Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ainun Regita Cahyani Asnar

NIM : H041171304
MK : Biologi Laut B

Lautan merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan mempunyai nilai
ekologis dan ekonomis yang tinggi. Kawasan laut memilki sejumlah fungsi ekologis berupa
penghasil sumberdaya, penyedia jasa kenyamanan, penyedia kebutuhan pokok hidup dan
penerima limbah (Bengen, 2002). Cara pembagian wilayah lingkungan laut yang telah
banyak dipakai oleh para ilmuwan dan pakar kelautan di seluruh dunia pada umumnya di
landaskan pada berbagai dasar seperti di bagi berdasarkan letaknya yakni ada laut tepi, laut
tengah dan laut dalam. Pembagian wilayah lautan atau yang lebih dikenal dengan zonasi,
menggunakan pembagian zona berdasarkan faktor-faktor fisik dan penyebaran komunitas
biotanya yakni daerah pelagik yang meliputi kolom air dan daerah bentik yang meliputi dasar
laut di mana biota laut hidup.
Berdasarkan faktor-faktor fisik dan penyebaran komunitas biotanya yakni daerah pelagik
yang meliputi kolom air dan daerah bentik yang meliputi dasar laut di mana biota laut hidup.

A. Lingkungan Pelagik
Lingkungan pelagik merupakan lingkungan yang meliputi seluruh kolom air mulai dari
permukaan dasar laut sampai permukaan laut. Lingkungan pelagik mempunyai batas wilayah
yang meluas mulai dari garis pantai sampai wilayah laut terdalam (Romimohtarto, 2007).
Dalam pembagian zona pelagik menjadi berbagai sub-zona digunakan berbagai dasar
misalnya tingkat kedalaman dan sudut pandang. Pembagian zona pelagik dapat dipandang
dari dimensi horizontal dan vertikal. Secara horizontal dapat dibagi menjadi dua yaitu zona
neritik yang meliputi daerah paparan benua dan lautan zona oseanik. Kedua zona ini tidak
ada batasan yang jelas karena adanya perbedaan secara geografik. Namun demikian, batasan
anatara kedua zona itu adalah 150-200 m (Ardi, 2011).
1. Zona Neritik
Zona neritik merupakan daerah laut dangkal yang masih dapat ditembus cahaya sampai
ke dasar, kedalaman daerah ini dapat mencapai 200 m. Biota yang hidup di daerah ini adalah
plankton, nekton (ikan) dan bentos dapat hidup dengan baik. Organisme yang ada dari Alga,
Porifera, Coelenterata, berbagai jenis ikan dan udang. Kelimpahan organisme pada daerah ini
tinggi karena kandungan zat hara cukup tinggi, zat-zat terlarut juga masih cukup bervariasi
yang dikarenakan adanya tumpahan berbagai zat terlarut dari daratan.
2. Zona Oseanik
Zona oseanik merupakan wilayah ekosistem laut lepas yang kedalamannya mulai dari
yang tertembus cahaya sampai tidak dapat ditembus cahaya matahari sampai ke dasar,
sehingga bagian dasarnya paling gelap. Akibatnya bagian air dipermukaan tidak dapat
bercampur dengan air dibawahnya, karena ada perbedaan suhu. Batas dari kedua lapisan air
itu disebut daerah termoklin, Daerah ini banyak ikannya (Ernawati, 2011). Menurut
Romimohtarto (2007), daerah oseanik ini dibagi menjadi 4 bagian yaitu epipelagik,
mesopelagik, batipelagik, dan abisopelagik. Effendy (2009) menyatakan bahwa pada zona
oseanik kecuali epipelagis memiliki parameter fisik dan kimia serta biologis sebagai berikut:
a. Cahaya : Umumnya redup – gelap gulita, sehingga tidak ada proses fotosintesis
b. Tekanan hidrostatis: Meningkat secara konstan sebanya 1 ATM (1 kg/cm2), setiap
pertambahan kedalaman 10 meter. Sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan hidrostatisk
yang bekerja di laut dalam sangat ekstrim
c. Suhu: Umumnya seragam, dengan kisaran 1 – 3oC (kecuali wilayah hydrothermal vents
(>80oC) dan cold hydrocarbon seeps (<1 oC)
d. Salinitas: Umumnya seragam (35 permil), Pada daerah cold hydrocarbon seeps (hipersain
= 40 permil)
e. Sirkulasi air:Sangat lamban (< 5 cm/detik), tergantung pada bentuk dan topografi dasar
laut. Sikulasi air dan ventilasi dalam palung sangat menentukan kadar oksigen di laut
dalam
f. Kadar Oksigen: Cukup untuk menghidupi seluruh organisme di laut dalam (DO= 4% s/d
6%; di perairan eufotik, DO= 3.5% s/d 7%), Sumber oksigen utama: air permukaan
laut di Antartika dan Arktik yang kaya Oksigen, Air bersifat anoksik: Teluk Kau
(Halmahera), Palung Carioca (Venezuela), Palung Santa Barbara (USA)
g. Tipe substrat: Terdiri atas substrat yang halus, Substrat berbatu di daerah mid-ocean
ridge
h. Suplai makanan: Langka. Bergantung pada pakan yang diproduksi di tempat lain dan
terangkut oleh proses hidrodinamis ke wilayah laut dalam
i. Jenis pakan : Hujan plankton atau partikel organik lain, Jatuhan bangkai hewan besar
atau tumbuhan, Bakteri berlemak yang mudah dicerna (rata-rata populasi bakteri
2mgC/m2), Bahan organik terlarut.

a. Epipelagik
Zona epipelagik atau oseanik atas meluas dari permukaan sampai kedalaman 200 m.
Epipelagik ini masih di tembus oleh cahaya matahari sehingga proses fotosintesis oleh
organisme autotrof masih mungkin terjadi. Area ini juga meluas ke perairan neritik sehingga
ia bisa juga dikatakan bagian dari perairan neritik.
Epipelagik dibagi menjadi tiga bagian yaitu zona dekat permukaan dimana penyinaran
siang hari diatas optimal atau bahkan letal bagi fitoplankton. Penyinaran ini juga masih
terlalu tinggi bagi zooplankton. Di bawah zona tersebut dinamakan zona bawah-permukaan
yang merupakan tempat terjadinya pertumbuhan yang aktif sampai perairan yang agak dalam,
di mana fitoplankton yang tidak berbiak aktif masih terdapat berlimpah. Zona ketiga atau
area paling bawah merupakan tempat zooplankton yang biasa bermigrasi ke permukaan pada
malam hari dan kembali pada siang hari. Jadi pada zona epipelagik ini organisme
penghuninya cukup banyak hampir sama halnya pada daerah neritik (Romimohtarto, 2007)
b. Mesopelagik
Mesopelagik merupakan perairan yang berada di bawah epipelagik yang meluas dari 200-
1000 m. Lapisan ini bertepatan dengan lapisan terjadinya perubahan suhu dan tempat
terjadinya termoklin. Karena area ini penyinaran sudah hampir bahkan tidak ada, maka tidak
ada kegiatan produksi primer oleh produsen. Area ini kebanyakan dihuni oleh konsumen
primer yang memanfaatkan bangkai-bangkai organisme dari lapisan di atasnya. Pada area ini
tekanan lebih kecil dan persediaan makanan lebih banyak daripada lapisan yang ada di
bawahnya (Romimohtarto, 2007).
Ciri dari biota yang hidup di zona ini yakni warna hewan umunya abu-abu keperakan atau
hitam (ikan), ungu kelam (ubur-ubur) dan merah (crustacea), mata besar dan penglihatan
senja (tingginya pigmen rodopsin dan kepadatan sel batang pada retina akan memberi
kemampuan maksimum dalam melihat dan mendeteksi cahaya) dan bioluminusens yaitu
kemampuan memproduksi cahaya pada makhluk hidup, biasanya dilengkapi oleh organ
penghasil cahaya (fotofor) serta memiliki mulut besar, morfologi mulut, rahang, gigi yang
mendukung efektifitas penangkapan mangsa (Efenndy, 2009).
c. Batipelagik
Batipelagik meluas dari kedalaman 1000-4000 m. Kondisi fisiknya seragam dan tidak ada
aktifitas produsen sehingga hanya ada konsumen skunder sperti ikan. Suhu pada area ini
sudah lebih rendah jika di bandingkan dengan lapisan diatasnya. Tumbuh-tumbuhan masih
ada sedikit atau juga tidak ada sama sekali (Romimohtarto, 2007).
d. Abisopelagik
Abisopelagik merupakan area terdalam jika dibanding ketiga area lainnya. Biota laut yang
hidup di area ini cenderung bertahan terhadap kegelapan, suhu semakin rendah dan
tekananpun semakin tinggi. Organisme yang hidup di area ini tentu telah beradaptasi bahkan
berevolusi seperti halnya ikan yang memiliki antena penghasil cahaya yang berasal dari
senyawa kimia yang dihasilkan oleh sel-sel penyusun antenanya yang biasa di kenal sebagai
biopendar cahaya (biolumiscence). Selain itu ikan memiliki gelembung renang yang lebih
besar sehingga bisa melawan beratnya tekanan air. Gelembung renang akan terperas oleh
tekanan sehingga sedikit ruang untuk gas, akibatnya ikan sedikit lebih ringan daripada berat
air disekitarnya. Suhu yang rendah pada area ini juga mebuat reaksi metabolisme menjadi
lebih lambat. Pada area ini tidak ada lagi proses fotosintesis dan tumbuh-tumbuhan yang
hidup sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Perubahan suhu, salinitas dan kondisi serupa
jarang terjadi bahkan kalupun ada sangat kecil.
Kandungan CO2 terlarut pada area ini sangat tinggi sehinnga kapur mudah terlarut dalam
air. Hal ini ditunjukkan oleh pembentukan cangkang yang lembek dari organisme yang hidup
di area ini apa lagi kondisi air cenderung lebih tenang. Hal yang paling menjadi karakteristik
dari area ini adalah kurangnya ketersediaan makanan. Makanan hanya berasal dari bangkai
yang tenggelam sampai ke dasar. Sehingga tingkat kompetisi semakin tinggi dan makanan ini
bisa jadi faktor pembatas yang sangat kritikal di zona ini. Begitu juga dengan kandungan
oksigen terlarut sangat rendah sehingga bisa juga menjadi faktor pembatas bagi organisme
yang ada pada zona ini (Romimohtarto, 2007)
Pembagian wilayah laut secara vertikal dilakukan berdasarkan intensitas cahaya matahari
yang memasuki kolom perairan, yaitu zona fotik dan zona afotik. Zona fotik adalah bagian
kolom perairan laut yang masih mendapatkan cahaya matahari. Pada zona inilah proses
fotosintesa serta berbagai macam proses fisik, kimia dan biologi berlangsung yang antara lain
dapat mempengaruhi distribusi unsur hara dalam perairan laut, penyerapan gas-gas dari
atmosfer dan pertukaran gas yang dapat menyediakan oksigen bagi organisme nabati laut.
Zona ini disebut juga sebagai zona epipelagis. Pada umumnya batas zona fotik adalah hingga
kedalaman perairan 50-150 meter. Sementara itu, zona afotik adalah secara terus menerus
dalam keadaan gelap tidak mendapatkan cahaya matahari. Secara vertikal, zona afotik pada
kawasan pelagis juga dapat dibagi lagi kedalam beberapa zona, yaitu zona mesopelagis, zona
batipelagis dan zona abisopelagis (Dahuri et al, 2001).

B. Lingkungan Bentik
Zona bentik meliputi semua lingkungan dasar laut di mana biota laut hidup melata,
memendamkan diri atau meliang, mulai dari pantai sampai ke dasar laut terdalam.
Romimohtarto (2007), membagi zona bentik menjadi zona litoral, dan abisal sedangkan Aliv
(2011), menambahkan zona batia antara litoral dan abisal.
1. Zona Lithoral/Intertidal
Daerah intertidal merupakan suatu daerah yang selalu terkena hempasan gelombang
tiap saat. Daerah ini juga sangat terpengaruh dengan dinamika fisik lautan yakni pasang
surut. Menurut Nybakken (1992) zona intertidal merupakan daerah yang paling sempit
diantara zona laut yang lainnya. Zona intertidal dimulai dari pasang tertinggi sampai pada
surut terendah. Zona ini hanya terdapat pada daerah pulau atau daratan yang luas dengan
pantai yang landai. Semakin landai pantainya maka zona intertidalnya semakin luas,
sebaliknya semakin terjal pantainya maka zona intertidalnya akan semakin sempit.
Pada tiap zona intertidal terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara satu daerah
dengan daerah yang lain. Jenis substrat daerah intertidal ada yang berpasir, berlumpur,
berbatu, dan adapula yang berupa timbunan. Daerah berlumpur terjadi karena adanya aliran
air yang mengandung lumpur dari darat. Area ini biasanya terjadi di daerah teluk yang tenang
atau estuari. Lingkungan seperti ini dapat menimbulkan masalah bagi organisme yang ada
pada lingkungan tersebut, karena lumpur bisa masuk ke saluran pernafasan sehinnga dapat
menyumbat saluran pernafasannya. Kandungan oksigen terlarut relatif rendah karena
padatnya partikel lumpur sehingga pertukaran oksigen dan karbondioksida terhambat.
Organisme yang hidup di lingkungan ini kebanyakan berupa bakteri (Romimohtarto, 2007).
Pembagian zonasi pada daerah pantai berlumpur masih sangat kurang yang telah
dikaji. Secara umum dapat dibagi menjadi:
1) Bagian atas atau supralitoral dihuni oleh berbagai jenis kepiting yang menggali
substrat. Zona ini juga dipengaruhi oleh pasang tertinggi dan paling sering mengalami
kekeringan.
2) Bagian bawah atau litoral. Bagian ini merupakan bagian yang terluas diantara bagian
ekosistem pantai berlumpur. Pada zona ini dihuni oleh tiram dan policaeta.
Lingkungan berpasir pada zona lithoral mempunyai ukuran partikel yang lebih besar
di banding partikel lumpur sehingga memungkinkan air mengalir di antara partikel-partikel
pasir, akibatnya pertukaran oksigen sampai pada dasar pasir. Pada saat siang hari air surut
membuat area ini menjadi kering. Gelombang juga mempengaruhi area ini oleh sebab itu
organisme yang hidup di area ini cenderung dilengkapi dengan cangkang yang kuat, mampu
bergerak bersama butiran pasir atau memendam dalam di bawah permukaan untuk
menghindari penggerusan yang disebabkan oleh gelombang (Romimohtarto, 2007).
Zonasi litoral berbatu pada beberapa belahan dunia yang berbeda pada berbagai
belahan dunia terdapat perbedaan pola zonasi litoral berbatu yang terjadi antara satu tempat
dengan tempat yang lain. Perbedaan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya
kemiringan permukaan batu yang menyusunnya (Nybakken, 1992).

Faktor Penyebab Distribusi Zonasi Pada Daerah Intertidal


Ada berbagai faktor yang menyebabkan adanya berbagai macam distribusi pada daerah
intertidal. Pada dasarnya faktor tersebut dibagi menjadi dua bagian besar yang saling terkait
yaitu:
1. Faktor fisika dan kimia
Faktor ini merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada ekosistem intertidal.
Akibat adanya pasang surut maka menyebabkan faktor pembatas pada daerah ini menjadi
lebih ekstrim. Faktor pembatas tersebut yaitu kekeringan, suhu, dan sinar matahari ketiga
faktor tersbeut saling terkait. Jika laut surut maka daerah intertidal terekspose oleh sinar
matahari, akibatnya suhu meningkat. Suhu yang meningkat menyebabkan penguapan dan
dampaknya daerah menjadi kering. Oksigen masih cukup namun salinitas cukup tinggi.
2. Faktor biologis.
Faktor ini sangat tergantung dari faktor fisik perairan. Organisme berusaha untuk
menyesuaikan diri pada keadaan yang sangat ekstrim tersebut. Ada berbagai macam cara
organisme menyesuaikan diri salah satunya dengan mengubur diri atau memodifikasi bentuk
cangkang agar dapat hidup pada derah yang kering.
Daerah pasang surut adalah sistem model penting untuk studi ekologi, khususnya di
pantai berbatu gelombang-menyapu. Wilayah ini berisi keanekaragaman spesies yang tinggi,
dan zonasi diciptakan oleh pasang surut menyebabkan spesies berkisar untuk dimampatkan
menjadi band yang sangat sempit. Hal ini membuat relatif sederhana untuk mempelajari
spesies di seluruh rentang lintas-pantai mereka, sesuatu yang bisa sangat sulit, misalnya,
habitat darat yang dapat meregang ribuan kilometer. Karena zona ini bergantian tertutup oleh
laut dan terkena udara, organisme hidup di lingkungan ini harus memiliki adaptions baik
untuk kondisi basah dan kering. Bahaya termasuk menjadi hancur atau terbawa oleh
gelombang kasar, paparan suhu sangat tinggi, dan pengeringan. Khas penduduk pantai
berbatu pasang surut termasuk bulu babi, anemon laut, teritip, chitons, kepiting, isopoda,
kerang, bintang laut, dan moluska banyak gastropoda laut seperti limpets, whelks, dan bahkan
gurita.

2. Zona Bathyal
Zona batial adalah wilayah laut yang merupakan lereng benua yang tenggelam di
dasar samudera. Kedalaman zona ini berkisar di atas 200 meter – 2000 meter. Dengan
kedalaman dan struktur yang berupa lereng atau curam maka organisme yang hidup pada area
ini kebanyakan bersifat konsumen. Pertukaran oksigen cukup kurang sehingga bisa menjadi
salah satu faktor pembatas bagi organisme yang hidup pada lingkungan ini. Bebatuan masih
relatif ada sehinnga organisme yang hidupnya melekat masih bisa ditemukan (Aliv, 2011).
Menurut Dias (2011), keadaan bentik zona bathyal umumnya merupakan lereng-
lereng curam yang merupakan dinding laut dalam dan sebagai bagian pinggiran kontinen.
Zona bathyal juga diistilahkan sebagai Continental Slope. Pada Continental slope sering
ditemui canyon/ ngarai / submarine canyon, yang umumnya merupakan kelanjutan dari
muara sungai – sungai besar di pesisir.
Tipe sedimen utama sedimen pada zona bathyal merupakan lempung biru, lempung
gelap dengan butiran halus dan memiliki kandungan karbonat kurang dari 30%. Sedimen-
sedimennya memiliki jenis sedimen terrestrial, pelagis, atau autigenik (terbentuk ditempat).
Sedimen Terrestrial (terbentuk dari daratan) lebih banyak merupakan lempung dan lanau,
berwarna biru disebabkan karena akumulasi sisa-sisa bahan organik dan senyawa ferro besi
sulfida yang diproduksi oleh bakteri, Sedimen terrestrial juga merupakan tipe sedimen yang
paling mendominasi. Sedimen terrigenous terbawa hingga ke zona bathyal melalui arus
sporadik turbiditi yang berasal dari wilayah yang lebih dangkal. Saat material terrigenous
langka, cangkang mikroskopis dari fitoplankton dan zooplankton akan terakumulasi di dasar
membentuk sedimen authigenik.
Biota yang hidup pada bagian bentik zona bathyal antara lain spon, brachiopod,
bintang laut, echinoid, dan populasi pemakan sedimen lainnya yang terdapat pada bagian
sedimen terrigenous. Biasanya biota yang hidup di zona ini memiliki metabolisme yang
lamban karena kebutuhan konservasi energi pada lingkungan yang minim nutrisi. Kecuali
pada laut yang sangat dalam, zona bathyal memanjang hingga ke zona bentik pada dasar laut
yang merupakan bagian dari continental slope yang berada di kedalaman 1000 hingga 4000
meter.

3. Zona Abisal
Zona abisal memiliki kemiripan dengan lingkungan lumpur yang ada pada zona
litoral. Bebatuan yang digunakan sebagai substrat oleh organisme sangat jarang diitemukan.
Hewan bercangkang yang hidup di zona ini cangkangnya cenderung tipis dan jik mati
cangkang akan mudah sekali terlarut atau tereduksi. Endapan plankton tidak ada karena
sebelum sampai di dasar sudah dii makan terlebih dahulu oleh organisme yang ada pada
lingkungan yang ada di atasnya (Romimohtarto, 2007).
Endapan yang ada berupa mineral bola-bola mangan dan tulang-tulang telinga ikan
paus dan gigi ikan hiu yang susah terlarut. Kondisinya sangat berlumpur sehingga oksigen
terlarut sangat sedikit sehingga hewan-hewan pada daerah ini terpaksa menggunakan
glikogen atau pigmen-pigmen pernapasan sebagai sumber oksigen sementara. Namun
demikian, kondisi dasar laut abisal tidak semuanya memiliki kondisi yang sama. Dasar
lingkungan ini pada perairan dalam berupa endapan kapur yang berasal dari kerangka
Foraminifera, endapan silika, terutama dari kerangka diatom, dan lempung merah di dasar
yang lebih dalam dengan tekana air yang cukup tinggi sehingga membuat zat-zat lain mudah
terlarut (Romimohtarto, 2007).

Anda mungkin juga menyukai