Achmad Musyahid
Abstract: This article describes the issue of codification of Islamic law in the
development of modern legal theory. From the assessment results obtained by
understanding some of the literature that was essentially the codification of Islamic
law is the codification of the rules of fiqh and usul fiqh rules and the development of
theories of Islamic law that is based on Islamic law epistimologi. Therefore, the
pattern includes the codification of Islamic law; codification of the rules of fiqh which
includes three phases, namely the development of a period of growth and formation,
the development and codification and the maturity and refinement. While codification
of usul al-fiqh includes not only the rules of jurisprudence but also related to the
struggle of who the originator of usul al-fiqh as a mode of philosophical thought in
epistimologi Islamic law. Birth of legal theories under Islamic law epistimologi Why
refer to the style of traditional and rational thinking in Islamic law underlies
epistimologi birth maqasid al-Shari'ah theory developed by Islamic jurists before the
era and the era of al-Syātibi maqashid theory after al- Syātibi.
Kata Kunci: Kodifikasi, Hukum Islam, Hukum Modern
16
اذا ضاق االمر اتسع b. Masa Perkembangan dan Kodifikasi
Dalam sejarah hukum Islam, abad ke-
Artinya: IV dikenal dengan zaman taqlid yang
Bila sesuatu dalam kesulitan ia akan ditandai dengan beberapa ulama yang
mendapat kemudahan. melakukan tarjih pendapat imam mazhab-
nya masing-masing dan melakukan ilhāq
Ulama yang terkenal setelah Imām al- atau analogi atau qiyas.21
Syafi’i adalah Imām Ahmad Ibn Hanbal Menurut Ibn Khaldun, ketika mazhab
(w.241 H). Di antara kaidah yang di- para imam fiqh menjadi ilmu khusus bagi
bangun oleh Imām Ahmad Ibn Hanbal pengikutnya dan tidak ada jalan melaku-
adalah sebagai berikut; kan ijtihad, maka ulama melakukan
كل ما جاز فيه البيع جتوز فيه اهلبة tandzir atau penyamaan untuk dihubung-
kan serta memilahnya ketika terjadi
17
والصدقة والرهن ketidakjelasan setelah menyederhanakan
setiap dasar-dasar tertentu dari mazhab
Artinya: mereka. Dengan cara tandzir dan isytibāb
Setiap yang dibolehkan untuk dijual, (dipilah) fiqh dikembangkan dan selanjut-
dibolehkan untuk dihibahkan dan nya ulama meletakkan cara-cara baru
digadaikan” dalam ilmu fiqh yang disebut al-Qawāid
al-Dhawābith atau al-Furūq dan mazhab
كل ييئ دشرتده الرجل مما دكال او دوزن Hanafi dikenal sebagai mazhab yang
pertama memperkenalkan ilmu ini.22
فال دبعه دىت دقبضه واما غريذالك قر Menurut riwayat al-Alā’i al-Syāfi
(w.761H), al-Suyūti (w.911 H), Ibn al-
18
خص فيه Nujāim (w.970 H) dan Abu Thahir al-
Dabbās ulama abad ke-IV hijrah telah
mengumpulkan 17 kaidah penting dalam
Artinya: mazhab Hanafi. Al-Karkhi yang hidup
Setiap yang dibeli seseorang dengan sezaman dengan Abu Thahir al-Dabbās
ditukar atau ditimbang tidak boleh mengadopsi mengadopsi kaidah-kadiah
dijual sebelum dapat dipegang fiqh tersebut dan menguumpulkannya
(dikuasai) selain itu dibolehkan. dengan kaidah-kaidah lain sehingga
Pada zaman berikutnya muncul berjumlah 37 kaidah seperti yang di-
seorang ulama yang bernama Sulaiman bukukan dalam Ushūl al-Karkhi.23
Ahmad Ibn Muhammad al-Khutābi al- Disamping kitab Ushūl al-Karkhi
Busthi (w.388 H) yang banyak mem- terdapat kitab fiqh lainnya yang disusun
bentuk kaidah-kaidah fiqh dalam kitabnya oleh Muhammad Ibn Harits al-Husyni al-
Ma’ālim al-Sunan dan diantara kaidah Māliki (w. 361 H) dengan judul Ushūl al-
yang dibentuknya adalah; Futiya yang memuat banyak kaidah fiqh.24
Sekalipun abad IV H dianggap sebagai
19
الشك ال دز دم اليقني awal zaman kodifikasi kaidah fiqh tetapi
buku yang membahas kaidah fiqh tersebut
Artinya: adalah Ta’sis al-Nazhar karya Ibn Zāid al-
Keraguan tidak mengurangi keyakinan Dabūsi al-Hanafi (w.430 H) karenanya
hingga abad V H, Hanafi adalah aliran
20
اليقني ال دزال بالشك yang paling berjasa dalam pengembangan
kaidah fiqh.25
Artinya: Pada abad VI H ditemukan hanya satu
Keyakinan tidak dapat dihilangkan kitab yang disusun dalam disiplin ilmu
karena keraguan. kaidah fiqh yaitu idhāb al-Qawāid karya
15 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 10, Nomor 1, Januari 2012, hlm 11-22
‘Ala al-Din Muhammad Ibn Ahmad al- al-Qawāid al-Mazhab karya al-Maqdisī
Samarkandi (w. 540 H). Sedangkan pada (w. 815 H). Kitab Tahrīr al-Majmu’ al-
abad VII H kitab-kitab fiqh yang telah Muzhab fi Qawl-Mazhab karya al-Alā’i.
disusun oleh ulama adalah al-Qawāid al- Kitab al-Qawāid karya Taqi al-Dīn al-
Furu’ al-Syafi’iyyat karya Muhammad Ibn Hishni (w. 829 H). Kitab Nazhām al-
Ibrāhim al-Jakarmi al-Sahlaki (w. 613 H). Dakhāir fi al-Asybāb wa al-Nazhāir karya
Kitab Qawāid al-Ahkām fi Masālih al- Abd al-Rahmān Ibn Ali al-Maqdisī (w 876
Anām karya Izz al-Dīn Abd Salām (w. H). Dan kitab al-Qawāid wa al-Dhawābith
660 H). Kitab al-Muzhab fi Dhabt Qawāid karya Ibn Abd al-Hādī (w. 880 H).28
al- Mazhab karya Muhammad Ibn ‘Abd Abad ini dianggap sebagai zaman
Allah Ibn Rasyid al-Bakri al-Qafsi (w. kesempurnaan bagi kaidah fiqh dan pada
685 H).26 Kitab pertama dan kedua masa ini muncul Jalāl al-Dīn al-Suyūthi
disusun oleh ulama pengikut mazhab (w. 910 H) yang meramkum kaidah-
Syafi’i sedangkan kitab ketiga disusun kaidah fiqh yang dianggap paling penting
oleh ulama pengikut mazhab Maliki. Oleh yang bertebaran dalam kaidah-kaidah
karena itu, dominasi mazhab dalam karangan al-Alā’i, al-Subki dan al-Zarkāzi
kodifikasi dan pengembangan kaidah fiqh yang kemudian dikumpulkan dalam Kitab
pada abad IV dan V masih didominasi al-Asybāb wa al-Nazhāir yang hingga kini
oleh mazhab Hanafi dan pada abad VI dan masih dianggap sebagai buku kaidah fiqh
VII didominasi ileh mazhab Syafi’i. yang paling lengkap.29
Abad ke VIII H dikenal sebagai c. Masa Kematangan dan Penyempurnaan
zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah
fiqh karena perkembangan kodifikasi Aliran hukum Sunni yang berjasa
kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku dalam pembentukan kaidah fiqh pada
kaidah fiqh terpenting dan termasyhur zaman pertumbuhan adalah Hanafiah
pada abad ini adalah; Al-Asybāb wa al- dengan tokohnya seperti al-Karkhi dan al-
Nazhāir karya Ibn Wakil al-Syafi’i (w.716 Dabūsi tetapi peran ini bergeser pada abad
H). Kitab al-Qawāid karya al-Maqqārial- VI dan VII H karena aliran Hanafi
Maliki (w.750 H). Al-Majmu’ al-Muzhab mengalami stagnasi dan pada zaman
fi Dhabb Qawāid al-Mazhab karya al- stagnasi ini muncul Kitab Syarh Ushūl al-
Ala’i al-Syafi’i (w.761 H). Al-Asyāb wa Karkhi yang disusun oleh Najm al-Dīn
al-Nazhāir karya Jamal al-Din al-Subkhi Abu Hafs al-Nasāfi (w. 537 H). Sekalipun
(w.771 H). Al-Asybāb wa al-Nazhāir aliran Hanafi mengalami stagnasi tetapi
karya Jamal al-Din al-Isnāwi (w.772 H). tidak berarti dalam aliran ini tidak terdapat
Al-Mantsur fi al-Qawāid karya Badr al- pengembangan kaidah fiqh. Pada masa ini
Din al-Zarkāsyi (w.794 H). Al-Qawāid fi tetap pengikut Hanafi lainnya seperti
al-Fiqh karya Ibn Rajab al-Hambali Qadhi Khān dan al-Husairi yang menjadi-
(w.795 H) dan Al-Qawāid fi al-Furu’ kan fiqh sebagai salah satu media dalam
karya Ali Ibn Usmān al-Gazzi (w.799 menentukan illat dan mentarjih pendapat
H).27 ulama.30 Abad X yang dianggap sebagai
Pada X H tercatat sebagai periode periode kesempurnaan kaidah fiqh tidak
syarh atau penjelasan karena pada zaman berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan
ini muncul Ibn al-Mulaqqin (w. 804 H) kaidah fiqh pada zaman sesudahnya dan
yang mengkodifikasi kaidah fiqh dengan salah satu kaidah fiqh yang disempurna-
cara menjelaskan kitab-kitab yang telah kan di abad XIII H adalah kaidahh yang
ada sebelumnya. Di antara kitab-kitab berbunyi yaitu;
yang disusun pada abad ini adalah Asna’
al-Maqāsid fi al-Tahrir al-Qawāid karya
ال جيو ز الدد ان دتصرف ىف ملك غريه
Muhammad Ibn Muhammad al-Zubair (w.
808 H). Kitab al-Qawāid al-Manzhumāt fi
31
بال اذنه
16 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 10, Nomor 1, Januari 2012, hlm 11-22
itu, muncul aliran yang mencoba meng- nama Abū Zayd al-Dabūsi (w.430 H)
gabungkan kedua corak pemikiran hukum dengan karya ushūlnya yang berjudul al-
tersebut dengan teori konvergensinya. Ushūl wa al-Furū dan Ta’sīs al-Nazhar
kemudian Ali Ibn Muhammad Ibn Husain
a. Aliran Tradisionalisme
yang populer dengan nama Fakhr al-Islām
Aliran tradisisonalisme atau kalam ini al-Bazdāwi (400-482 H) dengan karya
dikembangkan oleh para pengikut Imām ushūlnya yang berjudul Kanz al-Wushūl
al-Syāfi’i seperti Muhammad Ibn ilā Ma’rifah al-Ushūl dan ‘Abd Līah Ibn
Muhammad Ibn al-Ghazāli (450-505 H) Muhammad al-Nasāfi yang populer
dengan karyanya ushūlnya al-Musytasyfa dengan nama Hafīzh al-Dīn al-Nasāfi (w.
dan al-Manhūl. Kemudian ‘Ali Ibn 710 H) dengan karya ushūlnya yang
Muhammad Ibn Salīm yang kemudian berjudul Manār al-Anwār fi Ushūl al-
populer dengan Sayf al-dīn al-Amidi Fiqh.41
dengan karya ushūlnya al-Ihkām fi Ushūl Berbeda dengan aliran kalam yang
al-Ahkām. Selain dua tokoh ini, aliran sangat tradisional dan idealis, aliran
kalam juga dikembangkan oleh ‘Abd Liāh Hanafiah melahirkan rumusan kaidah-
Ibn Umar Ibn Muhammad Ibn ‘Ali al- kaidah yang lebih dapat memperhatikan
Baydhāwi (w. 658 H) yang kemudian karakter-karakter furu’ dan memper-
populer dengan karya ushūlnya yakni al- hatikan kepentingan mukallaf dengan
Minhāj al-Wushūl ilā al-Ilm al-Ushūl.38 melihat pesan alquran dan al-Sunnah.42
Secara umum mereka melahirkan Pendekatan seperti ini, memberi peluang
rumusan kaidah-kaidah kulli melalui kepada para ulamanya untuk melahirkan
kajian induktif terhadap ayat-ayat alquran kaidah-kaidah baru yang sebelumnya
dan al-Sunnah kemudian secara deduktif belum diangkat oleh ulama mazhabnya
kaidah-kaidah tersebut diterapkan dalam sendiri.
pengkajian hukum, baik dalam konteks
c. Aliran Konvergensi
ijtihad lafzi maupun akli. Mereka juga
banyak melakukan ta’lil terutama untuk Di samping kedua aliran di atas, ada
ayat-ayat non ubudiyyah dengan maksud pula aliran ushūl al-fiqh yang melakukan
agar ayat-ayat tersebut dapat menyerap kajian ushūl dengan mengkombinasikan
furu’.39 Inilah cara utama aliran kalam dua pendekatan di atas yang dalam sejarah
yang mengorientasikan kajian hukumnya kajian ilmu biasa disebut sebagai tharīqah
pada ayat-ayat alquran dan al-Sunnah al-jam’ān atau aliran konvergensi. Aliran
sebagai implikasi dasar pemikiran bahwa ini secara harmonis memadukan dua corak
Syāri’ itu hanya Allah dan Rasul-Nya dan kajian ushūl yakni dalam konteks tertentu
Tugas mujtahid hanya menemukan hukum mereka cenderung tradisional sementara
dan bukan menciptakan hukum. untuk kepentingan yang lainnya mengikuti
Kemudian teori kajian hukum ini kecenderungan aliran rasionalisme
banyak diserap oleh para ulama yang Hanafiah.
berlatar belakang keilmuan kalam seperti Di akhir abad ke-4 H/9 M muncul
al-Juwāini dan al-Ghazāli dari kalangan ahli hukum terkenal yang bermazhab
Asyariyyah dan al-Husāin Ibn Muhammad Syāfi’i yang bernama Ibn al-Surāij. Ia
Ibn ‘Ali al-Bashri dari kalangan dianggap sebagai satu-satunya ahli hukum
Mu’tazilah dengan karyanya al-Mu’tamad Islam yang membela mazhab Syāfi’i dan
fi al-Ushūl karena dua hal inilah aliran ini mengangkatnya menjadi mazhab yang
terkenal dengan nama aliran kalam.40 penting bersama dengan murid-muridnya
Ibn al-Surāij mengkombinasikan pengeta-
b. Aliran Rasionalisme
huan aliran tradisional dan rasional
Aliran ini dikembangkan oleh para dengan sebuah konseptualisasi ushūl al-
pengikut Abū Hanīfah seperti Abū Liāh fiqh yang rasional dengan tradisi tekstual.
Ibn Umar Ibn Īsa yang populer dengan
18 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 10, Nomor 1, Januari 2012, hlm 11-22
Di antara murid-murid Ibn Surāij yang berharga bagi generasi berikutnya dalam
terkenal adalah Ibn Hawkawayh (w. 318 menggali dan merumuskan formula
H), Ibrāhim Marwāzi (w. 340 H), Abū maqasid yang lebih detail, dan ber-
Bakr al-farīsi (w. 350 H), Ibn Qass (w. akhirnya era al-Syātibi studi tentang ushūl
336 H) Abū Bakr al-Sayrāfi (w. 330 H) al-fiqh mengalami kemerosotan yang
dan al-Qaffāl al-Shāsi sebagai eksponen sangat memprihatinkan terutama pada
dan pendiri ushūl al-fiqh. Tokoh-tokoh aspek substansi dan metodologi dan dalam
besar lain yang kemudian menggunakan waktu yang lama tradisi eksplorasi
konvergensi adalah Tāj al-Dīn al-Sūbkhi pemikiran spekulatif dalam bidang hukum
(w. 727-771 H) dengan karyanya Jam’u Islam tidak muncul. Para sarjana muslim
al-Jawāmi kemudian Muhammad Ibn ‘Ali ketika itu hingga menjelang munculnya
Ibn Muhammad al-Syawkāni (1172-1250 era pembaharuan pada abad ke 17-18 M
H) dengan karyanya Irsyād al-Fuhūl ilā dan seterusnyahanya sebatas mengulang-
Tatbīq al-Hāq min ‘Ilm al-Ushūl dan ulang materi-materi yang sudah ada
generasi abad ke-19 dan awal abad ke-20 dengan terfokus pada tradisi Ushūl al-Fiqh
Syaikh Hudāiri Bek (w. 1927 M) dengan al-Shāfi’iyyah khususnya pada Kitab al-
karyanya Ushūl al-Fiqh.43 Risālah.
Pada abad ke-8 H Ibrāhim Ibn Mūsa Kondisi di atas mengalami perubahan
al-Syātibi dalam karyanya al-Muwāfaqāt ketika gerakan kebangkitan dan pem-
mempermulasikan teori maqāshid al- baharuan mulai dikumandangkan oleh
Syāriah, sayangnya pendekatan maqāshid para pembaharu dan pemikir muslim
al-Syātibi mengalami kematangan ketika belakangan seperti Muhammad ‘Abduh,
intelektualme muslim berada dalam Muhammad Iqbāl, Muhammad Rāsyid
kemunduran sehingga teori ini sekalipun Rīda, Fazlūr Rahmān, Yūsuf Qarhdāwi,
memiliki potensi besar untuk melakukan Mahmud Muhammad Tāha, Hāsan
sistematisasi aturan-aturan syari’ah tetapi Hanāfi, Nasr Hamīd Abū Zayd,
tidak dikembangkan dan diimplementasi- Mohammad Arkoun, Muhammad Syahrūr
kan oleh sarjana-sarjana muslim dan Hasan Turābi. Pada era inilah
sesudahnya bahkan hampir sama sekali bangunan sistematika ushūl al-fiqh yang
diabaikan sehingga teori ditemukan telah dikodifikasi dipertanyakan kem-
kembali oleh Muhammad Thāhir Ibn bali.46
Ashur lebih dari satu abad kemudian.44 Untuk lebih mengenal corak teoritis
Pemikiran maqashid al-syariah yang pemikiran ushūl al-fiqh pada era ke-
dibangun oleh Ibn ‘Asyur dapat dilihat bangkitan, maka penulis akan mengkat
dari berbagai karya-karyanya di antaranya teori pemikiran hukum tokoh-tokoh
Maqashid al-Syariah al-Islamiyah, al- tersebut diantaranya adalah Teori Naskh
Tahrir wa al-Tanwir, Alaysa al-Subh bi Mahmoud Mohammed Tāha dan Teori
Qarib dan Ushul Nidzam al-Ijtima fi al- Nazhariyyah al-Hudūd Muhammad
Islam. Di dalam kitab “Maqashid al- Syahrūr.
Syariah al-Islamiyah” ditemukan bahwa Teori naskh Mahmoud Muhammed
kreasi inovatif dalam bidang maqashid al- Tāha muncul sebagai jawaban terhadap
syariah yang dilakukan Ibn ‘Asyur adalah problematika metodologi pembaruan
menetapkan pokok-pokok maqasid dan hukum Islam modern yang sangat
memberikan penambahan-penambahan menekankan pada aspek otentitas sumber
terhadap teori maqashid.45 hukum dan kontunuitas dengan tradisi
Sekalipun Ibn ‘Atsur dapat keilmuan Islam yang pernah ada
mengembangkan teori maqashid yang sebelumnya. Setelah sebelumnya melaku-
dianggap belum final, tetapi paling tidak kan kegiatan-kegiatan spritual berupa
dia telah melakukan terobosan spekta- kontemplasi, puasa dan meditasi semata-
kuler dan memberikan sumbangan yang
19 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 10, Nomor 1, Januari 2012, hlm 11-22
mata dalam rangka mendapatkan setitik Dinamakan Ummu al-Kitāb atau induk
pencerahan dari Allah.47 berbagai kitab dan ketentuan hukum
Teori naskh Tāha berangkat dari teori karena sifatnya yang hanīf berdasarkan
nask yang telah ada tetapi secara teori batas ini.49
konseptual ia berbeda. Pada teori naskh Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-
klasik, naskh dipahami sebagai peng- ayat hukum, Syahrur menyimpulakan
hapusan yang berindikasi pada tidak adanya enam bentuk dalam teori batas
berlakunya lagi kekuatan hukum suatu yaitu pertama, ketentuan hukum yang
ayat karena datangny ayat yang baru. hanya memiliki bats bawah (al-Had al-
Selain itu, teori naskh klasik bersifat Adna) dan ini terjadi pada macam-macam
kasuistik tetapi di tangan Tāha makna perempuan yang tidak boleh dinikahi (QS
demikian itu berubah secara drastis karena an-Nisā: 22-23), berbagai jenis makanan
bagi Tāha naskh tidak bisa dipahami yang diharamkan (QS al-Māidah: 3; QS
sebagai penghapusan yang berarti ada ayat al-An’ām: 145-156), utang piutang (QS
yang tidak lagi memiliki kekuatan hukum al-Baqarah: 283-284) dan tentang pakaian
karena sudah tergantikan oleh ayat yang wanita (QS an-Nisā: 31). Kedua,
turun kemudian tetapi lebih tepat bila ketentuan hukum yang hanya memiliki
dipahami sebagai penundaan dalam batas atas (al-Had al-A’la). Ini terjadi
aplikasinya. Misalnya, ayat-ayat Makkiah pada tindak pidana pencurian (QS al-
tidak diaplikasikan pada periode kenabian Māidah: 38), dan pembunuhan (QS al-
karena kondisi masyarakat Madinah dan Isra’: 33 dan al-Baqarah: 178 serta al-
Arabia yang dekat dengan zaman jahiliyah Nisa: 92). Ketiga, ketentuan hukum yang
dan Nabi sengaja tidak memberlakukan memiliki batas atas dan bawah sekaligus
ayat-ayat Makkiah yang bersifat universal yang berlaku pada hukum waris (QS al-
tanpa membedakan gender, suku, bangsa Nisa: 11-14, 176) dan poligami (QS al-
dan agamasampai datang suatu masa di Nisa: 3). Keempat, ketentuan hukum yang
mana kondisi masyarakat sudah memung- mana batas bawah dan batas atas berada
kinkan pada waktu ayat-ayat Makkiah pada suatu titik lurus. Ini berarti tidak ada
diberlakukan kembali.48 alternatif hukum lain karena tidak boleh
Sedangkan yang dimaksud dengan lebih dan tidak boleh kurang dari yang
Teori Nazhariyyah al-Hudud atau teori telah ditentukan. Menurut Syahrūh bentuk
batas Muhammad Syahrur adalah bahwa keempat ini hanya berlaku pada hukuman
terdapat ketentuan Tuhan yang diung- zina yaitu seratus kali jilid (QS an-Nur: 2)
kapkan dalam al-Kitab dan al-Sunnah kemudian berdasarkan ayat 3-10 dari
yang menetapkan batas bawah dan batas surah yang sama, hukuman tersebut hanya
minimal yang dituntut oleh hukum dalam dapat dijatuhkan dengan syarat adanya
kasus tertentu sedangkan batas atas empat orang saksi atau melalui li’an.
merupakan batas maksimal. Perbuatan Kelima, ketentuan yang memiliki batas
hukum yang kurang dari batas minimal atas dan bawah tetapi kedua batas tersebut
tidak sah demikian pula yang melebihi tidak boleh disentuh karena dengan
batas maksimal dan ketika batas-batas ini menyentuhnya berarti telah terjatuh pada
dilampaui maka hukuman harus dijatuh- larangan Tuhan. Hal ini berlaku pada
kan menurut proporsi pelanggaran yang hubungan pergaulan antara laki-laki dan
terjadi, jadi manusia dapat melakukan perempuan yang dimulai dari tidak saling
gerak dinamis di dalam batas-batas yang menyentuh sama sekali (batas bawah)
telah ditentukan dan disinilah menurut hingga hubungan yang hampir mendekati
Syahrur letak kekuatan Islam. Dengan zina tetapi belum berzina berarti keduanya
memahami teori ini, niscaya akan melahir- belum terjatuh pada batas-batas (hudud)
kan jutaan ketentuan hukum dan itulah Allah. Keenam, ketentuan hukum yang
sebabnya risalah Muhammad Saw. memiliki batas atas dan bawah di mana
20 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 10, Nomor 1, Januari 2012, hlm 11-22
batas atasnya bernilai positif dan tidak Syātibi dan era teori maqāshid setelah
boleh dilampaui sedangkan batas bawah al-Syātibi.
bernilai negatif dan boleh dilampaui. Hal
ini berlaku pada hubungan kebendaan DAFTAR PUSTAKA
sesama manusia, batas atas yang berniali Alquran dan Terjemahnya
pisitif berupa riba sementara zakat sebagai
batas bawahnya yang bernilai negatif. Abdullāh, M. Amin. Paradigma Alternatif
batas bawah ini boleh dilampaui dengan Pengembangan Ushūl Fiqh dan
berbagai bentuk sedekah dan batas Dampaknya pada Fiqh Kontem-
tengahnya yang bernilai zero dalam porer dalam Ainunrofiq (ed)
bentuk pinjaman tanpa memungut bunga ‘Mazhab” Yogya: Menggagas
atau riba.50 Paradigma Ushūl Fiqh Kontem-
Teori-teori tersebut di atas merupakan porer. Yogyakarta: Ar-Ruzz,
hasil pemikiran hukum Islam yang gemi- 2002.
lang yang sampai sekarang diterapkan al-Hanafi, Zain al-`Abidin Ibn Ibrāhim Ibn
oleh ahli hukum Islam. Karena itu, tidak Nujāim. al-Asybāb wa al-Nazhāir
diragukan bahwa teori-teori tersebut ala Mazhab Abi Hanifah al-
adalah berlandaskan pada bentuk episti- Nu’man. Kairo: Mu’assah al-
mologi hukum Islam yang sangat Halabi wa al-Syirkah, 1968.
modernis karena mampu meng-
al-Marāghi, Ahmad Mustāfa. al-Fath al-
aktualisasikan ajaran Islam dalam pada
Mubīn fi Thabaqāt al-Ushuliyyin.
setiap tempat dan waktu.
Jilid I. Kairo: Muh. Amin Ramj,
III. KESIMPULAN 1974.
Hakikat kodifikasi hukum Islam al-Nadāwi, Ali Ahmad. al-Qawāid al-
adalah kodifikasi kaidah-kaidah fiqh dan Fiqhiyyah, Mafhumuha, Nasyatu-
kaidah-kaidah ushūl fiqh serta pengem- ha, Tatawwuruha, Dirāsah
bangan teori-teori hukum Islam yang Muallifatiha, Adillatuha, Muhim-
berlandaskan pada epistimologi hukum matuha, Tatbīqatuha. Damaskus:
Islam. Karena itu, corak kodifikasi hukum Dār al-Qalam, 1994.
Islam tersebut meliputi;
al-Syaukāni, Imām. Konstruksi Episti-
1. Kodifikasi kaidah-kaidah fiqh yang mologi Hukum Islam Indonesia
meliputi tiga fase perkembangan yaitu dan Relevansinya Bagi Pem-
masa pertumbuhan dan pembentukan, bangunan Hukum Nasional. Ed.
masa perkembangan dan kodifikasi dan 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo
masa kematangan dan penyempurnaan. Persada, 2006.
2. Sementara kodifikasi ushūl al-fiqh
An-Na’im, Abdullāh Ahmed. Translator
tidak hanya meliputi kaidah-kaidah
Introduction dalam Mahmoud
ushūl tetapi juga terkait pada per-
Muhammed Tāha The Second
gumulan tentang siapa pencetus ushūl
Message of Islam. tt: Syracuse
al-fiqh sebagai corak pemikiran
University Press, 1987.
filosofis dalam epistimologi hukum
Islam. Coulson, Noel J. Hukum Islam dalam
3. Lahirnya teori-teori hukum dalam Perspektif Sejarah (The Historry
epistimologi hukum Islam yang meng- of Islamic Law) diterjemahkan
acu pada corak pemikiran tradisional oleh Hamid Ahmad. Jakarta:
dan rasional dalam epistimologi hukum P3M, 1987.
Islam telah melandasi lahirnya teori Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata
maqāshid al-Syari’ah yang dikembang- Sosial (Jakarta: Raja Grafindo
kan oleh juris Islam sebelum era al- Persada dan Lembaga Studi
21 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 10, Nomor 1, Januari 2012, hlm 11-22
salah seorang pengikut Imam Abu Hanifah yang Nasional. Ed. 1 (Jakarta: PT. raja Grafindo
berpendapat bahwa setiap ayat al-Qur’an dan hadis Persada, 2006), h. 124-125.
yang bertentangan dengan pendapat Abu Hanifah 38
Syaukāni, op. cit., h. 129.
dapat ditakwilkan atau dinasahkan. Sedangkan
39
Qādi Iyyād pernah berkata bahwa bagi yang Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata
bertaqlid, maka pendapat imam mazhab sejajar Sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada dan
dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Lihat lebih lanjut Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1999),
dalam Mun’im A. Sirri, Sejarah Fiqh Islam, h. 107-109.
Sebuah Pengantar (Surabaya:Risalah Gusti, 1995), 40
Syaukāni, op. cit., h. 131.
h. 129. 41
22
Ibid., h. 130.
Al-Nadāwi, op. cit., h. 133. 42
23
Noel J. Coulson, Hukum Islam dalam
Ibid., h. 136. Perspektif Sejarah (The Historry of Islamic Law)
24 diterjemahkan oleh Hamid Ahmad (Jakarta: P3M,
Ibid., h. 137.
25 1987), h. 43.
Mubarok, op. cit., h. 66.
43
26 Syaukāni, op. cit., h. 132.
Al-Nadāwi, loc. cit.
44
27 Louay Sāfi, Ancangan Metodologi
Ibid., h. 138-139. Alternatif (The Foundation of Knowledge: A
28
Ibid. Comparartive Study in Islam and Western
29 Methods of inquiry) diterjemahkan oleh Imām
Ibid., h. 140.
Khori (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 143.
30
Mubarok, op. cit., h. 98. Ibn ‘Āsyūr dilahirkan dari sebuah keluarga
31
Zain al-`Abidin Ibn Ibrāhim Ibn Nujāim al- terhormat yang berasal dari Andalusia pada tahun
Hanafi, al-Asybāb wa al-Nazhāir ala Mazhab Abi 1296 H atau 1879 M dan wafat pada tahun 1393 H
Hanifah al-Nu’man (Kairo: Mu’assah al-Halabi wa atau 1973 M. Tempat lahir dan wafatnya sama
al-Syirkah, 1968), h. 158. yaitu di Tunis. Tim Penyusun The Encyclopedia of
32
Islam , “Ibn Asyur”, The Encyclopedia Of Islam.
Ibid. New Edition. Vol. III, (Leiden : tp, 1971), h. 720.
33
Ibid., h. 152-153. 45
Pokok-pokok maqasid yang ditetapkan Ibn
34
Muhammad Abu Zahrah, Ushūl al-Fiqh, ‘Asyur digolongkan menjadi tiga bagian yaitu;
(ttp: Dār al-Fikr al-‘Arabi, tt), h. 7. Qawaid maqashid ‘ammah. Qawaid maqasid Khos
35 dan Kaidah menetapkan Maqashid al-Syariah
Ahmad Mustāfa al-Marāghi, al-Fath al- (Turuq itsbat al-maqashid al-Syariyyah). Lihat
Mubīn fi Thabaqāt al-Ushuliyyin. Jilid I (Kairo: lebih lanjut Ismail Hasani, Nadzariyyat al-
Muh. Amin Ramj, 1974), h. 16. Maqasid ‘inda Muhammad al- Thahir Ibn ‘Asyur
36
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum (Cet. I; Virginia: The International Institute of
Islam: Pengantar Untuk Ushūl fiqh Mazhab Sunni Islamic Tought, 1995), h. 426.
(A History of Islamic Legal Theory) diterjemahkan 46
Ibid., h. 135.
oleh E. Kusnadiningrat dan Abdul haris bin Wahid
47
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 44. Abdullāh Ahmed An-Na’im, Translator
37 Introduction dalam Mahmoud Muhammed Tāha
Kendati Abū Hanifah sangat produktif The Second Message of Islam (tt: Syracuse
melahirkan fatwa-fatwa fiqh hasil kajian ijtihadnya University Press, 1987), h. 4-5.
namun beliau tidak menuliskan rumusan-rumusan
48
metodologi kajian hukumnya tersebut secara Syaukāni, op. cit., h. 141.
sistematis dalam satu buku yang akan dengan 4
9 M. Amin Abdullāh, Paradigma Alternatif
muda dipelajari oleh ulama lain generasi Pengembangan Ushūl Fiqh dan Dampaknya pada
sesudahnya. Langkah ke arah ini baru dimulai oleh Fiqh Kontemporer dalam Ainunrofiq (ed)
murid-murid beliau yakni Abū Yūsuf (113-182 H) ‘Mazhab” Yogya: Menggagas Paradigma Ushūl
dengan karyanya yang amat menumental yang Fiqh Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002),
berjudul al-Kharaj yang di dalamnay memuat h. 136.
perbedaan-perbedaan nalar para ulama dalam 50
berbagai kajian hukumnya. Namun dalam Syaukāni, op. cit., h. 144-146.
karyanya itu, Abū Yūsuf belum menyuguhkan
teori ushūl al-fiqh yang menyeluruh dan baru
terfokus pada perbedaan-perbedaan para ulama
dalam kajian fiqh rasionalnya. Imām al-Syaukāni,
Konstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia
dan Relevansinya Bagi Pembangunan Hukum