Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

Gender dan Kesenjangan Sosial di Indonesia

Makalah ini disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester (UTS) mata kuliah
Sistem Sosial Indonesia (SSI)

DOSEN PENGAMPU :
Muhammad Ismail, M.Si

Disusun oleh :
Nirmala Fitriyana
11181110000025 / Sosiologi 3A

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

2019
A. Latar Belakang

Gender merupakan sesuatu hal yang berbeda dengan jenis kelamin.


Menurut Cixous dalam Tong (2004:41), gender diartikan sebagai “perbedaan
yang tampak antara laki-laki dan perempuan yang dilihat dari segi nilai dan
tingkah laku”. Gender merupakan hal yang melekat pada diri seseorang sesuai
dengan jenis kelaminnya untuk mendapatkan peran, sifat, kedudukan, dan posisi
dalam masyarakat. Berbeda dengan jenis kelamin, gender bukan didapat secara
biologis melainkan gender adalah hasil dari konstruksi sosial dan budaya. Gender
menciptakan peran laki-laki dan perempuan menjadi berbeda di dalam
masyarakat. Hal-hal seperti peran dan sifat antara laki-laki dan perempuan ini
dibentuk melalui proses sosial dan budaya yang diperkenalkan mulai dari lahir.

Contohnya, ketika anak laki-laki yang lahir maka ia akan diberi pakaian
berwarna biru sedangkan anak perempuan akan diberi pakaian berwarna merah
muda. Bahkan hingga apa yang harus dimainkan oleh anak semasa balita
ditentukan oleh pola budaya, seperti laki-laki yang diberi mainan bola, robot, dan
mobil-mobilan. Sedangkan perempuan diberi mainan masak-masakan dan
boneka.Setelah dewasa pun, peran kedua jenis kelamin tersebut dibedakan. Dalam
rumah tangga misalnya, laki-laki biasanya mendapat peran sebagai orang yang
bertanggung jawab untuk menafkahi seluruh anggota keluarga, sedangkan
perempuan memiliki peran sebagai pendamping laki-laki untuk mengurus rumah
tangga. Selain itu, dalam bidang pekerjaan biasanya perempuan cenderung
dianggap lebih lemah sehingga tidak diberikan jabatan yang lebih tinggi dari laki-
laki. Meskipun diberikan sekalipun, akan sulit dalam prosesnya.

Perbedaan gender yang mencolok di dunia kerja tersebut awalnya


disebabkan oleh bias gender dimana laki-laki lebih diberikan hak untuk
mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Orang tua
yang memiliki anak laki-laki dan perempuan biasanya lebih mementingkan anak
laki-lakinya karena anak laki-laki dianggap sebagai penerus keturunan dan harus
utamakan dibanding perempuan. Hal ini terjadi juga disebabkan oleh hasil budaya
yang kita kenal dengan budaya patriarki. Bias gender yang terjadi di masyarakat
melahirkan budaya tersebut, dimana perempuan menjadi nomor dua dan selalu
berada satu tingkat di bawah laki-laki. Perbedaan gender lainnya yang dibangun
oleh masyarakat adalah sifat. Laki-laki dan perempuan digambarkan memiliki
sifat yang sangat bertolak belakang, seorang laki-laki harus menunjukkan karakter
yang kuat, berani, tangguh, pantang menyerah, egois, dan berpikir rasional.
Sedangkan perempuan harus menunjukkan karakter yang lemah, lembut, rendah
hati, anggun, suka mengalah, dan keibuan.

Apabila seorang laki-laki atau perempuan tidak menunjukkan sifat


tersebut maka mereka akan dianggap bukan laki-laki atau perempuan lagi.
Biasanya kalau laki-laki akan dilabeli dengan kata banci. Padahal yang
menentukan laki-laki atau perempuannya seseorang adalah jenis kelaminnya
bukan gender yang ia miliki. Gender pada awalnya tidak menjadi masalah yang
cukup serius karena tujuannya diawal hanya untuk membedakan peran antara laki-
laki dan perempuan. Namun yang membuat gender menjadi persoalan yang cukup
serius adalah karena adanya ketidaksetaraan dalam konsep gender. Gender
melahirkan sebuah ketidakadilan bagi laki-laki dan perempuan dimana mereka
tidak dapat bertindak sesuai dengan apa yang diinginkannya.

Semua manusia harus bertindak sesuai dengan apa yang telah terkonstruk
agar tidak mendapat cap aneh dari masyakarat sekitar. Seperti laki-laki yang tidak
boleh menangis di depan umum karena lemah merupakan sifat perempuan.
Padahal sebenarnya semua manusia memiliki sifat lemah di dalam hatinya, hanya
saja karena konsep gender ini para laki-laki tidak boleh menunjukkannya. Begitu
pula dengan perempuan, perempuan harus memilih pekerjaan domestik saja,
pekerjaan-pekerjaan yang dibutuhkan ketelitian, dan hati-hati. Banyak perempuan
yang harus mengubur mimpinya dalam-dalam apabila ia bercita-cita menjadi
pilot, arsitek, atau pekerjaan-pekerjaan lainnya yang sekiranya membutuhkan
nyali dan tenaga besar. Dapat dikatakan konsep gender ini melahirkan
kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat.
B. Pembahasan

Gender merupakan konsep bentukan dari konstruksi sosial yang


menentukan sifat dan peranan seseroang sesuai dengan jenis kelaminnya. Namun
konsep ini semakin lama memiliki arti yang berbeda di masyarakat luas. Gender
pada akhirnya menjadi konsep yang melahirkan kesenjangan sosial karena adanya
ketidaksetaraan gender. Meskipun jumlah sumber daya perempuan lebih banyak
dibandingkan laki-laki namun hal tersebut tidak senantiasa merubah pandangan
yang telah ada karena konsep ini. ketidaksetaraan atau ketidakadilan gender tidak
hanya meliputi hak, kekuataan, atupun kekuasaan antara kedua jenis kelamin.
Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam beberapa bentuk, yaitu:
marginalisasi (proses pemiskinan ekonomi), subordinasi (anggapan tidak penting
dalam keputusan politik), pelabelan negatif (stereotype), kekerasan (violence),
serta beban kerja yang lebih panjang dan lebih banyak.1 Kelima bentuk
ketidakadilan gender tersebut yang menciptakan adanya kesenjangan sosial
terhadap perempuan di masyarakat.

Yang dimaksud dengan kesenjangan sosial (social inequality) adalah


kondisi dimana terciptanya ketidaksamaan atau ketimpangan antara dua objek
yang perbedaannay sangat terlihat di masyarakat. Para tokoh sosiologi klasik
melihat bentuk-bentuk kesenjangan sosial dengan orientasi yang berbeda. Karl
Marx melihat kesenjangan sosial berdasarkan perbedaan kelas sosialnya
sedangkan Max Weber melihat kesenjangan sosial sebagai hasil dari perbedaan
kepentingan individu-individu yang diekspresikan dalam sistem perilaku dan
tindakan. Untuk membahas tentang kesenjangan sosial yang diakibatkan oleh
gender, lebih mengarah kepada pemikiran Weber, dimana kesenjangan sosial
diekspresikan dalam sistem perilaku dan tindakan yang berbeda yang ditujukan
bagi laki-laki dan perempuan.

Kesenjangan sosial dibagi ke dalam dua dimensi, ada kesenjangan sosial


sebagai kondisi dan kesenjangan sosial sebagai peluang. Kesenjangan sosial
sebagai kondisi artinya kesenjangan sosial ini dapat dilihat secara jelas sebagai

1
Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013) hlm. 13.
keadaan aktual atau yang benar-benar terjadi. Contoh kasus kesenjangan sosial
sebagai kondisi dalam konsep gender yaitu laki-laki bekerja sedangkan
perempuan di rumah mengurus rumah tangga. Sedangkan satu lagi, kesenjangan
sosial sebagai peluang artinya ada perbedaan antar individu untuk memperoleh
sebuah peluang. Contoh kasus untuk hal ini adalah misalnya dalam sektor publik,
apabila di dalam sebuah perusahaan dicari orang untuk mengisi posisi direktur,
dan yang dicalonkannya satu laki-laki dan satu perempuan. Meskipun memiliki
spesfikasi kerja yang sama, yang akan mendapatkan posisi tersebut dapat
dipastikan seorang laki-laki.

Kesenjangan sosial dalam konsep gender dapat juga meliputi adanya


perbedaan yang signifikan di bidang pendidikan. Kesenjangan gender dalam akses
pendidikan telah terjadi sejak lama, ditunjukkan selama empat tahun terutama
2
pada SD dan SM yaitu sebesar 4,40% dan 2,90%. Kesenjangan gender juga
terjadi pada partisipasi siswa yang berada di pendidikan persekolahan. Perempuan
lebih banyak bersekolah di program pendidikan, program studi ekonomi dan
bisnis sedangkan laki-laki banyak bersekolah di program nonkependidikan, yaitu
program studi teknologi dan IPA.3 Kesenjangan lainnya terjadi dalam kontrol
pendidikan yang diukur dari kepala sekolah atau pengelola pendidikan
persekolahan. Kesenjangan terjadi di semua jenjang pendidikan kecuali kepala
sekolah TK. Hal ini ditunjukkan dengan banyak kepala sekolah laki-laki
dibandingkan dengan perempuan. semakin tinggi jenjang pendidikan makin
banyak kepala sekolah laki-laki.4 Yang terakhir posisi perempuan dalam birokrasi
dunia pendidikan lebih rendah dibanding laki-laki.

Kesenjangan sosial terkait dengan gender memiliki banyak indikator,


selain dalam pendidikan ada kesenjangan sosial terkait dengan upah. Kesenjangan
upah antar gender paling besar terjadi karena disebabkan oleh pendidikan.
Kembali lagi ke paragraf sebelumnya bahwa kesenjangan pendidikan antar laki-
laki dan perempuan cukup tinggi maka hal tersebut juga dapat mempengaruhi

2
Ida Kinamanti, “Kesenjangan Gender dalam Pemerataan dan Perluasan Akses Pendidikan”, Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 14 No. 75 (November, 2008), hlm. 1088
3
Loc.cit
4
Loc.cit
indikator lainnya. Selain karena faktor utama tersebut, ada beberapa faktor
pendamping. Laki-laki dan perempuan biasanya membuat pilihan yang berbeda,
karena tuntunan gender ini perempuan lebih memilih pekerjaan yang waktunya
dapat dikombinasikan dengan kehidupan rumah tangga sehingga sulit untuk
mendapatkan upah yang besar, karena perempuan cenderung memilih pekerjaan
dengan lokasi yang lebih dekat dengan rumah dan jam kerja fleksibel dibanding
dengan upah yang besar.

Kesenjangan sosial dalam gender terjadi karena adanya peran dan


kewajiban yang harus dijalani sesuai dengan apa yang kita dapat. Maka dari itu
sulit untuk dihilangkannya kesenjangan sosial karena konsep gender sudah
tertanam lebih jauh sebelum manusia memikirkan apa yang akan terjadi apabila
tertanamnya konsep ini di masyarakat. Gender merupakan sebuah konsep yang
tidak bisa lepas dari kehidupan sosial sehingga untuk meminimalisir dampak dari
kesenjangan akibat bias gender, kita perlu merubah satu persatu pandangan
terhadap hal-hal yang menyebabkan terjadi kesenjangan gender. Misalnya dengan
mulai peduli dengan penyebaran dan pemerataan pendidikan untuk kedua jenis
kelamin. Karena pendidikan merupakan salah satu indikator pembentuk
kesenjangan sekaligus yang dapat menghilangkan kesenjangan sosial.

C. Referensi

Fakih, Mansour. 2013. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Kottak, Conrad Phillip. 2015. Cultural Anthropology. United States of America:

McGraw-Hill, Inc.

Mousse, Julia .L. 1996. Gender dan Pembangunan. Hartian Silawati, penerjemah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ida Kinamanti. 2008. Kesenjangan Gender dalam Pemerataan dan Perluasan

Akses Pendidikan. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. 14 (75): 1088.

Anda mungkin juga menyukai