Anda di halaman 1dari 17

MENINGITIS

Definisi

Apa itu meningitis (radang selaput otak)?

Penyakit meningitis adalah infeksi yang menyebabkan radang selaput di sekitar otak dan sumsum
tulang belakang (meninges). Penyakit ini paling sering disebabkan oleh virus, tapi dalam beberapa
kasus dapat disebabkan oleh bakteri atau jamur.

Beberapa tanda khas radang selaput otak termasuk sakit kepala, demam, dan leher kaku (kaku
kuduk). Meskipun beberapa kasus bisa sembuh dalam beberapa minggu, pada beberapa kasus lain
dapat mengancam jiwa bahkan kematian

penyebab meningitis (radang selaput otak)?

Penyebab paling umum penyakit meningitis adalah virus. Penyebab lain termasuk bakteri, jamur,
parasit, bahan kimia, obat-obatan, dan tumor.

Jika penyebab infeksi meningitis adalah bakteri, bakteri tersebut termasuk: Neisseria meningitidis,
Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniac, Listeria monocytogenes, Escherichia coli,
Klebsiella sp., Streptococcus grup B. Bakteri menyebar melalui pernapasan dan sekresi tenggorokan
(batuk, berciuman). Melindungi diri dengan menjaga kebersihan penting dilakukan.

Jika infeksi disebabkan oleh virus, beberapa jenis virus penyebab meningitis adalah: virus influenza,
virus herpes simplex, virus varicella zoster, virus West Nile, virus limfositik koriomeningitis, dan virus
campak (mumps dan measles).

tanda-tanda dan gejala meningitis (radang selaput otak)?

Tanda dan gejala meningitis adalah:

 Demam dan menggigil, terutama pada bayi baru lahir dan anak-anak

 Perubahan kondisi mental seperti kebingungan, linglung

 Mual dan muntah

 Sensitif terhadap cahaya silau (photophobia)

 Sakit kepala parah

 Leher kaku (kaku kuduk)

 Sering pingsan

berisiko kena meningitis (radang selaput otak)?

Faktor-faktor tertentu yang dapat meningkatkan risiko Anda mengalami penyakit meningitis adalah

 Tidak vaksin meningitis

 Sebagian besar kasus meningitis akibat virus terjadi pada anak berusia lebih muda dari 5
tahun.

 Sistem kekebalan tubuh yang lemah

 Orang yang baru saja menjalani transplantasi sumsum tulang


 Memiliki riwayat penyakit diabetes

 Jika Anda sedang hamil, Anda meningkatkan risiko tertular listeriosis (infeksi yang
disebabkan oleh bakteri Listeria, yang juga dapat menyebabkan meningitis)

Tidak memiliki faktor risiko bukan berarti Anda tidak bisa mengalami meningitis. Anda harus
konsultasi dengan dokter Anda untuk informasi lebih lanjut.

Obat & Pengobatan

Informasi yang diberikan bukanlah pengganti nasihat medis. SELALU konsultasikan pada dokter
Anda.

Apa saja pilihan pengobatan meningitis (radang selaput otak)?

Pengobatan untuk meningitis tergantung pada penyebabnya. Untuk infeksi virus, dokter akan
mengobati gejala dan menunggu untuk infeksi untuk sembuh dengan sendirinya. Untuk infeksi
bakteri, pasien mungkin harus opname di rumah sakit agar dapat dipantau oleh dokter dan perawat.

Pengobatan biasa termasuk terapi antibiotik melalui infus, minum banyak cairan, dan istirahat.
Antibiotik digunakan untuk mengobati bakteri radang selaput otak. Antibiotik tidak dapat mengobati
meningitis viral. Obat antivirus dapat diberikan kepada orang-orang dengan herpes meningitis.

Apa saja tes yang biasa dilakukan untuk meningitis (radang selaput otak)?

Dokter membuat diagnosis dengan mencari bakteri dalam sampel cairan tulang belakang. Dokter
mendapatkan cairan dengan melakukan pungsi lumbal. Sebuah jarum dimasukkan ke bagian
punggung bawah di mana cairan dalam kanal tulang belakang dapat diambil. Dokter juga dapat
melakukan tes darah dan rontgen pada otak.

Pengobatan di rumah

Apa saja perubahan gaya hidup atau pengobatan rumahan untuk mengatasi meningitis (radang
selaput otak)?

Beberapa perubahan gaya hidup dan pengobatan rumahan yang dapat membantu Anda mengatasi
meningitis adalah:

 Memahami bahaya meningitis bakteri. Kondisi ini merupakan keadaan darurat medis dan
membutuhkan perhatian dan perawatan segera.

 Rajin cuci tangan dan menjaga kebersihan diri agar dapat menghindari paparan agen infeksi.

 Jika Anda sedang hamil, masaklah makanan Anda hingga matang. Hindari makanan mentah
dan produk susu beserta turunannya yang tidak dipasteurisasi.
Meningitis Bakterial SMF ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN BANDUNG 2006 ISI
LATAR BELAKANG Meningitis merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan terjadinya
gejala perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia disertai peningkatan
jumlah leukosit pada liquor cerebrospinal (LCS). Berdasarkan durasi dari gejalanya, meningitis dapat
dibagi menjadi akut dan kronik. Meningitis akut memberikan manifestasi klinis dalam rentang jam
hingga beberapa hari, sedangkan meningitis kronik memiliki onset dan durasi berminggu-minggu
hingga berbulan-bulan. Pada banyak kasus, gejala klinik meningitis saling tumpang tindih karena
etiologinya sangat bervariasi. Meningitis juga dapat dibagi berdasarkan etiologinya. Meningitis
bakterial akut merujuk kepada bakteri sebagai penyebabnya. Meningitis jenis ini memiliki onset
gejala meningeal dan pleositosis yang bersifat akut. Penyebabnya antara lain Streptococcus
pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae. Jamur dan parasit juga dapat
menyebabkan meningitis seperti Cryptococcus, Histoplasma, dan amoeba. Meningitis aseptik
merupakan sebutan umum yang menunjukkan respon selular nonpiogenik yang disebabkan oleh
agen etiologi yang berbeda-beda. Penderita biasanya menunjukkan gejala meningeal akut, demam,
pleositosis LCS yang didominasi oleh limfosit. Setelah beberapa pemeriksaan laboratorium,
didapatkan peyebab dari meningitis aseptik ini kebanyakan berasal dari virus, di antaranya
Enterovirus, Herpes Simplex Virus (HSV). Pada referat ini akan dibahas mengenai meningitis
bakterialis. Meningitis bakterialis merupakan penyakit yang mengancam jiwa disebabkan oleh infeksi
lapisan meningen oleh bakteri. Insidensi meningitis bakterialis di Amerika Serikat sudah menurun
sejak diterapkannya penggunaan rutin vaksin Haemophilus influenzae tipe B (HIB). Umumnya
penderita berusia di bawah 5 tahun dan pada 70% kasus terjadi pada anak-anak usia 2 tahun.
FAKTOR PREDISPOSISI Faktor predisposisinya antara lain: infeksi saluran pernapasan, otitis media,
mastoiditis, trauma kepala, hemoglobinopathy, infeksi HIV, keadaan defisiensi imun lainnya.
PATOFISIOLOGI MENINGITIS BAKTERIALIS Pertama-tama bakteri berkolonisasi dan menyebabkan
infeksi lokal pada inang. Kolonisasi dapat terbentuk pada kulit, nasofaring, saluran pernapasan,
saluran pencernaan, atau saluran kemih dan genital. Dari tempat ini, bakteri akan menginvasi
submukosa dengan menghindari pertahanan inang (seperti barier fisik, imunitas lokal,
fagosit/makrofag) dan mempermudah akses menuju sistem syaraf pusat (SSP) dengan beberapa
mekanisme: Invasi ke dalam aliran darah (bakteremia) dan menyebabkan penyebaran secara
hematogen ke SSP, yang merupakan pola umum dari penyebaran bakteri. Penyebaran melalui
kontak langsung, misalnya melalui sinusitis, otitis media, malformasi kongenital, trauma, inokulasi
langsung selama manipulasi intrakranial. Sesampainya di aliran darah, bakteri akan berusaha
menghindar dari pertahanan imun ( misalnya: antibodi, fagositosis neutrofil, sistem komplemen).
Kemudian terjadi penyebaran hematogen ke perifer dan organ yang letaknya jauh termasuk SSP.
Gambar 1. Lapisan-lapisan selaput otak Mekanisme patofisiologi spesifik mengenai penetrasi bakteri
ke dalam SSP sampai sekarang belum begitu jelas. Setelah tiba di SSP, bakteri dapat bertahan dari
sistem imun inang karena terbatasnya jumlah sistem imun pada SSP. Bakteri akan bereplikasi secara
tidak terkendali dan merangsang kaskade inflamasi meningen. Proses inflamasi ini melibatkan peran
dari sitokin yaitu tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), interleukin(IL)-1, chemokin (IL-8), dan molekul
proinflamasi lainnya sehingga terjadi pleositosis dan kerusakan neuronal. Peningkatan konsentrasi
TNF-α, IL-1, IL-6, dan IL-8 merupakan ciri khas meningitis bakterial. Paparan sel (endotel, leukosit,
mikroglia, astrosit, makrophag) terhadap produk yang dihasilkan bakteri selama replikasi dan
kematian bakteri merangsang sintesis sitokin dan mediator proinflamasi. Data-data terbaru memberi
petunjuk bahwa proses ini dimulai oleh ligasi komponen bakteri (seperti peptidoglikan,
lipopolisakarida) untuk mengenali reseptor (Toll-like receptor) TNF-α merupakan glikoprotein yang
diderivasi dari monosit-makrophag, limfosit, astrosit, dan sel mikroglia. IL-1 yang dikenal sebagai
pirogen endogen juga berperan dalam induksi demam saat infeksi bakteri. Kedua mediator ini dapat
terdeteksi setelah 30-45 menit inkulasi endotosin intrasisternal. Mediator sekunder seperti IL-6, IL-8,
Nitric Oxide (NO), prostaglandin (PGE2) dan platelet activation factor (PAF) diduga memperberat
proses inflamasi. IL-6 menginduksi reaktan fase akut sebagai respon dari infeksi bakteri. IL-8
membantu reaksi chemotaktik neutrofil. NO merupakan molekul radikal bebas yang menyebabkan
sitotoksisitas saat diproduksi dalam jumlah banyak. PGE-2 akan meningkatkan permeabelitas blood-
brain barrier (BBB). PAF dianggap memicu pembentukan trombi dan aktivasi faktor pembekuan di
intravaskular. Pada akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular dan terjadi peningkatan
permeabelitas BBB sehingga terjadi perpindahan berbagai komponen darah ke dalam ruang
subarachnoid. Hal ini menyebabkan terjadinya edema vasogenik dan peningkatan protein LCS.
Sebagai respon terhadap molekul sitokin dan kemotaktik, neutrofil akan bermigrasi dari aliran darah
menuju ke BBB yang rusak sehingga terjadi gambaran pleositosis neutrofil yang khas untuk
meningitis bakterial. Peningkatan viskositas LCS disebabkan karena influk komponen plasma ke
dalam ruang subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi edema interstitial, produk-
produk degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas selular lain yang menyebabkan edema sitotoksik.
Edema serebral tesebut sangat bermakna dalam menyebabkan tekanan tinggi intra kranial dan
pengurangan aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF). Metabolisme anaerob terjadi dan
mengakibatkan peningkatan konsentrasi laktat dan hypoglycorrhachia. Hypoglycorrhachia
merupakan hasil dari menurunnya transpor glukosa ke LCS. Jika proses yang tidak terkendali ini tidak
ditangani dengan baik, dapat terjadi disfungsi neuronal sementara atau pun permanen. Tekanan
tinggi intra kranial (TTIK) merupakan salah satu komplikasi penting dari meningitis di mana keadaan
ini merupakan gabungan dari edema interstitial (sekunder terhadap obstruksi aliran LCS), edema
sitotoksik (akibat pelepasan produk toksik bakteri dan neutrofil) serta edema vasogenik
(peningkatan permeabelitas BBB). Edema serebral dapat menyebabkan terjadinya midline shift
dengan adanya penekanan pada tentorial dan foramen magnum. Pergeseran ini akan menimbulkan
herniasi gyri parahippocampus dan cerebellum. Secara klinis keadaan ini ditunjukkan oleh adanya
penurunan kesadaran dan reflek postural, palsy nervus kranial III dan VI. Jika tidak diobati maka
terjadi dekortikasi dan deserebrasi yang secara pesat berkembang menjadi henti napas atau henti
jantung. FREKUENSI Berdasarkan grafik dari Centers for Diseases Control and Prevention 2003, kasus
meningitis terbanyak pada usia 15-24 tahun (20,4%). Pada anak usia 1-4 tahun sebanyak 13,8%, usia
kurang dari 1 tahun sebanyak 11,9% . Gambar 2. Kasus Meningitis di Amerika Serikat pada tahun
2003 Di Amerika Serikat, sebelum penggunaan Vaksin HIB secara luas, insidensi sekitar 20.000-
30.000 kasus/tahun. Sedangkan Neisseria meningitidis meningitis kurang lebih 4 kasus/100.000 anak
usia 1-23 bulan. Rata-rata kasus Streptococcus pneumoniae meningitis adalah 6,5/100.000 anak usia
1-23 bulan. Insidensi meningitis pada neonatus adalah 0,25-1 kasus/1000 kelahiran hidup. Pada
kelahiran aterm, insidensinya adalah 0,15 kasus/1000 kelahiran aterm sedangkan pada kelahiran
preterm adalah 2,5 kasus/1000 kelahiran preterm. Kurang lebih 30% kasus sepsis neonatorum
berhubungan dengan meningitis bakterial. MORTALITAS-MORBIDITAS Sebelum ditemukannya
antimikroba, mortalitas akibat meningitis bakterial cukup tinggi. Dengan adanya terapi antimikroba,
mortalitas menurun tapi masih tetap dikhawatirkan tinggi. 19-26% mortalitas diakibatkan karena
meningitis oleh Sterptococcus pneumoniae, 3-6% oleh Haemophilus influenzae, 3-13% oleh
Neisseria meningitidis. Rata-rata mortalitas paling tinggi pada tahun pertama kehidupan, menurun
pada usia muda, dan kembali meninggi pada usia tua. RAS Insidensi rata-rata lebih tinggi pada
populasi Afro-Amerika dan Indian dibandingkan pada populasi Kaukasia dan Hispanik. JENIS
KELAMIN Bayi laki-laki memiliki insidensi lebih tinggi terkena meningitis oleh gram negatif dibanding
bayi perempuan. Tetapi bayi perempuan lebih rentan terhadap meningitis oleh Listeria
monocytogenes. Sedangkan insidensi meningitis oleh Streptococcus pneumoniae adalah sama untuk
bayi perempuan maupun laki-laki. USIA Kebanyakan penderita adalah anak dengan usia kurang dari
5 tahun. 70% kasus terjadi pada anak dengan usia kurang dari 2 tahun. GEJALA KLINIS Gejala klinis
meningitis bakterialis pada neonatus tidak spesifik meliputi gejala sebagai berikut: sulit makan,
lethargi, irritable, apnea, apatis, febris, hipotermia, konvulsi, ikterik, ubun-ubun menonjol, pucat,
shock, hipotoni, shrill cry, asidosis metabolik. Sedangkan gejala klinis pada bayi dan anak-anak yang
diketahui berhubungan dengan meningitis adalah kaku kuduk, opisthotonus, ubun-ubun menonjol
(bulging fontanelle), konvulsi, fotofobia, cephalgia, penurunan kesadaran, irritable, lethargi,
anoreksia, nausea, vomitus, koma, febris umumnya selalu muncul tetapi pada anak dengan sakit
yang berat dapat hipotermia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan: ● Tanda disfungsi serebral seperti
confusion, irritable, deliriun sampai koma, biasanya disertai febris dan fotofobia. ● Tanda-tanda
rangsang meningen didapatkan pada kurang lebih 50% penderita meningitis bakterialis. Jika
rangsang meningen tidak ada, kemungkinan meningitis belum dapat disingkirkan. Perasat Brudzinski,
Kernig ataupun kaku kuduk merupakan petunjuk yang sangat membantu dalam menegakan
diagnosis meningitis. Tetapi perasat ini negatif pada anak yang sangat muda, debilitas, bayi
malnutrisi. Gambar 3. Kaku kuduk (nuchal rigidity) pada penderita meningitis ● Palsy nervus
kranialis, merupakan akibat TTIK atau adanya eksudat yang menyerang syaraf. ● Gejala neurologis
fokal yang disebabkan karena adanya iskemia sekunder terhadap inflamasi vaskuler dan trombosis.
Adanya gejala ini memberikan prognosis buruk terhadap hospitalisasi dan timbulnya sekuelae jangka
panjang. ● Bangkitan kejang umum atau fokal terjadi pada 30% penderita. Bangkitan yang
memanjang dan tidak terkendali khususnya bila ditemukan sebelum hari ke-4 hospitalisasi
merupakan faktor yang memberikan prognosis akan adanya sekuelae yang berat. ● Papil edema dan
gejala TTIK dapat muncul seperti koma, peningkatan tekanan darah disertai bradikardia dan palsy
nervus III. Adanya papil edema memberikan alternatif diagnosis yang mungkin seperti abses otak. ●
6% bayi dan anak-anak menunjukkan gejala DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) ● Pada
tahap akhir penyakit, beberapa penderita menunjukkan gejala SSP fokal dan sistemik (seperti febris)
yang memberikan petunjuk adanya transudasi cairan yang cukup banyak pada ruang subdural.
Insidensi efusi subdural tergantung pada etiologinya. ● Pemeriksaan sistemik yang dilakukan dapat
memberikan petunjuk terhadap etiologi meningitis: › Makula dan petekiae yang cepat berkembang
menjadi purpura dapat memberikan petunjuk adanya meningococcemia tanpa atau disertai
meningitis. › Sinusitis atau otitis yang ditandai oleh rhinorrhea atau otorrhea menunjukkan adanya
kebocoran LCS yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae atau Haemophilus
influenzae dan meningitis yang berhubungan dengan fraktur basis cranii. › Adanya murmur
merupakan manifestasi dari endokarditis infektif sekunder terhadap pertumbuhan bakteri di
meningen. ETIOLOGI * Etiologi meningitis neonatal Bakteri sering didapatkan dari flora vaginal ibu di
mana flora usus gram negatif (Escherichia coli) dan Streptococcus grup B adalah patogen
predominan. Pada neonatus preterm yang menerima berbagai terapi antimikroba, berbagai
prosedur pembedahan sering didapatkan Staphilococcus epidermidis dan Candida sp sebagai
penyebab meningitis. Listeria monocytogenes merupakan patogen yang jarang dijumpai tetapi
sering menyebabkan mortalitas. Meningitis Streptococcus grup B dengan onset dini yang terjadi
dalam 7 hari pertama kehidupan sering dihubungkan dengan komplikasi obstetri sebelum atau saat
persalinan. Penyakit ini sering menyerang bayi preterm atau pun bayi dengan berat badan lahir
rendah (BBLR). Meningitis onset lanjut terjadi setelah 7 hari pertama kehidupan yang disebabkan
oleh patogen nosokomial atau patogen selama masa perinatal. Streptococcus grup B serotipe 3
adalah 90% penyebab meningitis onset lanjut. Penggunaan alat bantu respirasi meningkatkan resiko
meningitis oleh Serratia marcescens, Pseudomonas aeruginosa dan Proteus mirabilis. Infeksi oleh
Citrobacter diversus dan Salmonella sp jarang terjadi tetapi memberikan mortalitas tinggi pada
penderita yang juga menderita abses otak. * Etiologi meningitis pada bayi dan anak-anak Pada anak-
anak di atas 4 tahun, penyebab tersering adalah Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis,
Haemophilus influenzae tipe B (HIB). HIB pernah menjadi etiologi tersering tetapi sudah tereradikasi
pada negara-negara yang telah menggunakan vaksin konjugasi secara rutin. › Streptococcus
pneumoniae meningitis Gambar 4. Streptococcus pneumoniae Patogen ini berbentuk seperti lancet,
merupakan diplokokus gram positif dan penyebab utama meningitis. Dari 84 serotipe, serotipe 1, 3,
6, 7, 14, 19, dan 23 adalah jenis yang sering dihubungkan dengan dengan bakteremia dan meningitis.
Anak pada berbagai usia dapat terpapar tetapi insidensi dan tingkat keparahan penyakit paling tinggi
pada bayi dan lansia. Kurang lebih 50% penderita memiliki riwayat fokus infeksi di parameningen
atau pneumonia. Pada penderita meningitis rekuren perlu dipikirkan ada tidaknya riwayat trauma
kepala atau kelainan dural. S. pneumoniae sering menimbulkan meningitis pada penderita sickle cell
anemia, hemoglobinopathy, penderita asplenia anatomis atau fungsional. Patogen ini membentuk
kolonisasi pada saluran pernapasan individu sehat. Transmisi terjadi antar manusia dengan kontak
langsung. Masa inkubasi sekitar 1-7 hari dan prevalensi terbanyak pada musim dingin. Gejala yang
ditimbulkan di antaranya kehilangan pendengaran sensorineural, hidrocephalus, dan sekuelae SSP
lainnya. Pengobatan antimikroba efektif mengeradikasi bakteri dari sekresi nasofaring dalam 24 jam.
Pneumococcus membentuk resistensi yang bervariasi terhadap antimikroba. Resistensi terhadap
penicillin berkisar antara 10-60%. Hal ini disebabkan oleh perubahan dalam enzim yang berperan
dalam pertumbuhan dan perbaikan protein pengikat penicillin pada bakteri sehingga beta-laktamase
inhibitor menjadi tidak berguna. Pneumococcus yang resisten terhadap penicillin juga menampakkan
resistensi terhadap cotrimoxazole, tetrasiklin, chloramphenicol, dan makrolide. Cephalosporin
generasi 3 (cefotaxime, ceftriaxone) saat ini merupakan pilihan karena mampu menghambat
sejumlah bakteri yang telah resisten. Beberapa golongan fluoroquinolon (levofloksasin,
trovafloksasin) walaupun merupakan kontraindikasi untuk anak-anak tetapi memiliki daya kerja
tinggi melawan kebanyakan pneumococcus dan memiliki penetrasi adekuat ke SSP. › Neisseria
meningitidis meningitis Gambar 5. Neisseria meningitidis Patogen ini merupakan bakteri gram
negatif berbentuk seperti ginjal dan sering ditemukan intraselular. Organisme ini dikelompokkan
secara serologis berdasarkan kapsul polisakarida. Serotipe B, C, Y, dan W-135 merupakan serotipe
yang menyebabkan 15-25% kasus meningitis pada anak. Saluran pernapasan atas sering dikolonisasi
oleh patogen ini dan ditularkan antar manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius dari sekresi
saluran pernapasan, dan sering pula dari karier asimptomatik. Masa inkubasi umumnya kurang dari
4 hari, dengan kisaran waktu 1-7 hari. Faktor resiko meliputi defisiensi komponen komplemen
terminal (C5-C9), infeksi virus, riwayat tinggal di daerah overcrowded, penyakit kronis, penggunaan
kortikosteroid, perokok aktif dan pasif. Kasus umumnya terjadi pada bayi usia 6-12 bulan dan puncak
insidensi tertinggi kedua adalah saat adolesen. Manifestasi purpura atau petekiae sering dijumpai.
LCS pada meningococcal meningitis biasanya memberi gambaran normoseluler. Kematian umumnya
terjadi 24 jam setelah hospitalisasi pada penderita dengan prognosis buruk yang ditandai dengan
gejala hipotensi, shock, netropenia, petekiae dan purpura yang muncul kurang dari 12 jam, DIC,
asidosis, adanya bakteri dalam leukosit pada sediaan apus darah tepi. › Haemophilus influenzae tipe
B (HIB) meningitis Gambar 6. HIB HIB merupakan batang gram negatif pleomorfik yang bentuknya
bervariasi dari kokobasiler sampai bentuk panjang melengkung. HIB meningitis umumnya terjadi
pada anak-anak yang belum diimunisasi dengan vaksin HIB. 80-90% kasus terjadi pada anak-anak
usia 1 bulan-3 tahun. Menjelang usia 3 tahun, banyak anak-anak yang belum pernah diimunisasi HIB
telah memperoleh antibodi secara alamiah terhadap kapsul poliribofosfat HIB yang cukup memberi
efek protektif. Penularan dari manusia ke manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius dari
sekresi saluran pernapasan. Masa inkubasi kurang dari 10 hari. Mortalitas kurang dari 5% umumnya
kematian terjadi pada beberapa hari awal penyakit. Beberapa data menunjukkan 30-35% patogen ini
sudah resisten terhadap ampicillin karena produksi beta-laktamase oleh bakteri. Sebanyak 30%
kasus menyebabkan sekuelae jangka panjang. Pemberian dini dexamethasone dapat menurunkan
morbiditas dan sekuelae. › Listeria monocytogenes meningitis Gambar 7. Listeria monocytogenes
Bakteri ini menyebabkan meningitis pada neonatus dan anak-anak immunocompromised. Patogen
ini sering dihubungkan dengan konsumsi makanan yang terkontaminasi (susu dan keju). Kebanyakan
kasus disebabkan oleh serotipe Ia, Ib, IVb. Gejala pada penderita dengan Listerial meningitis
cenderung tersamar dan diagnosis sering terlambat ditegakkan. Pada pemeriksaan laboratorium,
patogen ini sering disalahartikan sebagai Streptococcus hemolyticus atau diphteroid. › Etiologi lain-
lain Staphylococcus epidermidis sering menimbulkan meningitis dan infeksi saluran LCS pada
penderita dengan hidrocephalus dan post prosedur bedah. Anak-anak yang immunocompromised
sering mendapatkan meningitis oleh spesies Pseudomonas, Serratia, Proteus dan diphteroid.
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan: Abses otak Tumor otak
Vaskulitis SSP Lead encephalopathy Meningitis fungal Meningitis tuberculosis Tuberculoma Stroke
Encephalitis PEMERIKSAAN LABORATORIUM Meningitis adalah keadaan gawat darurat medik.
Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi bakteri dari LCS dengan metode lumbal punksi. Adanya
inflamasi pada meningen ditandai oleh pleositosis, peningkatan kadar protein, dan penurunan kadar
glukosa LCS. Tekanan LCS (opening pressure) juga warna LCS (keruh, jernih, berdarah) perlu untuk
dinilai. Jika LCS tidak jernih maka pemberian terapi dilakukan secepatnya tanpa menunggu hasil
pemeriksaan LCS. Jika penderita menunjukkan tanda herniasi otak maka perlu dipertimbangkan
pemberian terapi tanpa melakukan lumbal punksi. Lumbal punksi dapat dilakukan di lain waktu saat
tekanan intrakranial terkendali dan penderita tampak stabil secara klinis. CT scan atau MRI sangat
membantu penanganan penderita yang memerlukan pemantauan terhadap tekanan intrakranial dan
herniasi. Gambar 8. Tabung spesimen LCS Pada spesimen LCS dilakukan pemeriksaan kimiawi
(glukosa, protein), jumlah total leukosit dan hitung jenis (differential count), pewarnaan gram dan
kultur. Pada beberapa kasus, test rapid bacterial antigen perlu dilakukan. Kadar glukosa LCS
umumnya kurang dari 40 mg/dL dengan kadar protein LCS lebih dari 100 mg/dL. Tetapi penilaian ini
sangat bervariasi pada penderita terutama pada meningitis dengan onset yang sangat dini.
Pemeriksaan lumbal punksi pada penderita dengan perjalanan penyakit yang fulminan dan memiliki
respon imun yang lemah kadang-kadang tidak menunjukkan perubahan kimiawi dan sitologis LCS.
Pada kasus penderita yang tidak diterapi terjadi peningkatan jumlah leukosit yang didominasi oleh
sel Polimorfonuklear (PMN) pada saat dilakukan pemeriksaan lumbal punksi. Pewarnaan gram dari
cytocentrifuged LCS dapat memperlihatkan morfologi bakteri. Spesimen LCS harus langsung dikultur
pada media agar darah atau agar cokelat. Kultur darah juga perlu dilakukan. Apusan dari lesi
petekiae juga dapat menunjukkan patogen penyebab dengan pewarnaan gram. Pemeriksaan apus
buffy coat juga dapat memperlihatkan gambaran mikroorganisme intraseluler Agent Opening
Pressure WBC count per mL Glucose (mg/dL) Protein (mg/dL) Microbiology Bacterial meningitis 200-
300 100-5000; >80% PMNs* <40 >100 Specific pathogen demonstrated in 60% of Gram stains and
80% of cultures Viral meningitis 90-200 10-300; lymphocytes Normal, reduced in LCM and mumps
Normal but may be slightly elevated Viral isolation, PCR† assays Tuberculous meningitis 180-300
100-500; lymphocytes Reduced, <40 Elevated, >100 Acid-fast bacillus stain, culture, PCR
Cryptococcal meningitis 180-300 10-200; lymphocytes Reduced 50-200 India ink, cryptococcal
antigen, culture Aseptic meningitis 90-200 10-300; lymphocytes Normal Normal but may be slightly
elevated Negative findings on workup Normal values 80-200 0-5; lymphocytes 50-75 15-40 Negative
findings on workup Tabel 1. Gambaran Liquor Cerebrospinal pada meningitis berdasarkan agen
etiologiknya. Beberapa test didasari oleh prinsip aglutinasi untuk mendeteksi antigen bakteri pada
cairan tubuh juga telah tersedia. Deteksi antigen bakteri dapat diperoleh dari spesimen LCS, darah
atau urin. Test jenis ini bermanfaat pada penderita meningitis dengan riwayat pengobatan belum
lengkap (Partially treated meningitis/PTM) di mana bakteri tidak dapat berkembang biak pada LCS
tetapi antigennya tetap tinggal pada cairan tubuh penderita. Deteksi antigen dalam urin berguna
pada beberapa kasus karena urin dapat dikonsentrasikan beberapa kali lipat di laboratorium.
Beberapa bakteri gram negatif dan S. pneumoniae serotipe tertentu yang memiliki antigen kapsuler
dapat memberikan reaksi silang dengan poliribofosfat HIB sehingga pewarnaan gram spesimen LCS
lebih spesifik dibandingkan rapid diagnostic test. PARTIALLY TREATED MENINGITIS (PTM) Beberapa
anak sudah menerima antibiotik sebelum diagnosis pasti ditegakkan. Dosis kecil antimikroba oral
atau bahkan pemberian antimikroba secara intravena dosis tunggal tidak mengubah hasil
pemeriksaan LCS termasuk kultur bakteri khususnya pada penderita HIB meningitis. Hasil kultur dari
spesimen LCS dapat menjadi steril secara cepat jika patogen penyebabnya adalah pneumococcus
atau meningococcus walaupun perubahan sitologis dan kimiawi tetap eksis. Karena hal ini maka
diperlukan test antigen bakteri dalam darah, urin, LCS. Apabila terjadi kesulitan untuk membedakan
antara PTM dengan meningitis viral (aseptik) maka lumbal punksi dapat diulang dalam rentang
waktu 24 jam. Pada kasus meningitis viral, pleositosis LCS dan perubahan kimiawi cenderung untuk
kembali menuju nilai normal. PENATALAKSANAAN *Perawatan medik Pemberian terapi dilakukan
secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis. Idealnya kultur darah dan LCS dilakukan sebelum
pemberian antimikroba. Jika neonatus dalam terapi dengan menggunakan ventilator atau menurut
pertimbangan klinis bahwa punksi tersebut berbahaya maka lumbal punksi dapat ditunda hingga
keadaan stabil. Lumbal punksi yang dilakukan beberapa hari setelah terapi inisial masih memberikan
gambaran abnormal pada pemeriksaan kimiawi dan sitologis. Akses intravena dan pemantauan
pemberian cairan secara ketat perlu dilakukan. Neonatus dengan meningitis sangat rentan untuk
jatuh ke dalam keadaan hiponatremia yang berhubungan dengan SIADH. Perubahan elektrolit ini
juga berperan dalam memicu terjadinya kejang khususnya dalam 72 jam pertama. Cairan NaCl 0,9%
dalam glukosa 5% diberikan sampai elektrolit serum pada neonatus mencapai normal. Peningkatan
tekanan intrakranial sekunder terhadap edema serebral jarang terjadi pada bayi tetapi tetap
diperlukan pemantauan analisis gas darah untuk menjamin oksigenasi yang adekuat dan stabilitas
metabolisme. Pemeriksaan penunjang seperti MRI dengan gadoteriol, USG, atau CT scan dengan
kontras diperlukan untuk menyelidiki ada tidaknya kelainan intrakranial. Pada neonatus yang sudah
sembuh dari meningitis perlu dilakukan uji fungsi pendengaran untuk menskrining gangguan
pendengaran. Pada bayi dan anak-anak, penanganan meningitis bakterial akut meliputi terapi
antimikroba yang adekuat serta terapi suportif. Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan:
memperhatikan tanda-tanda vital dan status neurologis sehingga dapat menentukan input dan
output yang akurat, penggunaan cairan dengan jenis dan volume yang sesuai untuk mengurangi
perkembangan edema serebral. Anak-anak harus mendapat terapi cairan untuk mempertahankan
tekanan darah sistolik sekitar 80 mmHg, jumlah urine output 500 ml/m2/hari dan perfusi jaringan
yang adekuat. Dopamin dan agen inotropik lainnya dapat digunakan untuk mempertahankan
tekanan darah dan sirkulasi yang adekuat. *Terapi antimikroba untuk neonatus Antimikroba
diberikan segera setelah akses vena dibuat. Secara konservatif terapi antimikroba yang diberikan
terdiri dari kombinasi ampicillin dan aminoglikosida. Ampicillin memberikan jangkauan yang baik
terhadap kokus gram positif termasuk Streptococcus grup B, Enterococcus, Listeria monocytogenes,
beberapa strain Escherichia coli, HIB dan dapat mencapai kadar adekuat dalam LCS. Aminoglikosida
seperti gentamycin, amikacin, tobramycin baik dalam melawan basil gram negatif termasuk
Pseudomonas aeruginosa, Serratia marcescens. Tetapi aminoglikosida memiliki kadar rendah dalam
LCS atau cairan ventrikel bahkan pada saat meningen sedang mengalami peradangan. Beberapa
cephalosporin generasi III dapat mencapai LCS dengan kadar tinggi dan berfungsi secara efektif
melawan infeksi gram negatif. Pada suatu percobaan didapatkan hasil bahwa ceftriaxone
berkompetisi dengan bilirubin dalam mengikat albumin. Ceftriaxone dalam kadar terapeutik
mengurangi konsentrasi cadangan albumin pada serum neonatus sebanyak 39% sehingga
ceftriaxone dapat meningkatkan resiko bilirubin encephalopathy khususnya pada neonatus beresiko
tinggi. Penelitian lain menyimpulkan bahwa tak satu pun cephalosporin memiliki aktivitas baik
melawan L. monocytogenes dan Enterococcus sehingga obat ini tidak pernah digunakan sebagai
obat tunggal untuk terapi inisial. Disarankan kombinasi ampicillin dengan cephalosporin generasi III.
Jika patogen sensitif terhadap ampicillin dengan MIC (minimum inhibition concentration) yang
sangat rendah maka ampicillin dapat dilanjutkan sebagai obat tunggal. Cefotaxime dan ceftriaxone
memberikan aktivitas yang baik melawan kebanyakan S. pneumoniae yang resisten terhadap
penicillin. Kombinasi Vancomycin dan cefotaxime dianjurkan untuk penderita S. pneumoniae
meningitis sebelum uji sensitivitas antimikroba dilakukan. Di antara aminoglikosida, gentamycin dan
tobramycin digunakan secara luas disertai kombinasi dengan ampicillin. Pemberian gentamycin
secara intrathecal dianggap tidak memberikan keuntungan tambahan. Aminoglikosida jika digunakan
bersama ampicillin atau penicillin juga memiliki efek sinergis melawan Streptococcus grup B dan
Enterococcus.Tidak jarang didapatkan laporan rekurensi setelah terapi adekuat dengan penicillin
atau ampicillin terhadap kedua patogen tersebut karena adanya resistensi. Infeksi yang melibatkan
Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa memerlukan antimikroba lain seperti oxacillin,
methicillin, vancomycin atau kombinasi ceftazidime dan aminoglikosida. Etiologi dan gejala klinik
menentukan durasi terapi, biasanya terapi selama 10-21 hari adekuat untuk infeksi Streptococcus
grup B. Terapi memerlukan waktu lama untuk mensterilkan LCS dari basil gram negatif yaitu sekitar
3-4 minggu. Pemeriksaan LCS selama terapi mungkin diperlukan untuk memastikan LCS steril .
Pemeriksaan ulang terhadap LCS berguna dalam 48-72 jam setelah terapi inisial untuk memantau
respon terhadap terapi, khususnya meningitis oleh basil gram negatif. Antibiotics (dosage in
mg/kg/day) Route Of Administration Body weight <2000> Body Weight <2000> Body Weight >2000 g
Body Weight >2000 g Age 0-7 days Age > 7 days Age 0-7 days Age > 7 days Penicillins Ampicillin IV,IM
100 div q12h 150 div q8h 150 div q8h 300 div q6h Penicillin-G IV 100,000 U div q12h 150,000 U div
q8h 150,000 U div q8h 250,000 U div q6h Oxacillin IV,IM 100 div q12h 150 div q8h 150 div q8h 200
div q6h Ticarcillin IV,IM 150 div q12h 225 div q8h 225 div q8h 300 div q6h Cephalosporins
Cefotaxime IV,IM 100 div q12h 150 div q8h 100 div q12h 150 div q8h Ceftriaxone IV,IM 50 once daily
75 once daily 50 once daily 75 once daily Ceftazidime IV,IM 100 div q12h 150 div q8h 100 div q8h
150 div q8h Tabel 2. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus berdasarkan berat
badan dan usia Anti biotics Route of Admini stration Desired Serum Levels (mcg/ml) New born Age
≤26 weeks (mg/kg/ dose) New born Age 27-34 weeks (mg/kg/ dose) New born Age 35-42 weeks
(mg/kg/ dose) New born Age ≥43 weeks (mg/kg/ dose) Aminoglycosides Amikacin IV,IM 20-30 (peak)
<10 (trough) 7.5 q24h 7.5 q18h 10 q12h 10 q8h Gentamycin IV,IM 5-10 (peak) <2,5 (trough) 2.5 q24h
2.5 q18h 2.5 q12h 2.5 q8h Tobramycin IV,IM 5-10 (peak) <2,5 (trough) 2.5 q24h 2.5 q12h 2.5 q12h
2.5 q8h Glycopeptide Vancomy cin IV,IM 20-40 (peak) <10 (trough) 15 q24h 15 q18h 15 q12h 15 q8h
Tabel 3. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus yang diberikan berdasarkan usia
*Terapi antimikroba untuk bayi dan anak-anak Pemberian antibiotik yang sesuai untuk penderita
dengan suspek meningitis bakterial sangat penting. Pemilihan antibiotik inisial harus memiliki
kemampuan untuk melawan 3 patogen umum yaitu: S.pneumoniae, N. meningitidis, H. influenzae.
Umumnya terapi dimulai dengan pemberian vancomycin 60 mg/kg/hari IV dalam 4 dosis terbagi
diberikan tiap 6 jam. Ceftriaxone 100 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi atau ceftriaxone 80
mg/kg/hari sekali/hari dan dapat disubstitusi dengan cefotaxime. Kombinasi ini cukup baik dalam
melawan S. pneumoniae yang resisten penicillin dan Haemophilus influenzae tipe B yang resisten
beta-laktamase. Ceftazidime memiliki aktivitas yang kurang baik melawan pneumococcus dan harus
diganti dengan cefotaxime atau ceftriaxone. Beberapa evidence-based medicine menyarankan
penggunaan carbapenem (misalnya meropenem) sebagai pilihan untuk patogen yang resisten
terhadap cephalosporin. Peran antibiotik baru seperti oxazolidinone (linezoid) masih dalam
penelitian. Karena penetrasi antibiotik ke dalam SSP berhubungan dengan respon inflamasi dan sifat
kortikosteroid yang mengurangi reaksi inflamasi, maka pemberian kortikosteroid dapat mengurangi
efektivitas antibiotik seperti vancomycin yang daya penetrasinya kecil. Sehingga petugas kesehatan
perlu mempertimbangkan keuntungan dan kerugian pemberian kortikosteroid pada terapi
meningitis. Semua antibiotik diberikan secara intravena agar kadarnya dalam serum dan LCS
adekuat. Pemberian secara intraosseus dapat dilakukan jika akses vena tidak dapat dilakukan.
Chloramphenicol secara per oral dapat mencapai kadar terapeutik dalam serum dan diberikan hanya
jika tidak tersedia obat-obat lain, pada keadaan penderita yang stabil, dan keluhan mual muntah
berkurang. Pada penderita dengan riwayat alergi yang bermakna penggunaan kombinasi vancomycin
dan chloramphenicol perlu dipertimbangkan. Tetapi jika efek samping chloramphenicol tidak
diinginkan maka dapat diganti dengan cotrimoxazole atau trovafloxacin. Penggunaan antibiotik beta
lactamase-inhibitor seperti clavulanate, tazobactam, sulbactam untuk mengobati meningitis belum
dianjurkan karena masih kurangnya data mengenai daya penetrasinya ke dalam SSP. Penggunaan
antibiotik diteruskan paling sedikit 10 hari. Lumbal punksi kadang-kadang diulang sebelum
penghentian terapi atau 24 jam sesudah penghentian terapi. Tetapi pemeriksaan ulang ini tidak
dapat memprediksi adanya relaps atau rekrudesensi meningitis. Misalnya HIB dapat terus bertahan
dalam sekret nasofaring bahkan setelah terapi meningitis yang berhasil. Karena alasan ini, penderita
perlu diberi rifampin 20 mg/kg sekali/hari selama 4 hari jika anak yang beresiko tinggi dirawat di
rumah atau tempat perawatan anak. Sedangkan S. pneumoniae dan N. meningitidis dapat eradikasi
dari sekret nasofaring setelah terapi meningitis berhasil. Phlebitis pada tempat penyuntikan dan
febris karena antibiotik adalah beberapa penyebab umum febris sekunder pada penderita meningitis
sehingga penderita dengan febris perlu untuk dievaluasi ulang. Antibiotics Dose (mg/kg/day) Dosing
Interval Maximum Daily Dose Ampicillin 400 q6h 10 g Vancomycin 60 q6h 4 g Penicillin G 250,000 U
q6h 24 million Cefotaxime 200-300 q6h 12 g Ceftriaxone 100 q12h 4 g Chloramphenicol 100 q6h 4 g
Ceftazidime 150 q8h 6 g Cefepime 100 q12h 4 g Imipenem 60 q6h 4 g Meropenem 120 q8h 6 g
Rifampin 20 q12h 600 mg *Pemberian dexamethasone Pada berbagai uji klinik double blind, efek
menguntungkan dari dexamethasone ditunjukkan pada bayi dan anak dengan meningitis HIB saat
diberi dexamethasone (0,15 mg/kg) 15-20 menit sebelum dosis inisial antibiotik. Dexamethasone
dilanjutkan setiap 6 jam selama 4 hari. Dalam 24 jam, kondisi klinis dan prognosis rata-rata cukup
bermakna. Pemantauan yang dilakukan sepanjang terapi menunjukkan penurunan insidensi
sekuelae neurologis dan audiologis yang bermakna. Data-data yang berhubungan dengan kegunaan
dexamethasone untuk mengobati S. pneumoniae meningitis kurang meyakinkan. Selain mengurangi
reaksi inflamasi, pemberian dexamethasone dapat menurunkan penetrasi antibiotik ke SSP.
*Pemantauan tekanan intra kranial dan tanda-tanda herniasi Peningkatan tekanan intrakranial
meningkatkan mortalitas dan sekuelae secara signifikan. Gejala awal dari peningkatan tekanan
intrakranial tidak spesifik di antaranya vomitus, stupor, bulging fontanelle, palsy nervus VI. Jika
tekanan intrakranial tidak terkendali penderita dapat mengalami herniasi otak. Keadaan ini ditandai
oleh pupil midriasis dan anisokor, gangguan pergerakan okuler, bradikardia, hipertensi, apnea,
dekortikasi atau deserebrasi. Pemberian manitol; suatu diuretik osmotik; dapat meningkatkan secara
transien osmolalitas ruang intravaskular, menyebabkan perpindahan cairan dari jaringan otak ke
dalam ruang intravaskular. Manitol (0,25-1 g/kg IV) biasa diberikan selama 20-30 menit dan
pemberiannya dapat diulang bila diperlukan. Dexamethasone sudah sering digunakan untuk
mengurangi tekanan intrakranial tetapi data terbaru tidak mendukung efikasi dari dexamethasone
tersebut. Acetazolamid dan furosemid juga sering digunakan untuk mengurangi TTIK tetapi
efikasinya pada penderita meningitis belum dapat ditunjukkan pada controlled trials. *Antikonvulsi
Bangkitan kejang sering dialami pada kurang lebih 30% penderita. Jalan napas yang adekuat dan
oksigenasi juga dibutuhkan selama terjadinya kejang. Pemberian antikonvulsi secara intravena.
Phenobarbital natrium dengan dosis 20 mg/kg IV dengan kecepatan 1 mg/kg/menit cukup efektif
dalam mengendalikan kejang. Efek antikonvulsi sering memanjang dan karena kadar adekuat dalam
SSP dicapai dalam waktu 15-60 menit maka pemulihan kejang berlangsung secara gradual.
Phenytoin (Dilantin) 15-20 mg/kg IV dengan kecepatan rata-rata 1 mg/kg/menit juga dapat
digunakan untuk kejang. Jika obat-obat tersebut di atas tidak efektif, dapat diberikan diazepam
(Valium) diberikan secara bolus intravena dengan dosis 0,2-0,3 mg/kg dan tidak melebihi 10 mg. Efek
antikonvulsi berlangsung singkat, sehingga perlu ditambahkan phenytoin 5 mg/kg/hari IV tiap 12 jam
untuk mencegah timbulnya bangkitan kejang selanjutnya. Lorazepam (Ativan) yaitu suatu
benzodiazepin kerja lama juga aman untuk diberikan dengan dosis 0,05 mg/kg tiap 4-6 jam.
Pemberian antikonvulsi harus hati-hati karena obat tersebut dapat menyebabkan henti napas atau
jantung. Selain itu, efek aritmia jantung dapat disebabkan oleh phenytoin. Phenobarbital dan
phenytoin dapat merangsang enzim mikrosomal hati sehingga dapat meningkatkan metabolisme
beberapa obat termasuk chloramphenicol. Jika penderita tetap kejang atau menunjukkan gejala
yang mengarah pada kelainan intrakranial perlu dilakukan pemeriksaan neuro-imaging.
PENCEGAHAN Pencegahan dibagi 2 cara yaitu dengan kemoprofilaksis dan imunisasi.
*Kemoprofilaksis untuk N.meningitidis meningitis Semua individu yang tinggal serumah dan petugas
kesehatan yang kontak dengan penderita perlu diberi kemoprofilaksis. Karena peningkatan resistensi
terhadap sulfonamid maka obat pilihannya adalah rifampin, ceftriaxone, ciprofloxacin. Sulfonamid
digunakan sebagai profilaksis pada keadaan tertentu di mana patogen tersebut masih sensitif.
Bahkan setelah kemoprofilaksis adekuat, kasus sekunder dapat terjadi sehingga orang yang kontak
dengan penderita harus segera mencari pertolongan medik saat timbul gejala pertama kali. Dosis
rifampin 600 mg peroral tiap 12 jam selama 2 hari. * Kemoprofilaksis untuk HIB meningitis Rifampin
dengan dosis 20 mg/kg/hari untuk 4 hari dianjurkan kepada individu yang kontak dengan penderita
HIB meningitis. Jika anak usia 4 tahun atau lebih muda kontak dengan penderita maka anak tersebut
harus diberi profilaksis tanpa memedulikan status imunisasinya. Yang dimaksud dengan ‘kontak’
adalah seseorang yang tinggal pada rumah yang sama dengan penderita atau seseorang yang telah
menghabiskan 4 jam atau lebih waktunya per hari dengan penderita tersebut selama 5-7 hari
sebelum diagnosis ditegakkan. Jika 2 atau lebih kasus HIB meningitis terjadi pada anak yang
mendatangi tempat pelayanan kesehatan maka petugas kesehatan dan anak-anak lain perlu diberi
profilaksis. * Imunisasi Imunisasi massal di seluruh dunia terhadap infeksi HIB telah memberikan
penurunan dramatis terhadap insidensi meningitis. FDA (Food and Drug Administration) telah
meluncurkan vaksin konjugasi pneumococcal yang pertama (Prevnar) pada April 2000. Semua bayi
dianjurkan untuk menerima imunisasi yang mengandung antigen dari 7 subtipe pneumococcal.
Gambar 9. Contoh vaksin HIB (Act-HIB) Vaksin quadrivalent meningococcal dapat diberikan bersama
kemoprofilaksis saat adanya wabah. Vaksin quadrivalent yang mengandung antigen subgrup A, C, Y,
W-135 dianjurkan untuk kelompok resiko tinggi termasuk penderita dengan imunodefisiensi,
penderita dengan asplenia anatomik atau fungsional, defisiensi komponen terminal komplemen.
Vaksin ini terdiri dari 50 mcg polisakarida bakteri yang telah dimurnikan. The Advisory Committee on
Imunization Practices (ACIP) menganjurkan penggunaan vaksin ini untuk siswa sekolah yang tinggal
di asrama-asrama. KOMPLIKASI Sekuelae jangka panjang didapat pada 30% penderita dan bervariasi
tergantung etiologi, usia penderita, gejala klinis dan terapi. Pemantauan ketat berskala jangka
panjang sangat penting untuk mendeteksi sekuelae. Sekuelae pada SSP meliputi tuli, buta kortikal,
hemiparesis, quadriparesis, hipertonia otot, ataxia, kejang kompleks, retardasi motorik, kesulitan
belajar, hidrocephalus non-komunikan, atropi serebral. Gangguan pendengaran terjadi pada 20-30%
anak. Pemberian dini dexamethasone dapat mengurangi komplikasi audiologis pada HIB meningitis.
Gangguan pendengaran berat dapat menganggu perkembangan bicara sehingga evaluasi audiologis
rutin dan pemantauan perkembangan dilakukan tiap kali kunjungan ke petugas kesehatan. Jika
ditemukan sekuelae motorik maka perlu dilakukan terapi fisik, okupasional, rehabilitasi untuk
menghindari kerusakan di kemudian hari dan mengoptimalkan fungsi motorik. PROGNOSIS
Penderita dengan penurunan kesadaran memiliki resiko tinggi mendapatkan sekuelae atau resiko
kematian. Adanya kejang dalan suatu episode meningitis merupakan faktor resiko adanya sekuelae
neurologis atau mortalitas. Meningitis yang disebabkan oleh S. pneumoniae, L. monocytogenes dan
basil gram negatif memiliki case fatality rate lebih tinggi daripada meningitis oleh bakteri lain.
Prognosis meningitis yang disebabkan oleh patogen oportunistik juga bergantung pada daya tahan
tubuh inang. KESIMPULAN - Meningitis merupakan suatu penyakit yang mengancam jiwa dan
memberikan sekuelae yang bernakna pada penderita - Pemberian terapi antimikroba merupakan hal
penting dalam pengobatan meningitis bakterial di samping terapi suportif dan simptomatik -
Pencegahan meningitis dapat dilakukan dengan imunisasi dan kemoprofilaksis. DAFTAR PUSTAKA -
Kumar, A. 2005. Bacterial meningitis. Department of Pediatrics and Human Development Michigan
State University. College of Medicine and En Sparrow Hospital.
www.emedicine.com/PED/topic198.htm. - Razonables R.R. 2005. Meningitis. Division of Infectious
Diseases Department of Medicine. Mayo Clinic College of Medicine.
www.emedicine.com/med/topic2613.htm - www.alb.ac.be/sciences/biodic/ImBacterie2.htm -
www.infectionsnetz.at/view.php?name=bakterien - www.msnbc.msn.com/id/7994214/ -
www.surgerydoor.co.uk/livingwith/detail2.asp - www.thachers.org/internal-medicine.htm

Make Google view image button visible again: https://goo.gl/DYGbub


mikroskopik 3TA -B , sedangkan bila tiga kali negati7 hasil pemeriksan dikatakan3TA-
" . ;asil pemeriksaan darah rutin kurang menun ukkan indikator yangspesi7ik untuk

tuberkulosis

. 3iasanya akan di umpai peningkatan 1a u :ndap/arah -


1:/ namun nilai 1:/ yang normal tidak menyingkirkan diagnosis.Selain itu dapat di umpai

limfositosis

-tingginya kadar lim7osit"salah satu enis seldarah putih pada hitung enis leukosit -sel darah putih
.

2.6.3

Pemeriksaan test

tuberkulin

%emeriksaan test

tuberkulin

ini sangat berarti dalam usaha mendeteksiin7eksi

Tuberculosis

. /i Indonesia karena angka prevalensi -kasus

Tuberculosis

paru yang tinggi maka test

tuberkulin

sebagai alat bantu diagnosis.

Ekstrak basil tuberkel

-tuberkulin disuntikan ke dalam lapisan

intrakutan

di lengan ba!ah, sekitar *0 'm dari siku. 0,* ml

Purified Protein eri$ate

-%%/ yang dimurnikan di suntikan dengan menggunakan arum *,2( 'm no. 2 atau 2 ditusukan
keba!ah kulit dengan bevel arum menghadap ke atas.;asil pemeriksaan akan terlihat +? sampai 2
am setelah suntikan.Test dianggap positi7 bila ter adi pembengkakan atau kemerahan melebihi
ukuran( mm sampai *0 mm.

2.0Penatalaksanaan
Tu uan pengobatan

Tuberculosis

ialah memusnahkan basil

tuberkulosis

dengan 'epat dan men'egah kambuh8bat yang digunakan untuk

Tuberculosis

digolongkan atas dua kelompok yaitu 6

+bat primer

6 I4; -isoniaCid , Ri7ampisin, :tambutol, Streptomisin,%iraCinamid.Memperlihatkan e7ekti7itas yang


tinggi dengan toksisitas yang masih dapatditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan
dengan obat"obat ini.

+bat sekunder

6 :Dionamid, %araminosalisilat, Sikloserin, Amikasin,Kapreomisin dan Kanamisin.

Asuhan Keperawatan Tuberculosis Paru Pada Anak

14

%emberian 8bat Anti

Tuberculosis

pada anak terbagi berdasarkan pembagian klasi7ikasi yang membagi

tuberculosis

men adi dua stadium.*.

Tuberculosis

primer, yang merupakan kompleks primer serta komplikasinya, pada penderita ini diberikan

2H& 0H2&2

I3145ifampisin

setiap hari selama2 bulan pertama, kemudian

I31 45ifampisin

setiap hari atau 2 kali semingguselama bulan -ditambahkan


Etambutol

bila diduga ada resistensi terhadap

I31

. /iberikan kepada6*.%enderita baru

Tuberculosis

paru 3TA positi7.2.%enderita

Tuberculosis ekstra

paru -

Tuberculosis

di luar
paru"paru berat.#.%enderita kambuh.+.%enderita gagal terapi.(.%enderita dengan pengobatan set
elah lalai minum obat.2.

Tuberculosis

pas'aprimer yang merupakan pemberian obat kepada penderita3TA -B dan

rontgen

paru mendukung akti7, yang terdiri dari

2H& )H2&2

I3145ifampisin4Pira6inamid

6 setiap hari selama 2 bulan pertama, kemudian

I3145ifampisin

setiap hari atau 2 kali seminggu selama + bulan -ditambahkan

Etambutol

bila diduga ada resistensi terhadap

I31#

2. K!m(likasi

%ada anak dengan

tuberculosis

biasanya sering ter adi komplikasi. Menurut9allgren, ada # komplikasi dasar

Tuberculosis

paru pada anak, yaitu penyebaran


limfohematogen

Tuberculosis endobronkial, dan Tuberculosis

paru kronik. Sebanyak 0,("#) penyebaran

limfohematogen

akan men adi

Tuberculosismilier

atau

meningitis Tuberculosis

, hal ini biasanya ter adi #" bulan setelahin7eksi primer.

Tuberkulosis endobronkial

lesi segmental

yang timbul akibat pembesaran

kelen7ar regional

dapat ter adi dalam !aktu yang lebih lama -#"& bulan .Ter adinya

Tuberculosis

paru

kronik

sangat bervariasi,

Tuberculosis

paru

kronik

biasanya ter adi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami

Asuhan Keperawatan Tuberculosis Paru Pada Anak

15

resolusi

sempurna. Reaktivasi ini arang ter adi pada anak, tetapi sering padarema a dan de!asa muda.

Tuberkulosis ekstrapulmonal
dapat ter adi pada 2("#0) anak yangterin7eksi

Tuberculosis

Tuberculosis

tulang dan sendi ter adi pada ("*0) anak yang terin7eksi, dan paling banyak ter adi dalam * tahun
tetapi dapat uga 2"#tahun kemudian.

Tuberculosis

gin al biasanya ter adi ("2( tahun setelah in7eksi primer.

Asuhan Keperawatan Tuberculosis Paru Pada Anak

16

BAB IIITIN$AUAN KA#U#

%ada bab ini penulis akan membahas tentang asuhan kepera!atan pada An.3 dengan diagnosa

Tuberculosis

%aru pada bagian penyakit Anak di ruangMatahari Rumah Sakit mum /aerah 1eu!iliang. %engka ia
n data pasien dilakukan pada tanggal *0 4ovember 20**.

3.1 Pengkajian3.1.1 Pengum(ulan Data

a. I"entitas Klien

4ama6 An.
3. mur6 tahunAlamat6 Kp.%on'ol /esa 3o ong <engkol<enis Kelamin 6 1aki"1aki%endidikan 6 S/%
eker aan 6 %ela ar Agama 6 IslamSuku53angsa 6 SundaTanggal Masuk Rumah Sakit 6 & 4ovember
20** 4o. Rekam Medik 6
#("2?"*2Ruangan 6 MatahariTanggal %engka ian 6 *0 4ovember 20**/iagnosa Medis 6

Tuberculosis Paru

Asuhan Keperawatan Tuberculosis Paru Pada Anak

17

Anda mungkin juga menyukai