Anda di halaman 1dari 5

TUGAS MEREVISI JURNAL

BIOLOGI DAN KESEHATAN REPRODUKSI

PENYAKIT MENULAR SEKSUAL

FITRIANI
H041 17 1526

DEPARTEMENBIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKADAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
1. HIV-AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune
Deficiency Syndrome)
Menurut Zeth et al (2010), yang dimaksud dengan Acquired
Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)
adalah sekumpulan gejala dan infeksi atau sindrom yang timbul karena rusaknya
sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV atau infeksi virus-virus
lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya. Virusnya disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada
tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi
oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada
dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-
benar bisa disembuhkan.
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan virus-virus sejenisnya
umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam
(membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung
HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu.
Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral),
transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama
kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-
cairan tubuh tersebut.

2. Gonore
merupakan infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh Neisseria
gonorrhoeae (N. gonorrhoeae), bakteri Gram negatif berbentuk coccus, aerob.
Faktor risiko kejadian gonore, yaitu pasangan lebih dari satu, usia muda, status
belum menikah, penjaja seks komersial (PSK), penyalahgunaan narkotika,
psikotropika dan zat aditif (NAPZA), tingkat sosioekonomi serta pendidikan
rendah, tidak konsisten penggunaan kondom, dan infeksi IMS sebelumnya.
Menurut World Health Organization (WHO) terdapat kasus baru gonore
pada kelompok usia 15–49 tahun, yaitu sebanyak 78 juta kasus, 9 sedangkan di
Asia Tenggara angka prevalensi gonore sebanyak 9,3 juta orang. Menurut
Integrated Biological and Behavioral Survey (IBBS) tahun 2013, prevalensi di
kalangan lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL) sebanyak 21,2%,
transgender sebanyak 19,6%, dan WPS sebanyak 17,7–32,2%. Kota Bandung
merupakan kota besar dengan penduduk heterogen dan merupakan kota wisata
sehingga menjadi tujuan para wisatawan domestik bahkan mancanegara. Hal ini
berdampak pada pola perilaku warga kota, salah satu dampak adalah angka
kejadian IMS yang tinggi di Kota Bandung, yaitu sebanyak 1.419 kasus pada
tahun 2012.
Penderita gonore sering mengalami koinfeksi, antara lain IMS ulseratif
seperti pada sifilis, herpes progenitalis, ulkus mole, dan granuloma inguinal, IMS
nonulseratif seperti C. trachomatis, HIV, warts, dan Candida albicans.
Komplikasi yang dapat terjadi seperti epididimitis, orkitis, prostatitis, cowperitis,
bahkan infertilitas.
Salah satu dari karakteristik yang memengaruhi seseorang terkena IMS
antara lain pengetahuan.16 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mmbaga
dkk.17 yang dipublikasikan pada tahun 2008 dinyatakan bahwa pengetahuan
tentang komplikasi IMS berperan penting dalam mendorong perilaku seksual
yang lebih aman.

3. Hepatitis B
Hepatitis adalah peradangan atau infeksi pada sel-sel hati. Penyebab
hepatitis yang paling sering virus, yang dapat menyebabkan pembengkakan dan
pelunakan hati. Penyakit Hepatitis B disebabkan oleh virus Hepatitis B yang
bersifat akut atau kronik dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya
dibanding dengan penyakit hati yang lain karena penyakit Hepatitis B ini tidak
menunjukkan gejala yang jelas, hanya sedikit warna kuning pada mata dan kulit
disertai lesu. Penderita sering tidak sadar bahwa sudah terinfeksi virus Hepatitis B
dan tanpa sadar pula menularkan kepada orang lain.
Penyebaran penyakit Hepatitis B sangat mengerikan. World Health
Organization (WHO) tahun 2002 memperkirakan bahwa satu biliun individu yang
hidup telah terinfeksi Hepatitis B, sehingga lebih dari 200 juta orang di seluruh
dunia terinfeksi, dan 1-2 juta kematian setiap tahun dikaitkan dengan VHB. Pada
Tahun 2008 jumlah orang terinfeksi VHB sebanyak 2 miliar, dan 350 juta
orangberlanjut menjadi pasien dengan infeksi Hepatitis B kronik.
Infeksi Virus Hepatitis B (HBV) pada neonatus sebagian akan berakibat
penderitanya menjadi karierdengan HBsAg (+), sedang infeksi yang terjadi pada
usia balita dapat menimbulkan karier HBsAg pada 20-30% kasus. Karier HBV
akan berkembang menjadi hepatitis kronis, sirosis dan karsinoma sel hati. Angka
prevalensi karier HBsAg di dunia bervariasi mulai kurang dari 0,5% di Eropa
Barat dan Amerika Utara hingga 10-15% di Afrika dan beberapa negara Asia. Di
Indonesia, prevalensi infeksi HBV pada donor darah sekitar 2,4-9,1%, tetapi di
beberapa daerah seperti Nusa Tenggara, prevalensinya mencapai 17%. Prevalensi
infeksi HCV diantara pendonor darah berkisar antara 0,1-0,3% di Eropa Barat dan
Amerika Utara dan 1,2% di Jepang dan Eropa Selatan. Di Indonesia prevalensi
HCV pada pendonor bervariasi antara 0,5-3,4%.

4. Herpes Genital
Herpes genitalis merupakan penyakit menular seksual dengan prevalensi
yang tinggi di berbagai negara dan penyebab terbanyak penyakit ulkus genitalis.
Infeksi herpes genitalis adalah infeksi genitalia yang disebabkan oleh Virus
herpes simpleks (VHS) terutama VHS tipe 2. Dapat juga disebabkan oleh VHS
tipe 1 pada 10–40% kasus. Sebagian besar terjadi setelah kontak seksual secara
orogenital. VHS merupakan sekelompok virus yang termasuk dalam famili
Herpesviridae, mempunyai kemampuan untuk berada dalam keadaan laten dalam
sel hospes setelah infeksi primer. Virus tersebut tetap mempunyai kemampuan
untuk mengadakan reaktivasi kembali sehingga dapat terjadi infeksi yang
berulang. Ada dua macam tipe VHS yang dapat menyebabkan herpes genitalis,
yaitu VHS tipe 1 dan VHS tipe 2. VHS tipe 1 lebih sering berhubungan dengan
kelainan oral, dan VHS tipe 2 berhubungan dengan kelainan genitalia. Kedua tipe
VHS berada atau berdiam diri dalam ganglion saraf sensoris setelah terjadi
infeksi primer. Virus ini tidak memproduksi protein virus selama masa laten.
Masa inkubasi infeksi VHS umumnya berkisar antara 3–7 hari tetapi dapat juga
lebih lama. Bentuk lesi genitalia dapat berupa vesikel, pustule, dan ulkus
eritematosus, sembuh dalam waktu 2–3 minggu. Pada laki-laki umumnya
terdapat pada gland penis atau preputium, sedangkan pada wanita bisa terdapat
pada vulva, perineum, bokong, vagina maupun serviks. Gejala khas berupa
vesikel yang berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat rekuren. Manifestasi
klinis herpes genitalis dapat dibedakan antara episode pertama (episode primer)
dan episode kekambuhan (episode rekuren). Angka kekambuhan bervariasi antara
satu individu dengan individu yang lain, infeksi oleh karena VHS tipe 2 sekitar
16 kali lebih sering dibanding infeksi genital oleh karena VHS tipe 1 dan terjadi
sekitar 3 sampai 4 kali pertahun.
Gejala klinis lokal herpes genitalis berupa nyeri, gatal, disuria, discharge
vagina dan uretra serta nyeri kelenjar inguinal. Gejala sistemik umumnya berupa
demam, nyeri kepala, malaise, dan myalgia. Diagnosis klinis infeksi herpes
genitalis bila ditemukan kelompok vesikel multipel berukuran sama, timbulnya
lama dan sifatnya sama dan nyeri. Infeksi herpes genitalis juga dibedakan dengan
penyebab lain ulkus genital seperti ulkus yang disebabkan Treponema pallidum,
walaupun dapat terjadi koinfeksi antara keduanya. Pemeriksaan laboratorium
untuk membantu diagnosis herpes genitalis antara lain Tzank smear, isolasi virus,
deteksi DNA VHS dengan PCR, deteksi antigen VHS secara enzyme
immunoassay (EIA) dan peningkatan titer antibodi anti-VHS pada serum, yang
bermanfaat pada episode pertama infeksi. Pengobatan herpes genitalis secara
umum dibagi 3 bagian yaitu: pengobatan profilaksis; (2) pengobatan non spesifik;
(3) pengobatan spesifik. Prognosis herpes genitalis akan lebih baik bila dilakukan
pengobatan secara dini sehingga penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurensi
lebih jarang.

5. Sifilis
Sifilis merupakan penyakit IMS yang disebabkan oleh Treponema
pallidum (T. pallidum) yang bersifat kronis dan dapat menyerang seluruh organ
tubuh. Sifilis dibagi menjadi sifilis dini dan sifilis lanjut. Sifilis dini menurut
stadiumnya dibagi menjadi sifilis primer, sekunder dan laten dini.2-4,7 Sifilis dini
merupakan stadium yang lebih menular dibandingkan dengan sifilis lanjut.
Faktor desakan ekonomi menjadi salah satu penyebab terjerumusnya para
wanita ke dunia prostitusi. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Yayasan
Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) tahun 2003-2004, pekerjaan sebagai WPS
karena iming-iming uang kerap menjadi pemikat dan pada akhirnya justru
menjerumuskan mereka ke dunia prostitusi. Salah satu faktor risiko penularan
penyakit IMS pada WPS adalah jumlah pasangan seksual (pelanggan) yang
dilayani seorang WPS. Semakin banyak pasangan seksual yang dila-yani oleh
WPS, maka semakin tinggi risiko seorang WPS men-dapat penularan penyakit
IMS dari pasangan seksualnya.
DAFTAR PUSTAKA

Aini, R., dan Jarwati, S., 2013. Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Kejadian
Hepatitis B pada Pondok Pesantren Putri Ibnul Qoyyim Yogyakarta. Jurnal
Sains Medika. 5(1): 30-33.

Chrisna, R., Kristina, N., dan Richard, H., 2013. Proporsi Sifilis Dini dan
Karakteristik Wanita Risiko Tinggi di Kabupaten Karo. The Journal of
Medical School, University of Sumatera Utara. 40(3): 133-136.

Fitriany, N. N., Raden, G. I., Titik, R., Deis, H., dan Tony, S. D., 2009.
Pengetahuan tentang Dampak Infeksi Gonore pada Pasien Pria dengan
Gonore. Jurnal Integrasi Kesehatan & Sains (JIKS). 1(1): 1-5.

Jatmiko, A. C., Firdausi, N., Dian, K. D., dan Dwi, M., 2009. Penderita Herpes
Genitalis di Divisi Infeksi Menular Seksual Unit Rawat Jalan Kesehatan
Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Periode 2005–2007.
Jurnal Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin. 21(2): 102-107.

Zeth, A. H. M., Ahmad, H. A., Ali G. M., dan Jozh M., 2010. Perilaku dan Risiko
Penyakit HIV-AIDS di Masyarakat Papua Studi Pengembangan Model
Lokal Kebijakan HIV-AIDS. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan.
13(4): 206-219.

Anda mungkin juga menyukai