Anda di halaman 1dari 5

Nilai PISA sudah keluar, dan yang cukup menyedihkan adalah Indonesia masih belum beranjak

dari papan bawah. Berturut-turut, nilai untuk Membaca, Matematika, dan Sains dari hasil tes di
2018 adalah 371, 379, dan 396. Nilai ini mengalami penurunan dibanding tes di tahun 2015, di
mana berturut-turut Membaca, Matematika, dan Sains kita meraih skor 397, 386, 403. Dari
semua skor itu, Membaca memiliki penurunan skor terendah, dan bahkan di bawah skor di tahun
2012 yaitu 396.

Turunnya skor PISA ini memang boleh dibilang memprihatinkan. Jika dibandingkan dengan
rata-rata internasional, Indonesia memiliki jarak yang cukup jauh. Membaca, Matematika, dan
Sains di rata-rata internasional ada di angka 487, 489, dan 489. Indonesia bahkan tidak berhasil
menembus skor di atas 400 untuk ketiganya. Penurunan kualitas ini tentu indikasi bahwa ada
beberapa pekerjaan rumah yang harus dilakukan, jika PISA masih menjadi standar bagi
pemerintahan kita untuk pembangunan pendidikan.

PISA dan Standarisasi Pendidikan

Lalu, apa sebenarnya PISA itu. PISA yang singkatan dari Programme for International Student
Assessment atau Program Penilaian Pelajar Internasional. Program ini dibuat untuk menguji
performa akademis anak-anak sekolah secara rata-rata di setiap negara. PISA diselenggarakan
oleh OECD (Organization for Economic CO-operation and Development). Penilaian PISA
dilakukan dengan menguji anak-anak berusia 15 tahun. Bahan yang diuji adalah Matematika,
Sains, dan Kemampuan Membaca. Setiap negara memiliki jumlah sampel yang berbeda, OECD
mengklaim ada 600.000 pelajar dari 72 negara yang diuji di PISA di seluruh dunia.
Pemilihan anak usia 15 tahun untuk diuji adalah karena usia tersebut adalah usia krusial dan
dianggap sebagai usia yang sudah siap menghadapi tantangan zaman. Lewat penilaian dari PISA,
akan diukur kira-kira generasi muda di setiap negara akan siap atau tidak dengan perkembangan
zaman. Penilaian PISA juga dirilis per tiga tahun, di mana tiga tahun adalah rentang yang pas
untuk melihat rata-rata perkembangan anak di setiap negara.

Dengan adanya PISA, diharapkan setiap negara memiliki tolok ukur untuk mengembangkan
kualitas pendidikan mereka. Lewat sistem ranking, tidak berarti setiap negara berlomba-lomba
untuk menjadi yang terbaik. Dengan adanya sistem pembanding, negara yang memiliki angka
rendah bisa belajar ke negara-negara lain untuk melihat bagaimana mereka mengembangkan
pendidikan. Waktu tiga tahun bisa dijadikan titik tujuan jangka pendek, memperbaiki sistem
pendidikan secara perlahan.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di periode lalu, Muhadjir Effendy sendiri memutuskan
bahwa PISA dianggap cukup kredibel dan untuk itu PISA dijadikan standarisasi internasional
pendidikan di Indonesia. Lewat tolok ukur ini, masyarakat jadi tahu posisi Indonesia di dunia
pendidikan dibandingkan dengan negara-negara lain. Selain untuk tolok ukur kualitas
pendidikan, dia juga menyebutkan bahwa PISA juga dijadikan sarana untuk pengakuan dari
negara lain.

Indonesia di Papan Bawah Peringkat PISA

Terdamparnya Indonesia di peringkat bawah memang jadi sebuah tamparan tersendiri. Peringkat
Indonesia untuk kategori Membaca ada di 75 dari 80 negara, atau urutan 6 dari bawah. Indonesia
hanya ada di atas negara-negara seperti Kosovo (baru merdeka tahun 2008), Filipina, Lebanon,
Maroko. Kita bahkan masih di bawah Macedonia Utara (baru ganti nama dari Macedonia di
tahun ini dan baru merdeka tahun 1991) dan Georgia. Jika dibandingkan dengan sesama Asia
Tenggara, Indonesia ada di bawah Thailand dan Singapura

Dengan hasil yang tidak baik ini, Indonesia perlu belajar ke negara-negara lain. Secara
demografis, Indonesia bisa melihat bagaimana sistem pendidikan dijalankan di negara yang
dekat seperti Thailand, Malaysia, atau bahkan yang memiliki peringkat atas seperti Singapura.
Memang tidak bisa diterapkan mentah-mentah. Tentu akan lebih sulit membangun pendidikan di
Indonesia yang memiliki jumlah siswa SD dan SMP aktif bisa sampai 55 juta ketimbang di
Singapura yang jauh lebih kecil. Namun, sesuai dengan tujuan OECD, tidak ada salahnya
melihat bagaimana pendidikan dikembangkan di sana.

Melihat tabel lengkapnya, memang kelihatan bahwa tes PISA di tahun 2018 memiliki tingkat
kesulitan yang berbeda dari periode sebelumnya. Di sini kelihatan bahwa tidak hanya Indonesia,
mayoritas negara lain juga kesulitan untuk menaikkan skor. Terutama kategori Membaca, di
mana lebih dari setengahnya mengalami penurunan skor. Lainnya hanya naik tipis. Hanya
beberapa negara yang mengalami kenaikan signifikan seperti Turki, Macao, Singapura. Tentu ini
bukan pembenaran mengenai rendahnya skor Indonesia. Namun, justru menjadi refleksi bahwa
tes untuk standarisasi ini akan selalu berubah. Kita harus lebih siap.

Silahkan cek tabel di bawah ini, dengan perbandingan skor dengan periode sebelumnya.
menunjukkan jarak dengan rata-rata skor. Semakin merah, semakin jauh di bawah rata-rata.
Semakin hijau, semakin di atas rata-rata. Untuk warna di kolom “Perubahan” menunjukkan
gradien perubahan. Semakin merah, semakin turun dibandingkan periode sebelumnya.

Selain data di atas, ada data menarik lainnya yaitu survei mengenai ambisi peserta tes PISA 2018
untuk masa depan mereka. Di antara mereka OECD menanyakan soal apakah peserta tes ingin
menyelesaikan Perguruan Tinggi, atau pendidikan tersier. Hasilnya cukup mengejutkan.
Indonesia ada di peringkat paling buncit, kurang dari 5% ingin lanjut ke Perguruan Tinggi.
Sedangkan, rata-ratanya sendiri adalah 36%. Sebagai perbandingan, menurut BPS untuk 2018,
angka partisipasi murni di Perguruan Tinggi di Indonesia hanya 18,59%.

Kurang berambisinya sebagian besar peserta tes PISA 2018 di Indonesia, bisa jadi memengaruhi
semangat mereka untuk belajar. Tentu banyak masalah lain yang juga harus diperhatikan.
Namun, jika ternyata masalah besarnya ada di motivasi, pekerjaan rumah Kemendikbud akan
lebih berat. Pengembangan sarana tidak bakalan cukup, karena siswa harus dibekali dengan
kesadaran bahwa pendidikan itu penting.

Anda mungkin juga menyukai