Anda di halaman 1dari 5

Tiga Puluh Juz untuk Abi

Oleh : Ummi Chaera

Aku terduduk di pinggiran pasir putih, sambil mengenang kembali masa laluku
yang begitu rumit. Belum cukup setahun sejak kejadian itu, tapi entah mengapa rasanya
sudah lama sekali. Angin, ombak dan mataharinya masih sama, bedanya tak ada lagi
bangunan mewah, anak-anak bermain riang dan paling menyakitkan adalah fakta bahwa
aku menyandang status baru ‘yatim-piatu’.

“Bas ayo pulang, ibu dan ayah sudah menunggu di mobil.”

Perkenalkan aku Abbas, awam dipanggil Bas. Lahir dan besar dipinggiran laut
Palu disebelah tengah pulau Sulawesi, yang beberapa bulan lalu mengambil ribuan
nyawa. Termasuk Abi. Tempat yang dulunya mengundang tawa riang, sekarang berubah
menjadi tempat penuh kepedihan dan trauma mendalam. Lelaki yang barusan
meneriakiku adalah Bani, saudara baruku beberapa bulan terakhir. Orangtuanya
memutuskan menjadikanku anak angkat, membantuku melalui masa sulit dan sukarela
memberi tumpangan hidup tanpa meminta imbalan.

“Iya aku akan segera kesana.” Balasku setengah berteriak.


***
“Abi, aku sudah menemukannya!!”

Aku berseru senang, ini sudah subuh dan Abi belum juga terbangun. Aku bergegas
membuka pintu kamar milik Abi yang sudah termakan usia.

“Dimana kamu menemukannya nak?” Tanyanya.

Abi melipat sajadahnya yang baru saja digunakan untuk shalat, Ia ternyata sudah
bangun sejak tadi, kemudian menghampiriku dengan wajah yang meminta jawaban.

“Aku temukan di sela-sela lemari Bi, aku kira sudah dimakan tikus ternyata masih
selamat.”
Abi tersenyum sambil mengelus tungkai rambutku. Perlakuan yang begitu hangat.
Rasanya senang menemukannya kembali, setelah berhari-hari dibuat galau karenanya.
Aku melihat kalender, dan ternyata hari ini adalah hari jum’at, Abi sudah janji
menemaniku pergi ke masjid untuk menyelesaikan hafalan juz amma.

“Abi.. cepat, masjid kan jauh, nanti ustad Nizamnya pulang.”

Aku berbalik, melangkah dengan cepat sambil mendekap Al-qur’an pemberian


Ummi⎼⎼benda yang kukira lenyap dan membuatku memfitnah tikus yang tak bersalah.
Waktu menunjukkan sudah hampir dzuhur, dan aku sudah janji datang ke masjid tepat
waktu. Abi yang melihatku jalan lebih dulu, segera berlari kecil menyusul.

Ombak siang ini cukup kencang, anak-anak seumuranku sedang asik berlarian
sambil memainkan layangan di hamparan pasir putih. Mereka adalah teman-teman
sekolah sekaligus tetanggaku. Hanya saja aku tak bisa menghabiskan waktu bersama,
karena harus mengejar hafalan. Satu-dua nelayan juga terlihat mendorong kapal ke tepian,
seraya menghapus peluh di dahinya. Mereka kelelahan setelah bertarung dengan ombak.

“Assalamu’alaikum Saleh. mau kemana siang begini sama Abbas?” suara pakce
Mashur terdengar dari arah kapal.

“Wa’alaikumsalam Hur, ini mau mengantar Abbas ke masjid. Hari ini dia setor
hafalan terakhir juz ammanya.” Abi balas menjawab setengah berteriak, karna jarak kami
agak jauh.

“Wahh hebat Bas. Semoga nanti kamu jadi penghafal qur’an, dan bisa mengimami
pakce sama Abimu.”

Kali ini pakce Hur menyemangati sambil tersenyum lebar ke arahku dan Abi.
Kami melambaikan tangan, balas tersenyum dan bergegas menuju ke masjid.
***
Satu per satu surah kuhatamkan di depan ustad Nizam, aku berusaha fokus sambil
sesekali melirik Abi yang menatap tegang dari kejauhan.

“Alhamdulillah Abbas sudah khatam juz amma.” Ujar ustad Nizam terlihat
bangga dengan hafalanku.

Abi segera berdiri dan berjalan ke arahku, namun tiba-tiba tanah bergetar hebat.
orang-orang di depan masjid berlari kucar-kacir mencari tempat yang aman, ustad Nizam
meraihku disusul Abi yang berhasil memelukku, raut wajahnya khawatir dan tegang di
saat bersamaan, bibirnya tak berhenti mengucap nama Allah.

“Abiii, takut.. Abbas mau pulang.” aku menangis sejadi-jadinya, menggenggam


lengan Abi dengan erat. Ia menatapku sekilas lalu tersenyum, mencoba menenangkan
walau jelas kekhawatirannya begitu besar.

“Nak, kalau memang Allah mengambil kita hari ini, setidaknya kamu jangan
bersedih hati. Berdzikir tanpa henti, Insya Allah hati Abbas tenang.” Ia berbicara seakan
kami sedang duduk santai di teras rumah, sedangkan di luar sana tanah mulai terbelah dan
aspal mencuat ke permukaan.

“Subhanallah, Ya Allah selamatkanlah kami dari kemurkaan dan ujianmu.” Ustad


Nizam menggenggam tiang di sampingnya seraya memperhatikan kerusuhan di luar sana.
Kami memutuskan tinggal di dalam masjid, memengangi tiang-tiangnya, berharap tiang
ini bisa bertahan walau jelas kami takut luar biasa.

Aku melihat orang-orang di luaran masjid berteriak dan menangis sambil berlari,
ibu menggendong anaknya, lautan manusia berebut untuk lewat dan mencari jalur aman.
Aspal membentuk gelombang, kanan, kiri, depan dan belakang. Tak terelakkan. Aku
melihat dengan mata kepalaku sendiri, seseorang seperti dihisap masuk kedalam tanah,
rumah-rumah luruh tak bersisa, dan ajaibnya bangunan masjid ini tetap kokoh dalam
guncangan, hanya serbuk-serbuk kayu yang jatuh dari atap.
Lambat laun getaran mulai berhenti. Hening sejenak. Aku menatap Abi lamat-
lamat mencoba memastikan.

“Sudah selesai nak. Sekarang kita pulang yah, jangan menangis lagi.” Abi
memegangi bahuku, membantu untuk berdiri.

Kedua lututku seakan mati rasa, kejadiannya berlangsung beberapa menit saja tapi
seakan getarannya masih terasa sampai sekarang. Melihat badanku gemetaran, Abi pun
memutuskan untuk menggendongku. Tepat di daun pintu, tiba-tiba…

“Tsunamiii…….” Orang-orang berseru panik untuk kedua kalinya, menunjuk ke


arah laut yang posisinya seratus meter dari masjid.

“Abi…. Airnya naikk” aku berontak dalam gendongan. Menunjuk ke arah air laut
yang sudah mulai meninggi.

Abi berbalik menghadap arah laut, dan dengan cepat air laut menyapu apapun
yang dilewatinya, dan naasnya kami tidak bisa menyelamatkan diri. Kami terblokade
secara sempurna. Lari sekencang apapun tidak ada gunanya. Luapan air itu sangat tinggi,
bahkan mencapai lantai dua sebuah hotel.

“Maha besar Allah dan segala kekuasaan-Nya.” Abi memelukku dengan sangat
erat. Perlahan-lahan tetesan air jatuh dari pelupuk matanya. Hari ini, untuk pertama
kalinya aku melihat. Abi menangis.
***
“Lalu apa yang terjadi selanjutnya?” Tanyanya penasaran.

Bani kini duduk disampingku, setelah sebelumnya lelah mengajakku pulang ke


rumah, sedangkan kedua orangtua kami memilih menunggu sambil berbincang-bincang
dengan penduduk sekitar. Bani memutuskan mendengar kepingan pilu dari masa laluku,
sambil memandangi matahari yang perlahan tumbang di kaki langit. Kami duduk di atas
lembutnya pasir putih, diiringi alunan ombak yang saling susul menyusul.
“Kami diterjang air laut dengan sangat keras. Aku tidak lagi bisa berpikir jernih
saat itu, yang kutahu aku sudah siap untuk dijemput malaikat maut,” aku menghembuskan
nafas berat, menatap kosong ke arah laut “kemudian oksigen dalam air semakin
berkurang, dan akhirnya aku pingsan. Menurut pengakuan orang yang menemukanku, ia
mendengar suara di antara tumpukan kayu, lalu ia bergegas dan mendapatiku dalam
keadaan setengah sadar, dan ajaibnya Al-qur’an ini tepat berada di pelukanku tanpa basah
sedikitpun.” Ujarku sambil menunjukkan Al-qur’an pemberian ummi.

Aku perlahan membuka Al-qur’an bersampul biru itu. Goresan pensilnya masih
disana. Bertuliskan, ‘Abi dan Ummi bangga punya anak seperti Abbas. Sehat selalu
anakku sayang, semoga Al-qur’an ini bisa menjadi cahayamu dalam gelap. Kami
menyayangimu.’

“Banyak orang bilang, kasih ibu itu sepanjang masa, dan terkadang peran ayah
diabaikan oleh banyak orang. Tapi kau tahu Ni? Abikulah yang menjadikanku manusia
seutuhnya. Sekarang aku sudah khatam tiga puluh juz, walaupun kini tanpa Abi
disampingku.” Aku memandang sekilas ke arah Bani, lalu kembali menatap ombak yang
semakin kencang. “Sembilan bulan aku dikandung oleh Ummi, dan Abi mati-matian
mencari nafkah untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidupku. Saat umurku menginjak
dua tahun, sebelum meninggal Ummi berwasiat kepada Abi untuk menjadikanku seorang
penghafal Al-qur’an. Aku benar-benar melihat perjuangan Abi. Menjadi ayah sekaligus
ibu tidaklah mudah. Mencari nafkah dan merawat disaat bersamaan, sungguh hal yang
sulit. Tetapi Abi dengan sabar melakukan semuanya. Hebatnya lagi, ia tak pernah
menampakkan kesedihan dan kelelahannya di hadapanku.” Jedaku sejenak.

“Walaupun masakannya sering keasinan, menyetrika baju tak pernah rapi,


mencuci pun masih menyisakan busa. Tapi ayah tetaplah ayah, yang akan menjadi contoh
bagi anak-anaknya. Abi adalah satu dari jutaan pejuang di seluruh dunia. Tak ada kata
mengeluh. Ia berprinsip bahwa, membimbing anak menjadi manusia yang berguna bagi
agama dan orang lain, merupakan sesuatu yang harus diperjuangkan.” Ujarku sambil
menatap matahari yang sudah sempurna tenggelam di ufuk barat, membiarkan bulan
mengambil alih tugasnya. Pun membiarkanku dan Bani tenggelam di keheningan malam.

Anda mungkin juga menyukai