Anda di halaman 1dari 25

Badan Pemeriksa Keuangan

Republik Indonesia

ISU-ISU SEPUTAR
TATA KELOLA LISTRIK
NASIONAL
Dr. Agung Firman Sampurna
Ketua BPK
Disampaikan dalam FGD Fraksi PKS DPR RI
“Listrik untuk Kesejahteraan Rakyat”
Jakarta, 10 Desember 2019
LATAR BELAKANG
BPK mengemban amanat konstitusi untuk Tugas dan kewenangan BPK adalah memeriksa
melakukan pemeriksaan atas pengelolaan pengelolaan dan tanggung jawab atas seluruh aspek
dan tanggung jawab keuangan negara. keuangan negara, yang meliputi penerimaan negara,
pengeluaran negara, aset negara, kewajiban dan
ekuitas negara, termasuk BUMN, BUMD, Bank
Sebagai perwujudan Undang-Undang Dasar Indonesia, Badan Hukum Milik Negara (BHMN),
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Badan Layanan Umum (BLU), dan badan lain yang
1945) serta mandat yang diatur dalam paket UU memiliki atau terkait dengan keuangan negara di
di bidang keuangan negara dan UU tentang BPK. dalamnya, baik yang ada di pusat, maupun di daerah.

LATAR BELAKANG
Pemeriksaan BPK didasarkan pada Rencana
Strategis (Renstra) BPK 2016-2019 yang
mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Mengawal dan memastikan program-program


prioritas pembangunan nasional
direncanakan, dilaksanakan, dan dilaporkan
secara transparan dan akuntabel serta dapat
memberikan manfaat pada kesejahteraan
rakyat Indonesia.

LATAR BELAKANG
Salah satu Fokus pemeriksaan yang telah
FOKUS dilaksanakan adalah menilai ketersediaan
ketenagalistrikan untuk masyarakat melalui
PEMERIKSAAN pemeriksaan sebagai berikut:

1. Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu atas


Penyelesaian Proyek Infrastruktur
Ketenagalistrikan Eks Dana APBN TA 2011
sd 2014 yang terhenti

2. Pemeriksaan Kinerja untuk menilai


kontribusi Energi Baru Terbarukan dalam
Rasio Elektrifikasi dan Bauran Energi
Nasional

3. Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu atas


pengelolaan belanja subsidi (BA999.07).
Pemeriksaan dilakukan terhadap Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) BUN serta
terhadap operator penerima subsidi.
Subsidi listrik pada PT Perusahaan Listrik
Negara (Persero)
TATA KELOLA KELISTRIKAN
DI INDONESIA
Untuk menjamin ketersediaan tenaga listrik Untuk wilayah yang belum mendapatkan pelayanan
dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, tenaga listrik, pemerintah atau pemerintah daerah
dan harga yang wajar dalam rangka sesuai kewenangannya memberi kesempatan
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran kepada BUMD, badan usaha swasta, atau koperasi
rakyat secara adil dan merata serta mewujudkan sebagai penyelenggara usaha penyediaan tenaga
pembangunan yang berkelanjutan. listrik terintegrasi.

TUJUAN
Pengelolaan sektor ketenagalistrikan didasarkan
pada dua Undang-Undang yaitu UU nomor 30
Tahun 2007 tentang Energi dan UU Nomor 30
Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

KepMen ESDM No 143K/20/MEM/2019 tentang


RUKN berisi tentang penyediaan dan
pemanfaatan tenaga listrik selama periode 20
tahun (2019-2038) dengan proyeksi rata-rata
pertumbuhan kebutuhan energy listrik Nasional REGULASI SEKTOR
yaitu 6,9% per tahun.

Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017


KETENAGALISTRIKAN
Tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable
Development Goals (SDGs) di bidang energi,
pemeriksaan ini diharapkan mampu
memberikan masukan kepada pemerintah
terkait target pemanfaatan energi baru
terbarukan sebesar 23% di 2025.
Pemenuhan penyediaan Energi dan Pemanfaatan
Energi diperlukan pencapaian sasaran kebijakan
energi nasional sebagai berikut:
1. Terwujudnya paradigma baru bahwa sumber
energi merupakan modal pembangunan
nasional;
2. Tercapainya Elastisitas Energi lebih kecil dari 1
(satu) pada tahun 2025 yang diselaraskan
dengan target pertumbuhan ekonomi;
3. Tercapainya penurunan Intensitas Energi final
sebesar 1% (satu) persen per tahun sampai
dengan tahun 2025;
4. Tercapainya Rasio Elektrifikasi sebesar 85%
(delapan puluh lima persen) pada tahun 2015
dan mendekati sebesar 100% (seratus persen)
pada tahun 2020;
5. Tercapainya rasio penggunaan gas rumah
SASARAN KEBIJAKAN tangga pada tahun 2015 sebesar 85% (delapan
puluh lima persen); dan
ENERGI NASIONAL 6. Tercapainya bauran Energi Primer yang optimal.
RASIO ELEKTRIFIKASI DAN
BAURAN ENERGI NASIONAL
Rasio elektrifikasi adalah tingkat perbandingan
jumlah penduduk yang telah mendapat listrik
dengan jumlah total penduduk di suatu wilayah
atau negara. Berdasarkan PP Nomor 79 tahun
2014 pasal 9 Pemerintah telah menetapkan
target rasio elektrifikasi sebesar 85% pada
tahun 2015 dan mendekati 100% pada tahun
2020.

Sampai dengan Semester I 2019, rasio


elektrifikasi Indonesia mencapai 98,81%.
Angka ini meningkat sebesar 14,46%
dibandingkan Tahun 2014 yang baru mencapai
84,35%.
SEBARAN RASIO ELEKTRIFIKASI PER PROVINSI
PERKEMBANGAN RASIO ELEKTRIFIKASI
DARI 2010 S.D. 2019
BAURAN ENERGI
PRIMER
PEMBANGKIT
LISTRIK S.D.
SEMESTER I 2019

Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi
Nasional (KEN) telah menetapkan target bauran EBT paling sedikit sebesar 23% pada
tahun 2025. Angka tersebut meningkat 5% dibandingkan dengan target capaian bauran
energi yang terdapat dalam KEN sesuai Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2006 yang
hanya sebesar 17%. Pemerintah menargetkan bauran EBT akan terus meningkat yaitu
pada tahun 2050 sebesar 31%
POTENSI DAN KAPASITAS TERPASANG PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA EBT DI INDONESIA
No Jenis Energi Potensi Keterangan Kapasitas Terpasang
(MW) Jenis Pembangkit Kapasitas (MW)
1 Air 75.091 PLTA 5.417,92
2 Mini-Mikro Hidro 19.385 PLTM 276,79
PLTMH 104,76
3 Bioenergi 32.654 PLTBg 110,62
PLTBm 1.759,54
PLTBn 5,00
PLTSa 15,65
4 Surya 207.898 4,80 kWh/m2/hari PLTS 78,86
PTL Hybrid 0,08
5 Angin 60.647 > 4 m/s (Surya – Angin)
PLTB 154,31
6 Gelombang Laut 17.989 - -
7 Panas Bumi 25.386,5 Cadangan: 15.127,5 MW PLTP 1.948,30
PROYEK PEMBANGUNAN
PEMBANGKIT

Pemerintah sedang menjalankan 2 (dua) proyek


pembangunan pembangkit yaitu proyek
7.000 MW yang merupakan Carry over dari
pemerintahan sebelumnya dan Selama 5 tahun
sampai 2019, diperlukan proyek pengadaan
listrik dengan target 35000 MW. Proyek
7.000MW terbagi menjadi Fast Track Program
(FTP) 1 (2.7GW); FTP 2 (1.3GW) dan Reguler
(3.9GW).
KEBIJAKAN SUBSIDI LISTRIK
Subsidi listrik diberikan kepada golongan pengguna 450 VA 23
juta dan 900 VA 6,9 juta. Terdapat pelanggan 900 VA non
subsidi sebanyak 21,7 juta. Formula Perhitungan Subsidi
Listrik sesuai PMK 174/2019

S = - (HJTL – BPP (1 + m)) x V


S : Subsidi Listrik (Rp)
HJTL : Harga Jual Tenaga Listrik rata-rata
(Rp/kWh) dari masing-masing
Golongan Tarif
BPP : Biaya Pokok Penyediaan Tenaga
Listrik (Rp/kWh) pada tegangan di
masing-masing Golongan Tarif
(TT/TM/TR)
m : Margin (%) tertentu dari BPP
V : Volume (kWh) penjualan setiap
Golongan Tarif
PERMASALAHAN
TIDAK TERCAPAINYA TARGET
Program Pembangunan Pembangkit 35.000 MW beserta
jaringannya harus dapat diwujudkan dalam 5 tahun sampai
dengan tahun 2019, selain itu, masih terdapat pekerjaan
carry over 7.000 MW dari pemerintah sebelumnya. Pada
kenyataannya kedua proyek pembangunan tersebut, belum
mencapai target yang ditampilkan pada grafik di atas. Dari
serangkaian pemeriksaan BPK terhadap sektor
ketenagalistrikan yang berkaitan langsung dengan level
implementasi di lapangan, permasalahan yang terjadi
adalah sebagai berikut:

1. Perencanaan pembangunan pembangkit listrik dan


Jaringan Listrik masih lemah, terutama terkait dengan
dukungan kajian yang memadai terkait dengan teknis
peralatan dan operasional pembangkit dan Jaringan
Listrik

2. Penyelesaian Masalah Pembebasan Lahan yang


Berlarut - Larut Menghambat Pembangunan Transmisi
Listrik
3. Pasokan Energi Primer yang masih sangat tergantung pada
batu bara. Sumber energy primer adalah energy yang
langsung dapat diperoleh di alam, tanpa perlu melalui
proses pengolahan seperti minya, batubara, gas, angina tau
surya. Hingga semester I/2019, 60,5% pembangkit listrik di
Indonesia mennggunakan batu bara sebagai sumber
energinya. Untuk daerah tertentu yang jauh dari sumber
penambangan batu bara, menjadi permasalahan tersendiri.

4. Kebijakan Pengadaan, apakah penunjukan langsung atau


lelang terbuka, menjadi penetu keberhasilan penyelesaian
pembangunan pembangkit, Gardu Induk maupun Jaringan
Transmisi agar Proses Pengadaan Belum Mampu
Menghasilkan Penyedia Barang/Jasa yang Kredibel

5. Kinerja Kontraktor dan Kualitas Pembangkit

6. Pendanaan, apakah melalui APBN atau sumber lain. PMN


dalam bentuk infrastruktur yang belum siap secara
operasional

7. Efisiensi operasi PT PLN (Persero)


PERMASALAHAN KONTRIBUSI
ENERGI BARU TERBARUKAN
Permasalahan yang ditemukan pada upaya pemerintah untuk mencapai energi
baru dan terbarukan adalah sebai berikut:

1. Penetapan target kontribusi EBT dalam Bauran Energi Nasional terlalu tinggi dan
tidak dilakukan penyesuaian setiap tahunnya

2. Pembangkit EBT yang telah dibangun oleh Kementerian ESDM belum selesai
proses hibah namun sebagian telah rusak sehingga mengurangi capaian target
kontribusi EBT dalam Bauran Energi Nasional

3. Perencanaan untuk Meningkatkan Kontribusi EBT dalam Rasio Elektrifikasi pada


Sistem Off-Grid (Sistem yang tidak terintegrasi dengan jaringan PLN) kurang
memadai

4. Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan EBT oleh PT PLN Belum Optimal Antara


lain, terdapat kebijakan yang belum mendukung pengembangan EBT oleh PT PLN
salah satunya kebijakan Biaya Pokok Produksi yang menyebabkan harga listrik
EBT menjadi tidak ekonomis. Serta, koordinasi PT PLN dan Ditjen EBTKE belum
memadai dalam pengembangan EBT
PERMASALAHAN TERKAIT SUBSIDI
Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan bahwa pengelolaan subsidi/ KPP telah
dilaksanakan sesuai kriteria dengan pengecualian pada beberapa objek
pemeriksaan. Simpulan tersebut didasarkan permasalahan pengendalian
intern, ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan
perundangundangan,maupun aspek 3E. Permasalahan tersebut di antaranya
sebagai berikut:

1. Pembayaran skema take or pay (ToP) menggunakan proyeksi factor


kesediaan dan klausul pembayaran dengan nilai kurs jual US$ pada jual beli
Iistrik Independent Power Producer (IPP) dan pembangkit sewa
menghilangkan kesempatan PT PLN menghemat masing-masing sebesar
Rp676,98 miliar (ekuivalen dengan 2.118.256.289,62 kWh) dan Rp431,27
miliar (ekuivalen dengan 1.383.317.866,00 kWh) selama2018.

2. Terdapat pemborosan pada PT PLN sebesar Rp275,19 miliar

3. PT Indonesia Power/PT IP (anak perusahaan PT PLN) menanggung dampak


ToP sebesar Rp36,97 miliar atas jasa sewa compressed natural gas (CNG)
pada Pembangkit Listrik Tambak Lorok
PERMASALAHAN PENCATATAN PADA POS-POS LRA/ NERACA
1. Dasar hukum, metode perhitungan, dan mekanisme penyelesaian kompensasi atas dampak
kebijakan penetapan tarif tenaga listrik nonsubsidi belum ditetapkan.
2. Perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban atas kebijakan pemerintah yang
menimbulkan dampak terhadap pos-pos LRA dan/ atau Neraca, serta kelebihan dan/atau
kekurangan pendapatan bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) belum diatur dan
dipertanggungjawabkan.
3. Terkait dengan permasalahan tarif tenaga listrik nonsubsidi, sesuai dengan Pernyataan Standar
Akuntansi Pemerintahan (PSAP) 09 paragraf 29, dalam hal telah dianggarkan dalam APBN, maka
pemerintah akan menyajikan kewajiban lainnya atas kebijakan tariff adjustment di Neraca LKPP.
4. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Teluk Balikpapan 2x110MW terlambat dan
terdapat peralatan yang rusak yang berpotensi menimbulkan biaya tambahan atas perbaikan dan
improvement minimal sebesar Rp54,71 miliar.
5. PT PLN mengeluarkan biaya yang lebih tinggi sebesar Rp603,20 miliar dalam pengadaan gas
untuk pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Diesel Gas (PLTDG) Pesanggaran.
6. Proyek Temporary Power Plant mundur dari jadwal yang direncanakan dan tidak sesuai dengan
kebutuhan daya.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai