Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Islam memberikan aturan-aturan yang longgar dalam bidang muamalah,
karena bidang tersebut amat dinamis mengalami perkembangan. Meskipun
demikian, Islam memberikan ketentuan agar perkembangan di bidang muamalah
tersebut tidak menimbulkan kerugian salah satu pihak. Bidang muamalah
berkaitan dengan kehidupan duniawi, namun dalam prakteknya tidak dapat
dipisahkan dengan ukhrawi, sehingga dalam ketentuannya mengadung aspek
halal, haram, sah, rusak dan batal.
Salah satu bagian terpenting dalam muamalah atau ekonomi dalam
perspektif islam adalah syirkah (perorangan). Transaksi perseorangan tersebut
mengharuskan adanya akad atau ijab dan qabul. Sah tidaknya transaksi tergantung
kepada suatu yang ditransaksikan yaitu harus sesuatu yang bisa dikelola tersebut
sama-sama mengangkat mereka. Secara sederhana akad ini bisa digambarkan
sebagai satu proses transaksi dimana dua orang (institusi) atau lebih menyatukan
modal untuk suatu usaha, dengan presentasi bagi hasil yang disepakati atau
disebut dengan musyarakah.
Dalam konteks perbankan, musyarakah berarti penyatuan modal dari bank
dan nasabah untuk kepentingan usaha. Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk
pembiayaan proyek, dimana nasabah dan pihak bank sama-sama menyediakan
dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah
mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati dalam
kontrak untuk pihak bank.
Dalam mekanisme akad pembiayaan musyarakah berpedoman pada fatwa
DSN No: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan musyarakah yang dimana
penyertaan ijab dan qabul dinyatakan oleh para pihak dalam suatu perjanjian yang
akan dillaksanakan oleh para pihak. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap
hukum. Dalam hukum Islam pembentukan akad harus ada shighat akad yang
disebut dengan ijab dan qabul agar suatu perjanjian tersebut sah dan berlaku.

1
Berdasarkan penjelasan diatas, musyarakah sekilas merupakan akad yang
didasarkan pada prinsip-prinsip syariah. Tetapi tentu belum bisa dikatakan bahwa
akad ini telah memenuhi kualifikasi sebagai bagian dari akad-akad syariah. Oleh
karena itu, untuk melihat lebih jelas tentang pembiayaan musyarakah maka
pemakalah akan membahas lebih rinci tentang “Fatwa dalam Pembiayaan
Musyarakah”.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka masalah didalam makalah ini
adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan fatwa?
2. Apa yang dimaksud dengan pembiayaan?
3. Bagaimana penjelasan dari pembiayaan musyarakah?
4. Bagaimana analisis fatwa pembiayaan musyarakah?
5. Bagaimana praktek pembiayaan musyarakah?

C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian dari fatwa?
2. Untuk mengetahui pengertian pembiayaan?
3. Untuk mengetahui penjelasan dari pembiayaan musyarakah?
4. Untuk mengetahui bagaimana analisis fatwa pembiayaan musyarakah?
5. Untuk mengetahui praktek pembiayaan musyarakah?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fatwa
Fatwa ( ‫ﻮى‬ ‫ ) اﻟﻔﺘ‬menurut bahasa berarti jawaban mengenai suatu
kejadian (peristiwa), yang merupakan bentukan sebagaimana dikatakan
Zamakhsyarin dalam al-kasysyaf dari kata ‫ﺘﻲ‬ ‫( اﻟﻔ‬al-fataa/pemuda) dalam
usianya, dan sebagai kata kiasan (metafora) atau (isti’arah). Sedangkan
pengertian fatwa menurut syara’ adalah menerangkan hukum syara’ dalam suatu
persoalan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas
identitasnya maupun tidak, baik perseorangan maupun kolektif.1
Fatwa adalah jawaban resmi terhadap pertanyaan dan persoalan yang
menyangkut masalah hukum. Fatwa berasal dari kata bahasa arab al-ifta’, al-fatwa
yang secara sederhana berarti pemberian keputusan. Fatwa bukanlah sebuah
keputusan hukum yang dibuat dengan gampang, atau yang disebut dengan
membuat hukum tanpa dasar.2
Menurut Prof Amir Syarifuddin, fatwa atau ifta’ berasal dari kata afta,
yang berarti memberi penjelasan. Secara definitif fatwa yaitu usaha memberikan
penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum
mengetahuinya. Hukum syara’ itu adalah hasil ijtihad seorang mujtahid, baik
mujtahid yang berhasil menggalinya adalah mufti itu sendiri atau mujtahid lain
yang selalu diikutinya.3
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa fatwa adalah hasil ijtihad
seorang mufti sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan kepadanya.
Jadi fatwa lebih khusus dari pada fikih atau ijtihad secara umum. Karena boleh
jadi fatwa yang dikeluarkan seorang mufti, sudah dirumuskan dalam fikih, hanya
belum dipahami oleh peminta fatwa.

1
Yusuf Qardhawi, Fatwa Antara Ketelitian Dan Kecerobohan, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1997), hlm 5.
2
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, (Jakarta: Kencana, 2008). hlm 484.
3
Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Wali, 2013). hlm 374-375.

3
B. Pengertian Pembiayaan
Istilah pembiayaan pada dasarnya lahir dari pengertian I believe, I trust,
yaitu “saya percaya atau saya menaruh kepercayaan”. Perkataan pembiayaan yang
artinya kepercayaan (trust) yang berarti bank menaruh kepercayaan kepada
seseorang untuk melaksanakan amanah yang diberikan kepada bank selaku
shahibul maal. Dana tersebut harus digunakan dengan benar, adil dan harus
disertai dengan ikatan dan syarat-syarat yang jelas serta saling menguntungkan
bagi kedua belah pihak.4
Pembiayaan secara luas berarti financing atau pembelanjaan, yaitu
pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan,
baik dilakukan sendiri maupun dijalankan oleh orang lain. Dalam arti sempit,
pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh
lembaga pembiayaan, seperti bank syariah kepada nasabah.5
Pembiayaan pada dasarnya diberikan atas dasar kepercayaan, dengan
demikian pemberian pembiayaan adalah pemberian kepercayaan. Hal ini berarti
bahwa prestasi yang diberikan harus benar-benar harus dapat diyakini dapat
dikembalikan oleh penerima pembiayaan sesuai dengan waktu dan syarat-syarat
yang telah disepakati bersama. Berdasarkan hal di atas unsur-unsur dalam
pembiayaan tersebut adalah:
1. Adanya dua pihak, yaitu pemberi pembiayaan (shahibul maal) dan penerima
pembiayaan (mudharib). Hubungan pemberi pembiayaan dan penerima
pembiayaan merupakan hubungan kerjasama yang saling menguntungkan,
yang diartikan pula sabagai kehidupan saling tolong-menolong sebagaimana
firman Allah dalam Surat Al-Ma‟idah (5) ayat 2).
2. Adanya kepercayaan shahibul maal kepada mudharib yang didasarkan atas
prestasi, yaitu potensi mudharib.
3. Adanya persetujuan, berupa kesepakatan pihak shahibul maal dangan pihak
lainnya yang berjanji membayar dari mudharib kepada shahibul maal. janji

4
Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking: Sebuah Teori, Konsep, dan Aplikasi,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2010) . hlm. 698.
5
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002). hlm 260.

4
membayar tersebut dapat berupa janji lisan, tertulis, (akad pembiayaan) atau
berupa instrument (credit instrument), sebagaimana firman Allah dalam Surat
Al-Baqarah (2) ayat 282.
4. Adanya penyerahan barang, jasa atau uang dari shahibul maal kepada
mudharib.
5. Adanya unsur waktu (timer element). Unsur waktu merupakan unsur esensial
pembiayaan. Pembiayaan terjadi karena unsur waktu, baik dilihat dari
shahibul maal maupun dilihat dari mudharib. Misalnya, penabung
memberikan pembiayaan sekarang untuk konsumsi lebih besar dimasa yang
akan datang. Produsen memerlukan pembiayaan karena adanya jarak waktu
antara produksi dan konsumsi.
6. Adanya unsur resiko (degree of risk) baik dipihak shahibul maal maupun
dipihak mudharib. Resiko di pihak shahibul maal adalah resiko gagal bayar
(risk of default), baik karena kegagalan usaha (pinjaman komersil) atau
ketidakmampuan bayar (pinjaman konsumen) atau karena ketidaksediaan
membayar. Resiko dari pihak mudharib adalah kecurangan dari pihak
pembiayaan, antara lain berupa, shahibul maal yang dari semula
dimaksudkan oleh shahibul maal untuk mencaplok perusahaan yang diberi
pembiayaan atau tanah yang dijaminkan.6

C. Pembiayaan Musyarakah
1. Pengertian Musyarakah
Istilah lain dari musyarakah adalah syarikah atau syirkah.
Musyarakah menurut bahasa berarti “al-ikhtilath” yang artinya campur
atau percampuran. Maksud dari percampuran yakni seseorang
mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga antara bagian
yang satu dengan lainnya sulit untuk dibedakan.7
Adapun secara terminologi ada beberapa pendapat ulama fiqh yang
memberikan definisi syirkah antara lain:

6
Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking Sebuah.., hlm. 701-711.
7
Rahmat Syafei, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001) hlm 183.

5
1. Menurut mazhab Maliki, syirkah suatu izin bertasharruf bagi masing-
masing pihak bersertifikat.
2. Menurut mazhab Hambali, syirkah adalah persekutuan dalam hal hak
dan tasharruf.
3. Menurut mazhab syafi’i, syirkah merupakan berlakunya hak atas
sesuatu bagi dua pihak atau lebih dengan tujuan persekutuan.8
4. Menurut Sayyid Sabiq, bahwa syirkah adalah akad antara dua orang
berserikat pada pokok modal harta (modal) dan keuntungan.
5. Menurut T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, syirkah merupakan akad yang
berlaku antara dua orang atau lebih untuk bekerjasama dalam suatu
usaha dan membagi keuntungannya.9
Menurut Fatwa DSN-MUI, musyarakah adalah pembiayaan
berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha
tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana
dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama
sesuai dengan kesepakatan.
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih
untuk melakukan suatu usaha tertentu. Masing-masing pihak dalam
melakukan usaha dimaksud, memberikan kontribusi dana (atau
amal/expertise) berdasarkan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko
akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan ketika melakukan akad.
Akad jenis ini disebut profit & loss sharing.10
Berdasarkan beberapa definisi diatas, musyarakah adalah
kerjasama antara dua orang atau lebih dalam suatu usaha tertentu dimana
para pihak masing-masing memberikan kontribusi dana secara bersama-
sama dalam keuntungan dan kerugian ditentukan sesuai perjanjian yang
telah disepakati.

8
Mas’adi Ghufron A, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
hlm 191.
9
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm 125.
10
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghadia Indonesia,
2012), hlm. 151.

6
Pembiayaan musyarakah adalah akad kerjasama yang terjadi
diantara para pemilik dana untuk menggabungkan modal, melalui usaha
bersama dan pengelolaan bersama dalam suatu hubungan kemitraan. Bagi
hasil ditentukan sesuai dengan kesepakatan (biasanya ditentukan
berdasarkan jumlah modal yang diberikan dan peran serta masing-masing
pihak).11
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000,
tanggal 13 April 2000, bahwa kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan dan usaha terkadang memerlukan dana dari pihak lain,
antara lain melalui pembiayaan musyarakah yaitu pembiayaan berdasarkan
akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu,
masing-masing pihak memberikan kontrbusi dana dengan ketentuan
bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan.12

2. Jenis-jenis Pembiayaan Musyarakah


Secara garis besar, musyarakah dikategorikan menjadi dua jenis,
yakni musyarakah kepemilikan (syirkah al amlak), dan musyarakah akad
(syirkah al aqad). Musyarakah kepemilikan tercipta karena adanya
warisan, wasiat atau kondisi lainnya mengakibatkan pemilikan satu aset
oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang
atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata, dan berbagi pula dalam
keuntungan yang dihasilkan aset tersebut. Musyarakah akad tercipta
dengan cara kesepakatan, dimana dua pihak atau lebih setuju bahwa tiap
orang dari mereka memberikan kontribusi modal musyarakah, serta
sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.13

11
Abdullah Saeed, Bank Islam Dan Bunga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). Hlm 106.
12
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, ((Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007). hlm 166.
13
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
hlm 211.

7
a. Syirkah Amlak
Syirkah amlak adalah persekutuan kepemilikan dua orang atau
lebih terhadap suatu barang tanpa transaksi syirkah. Syirkah hak milik
dibagi menjadi dua:
1) Syirkah ikhtiyar (sukarela), yaitu syirkah yang lahir atas kehendak
dua pihak yang bersekutu. Contohnya dua orang yang mengadakan
kongsi untuk membeli suatu barang, atau dua orang mendapat hibah
atau wasiat, dan keduanya menerima, sehingga keduanya menjadi
sekutu dalam hak milik.
2) Syirkah jabar (paksa), yaitu persekutuan yang terjadi di antara dua
orang atau lebih tanpa sekehendak mereka. Seperti dua orang yang
mendapatkan sebuah warisan, sehingga barang yang diwariskan
tersebut menjadi hak milik yang bersangkutan.

b. Syirkah Uqud
Syirkah uqud adalah dua orang atau lebih melakukan akad untuk
bekerja sama (berserikat) dalam modal dan keuntungan. Artinya, kerja
sama ini didahului oleh transaksi dalam penanaman modal dan
kesepakatan pembagian keuntungannya. Syirkah ini terbagi dalam
beberapa macam:
1) Syirkah Inan, yaitu kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih
dengan badan (fisik) atau harta keduanya yang telah diketahuinya
meskipun tidak sama, kemudian keduanya atau salah satu pihak
merealisasikan materi kontrak tersebut. Sedangkan laba terbesar
diperuntunkkan bagi pelaksana kontrak terbanyak. Modal kerja berupa
uang atau material harus diketahui jumlah dan nilainya, sedangkan
kadar untung dan rugi disesuaikan dengan kadar modal masing-masing
sesuai syarat dan kesepatan yang saling menguntungkan. Dengan
demikian syirkah inan seorang tidak dibenarkan hanya bersekutu
dalam keuntungan saja, sedangkan kerugian dibebaskan.
2) Syirkah Wujuh, yaitu kontrak antara dua orang atau lebih yang
memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis, tanpa

8
adanya penyertaan modal atas dasar kepercayaan para pebisnis
terhadap mereka. Keuntungan yang didapat dibagi berdua, dan tiap
pihak menjadi wakil mitra bisnis dan penjaminnya (kafil), dan
kepemilikan keduanya sesuai kesepakatan yang disyaratkan
sebelumnya. Kerugian disesuaikan prosentase kepemilikan mereka,
sedangkan keuntungan disesuaikan kesepakatan dan kerelaan semua
pihak.
3) Syirkah Mufawadhah, adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau
lebih. Dimana masing-masing pihak memiliki partisipasi dalam
memberikan porsi yang sama, baik dalam modal, tanggung jawab dan
hak suara. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara
bersama. Dengan demikian, syarat utama dalam hal ini, adalah
kesamaan dana yang diberikan kerja, tanggung jawab, dan beban utang
dibagi oleh masing-masing pihak.
4) Syirkah Abdan, adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih,
yang memiliki profesi sama untuk menyelesaikan suatu pekerjaan
tertentu. Misalnya, kerjasama dua orang arsitek untuk menggarap suatu
proyek, atau kerjasama dua orang penjahit untuk menerima pembuatan
order seragam sekolah. Syirkah abdan ini berupa fisik atau disebut
syirkah al-mal (kerja).
5) Syirkah Mudharabah, yaitu persetujuan antara pemilik modal
(shohibul mal) dan seseorang pekerja (mudhorib), untuk mengelola
uang dari pemilik modal dalam suatu perdagangan tertentu yang
keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama. Adapun
kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Pihak pemodal menyerahkan
modalnya dengan akad wakalah kepada seorang pekerja untuk dikelola
dan dikembangkan menjadi usaha yang menghasilkan keuntungan
(profit).14

14
Ali Al-Khafif, Al-Syarikah ai al-Fiqh al-Islami, (Mesir: Dar al-Fikri al-Arabi, 1972), hlm
23.

9
D. Analisis Fatwa Pembiayaan Musyarakah
Ketentuan dasar mengenai sistem pembiayaan musyarakah pada lembaga
keuangan syariah tertuang dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No.08/DSN
MUI/IV/2000. Adapun secara lengkapnya isi fatwa tersebut adalah:

1. Landasan Hukum

1. Firman Allah QS. Shad [38]: 24:

… ‫ت َوﻗَﻠِ ْﯿ ٌﻞ ﻣَﺎ ھُ ْﻢ‬


ِ ‫ إِﻻﱠ اﻟﱠ ِﺬﯾْﻦَ آ َﻣﻨُﻮْ ا َو َﻋ ِﻤﻠُﻮا اﻟﺼﱠﺎﻟِ َﺤﺎ‬،ٍ‫ﻀﮭُ ْﻢ َﻋﻠَﻰ ﺑَ ْﻌﺾ‬
ُ ‫… َوإِنﱠ َﻛﺜِ ْﯿ ًﺮا ﻣِﻦَ ا ْﻟ ُﺨﻠَﻄَﺎ ِء ﻟَﯿَ ْﺒﻐِﻲْ ﺑَ ْﻌ‬

"… Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat


itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali
orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat
sedikitlah mereka ini …"

2. Firman Allah QS. al-Ma'idah [5]: 1:


… ‫ﯾَﺎأَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﱠ ِﺬﯾْﻦَ آ َﻣﻨُﻮْ ا أَوْ ﻓُﻮْ ا ﺑِﺎ ْﻟ ُﻌﻘُﻮْ ِد‬

"Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu …"

3. Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata:

ْ‫ﺻﺎ ِﺣﺒَﮫُ َﺧﺮَﺟْ ﺖُ ﻣِﻦ‬


َ ‫ ﻓَﺈِذَا َﺧﺎنَ أَ َﺣ ُﺪھُﻤَﺎ‬،ُ‫ﺻﺎ ِﺣﺒَﮫ‬
َ ‫ أَﻧَﺎ ﺛَﺎﻟِﺚُ اﻟ ﱠﺸ ِﺮ ْﯾ َﻜ ْﯿ ِﻦ ﻣَﺎ ﻟَ ْﻢ ﯾَﺨُﻦْ أَ َﺣ ُﺪھُﻤَﺎ‬:‫إِنﱠ ﷲَ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﯾَﻘُﻮْ ُل‬
.‫ﺑَ ْﯿﻨِ ِﮭﻤَﺎ‬

"Allah swt. berfirman: 'Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang
bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang
lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka."
(HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah)

4. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf:

‫ﺻ ْﻠ ًﺤﺎ َﺣ ﱠﺮ َم َﺣﻼَﻻً أَوْ أَ َﺣ ﱠﻞ َﺣ َﺮاﻣًﺎ َوا ْﻟ ُﻤ ْﺴﻠِﻤُﻮنَ َﻋﻠَﻰ ُﺷﺮُو ِط ِﮭ ْﻢ إِﻻﱠ ﺷَﺮْ طًﺎ‬
ُ ‫اَﻟﺼﱡ ﻠْ ُﺢ َﺟﺎﺋِ ٌﺰ ﺑَﯿْﻦَ ا ْﻟ ُﻤ ْﺴﻠِﻤِﯿﻦَ إِﻻﱠ‬
.‫َﺣ ﱠﺮ َم َﺣﻼَﻻً أَوْ أَ َﺣ ﱠﻞ َﺣ َﺮاﻣًﺎ‬
"Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang

10
haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram."

5. Taqrir Nabi terhadap kegiatan musyarakah yang dilakukan oleh


masyarakat pada saat itu.
6. Ijma’ Ulama atas kebolehan musyarakah.
7. Kaidah fiqh:

.‫ت ْا ِﻹﺑَﺎ َﺣﺔُ إِﻻﱠ أَنْ ﯾَ ُﺪ ﱠل َدﻟِ ْﯿ ٌﻞ َﻋﻠَﻰ ﺗَﺤْ ِﺮ ْﯾ ِﻤﮭَﺎ‬


ِ َ‫اَﻷَﺻْ ُﻞ ﻓِﻰ ا ْﻟ ُﻤﻌَﺎ َﻣﻼ‬

“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada


dalil yang mengharamkannya.”

2. Hasil Fatwa
Beberapa ketentuan didalam fatwa tersebut adalah:
1. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan
memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan
kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
2. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-
hal berikut:
a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
b. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra
melaksanakan kerja sebagai wakil.
c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam
proses bisnis normal.
d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk
mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang

11
untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan
kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang
disengaja.
e. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan
dana untuk kepentingannya sendiri.
3. Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
a. Modal
1. Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang
nilainya sama.
Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang,
properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih
dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.
2. Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan
atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali
atas dasar kesepakatan.
3. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan,
namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat
meminta jaminan.
b. Kerja
1. Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar
pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja
bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan
kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh
menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
2. Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama
pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam
organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
c. Keuntungan
1. Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk
menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi
keuntungan atau penghentian musyarakah.

12
2. Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas
dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di
awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
3. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi
jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya.
4. Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam
akad.
d. Kerugian
Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut
saham masing-masing dalam modal.
4. Biaya Operasional dan Persengketaan
a. Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.
b. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.15

E. Praktek Pembiayaan Musyarakah


Musyarakah dalam konteks perbankan berarti perjanjian kesepakatan
bersama antara beberapa pemilik modal untuk meyertakan modal sahamnya pada
suatu proyek. Berkaitan dengan modal, karena bank umumnya mengoperasikan
uang sebagai modalnya, maka dapat dipastikan bahwa musyarakah yang
digunakannya adalah syirkah al-mal yakni syirkah al-„inan dan syirkah al-
mufawadhah. Namun dalam prinsip operasional perbankan syariah tidak
menentukan mesti sama dalam permodalan, maka bisa dipastikan pula bahwa
musyarakah yang digunakan perbankan syariah adalah syirkah al-inan.

15
Fatwa DSN-MUI NO: 08/DSN-MUI/IV/2000.

13
Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam
mengimplementasikan musyarakah dalam perbankan syariah, yaitu :
a. Pembiayaan atau proyek investasi yang telah disetujui dilakukan bersama
dengan mitra usaha yang lain sesuai dengan bagian masing-masing yang
telah ditetapkan.
b. Semua pihak, termasuk bank syariah, berhak ikut serta dalam manajemen
proyek tersebut.
c. Semua pihak secara bersama-sama menentukan posisi keuntungan yang
akan diperoleh-pembagian keuntungan ini tidak sebanding dengan
penyertaan modal masing-masing.
d. Bila proyek teryata rugi, maka semua pihak ikut menanggung kerugian
sebanding dengan penyertaan modal.

Skema Musyarakah

Keterangan:
1. Dimulai dari pengajuan permohonan pembiayaan musyarakah oleh nasabah
dengan mengisi permohonan pembiayaan. Formulir tersebut diserahkan
kepada bank syariah berserta dokumen pendukung. Selanjutnya, pihak bank
melakukan evaluasi kelayakan pembiayaan musyarakah yang diajukan

14
nasabah dengan menggunakan analisis 5 C (character, Capacity, Capital,
Commitment, dan callacteral). Kemudian, analisis diikuti dengan verifikasi.
Bila nasabah dan usaha dianggap layak, selanjutnya diadakan perikatan dalam
bentuk penandatanganan kontrak musyarakah dengan nasabah sebagai mitra
dihadapan notaris. Kontrak yang dibuat setidaknya memuat berbagai hal
untuk memastikan terpenuhi rukun musyarakah.
2. Bank dan nasabah mengontribusikan modalnya masing-masing dan nasabah
sebagai mitra aktif mulai mengelola usaha yang disepakati berdasarkan
kesepakatan dan kemampuan terbaiknya.
3. Hasil evaluasi pada waktu yang ditentukan berdasarkan kesepakatan.
Keuntungan yang diperoleh akan dibagi antara bank dan nasabah sesuai
dengan porsi yang telah disepakati. Seandainya terjadi kerugian yang tidak
disebabkan oleh kelalaian nasabah sebagai mitra aktif, maka kerugian
ditanggung proporsional terhadap modal masing-masing mitra. Adapun
kerugian yang disebabkan oleh kelalaian nasabah sebagai mitra aktif
sepenuhnya menjadi tanggung jawab nasabah.
4. Bank dan nasabah menerima porsi bagi hasil masing-masing berdasarkan
metode perhitungan yang telah disepakati.
5. Bank menerima pengembalian modalnya dari nasabah. Jika nasabah telah
mengembalikan semua modal milik bank, usaha selanjutnya menjadi milik
nasabah sepenuhnya.16

Ilustrasi Pembiayaan Musyarakah:

Terdapat dua orang yang akan melakukan akad musyarakah. Kedua orang tersebut
bernama Afif dan Toni. Afif memiliki keinginan untuk membuat sebuah proyek
untuk membuat sekolah desain. Pada kesempatan yang sama, Toni juga memiliki
keinginan untuk membuat sekolah. Kemudian mereka bertemu dan membuat
kesepakatan kerjasama musyarakah. Jenis syirkah yang dipakai adalah syirkah
inan dimana Afif memberikan modalnya sebesar 40 juta dan Toni memberikan

16
Riyal Yahya, dkk, Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktik Kontemporer,
(Jakarta: Salemba Empat, 2009), hlm. 154.

15
modalnya sebesar 60 juta. Mereka sepakat untuk nisbah bagi hasil sebesar 60%
untuk Afif dan 40% untuk Toni. Dalam musyarakah, tidak menjadi masalah
apabila Afif mendapatkan porsi keuntungan lebih tinggi dari Toni meskipun porsi
modal yang diberikan lebih kecil dari Toni selama itu sudah disepakati di awal.
Alhasil usaha tersebut berjalan dan keuntungan yang diperoleh adalah sebesar 1
miliar rupiah. Maka dalam hal ini Afif mendapatkan porsinya sebesar 600 juta
(60% x 1M) dan Toni mendapatkan porsinya sebesar 400 juta (40% x 1M).

Lalu, Bagaimana Bila Rugi?


Bila yang terjadi kemudian usaha mereka mengalami kerugian. Katakanlah
kerugian tersebut adalah sebesar 10 juta rupiah. Maka perhitungan kerugian
tersebut didasarkan pada porsi penyertaan modal. Afif menyertakan modalnya
sebesar 40% maka Afif mendapatkan kerugian sebesar 4 juta rupiah sedangkan
Toni menyertakan modalnya sebesar 60% sehingga ia mendapatkan kerugian
sebesar 6 juta.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Fatwa adalah jawaban resmi terhadap pertanyaan dan persoalan yang
menyangkut masalah hukum. Atau fatwa juga merupakan hasil ijtihad seorang
mufti sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan kepadanya.
Pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung
investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dijalankan oleh
orang lain. Pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan
oleh lembaga pembiayaan, seperti bank syariah kepada nasabah.
Pembiayaan musyarakah adalah akad kerjasama yang terjadi diantara para
pemilik dana untuk menggabungkan modal, melalui usaha bersama dan
pengelolaan bersama dalam suatu hubungan kemitraan. Bagi hasil ditentukan
sesuai dengan kesepakatan (biasanya ditentukan berdasarkan jumlah modal yang
diberikan dan peran serta masing-masing pihak).
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000, tanggal 13
April 2000, bahwa kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan
usaha terkadang memerlukan dana dari pihak lain, antara lain melalui pembiayaan
musyarakah yaitu pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau
lebih untuk suatu usaha tertentu, masing-masing pihak memberikan kontrbusi
dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama
sesuai dengan kesepakatan.
Didalam praktek perbankan syariah musyarakah yang digunakan adalah
syirkah al-inan. Beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam
mengimplementasikan musyarakah dalam perbankan syariah, yaitu pembiayaan
atau proyek investasi yang telah disetujui dilakukan bersama dengan mitra usaha
yang lain sesuai dengan bagian masing-masing yang telah ditetapkan. Pembagian
porsi bagi hasil berdasarkan metode perhitungan yang telah disepakati. Bila
proyek teryata rugi, maka semua pihak ikut menanggung kerugian sebanding
dengan penyertaan modal.

17
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khafif, Ali. 1972. Al-Syarikah ai al-Fiqh al-Islami. Mesir: Dar al-Fikri al-
Arabi
Djuwaini, Dimyauddin. 2010. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Fatwa DSN-MUI NO: 08/DSN-MUI/IV/2000.
Ghufron A, Mas’adi. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Haroen, Nasrun. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama
Mardani. 2013. Ushul Fiqh. Jakarta: Raja Wali
Muhammad. 2002. Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN
Nawawi, Ismail. 2012. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Ghadia
Indonesia
Qardhawi, Yusuf. 1997. Fatwa Antara Ketelitian Dan Kecerobohan. Jakarta:
Gema Insani Press
Rivai, Veithzal dan Arviyan Arifin. 2010. Islamic Banking Sebuah Teori, Konsep
dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara
Riyal Yahya, dkk. 2009. Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktik
Kontemporer. Jakarta: Salemba Empat
Saeed, Abdullah. 2003. Bank Islam Dan Bunga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suhendi, Hendi. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Syafei, Rahmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqih Jilid II. Jakarta: Kencana

18

Anda mungkin juga menyukai