Aku terduduk di pinggiran pasir putih, sambil mengenang kembali masa laluku
yang begitu rumit. Belum cukup setahun sejak kejadian itu, tapi entah mengapa rasanya
sudah lama sekali. Angin, ombak dan mataharinya masih sama, bedanya tak ada lagi
bangunan mewah, anak-anak bermain riang dan paling menyakitkan adalah fakta bahwa
aku menyandang status baru ‘yatim-piatu’.
Perkenalkan aku Abbas, awam dipanggil Bas. Lahir dan besar dipinggiran laut
Palu disebelah tengah pulau Sulawesi, yang beberapa bulan lalu mengambil ribuan
nyawa. Termasuk Abi. Tempat yang dulunya mengundang tawa riang, sekarang berubah
menjadi tempat penuh kepedihan dan trauma mendalam. Lelaki yang barusan
meneriakiku adalah Bani, saudara baruku beberapa bulan terakhir. Orangtuanya
memutuskan menjadikanku anak angkat, membantuku melalui masa sulit dan sukarela
memberi tumpangan hidup tanpa meminta imbalan.
Aku berseru senang, ini sudah subuh dan Abi belum juga terbangun. Aku bergegas
membuka pintu kamar milik Abi yang sudah termakan usia.
Abi melipat sajadahnya yang baru saja digunakan untuk shalat, Ia ternyata sudah
bangun sejak tadi, kemudian menghampiriku dengan wajah yang meminta jawaban.
“Aku temukan di sela-sela lemari Bi, aku kira sudah dimakan tikus ternyata masih
selamat.”
Abi tersenyum sambil mengelus tungkai rambutku. Perlakuan yang begitu hangat.
Rasanya senang menemukannya kembali, setelah berhari-hari dibuat galau karenanya.
Aku melihat kalender, dan ternyata hari ini adalah hari jum’at, Abi sudah janji
menemaniku pergi ke masjid untuk menyelesaikan hafalan juz amma.
Ombak siang ini cukup kencang, anak-anak seumuranku sedang asik berlarian
sambil memainkan layangan di hamparan pasir putih. Mereka adalah teman-teman
sekolah sekaligus tetanggaku. Hanya saja aku tak bisa menghabiskan waktu bersama,
karena harus mengejar hafalan. Satu-dua nelayan juga terlihat mendorong kapal ke tepian,
seraya menghapus peluh di dahinya. Mereka kelelahan setelah bertarung dengan ombak.
“Assalamu’alaikum Saleh. mau kemana siang begini sama Abbas?” suara pakce
Mashur terdengar dari arah kapal.
“Wa’alaikumsalam Hur, ini mau mengantar Abbas ke masjid. Hari ini dia setor
hafalan terakhir juz ammanya.” Abi balas menjawab setengah berteriak, karna jarak kami
agak jauh.
“Wahh hebat Bas. Semoga nanti kamu jadi penghafal qur’an, dan bisa mengimami
pakce sama Abimu.”
Kali ini pakce Hur menyemangati sambil tersenyum lebar ke arahku dan Abi.
Kami melambaikan tangan, balas tersenyum dan bergegas menuju ke masjid.
***
Satu per satu surah kuhatamkan di depan ustad Nizam, aku berusaha fokus sambil
sesekali melirik Abi yang menatap tegang dari kejauhan.
“Alhamdulillah Abbas sudah khatam juz amma.” Ujar ustad Nizam terlihat
bangga dengan hafalanku.
Abi segera berdiri dan berjalan ke arahku, namun tiba-tiba tanah bergetar hebat.
orang-orang di depan masjid berlari kucar-kacir mencari tempat yang aman, ustad Nizam
meraihku disusul Abi yang berhasil memelukku, raut wajahnya khawatir dan tegang di
saat bersamaan, bibirnya tak berhenti mengucap nama Allah.
“Nak, kalau memang Allah mengambil kita hari ini, setidaknya kamu jangan
bersedih hati. Berdzikir tanpa henti, Insya Allah hati Abbas tenang.” Ia berbicara seakan
kami sedang duduk santai di teras rumah, sedangkan di luar sana tanah mulai terbelah dan
aspal mencuat ke permukaan.
Aku melihat orang-orang di luaran masjid berteriak dan menangis sambil berlari,
ibu menggendong anaknya, lautan manusia berebut untuk lewat dan mencari jalur aman.
Aspal membentuk gelombang, kanan, kiri, depan dan belakang. Tak terelakkan. Aku
melihat dengan mata kepalaku sendiri, seseorang seperti dihisap masuk kedalam tanah,
rumah-rumah luruh tak bersisa, dan ajaibnya bangunan masjid ini tetap kokoh dalam
guncangan, hanya serbuk-serbuk kayu yang jatuh dari atap.
Lambat laun getaran mulai berhenti. Hening sejenak. Aku menatap Abi lamat-
lamat mencoba memastikan.
“Sudah selesai nak. Sekarang kita pulang yah, jangan menangis lagi.” Abi
memegangi bahuku, membantu untuk berdiri.
Kedua lututku seakan mati rasa, kejadiannya berlangsung beberapa menit saja tapi
seakan getarannya masih terasa sampai sekarang. Melihat badanku gemetaran, Abi pun
memutuskan untuk menggendongku. Tepat di daun pintu, tiba-tiba…
“Abi…. Airnya naikk” aku berontak dalam gendongan. Menunjuk ke arah air laut
yang sudah mulai meninggi.
Abi berbalik menghadap arah laut, dan dengan cepat air laut menyapu apapun
yang dilewatinya, dan naasnya kami tidak bisa menyelamatkan diri. Kami terblokade
secara sempurna. Lari sekencang apapun tidak ada gunanya. Luapan air itu sangat tinggi,
bahkan mencapai lantai dua sebuah hotel.
“Maha besar Allah dan segala kekuasaan-Nya.” Abi memelukku dengan sangat
erat. Perlahan-lahan tetesan air jatuh dari pelupuk matanya. Hari ini, untuk pertama
kalinya aku melihat. Abi menangis.
***
“Lalu apa yang terjadi selanjutnya?” Tanyanya penasaran.
Aku perlahan membuka Al-qur’an bersampul biru itu. Goresan pensilnya masih
disana. Bertuliskan, ‘Abi dan Ummi bangga punya anak seperti Abbas. Sehat selalu
anakku sayang, semoga Al-qur’an ini bisa menjadi cahayamu dalam gelap. Kami
menyayangimu.’
“Banyak orang bilang, kasih ibu itu sepanjang masa, dan terkadang peran ayah
diabaikan oleh banyak orang. Tapi kau tahu Ni? Abikulah yang menjadikanku manusia
seutuhnya. Sekarang aku sudah khatam tiga puluh juz, walaupun kini tanpa Abi
disampingku.” Aku memandang sekilas ke arah Bani, lalu kembali menatap ombak yang
semakin kencang. “Sembilan bulan aku dikandung oleh Ummi, dan Abi mati-matian
mencari nafkah untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidupku. Saat umurku menginjak
dua tahun, sebelum meninggal Ummi berwasiat kepada Abi untuk menjadikanku seorang
penghafal Al-qur’an. Aku benar-benar melihat perjuangan Abi. Menjadi ayah sekaligus
ibu tidaklah mudah. Mencari nafkah dan merawat disaat bersamaan, sungguh hal yang
sulit. Tetapi Abi dengan sabar melakukan semuanya. Hebatnya lagi, ia tak pernah
menampakkan kesedihan dan kelelahannya di hadapanku.” Jedaku sejenak.