


7. Pencegahan

Faktor yang dapat menimbulkan kelainan ini ialah pertumbuhan paru yang belum

sempurna karena itu salah satu cara untuk menghindarkan penyakit ini ialah mencegah

kelainan bayi yang maturitas parunya belum sempurna. Maturitas paru dapat dikatakan

sempurna bila produksi dan fungsi surfaktan telah berlangsung baik. Gluck (1971)

memperkenalkan suatu cara untuk mengetahui maturitas paru dengan menghitung

perbandingan antara lesitin dan sfingomielin dalam cairan amnion. Bila perbandingan

lesitin/sfingomielin sama atau lebih dari 2, bayi yang akan lahir tidak akan menderita

penyakit membran hialin, sedangkan bila perbandingan tadi kurang dari 2 berarti paru

bayi belum matang dan akan mengalami penyakit membran hialin. Pemberian

kortikosteroid oleh beberapa sarjana dianggap dapat merangsang terbentuknya surfaktan

pada janin. Penelitian mengenai hal ini masih terus dilakukan saat ini. Cara yang paling

efektif untuk menghindarkan penyakit ini ialah mencegah prematuritas dan hal ini tentu

agar sulit dikerjakan pada beberapa komplikasi kehamilan tertentu.

8. Komplikasi

1. Pneumotoraks / pneumomediastinum

2. Pulmonary interstitial dysplasia

3. Patent ductus arteriosus (PDA)

4. Hipotensi

5. Asidosis

6. Hiponatermi / hipernatremi

7. Hipokalemi

8. Hipoglikemi

9. Intraventricular hemorrhage

10. Retinopathy pada prematur


11. Infeksi sekunder

(Suriadi dan Yuliani, 2006).

9. Prognosis

Penyakit membran hialin prognosisnya tergantung dari tingkat prematuritas dan

beratnya penyakit. Prognosis jangka panjang untuk semua bayi yang pernah menderita

penyakit ini sukar ditentukan. Mortalitas diperkirakan antara 20-40% (Scopes, 1971).
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. Identitas klien

Meliputi nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama, tanggal

pengkajian.

b. Riwayat kesehatan

1) Riwayat maternal

Menderita penyakit seperti diabetes mellitus, kondisi seperti perdarahan plasenta,

tipe dan lamanya persalinan, stress fetal atau intrapartus.

2) Status infant saat lahir

Prematur, umur kehamilan, apgar score (apakah terjadi asfiksia), bayi lahir melalui

operasi caesar.

c. Data dasar pengkajian

1) Cardiovaskuler

 Bradikardia (< 100 x/i) dengan hipoksemia berat

 Murmur sistolik

 Denyut jantung DBN

2) Integumen

 Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral

 Pitting edema pada tangan dan kaki

 Mottling

3) Neurologis

 Immobilitas, kelemahan

 Penurunan suhu tubuh


4) Pulmonary

 Takipnea (> 60 x/i, mungkin 30-100 x/i)

 Nafas grunting

 Pernapasan cuping hidung

 Pernapasan dangkal

 Retraksi suprasternal dan substernal

 Sianosis

 Penurunan suara napas, crakles, episode apnea

5) Status behavioral

 Letargi

d. Pemeriksaan Doagnostik

1) Sert rontgen dada : untuk melihat densitas atelektasi dan elevasi diafragma

dengan over distensi duktus alveolar

2) Bronchogram udara : untuk menentukan ventilasi jalan napas

3) Data laboratorium :

 Profil paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan amnion

(untuk janin yang mempunyai predisposisi RDS)

 Lesitin/spingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih mengindikasikan maturitas

paru

 Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 minggu

 Tingkat phospatydylinositol

 AGD : PaO2< 50 mmHg, PaCO2> 50 mmHg, saturasi oksigen 92%-94%, pH

7,3-7,45.

 Level potassium : meningkat sebagai hasil dari release potassium dari sel

alveolar yang rusak.


2. Diagnosa Keperawatan

1. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakadekuatan kadar surfaktan,

ketidakseimbangan perfusi ventilasi.

2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan energi/kelelahan,

keterbatasan pengembangan otot.

3. Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan penurunan lemak subkutan,

peningkatan upaya pernapasan sekunder akibat RDS.

4. Risiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan ventilasi

pulmonal
2. INTERVENSI KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)


1. Pola napas tidak NOC : NIC
Respiratory status : Ventilation Oxygen Therapy
efektif berhubungan
Setelah dilakukan tindakan 1. Bersihkan mulut,
dengan penurunan
keperawatan ..x.. jam diharapkan hidung dan secret
energi/kelelahan, pola nafas pasien teratur dengan trakea.
kriteria : 2. Pertahankan jalan
keterbatasan
 Irama pernafasan nafas yang paten.
pengembangan otot.
teratur/ tidak sesak 3. Siapkan peralatan
 Pernafasan dalam oksigenasi.
batas normal (dewasa: 4. Monitor aliran
16-20x/menit) oksigen
 Kedalaman pernafasan 5. Monitor respirasi
normal dan status O2
 Suara perkusi jaringan 6. Pertahankan posisi
paru normal (sonor) pasien
 Cemas berkurang 7. Monitor volume
aliran oksigen dan
jenis canul yang
digunakan.
8. Monitor keefektifan
terapi oksigen yang
telah diberikan
9. Observasi adanya
tanda tanda
hipoventilasi.
10. Monitor tingkat
kecemasan pasien
yang kemungkinan
diberikan terapi O2.
2. Gangguan NOC NIC
pertukaran gas Respiratory status: Gas Exchange Acid Base Management
berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1. Pertahankan
dengan keperawatan ..x.. jam diharapkan kepatenan jalan
ketidakadekuatan hasil AGD pasien dalam batas nafas
kadar surfaktan, normal dengan kriteria hasil : 2. Posisikan pasien
ketidakseimbangan  PaO2 dalam batas normal untuk mendapatkan
perfusi ventilasi. (80-100 mmHg) ventilasi yang
 PaCO2 dalam batas adekuat(mis., buka
normal (35-45 mmHg) jalan nafas dan
 pH normal (7,35-7,45) tinggikan kepala
 SaO2 normal (95-100%) dari tempat tidur)
 Tidak ada sianosis 3. Monitor
 Tidak ada penurunan hemodinamika
kesadaran status (CVP &
MAP)
4. Monitor kadar pH,
PaO2, PaCO2 darah
melalui hasil AGD
5. Monitor tanda-tanda
gagal napas
6. Monitor
7. Monitor status
neurologis
8. Monitor status
pernapasan dan
status oksigenasi
klien.
9. Atur intake cairan
10. Auskultasi bunyi
napas dan adanya
suara napas
tambahan (ronchi,
wheezing, krekels,
dll)
11. Kolaborasi
pemberian
nebulizer, jika
diperlukan
12. Kolaborasi
pemberian oksigen,
jika diperlukan

3. Risiko tinggi Setelah dilakukan asuhan NIC Label :


keperawatan selama ...... x ...... Cardiac Care
penurunan curah
jam, diharapkan . 1. Evaluasi adanya nyeri
jantung berhubungan
NOC Label : dada (Intesitas, lokasi,
dengan gangguan Cardiac Pump Effectiveness rambatan, durasi, serta
ventilasi pulmonal  Tekanan darah sistolik faktor yang
(TDS) dalam batas normal menimbulkan dan
(< 120 mmHg) meringankan gejala).
 Tekanan darah diastolik 2. Monitor EKG untuk
(TDD) dalam batas normal perubahan ST, jika
(< 80 mmHg) diperlukan.
 Frekuensi jantung (Heart 3. Lakukan penilaian
rate, HR) dalam batas komprehenif untuk
normal (60-100 x/menit) sirkulasi perifer (Cek nadi

 Peningkatan fraksi ejeksi perifer, edema,CRT, serta


warna dan temperatur
 Peningkatan nadi perifer
ekstremitas) secara rutin.
 Oliguria (-)
4. Monitor tanda-tanda vital
 Peningkatan tekanan vena
secara teratur.
sentral (Central venous
5. Monitor status
pressure, CVP)
kardiovaskuler.
 Distensi vena jugularis (-)
6. Monitor disritmia jantung.
 Disritmia (-)
7. Dokumentasikan disritmia
 Bunyi jantung abnormal (-) jantung.
 Angina (-) 8. Catat tanda dan gejala dari
 Edema perifer (-) penurunan curah jantung.

 Edema paru (-) 9. Monitor status repirasi

 Diaforesis (-) sebagai gejala dari gagal


jantung.
 Nausea (-)
10. Monitor abdomen sebagai
 Dispnea saat istirahat (-)
indikasi penurunan
 Dispnea dengan aktivitas
perfusi.
sedang (-)
11. Monitor nilai laboratorium
terkait (enzim jantung).
12. Monitor fungsi
peacemaker, jika
diperlukan.
13. Evaluasi perubahan
tekanan darah.
14. Sediakan terapi antiaritmia
berdasarkan pada
kebijaksanaan unit
(Contoh medikasi
antiaritmia, cardioverion,
defibrilator), jika
diperlukan.
15. Monitor penerimaan atau
respon pasien terhadap
medikasi antiaritmia.
16. Monitor dispnea,
keletihan, takipnea,
ortopnea.
Cardiac Care : Acute
1. Evaluasi adanya nyeri
dada (Intesitas, lokasi,
rambatan, durasi, serta
faktor yang menimbulkan
dan meringankan gejala).
2. Monitor EKG untuk
perubahan ST, jika
diperlukan.
3. Lakukan penilaian
komprehenif untuk
sirkulasi perifer.
4. Monitor kecepatan pompa
dan ritme jantung.
5. Auskultasi bunyi jantung.
6. Auskultasi paru-paru
untuk crackles atau suara
nafas tambahan lainnya.
7. Monitor efektifitas terapi
oksigen, jika diperlukan.
8. Monitor faktor-faktor yang
mempengaruhi aliran
oksigen (PaO2, nilai Hb,
dan curah jantung), jika
diperlukan.
9. Monitor status neurologis.
10. Monitor EKG (12-leads),
jika diperlukan.
11. Monitor fungsi ginjal
(Nilai BUN dan kreatinin),
jika diperlukan.
12. Monitor hasil tes untuk
fungsi hati, jika
diperlukan.
13. Monitor nilai laboratorium
elektrolit yang bisa
meningkatkan risiko
disritmia (serum K dan
Mg), jika diperlukan.
14. Administrasikan medikasi
untuk mengurangi atau
mencegah nyeri dan
iskemia, sesuai kebutuhan.

Vital Signs Monitoring


1. Monitor tekanan darah,
nadi, suhu, dan RR.
2. Catat adanya fluktuasi
tekanan darah.
3. Monitor tekanan darah saat
pasien berbaring, duduk,
atau berdiri, sebelum dan
sesudah perubahan posisi.
4. Auskultasi tekanan darah
pada kedua lengan dan
bandingkan.
5. Monitor tekanan darah,
nadi, RR, sebelum,
selama, dan setelah
aktivitas.
6. Monitor kualitas dari nadi.
7. Monitor adanya pulsus
paradoksus.
8. Monitor adanya pulsus
alterans.
9. Monitor jumlah dan irama
jantung.
10.Monitor bunyi jantung.
11.Monitor frekuensi dan
irama pernapasan.
12.Monitor suara paru-paru.
13.Monitor pola pernapasan
abnormal.
14.Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit.
15.Monitor sianosis perifer.
16.Monitor adanya cushing
triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik).
DAFTAR PUSTAKA

Doenges dan Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan Maternal/Bayi : Pedoman untuk Perencanaan
dan Dokumentasi Perawatan Klien. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Nelson. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Volume I. Edisi 15. Jakarta : EGC.

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2006. Buku Kuliah 3. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta :
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI.

Surasmi, A, dkk. 2003. Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta : EGC.

Suriadi & Yuliani. 2006. Buku Pegangan Praktik Klinik. Asuhan keperawatan pada Anak Edisi 2.
Jakarta : Sagung Seto.

Wong L. Donna. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC.


LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN DIAGNOSA MEDIS
RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (RDS) DIRUANG NICU
RSUD KOTA MATARAM

OLEH

NAMA : NURUL AZMI

NIM : 032001D17022

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

DINAS KESEHATAN

AKADEMI PERAWAT KESEHATAN


2019

Anda mungkin juga menyukai