Anda di halaman 1dari 86

“BURUNG KENARI TERBANG BERPASANGAN”

Sepasang burung kenari terbang rendah melewati


jendela kamarku. Cericitnya seakan mensubstitusi kokok ayam
pagi hari ini bagiku. Jam tujuh pagi sudah. Tadi habis
pencarianku pada muara kehidupan.
Small things mean somgething bigger than the big
ones. Mungkin itu maksudku.
Café Bean,Cilandak Town Square “ Ini sore terakhir
kita bertemu, Tin ...”. Suara itu seperti suara camar tenggelam
diantara ombak senja hari. Senja seperti saat kita bertemu kali
ini.
Aku mengaduk frappuccino-ku dengan sekuat tenaga.
Masygul. Seperti ada beban jutaan ton yang harus kukeluarkan
atau mungkin baiknya kuledakkan saja di Town Square megah
ini.
Sepasang anak muda bergandengan. Seorang ibu
menggeret anaknya yang agak rewel. Laki- laki dan perempuan
eksekutif juga dalam gegas dengan menenteng bag.
Lalu, apakah kami, aku dan raka juga korban
metropolis yang kadang- kadang sok kuat. Pahal kita sudah
cukup berdarah- darah akibat tersaruk mengikuti pendar
cahayanya?
Raka menatapku sejenak. Lalu dia tertawa. Asin.
Basi. Lalu malah terdengar sepak.
Sinis. Tapi aku suka. Raka lebih cool, tapi sinis.
Semntara aku sangat temperamental dan cenderung impulsive.
Beda dengan Raka yang program di otaknya tertata rapi,
canggih, dan seakurat Pentium. Dan dengan rasionalitasnya
yang menurutku nggak berperasaan itulah ia memilih
menerima perjodohan itu. Perjodohan yang.... basi menurutku!
Sedikit flashback.
Aku dan Raka ketemu dua tahun lalu, waktu sama-
sama menjalani tahun terakhir kuliah pasca sarjana di Sydney.
Aku ambil MBA diWollongonga, sementara dia ambil ME di
USW ( uni of Western Sydney).
Hubunganku dan Raka berlanjut hingga kami pulang
ke tanah air tiga bulan lalu. Selama hubungan kami sama sekali
nggak penah melakukan hubungan yang special. Tapi kami
hanya saling menyayangi dengan segala kehangatan hati.
Karena kami hanyalah seorang pengelana pencari kehangatan
dan ketulusan yang sudah lama hilang dari hati kami.
“ Tapi aku mulai memikirkan sesuatu. Aku ingin
punya anak. Dan mempunyai keluarga yang bahagia.
Sore itu habis shalat ashar berjamaah kami duduk-
duduk di pelataran masjid. Ada beberapa orang mengaji merdu.
Di atas sana, kulihat sepasang kenari berwarna- warni
mencericit. Sedang kawinkah?
Lihatlah burung kenari sepasang itu. Engkau yang
telah menciptakan mereka, Tuhan. Engkau kirimkan mereka
padaku agar aku mulai berpikir tentang ketulusan dan
keterpasangan yang sejati antara laki-laki dan perempuan.
Dan inilah aku, Valentino alias Tino, yang tengah
berdarah-darah dan merangkak mendekati Tuhan kembali.
Tolong jangan campakkan aku, Tuhan. Aku ingin lebih baik...
paling tidak di sisa umurku ini.... seperti Raka, sahabatku. Ya
dia memang sahabatku yang paling baik dari teman- temanku
yang lain.
“DENGKUL”

“Riung -riung- riuuung!”


Senja menyelimuti gasibru. Orang- orang bersimbah
peluh mulai menjauhi lapangan. Membawa pulang bola, raket,
handuk, atau sekadar keringat mereka sambil menarik- narik
nafas, menurunkan andrenalin yang laju terpacu. Sepasang
mata di utara menatap dari balik jendela.
Dian
Tuh kan, ngetem! Ya iyalah, penumpangnya baru gue
doing. Hari udah gelap. Pasti udah lebih dari setengah enam.
Bakal nyampek rumah pukul berapa nih? Duh, mudah-
mudahan di Kiaracondong nggak macet, biar sempet shalat
magrib di rumah.
Ada yang datang satu cewek dan satu cowok
menyentuh pintu depan angkot secara bersamaan.
Hehe,langsung pada nyengir, tuh! Untung, nggak berantem. Si
Mas . mempersilahkan si M bak untuk masuk lebih dulu. What
a gentle man!
Nah, udah ada penumpangnya nih, Pak. Berangkat aja
deh! Jangan lama- lama ngetemnya. Ntar kita nggak keburu
shalat magribdi rumah. Eh, kok jadi gue yang ngatur ya?
Tommy
Yes, angkotnya masih ada! Mudah- mudahan bangku
di pojok tidak terisi. Kalau duduk di pojok kan nggak perlu
geser- geser kalau ada penumpang yang naik turun. Jadi, aku
bisa istirahat tanpa mengganggu sirkulasi penumpang.
Dian
Belum berangkat juga nih. Padahal sudah terisi
setengahnya. Cowok yang baru datang ini kenapa ya? Kok dia
ngeliat gue kayak ngeliat hantu? Jangan-jangan ada yang salah
dengan kerudung gue?
Bagian atas, rata tuh. Di bagian samping, tetep
simetris. Bawahnya, masih kenceng. Nggak ada masalah tuh.
Terus apa yang salah dengan kerudung gue.
Tommy
Dasar tommy bodoh! Kenapa harus nukat pakai
celana pendek segala? Sebenarnya celana ini bisa menutupi
dengkulku. Tapi hanya kalau aku dalam posisi berdiri. Kalau
aku duduk, celana ini tertarik dan kau bisa melihat dengkulku.
Tak masalah jika kau laki- laki. Karena kita punya aurat yang
sama.
Dian
Lho? Celananya kok di tarik- tarik segala? Selama ini,
Cuma cewek yang pakek rok mini yang suka narik- narik
roknya kalau duduk di angkot. Udah tau pendek, pake di tarik-
tarik segala. Emangnya kalau di tarik-tarik begitu bisa jadi
panjang? Kalau memang isinya tidak mau keliatan makanya
pakek celana.
Tommy
Masalahnya, aku nggak punya celana olahraga yang
bagus. Satu- satunya celana olahragaku hangus di setrika oleh
TehTia karena lupa mengangkat setrikanya. Pada saat telpon di
rumahku berbunyi.
Sampai sekarang The Tia belum juga membelikanku
celana olahraga yang baru. Selalu ada alasan : sibuk, ada rapat,
ada tugas, harus ngaji, dan juga harus ngajar.
Dian
Ah, daripada dosa ngeliat dengkul, mendingan gue
merem deh, pura- pura tidur. Eh, tadi Al-Matsurat udah sampai
mana, ya?
“BAHTERA DI UJUNG DERMAGA”

Karena tempat duduk mereka hanya tepisah partisi


rendah. Awan nyaris tahu semua kebiasaan gadis di sebelahnya.
Biasa datang pagi, lalu setelah menyiapkan komputernya dia
langsung menghilang ke belakang. Sholat dhuha di mushola.
Sedang dia? Jangan sholat sunnah, sholat wajib pun sudah tak
ingat kapan terakhir kali didirikan.
Nur, dilihatnya tak hanya sholat sunnah yang
ditunaikan. Puasa senin kamis pun dia lakukan. Hal itu
mengimbas emosinya yang lebih tertata, tak meledak-ledak
seperti yang diingatnya dulu meskipun dalam beberapa hal
gadis itu masih tetap tak mampu menyembunyikan sifat
tomboynya. Cara jalan yang cepat tegap, gaya bicara yang juga
serupa, sudah manjadi ciri khasnya meski pakai pakaian
apapun dia.
Satu lagi kebiasaan Nur, gadis itu suka mendengarkan
nasyid atau murottal saat bekerja. Agar tak bertabrakan di
ruangan saat mendengarkan lagu yang dipasangkan di
loudspeaker kantor, Nur memakai earphone di telinganya.
Penasaran apa yang di dengarkan, saat Nur sedang sholat Awan
mencari tahu dengan melihat realplayer aktif di komputernya.
Bukan cercaan atau menghakimi yang keluar dari
Nur. Juga bukan nada lain yang memalukan. Nada itu seperti
ibu yang mengingatkan anaknya pada kebutuhan yang sudah
seharusnya tak ditinggalkan. Awan itu melihat Nur dengan
keterbatasannya dia tampak tenang menjalani hidup. Tak perlu
dipertanyakan apa kekurangannya, hanya satu yaitu noda yang
menutupinya selalu. Menutup matanya dari nikmat lain
berlimpah yang diberikan Tuhan padanya.
Nur bukannya tak tahu kegundahan Awan. Profil
lelaki sempurna yang dulu pernah dipujanya ternyata hanya
fatamorgana. Nur ingin sekali membantu Tapi bagaimana bisa
dia melakukan itu kalau Awan hanya diam, berselimut kabut
tebal kesendirian. Hampir tak menampakkan emosinya kecuali
sekejap, saat menye-lamatkannya dulu.
Entah berapa menit dia menunggu. Yang diingatnya,
ekspresi di wajah Awan nyaris tak terdefinisikan saat keluar
dari ruangan. Ada kegundahan, ketakutan, geram, juga
keringkihan. Bahu tegap itu jatuh di sisi tubuhnya yang luruh.
Mata yang biasanya dalam dan tajam itu menjadi buram kelam.
Ada kabut di sana. Nur tahu, lelaki itu berusaha
menyembunyikan tangisannya.
Awan menceritakan secara singkat mimpi buruknya
yang bahkan kedua orang tuanya tak pernah tahu, hingga saat
ini mengenal Huda. Nur terlolong mendengar ceritanya. Kisah
yang hanya bisa dia baca di koran atau buku-buku, juga berita-
berita kriminal itu terjadi di sini, di dekatnya. Pada orang yang
sama sekali tak disangkanya.
Tapi toh kenyataannya aku tetap kehilangan dia.
Bagaimana bisa dia menerima aku yang sampah ini? Hanya
saja, yang ku sayangkan sampai sekarang dia masih
memandangku sebelah mata. Padahal aku tak pernah minta
untuk tertarik padanya. Semua terjadi begitu saja. Ada
dorongan dalam diriku yang menyeret ke arah situ.
Awan membenamkan wajahnya, isaknya terdengar
memilukan. Baru kali ini Nur baru menyaksikan seorang laki-
laki dewasa menangis seperti anak kecil. Badannya
terguncang-guncang, Ingin sekali rasanya Nur menyentuh
punggung itu, mengusapnya untuk memberi tahu bahwa dia tak
sendiri.
“Yah, setidaknya keinginan mas putus sudah
terlaksana sekarang. Dan saya harap dengan tidak adanya Dedi
itu, mas bisa menemukan jalan pulang”.
“Dokter bertanya-tanya hubunganku dengan dia. Kau
tahu, HIV itu menular melalui darah. Bisa dari hubungan
badan, pemakaian jarum suntik, atau dari ibu ke janinnya. Aku
menjawab hanya teman biasa. Aku tak segila dia
memproklamirkan diri sebagai seorang gay. Aku memang akan
melakukan tes darah , tapi tidak sekarang.” Lelaki itu menyeka
sisa air mata di pipinya. Badannya kini di sandarkan,kakinya
yang panjang direntangkan,Sedikit meringis dia karena luka di
lututnya, aku harus menghubungi keluarganya Dedi.’
‘Kalau ada yang bisa saya bantu?’’Nur menawarkan
diri.
“Terima kasih. Kamu sudah banyak membantuku hari
ini.Uh, lega rasaya bisa mengatakan ini semua. Aku tak tahu
pada siapa. Huda sahabatku satu-satunya. Tapi justru masalah
itu yang memisahkan kami. Apa dia masih jalan sama kamu?
Atau putus gara-gara aku?” Itukan alasanmu gak langsung
memberi jawaban waktu ku propose? Padahal aku tahu kamu
tergila-gila padaku. Kamu masih ragu memilih jalanmu kan?”
Nur tersipu, malu. Kata-kata itu seperti menelanjanginya
dengan cara yang benar-benar fulgar.
“Bersyukurlah Nur, sudah kau temukan itu.
Sementara aku? Masih remang-remang jalan di depan.”Nur iba
melihat tatap tak berdaya awan. Mengapa semua menjadi
separah ini?

“EPISODE BINTANG”
Tak pernah ada yang tahu bahwa bumi yang kita injak
ini diam, konstan tak pernah melakukan gerakan apapun, tidak
berputar, berotasi, berevolusi atau gerakan-gerakan lainnya.
Dan, apakah kalian ingin tahu itu? Sepertinya tidak. Hanya aku
saja yang menyadari hal itu. Kelak, suatu saat nanti aku akan
mengumumkan pada dunia tentang hal ini.
Malam ini kembali menemani bintang. bermain-main
dengan mereka. Kebiasaan klise kaum pemimpin macam aku,
katanya. Aku tak perduli dengan semua pendapat orang-orang
itu. Toh, mereka juga tak pernah memperdulikan aku. Mereka
hanya perduli karena aku mulai tak waras, katanya. Ya, aku
disangka tak waras saat aku sedang berdialog dengan bintang-
bintang. Orang-orang di sekitarku tak pernah tahu bahwa
bintang sama seperti kita. Bitang-bintang itu menciptakan
walau mereka pun menciptakan sinar-sinar untuk dibagikan
kembali kepada seluruh yang membutuhkan.
Tiap malam aku mampu menghitung bintang di
langit. Bila ada pengakuan sia-sia menghitung bintang di
langit, itu hanya pendapat fraksi pemalas. Buktinya aku
mampu. Walau memang tidak pasti jumlahnya. Satu, dua, tiga,
empat ....! “kurasa kau telah terlalu gila dengan bintang-bintang
itu.”
Aku menoleh ke belakang mencari seraut wajah yang
telah memamerkan suaranya untuk mengejekku. Jelas aku
panas, tidak terima dengan leluconnya yang tidak lucu itu. Lagi
pula aku tak pernah mengganggu siapapun saat aku
menghitung bintang-bintang itu. Kudapati Allen, yang berdiri
tegak tepat di belakangku. Aku kembali membalik,
menghadapi jendela. Kembali menghitung bintang-bintang di
langit.
Allen mendekatiku yang kembali asyik dengan
bintang-bintang. Tangannya menyentuh bahuku. Kebiasaan
lama yang tak pernah ditinggalkannya. Merayu, membujuk,
atau apa saja agar aku bisa tersenyum kembali padanya. Tapi
sekarang tak semudah itu.
Allen terlalu banyak omong dan itu membuatku
makin tak suka akan kehadirannya malam itu.
“Kau tak pernah kehilangan siapapun. Seharusnya
aku yang berkata seperti itu, Al,”suaraku berhenti di
kerongkongan. Perih saat mengucapkannya.
Ya, seharusnya aku yang mengucapkan itu. Aku telah
kehilangan Dad, Mom, dan David. Dan aku tidak punya siapa-
siapa kini. Tidak Allen, sahabaku itu, atau juga bibi Allison
yang kini menampungku di rumahnya. Dan aku any punya
bintang. Yang senantiasa mendengarkan ceritaku,tentang
mimpiku, tentang keluargaku, tentang harapanku, tentang
semuanya.
Aku tidak pernah berharap banyak. Tidak juga dengan
orang-orang yang telah membunuh seluruh anggota
keluargaku. Aku hany ingin keluargaku hidup kembali. Ada di
sini bersamaku. Memandang langit yang terang dengan
bintang-bintang. Menembus malam yang panjang bersama
orang-orang yang aku cintai. Itu saja. Tidak boleh atau
salahkah permintaanku itu?
Bumi ini konstan. Dan inilah bukti yang nyata bahwa
teoriku itu benar. Perputaran bumi pada porosnya yang
menyebabkan siang dan malam tak kurasakan lagi. Bagiku
setiap hari adalah malam. Perputaran bumi yang mengelilingi
matahari yang menyebabkan genapnya masa setahun juga tak
pernah kurasakan lagi. Tiap tahun aku berharap akan datangnya
keluargaku. Tapi hingga saat ini, mana ...? Di mana mereka?
Kata orang-orang mereka mati. Tapi mati di mana? Mengapa
aku tak pernah tahu? Mengapa? Aku merasa bahwa bumi ini
tetap pada masa tahun ketika aku kehilangan keluargaku.
Tahun demi tahun yang kulewati sama. Hampa. Sendiri.
Allen menghembuskan nafasnya yang terasa berat.
Ya, aku merasakan itu. Mungkin lelah menghadapiku yang
senantiasa konstan, layaknya bumi ini. Tak pernah berubah.
Bukannya aku tak pernah mencoba untuk berubah, tapi bumi
yang membawaku pada kebisuan hati.
Allen dan aku saling diam. Aku menatap langit,
mencoba berhitung dari awal jumlah bintang yang ada di sana.
Allen mendongakkan kepalanya ke luar jendela. Mencoba larut
bersama bintang, namun sepertinya tak bisa. Dia bukan sahabat
bintang. Jadi, dia tak mampu menembus malam yang
berbintang.
“Suatu saat nanti, aku akan pergi ke tempat bintang-
bintang itu, mengambil satu untukmu agar kau tak lelah
menengadahkan kepala demi berbincang-bincang dengannya.”
Aku menoleh ke arah Allen yang masih merangkul
hangat tubuhku. Aku lupa mengatakan padanya bahwa bintang
itu berlari, berjalan, bergerak mengitari bumi. Akan sulit
baginya menyentuh bintang-bintang itu, dia harus berlari
mengejar bintang bila ingin mengambilkannya untukku.
Kini Allen yang kaget. Dia menatapku seperti tak
percaya. Mungkin baginya, ada yang salah dari ucapanku. Tapi
aku mengatakan hal yang aku percayai kini.
“Ayolah, jangan benar-benar menjadi gila, Ros!”
suara Allen seakan memintaku untuk meralat apa yang telah
didengarnya.
“Rose!” suara Allen tiba-tiba menjadi tinggi dari
sebelumnya. “Kau terlalu cerdas untuk mengingkari kebenaran
sebuah ilmu pengetahuan! Dan kau tahu bukan bahwa ...”
“Aku tahu kau lebih pandai dariku, aku tahu kau ingat
semua konsep yang telah bersama-sama kita pelajari di
sekolah.” Suara Allen berhenti sampai di situ. Kembali, dia
menyelimuti kami berdua. Sementara malam terasa mulai larut.
Ruang kamarku yang sempit menjadi kian sempit dengan
kebisuan ini.
Aku hampir menangis. Bahkan aku menyesal telah
mengatakan hal itu semua pada Allen. Aku bingung harus
bagaimana lagi. Kulirik Allen. Pandangannya menyejukkanku.
Dia terlalu tulus mendengarkan segala keluh kesahku. Aku tahu
berutang banyak kepadanya. Dan ceritaku tadi membuatku
berutang lagi padanya.
“Kau hanya perlu waktu lebih lama untuk menerima
hal ini. Ini memang begitu pahit untuk ditelan olehmu. Tapi
kau juga perlu tahu, dulu para rahib gereja Katholik menentang
teori Copernicus yang mengatakan bahwa matahari diam,
bumilah yang mengelilingi matahari. Perlu waktu yang lama
untuk meyakini doktrin Copernicus. Hingga Galileo pun datang
menyatakan hal yang sama, tapi tetap saja ditentang karena
doktrinnya mengingkari doktrin versi Injil tentang kosmologi
waktu itu. Tapi Galileo menang 359 tahun kemudian. Lembaga
inkuisisi gereja Katholik mengaku salah telah mengkafirkannya
karena doktrinnya yang bartentangan dengan Injil memang
benar, bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta. Bumi
begerak menurut orbitnya untuk mengelilingi matahari. Waktu
aku berdebat dangannya.
Apakah aku yang sekarang adalah aku yang berada
pada lima tahun yang lalu? Yang setia menunggu sepi
keluargaku sendiri? Aku yang telah menjadi gila sekarang
adalah aku yang lima tahun lalu, yang tidak rela menerima
kenyataan bahwa keluargaku telah lenyap. Aku masih konstan
karena aku tak cukup mampu mengimbangi putaran bumi yang
telah kencang. Apakah mungkin seperti itu? Apakah aku
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk sebuah
kebahagian? Atau hanya waktu yang mampu mengobati
lukaku? Tapi sampai kapan lagi aku harus mangejar watu-
waktu itu?
Dad dan Mom tawas dalam sebuah perjalanan pulang
dari rumah salah seorang sahabat. Tapi mayatnya tak pernah
ditemukan. Polisi kesulitan mengatasi kasus ini. Karena semua
bukti dan mayat ke-dua orang tuaku yang tak pernah
ditemukan. Diduga orang tuaku mengalami kecelakaan.
Kondisi sedan yang ditemukan di hutan dekat rumahku
membuktikan hal itu. Tapi diduga pula mereka dibunuh, karena
mayat keduanya belum ditemukan. Karena itu aku tak percaya
kalu kedua orang tuaku meninggal. Saat itulah aku selalu
menunggu di mulut jendela kedatangan Dad dan Mom.
Tapi harapanku tak kunjung menjadi kenyataan. Aku
menjadi benar-benar bosan. Dan jadi merasakan bahwa bumi
itu diam, tidak melakukan apa-apa. Tapi kini aku sadari bahwa
banyak hal yang aku pandang salah.
“KIARA”

Angkot yang kutumpangi berhenti di dekat


persawahan yang gersang. Aku turun sambil menjinjing dua tas
besar berisi pakaian, sementara Ciya mengangsurkan ongkos
pada sopir. Kemudian angkot itu melaju dengan meninggalkan
kepulan asap dari knalpot dan membuyarkan debudebu tanah
kering hingga beterbangan.
Angkot sialan!” Ciya menggerutu “Jangan kaget Rin
dengan kejadian ini. Ini tempat KKN-mu. Selamat datang di
desa yang indah!”
“Pertama-tama kita harus pergi ke rumah Pak Lurah
Rin, jaraknya sekitar satu kilometer. Mereka kaget saat melihat
persawahan sangat kering, yang ditumbuhi pohon singkong
yang kering, jauh dari kesan desa yang berpanorama indah.
Ciya menyeringai, menatap kegersangan yang menghampar di
hadapan kami ... “tiap sore aku gantian sama Dani, Pras, dan
Anggi angkat ember, bolak-balik mencari air buat mandi.
Sekitar dua puluh menit berjuang, kami akhirnya
mulai memasuki perkampungan penduduk yang jalannya mulai
datar. Jajaran rumah dari kayu dan bau dari singkong kering
semakin sulit untuk tersenyum. Bahkan ada yang bermain
sambil memekakkan telinga. Aku memerhatikan mereka dan
Ciya dengan semangat membalas sapaan mereka yang ramah.
Ciya memang anak yang mudah beradaptasi, berdeda dengan
diriku.
Namun saat itu ketakutan menguasai diriku ketika
melihat wajahnya. Matanya terlihat dingin tanpa ekspresi
menatapku. Bibirnya agak sumbing. Di dahinya tedapat bekas
jahitan dan ada bekas cakaran di pipinya. Apalagi dia hanya
terbalut dengan kaos kumal dan tubuhnya terdapat banyak luka
di mana-mana, yang membuatku merasa takut padanya.
Satu minggu di desa ini, benar-benar membuatku
sengsara. Aku kesulitan beradaptasi dengan lingkungan
sekeliling. Kulitku sempat mengalami alergi dan kekeringan.
Tapi, melihat betapa miskin desa ini dan teman-teman yang
begitu semangat di sini, membuatku bertahan. Apalagi Ciya
terus menyemangatiku dan di salah satu teman yang rela untuk
mengambilkan air untuk mandi jika aku mulai putus asa.
Kata Bu Lurah, mengajari ibu-ibu disini cukup
gampang. Kesulitannya, mereka datang ke kelurahan. Mereka
memang tidak punya banyak waktu untuk hal-hal yang di
anggap sekunder. Aku dan Bu Lurah pun harus berkeliling
seperti sales menyuruh mereka datang ke kelurahan.
“Ini rumah Bu Paryati. Ibunya Kiara!” kata Bu
Lurah.” Jangan kaget, ya!”Kiara adalah anak kandungnya,
kan?”tanyaku.
Bukannya saya tidak menghargai ibu,”Bu Paryati
menolak ajakan kami. “Saya tidak punya waktu untuk datang
ke kelurahan ini, karena ada empat perut yang harus di isi.
Mereka benar-benar tidak ada yang bisa diandalkan. Apalagi
anak itu nakal.
“Ah, andai aku mampu melukiskan bagaimana
takutnya ditatap Kiara pada Ciya, agar ia juga merasakan
ketakutanku.
Aku sendiri heran, kalau benar Kirana pernah hampir
membunuh orang. Kenapa dia seolah diacuhkan? Dia jelas-
jelas berbahaya. Apa kekerasan ibunya sudah cukup
memenjarakannya? Atau sekedar menjamin bahwa dia tidak
akan membunuh orang lagi. Tapi bocah itu masih terlalu polos
untuk bisa membunuh orang. Dia hanya anak kecil!
Ketika aku berkumpul dengan ibu-ibu, Bu Paryati
tetap saja tidak datang. Tidak ada yang menggunjingnya.
Wanita-wanita di sini terlalu lelah untuk membicarakan hal-hal
seperti itu. Mereka datang ke sini pun mungkin karena masih
menghormati Bu Lurah. Tenaga mereka banyak terkuras untuk
mencari nafkah, membantu suami di tegalan kering, mengurus
anak-anak mereka serta hewan peliharaan.
Interaksiku dengan anak-anak dimulai ketika aku
sudah dua minggu tinggal di sini. Bersama Ciya dan Anggi,
aku mengajari mereka mengenal huruf dan angka. Beda dengan
orang tua mereka, anak-anak itu terlihat antusias dan
bersemangat.
Aku menoleh ke arah rumpun bambu. Kiara sudah
tidak ada. Iya, Tuhan! Begitu parahkah penderitaan Kiara?
Kenapa ibunya begitu kejam, padahal Kiara darah dagingnya
sendiri.
“AKU”

Aku dilahirkan di sebuah desa yang jauh dari


keramaian kota. Orang tuaku seorang petani penggarap dengan
penghasilan pas-pasan untuk keluarga.
Saat itu kami telah menempuh ebtanas SD. Namun
setiap hari kami datang juga ke sekolah untuk menerima
tambahan pengetahuan sebagai bekal masuk SLTP.
Pada suatu hari, guru bertanya kepada murid-murid,
akanmelanjutkan kemana. Teman-temanku satu-persatu
menyebutkan pilihannya. Pada umumnya teman-teman
memilih SLTP Negeri. Ketika sampai juga pada giliranku, aku
menjawab bahwa tidak akan melanjutkan sekolah. Mendengar
jawabanku itu teman-teman diam dan memperhatikan.
Tiba-tiba Bapak Guru mendekati dan bertanya pelan-
pelan, “Mengapa kamu tidak melanjutkan, Hardi?”
“Tidak, Pak,” jawabku.
“Betul, kamu tidak melanjutkan?” tanyanya lagi.
“Betul, Pak!” jawabku lagi.
Mendengar jawaban itu, Pak Guru mencatat sesuatu
di buku, kemudian memerintahan murid-murid mengerjakan
pelatihan-pelatihan, dan beliau menghadap Kepala Sekolah.
Saat-saat yang dinanti-nantikan pun sampailah. Hasil
ebtanas diumumkan. Teman-temanku bersuka ria karena semua
lulus. Hanya akulah yang tidak bersorak ria, walupun berhasil
meraih nilai tertinggi sekecamatan. Hatiku sedih, terbayang
olehku orang tuaku, agar aku tidak melanjutkan ke SLTP.
“Hardi!” terdengar Kepala Sekolah menggugah
lamunanku.
“Ya, ...Pak!” jawabku tersendat.
“Melanjutkan ke mana?” tanya Kepala Sekolah pula.
Aku hanya diam. Kali ini mulutku bungkam. Aku
tidak bisa menjawab, terasa ada sesuatu yang menyumbat
batang tenggorokanku. Aku menunduk, tidak berani menatap
wajah Kepala Sekolah.
“Tenanglah, ardi! Aku telah tahu tentang keadaanmu.
Kamu harus melanjutkan.”
“Ti...tidak,..Pak!” Jawabku.
“Hardi, pandanglah aku!”
Aku menengadah. Kepala Sekolah
tersenyum,”Terimalah ini! Hadiah keberhasilanmu!” lanjutnya
sambil menyerahkan bingkisan. “Ketahuilah Hardi ada
seseorang yang sanggup menjadi orang tua asuh buat kamu.
Bersekolahlah ke mana kamu suka. Beliau akan mencukupi
segala kebutuhan sekolahmu sampai perguruan tinggi. Nama
dan alamatnya ada di dalam bingkisan itu. Bila perlu apa-apa,
datanglah kepadanya, jangan malu-malu! Sudah sana,
pulanglah, orang tuamu sudah menunggu!”
Sampai di rumah, bingkisan kubuka. Ternyata
berisikan sejumlah uang dan kartu nama. Kubaca nama yang
tertulis di kartu nama itu. Ternyata pemilik sawah yang
dikerjakan oleh orang tuaku, yang juga Kepala Sekolahku.
Bahagia hatiku saat itu tidak dapat kunyatakan dengan kata-
kata.... seumur hidupku takkan terlupakan.
“MENYONTEK”

“Hah?! Apa?! Nilai matematika gue cuman dapat 6?!


Salah yang nilai nih...! perasaan kemarin gue udah belajar
mati-matian. Mengapa cuman dapat 6?!” gerutu Nina saat
menerima hasil ulangan matemtika kemarin.
Jelas saja Nina marah-marah plus sakit hati, karena
semua temannya mendapat nilai yang lebih bagus daarinya,
tapi mereka mendapatkannya dengan cara curang kenapa sih...
Dunia ini sangat tidak adil?! Setiap akan ulangan
pasti aku belajar! Tapi kenapa justru nilaiku lebih rendah
daripada teman-temanku yang tidak belajar?! Mereka selalu
menagndalkan contekan untuk meraih nilai bagus. Dan ini
semua nggak bisa dikatakan ADIL! Aku yang belajar mati-
matian sampai harus tidur larut malam untuk mendapatkan
nilaii yang bagus, harus rela mengalah dengan anak-anak yang
lain yang sama sekali tidak belajar. Jangankan tidak belajar,
punya catatan juga belum tentu! Kenapa sih serba kebalik gini?
Kalau contekan bisa membuat mereka mendapat nilai bagus,
kenapa guru-guru melarang kita mencontek?!
Pikiran itu selalu memenuhi otak Nina. Sampai di
rumah dia terus saja memandangi nilai ulangannya itu, padahal
jika dilihat sampai kapanpun itu nilai nggak akan berubah,
tetap 6, dan nggak akan berbalik tiba-tiba menjadi angka 9.
Hmm...lama-lama aku juga capek, kalau terus-
menerus belajar dan selalu mendapat pas-pasan!! Dua hari
yang lalu biologi udah diapalin nama-nama latinnya, satu bab
pun sudah dipelajari, hasilnya juga cuman dapat 6,5. Bete
nggak sih?!” gumam Nina sendiri. Nina lama berpikir dan
akhirnya Nina menemukan bagaimana caranya dapat nilai
bagus tanpa harus susah-susah belajar semalaman.
Kenapa aku nggak mencoba nyontek aja, ya?
Bukannya teman-temanku selalu melakukannya? Dan nilainya
pun bahkan lebih bagus daripada nilai aku belajar semalaman.
Hmm...kayaknya besok pas ulangan kimia aku nggak
perlu belajar lagi deh!”
Hari ini anak kelas II-A sedang ada ulangan kimia.
Dan Nina benar-benar melakukan misi enyonteknya itu dengan
mulus tanpa ketahuan gurunya. Lalu hari berikutnya Nina
menerima hasil ulangannya. Dan kini Nina berhasil meraih
nilai 8,5. Nina tersenyum lebar merasa puas dan senang.
“Yeach...ini nilai kimia terbaikku. Karena biasanya aku Cuma
dapat nilai 4 kalau nggak 5, paling bagus 6 lah”. Lam sekali ia
memandang nilai 8,5nya itu dengan masih tersenyum-senyum
tapi, tiba-tiba senyumnya memudar, dia makin serius
memandang nilai. Seperti ada yang ganjil dengan nilainya itu.
“Kenapa sih, Nin?” tanya Bu Ratna Guru kimianya
yang dari tadi mengamatinya.
“Apa ada yang salah dengan nilaimu?” tanya Bu
Ratna lagi.
“Ya...sepertinya begitu. Saya baru kali ini mendapat
nilai 8. Tapi, sepertinya ada yang ganjal”. Nina terdiam lama.
“Saya memperolehnya dengan cara curang”.
“Kamu menyontek?”
Nina menganggu pelan.
“Saya ingin mencoba, baru kali ini kok Bu, tapi
setelah saya ,memperoleh hasilnya sepertinya ada yang
gimana...gitu? Senang sih senang, tapi rasanya lain apalagi
saya mendapat nilai 6 dengan cara saya belajar dengan
mendapat 8,5 dengan cara yang curang. Ada yang aneh dibalik
rasa senang ini,” jelas Nina.
“RUMUS KEBERHASILAN”

“Oh, ya rumus keberhasilan itu mudah diingat.


Pertama, carilah Tuhan dulu dan rajin berdo’a. kemusian rajin
belajar. Jangan biarkan tangamu menganggur. Lalu rajin belajar
dan manfaatkan kesempatan yang ada. Otakmu harus terus
menerus memikirkan hal-hal yang baik. Kalau uangmu belum
banyak, kau harus sangat berhemat. Jika tidak benar-benar
perlu, jangan keluarkan uang!” pak Ober menjelaskan
rumusnya.
Helmut menghafalkan kata-kata itu. Tak lama
kemudian mereka berdua berpisah.
Sebelum terpisah, pak Ober berkata,”Tahun depan
kita akan bertemu di restoran ini pada jam yang sama dan kita
akan bercerita lagi”.
Helmut kembali ke kolong jemabatan. Rekannya
Heran dan menyarankan agar Helmut menjual pakaiannya dan
mentraktir mereka minum-minum. Tapi Helmut tidak mau.
Helmut menyendiri dan berdo’a. ia memohon agar
Tuhan memberinya pekerjaan. Ia teringat bahwa orang-orang
suka berdiri di pinggir jalan di bawah pohon menggantungkan
karton di dada dengan tulisan : TOLONG BERIKAN AKU
PEKERJAAN.
Segera Helmut mencari karton dan tali, menulis
karton itu dengan arang yang dipungutnya di jalan dan pergi ke
bawah pohon di jalan.
Benar saja, tak lama kemudian sebuah mobil behenti.
Helmut diajak ke sebuah pesta pernikahan dan ia bertugas
mengambil piring-piring dan gelas yang kotor. Sore itu ia
mendapat uang. Dan ia membungkus uang yang didapatnya. Ia
sangat senang. Ia menawarkan diri diterima bekerja di
perusahaan katreing tersebut.
“KETIKA PUASA TIBA”

Seonggok sampah telah terkumpul di halaman depan.


Seonggok lagi di belakang rumah. Amir melihat ke sekeliling
rumah. Bersih, dan tak ada daun atau sampah yang tercecer.
Tangannya mengusap keringat di dahinya. Hari masih pagi,
matahari belum terasa panasnya. Tapi menyapu halaman yang
luas itu telah membuat berkeringat.
Sampah- sampah itu biasanya langsung dibakar. Di
tunggu sampai habis. Sisa- sisa abu biasanya disapu lagi
sampai benar-benar bersih. Setelah menyelesaikan tugasnya
dengan baik, barulah Amir merasa lega. Amir tak ingin
mengecewakan Mak Ape, pemilik halaman dan rumah itu. Mak
ape telah begitu baik memberinya pekerjaan yang tidak berat.
Sesuai dengan kemampuan Amir yang masih duduk di kelas III
SD.
Di antara teman-teman Amir, Mak Ape terkenal
dengan sebutan si kikir dan si galak. Tapi, bagi Amir dan
emaknya, Mak Ape itu sangat murah hati. Hampir setiap hari
ada-ada saja yang dibawa Amir ke rumah, pemberian Mak Ape.
Amir teringat dengan pertemuan pertamanya dengan
Mak Ape. Waktu itu Amir akan menjual ayamnya yang hampir
bertelur. Untuk membeli obat emaknya yang sedang sakit.
Kebetulan Mak Ape yang membeli ayamnya. Tapi, ayam itu
lalu dititipkan kembali pada Amir untuk dipelihara. Amir
sangat gembira, karena ia bisa membeli obat emaknya. Juga
tidak jadi berpisah dengan ayamnya.
“Mir, pagi sekali?” tiba-tiba terdengar suara Mak Ape
di pintu belakang. Amir agak terkejut dan menoleh.
“Ah, biasanya juga sepagi ini, Mak Ape ,” Amir
tersenyum sopan.
“Itu kalau hari-hari biasa. Ini kan hari pertama di
bulan puasa. Apa kau tidak meneruskan tidurmu? Nantilah
siang-siang baru menyapu halaman. Kau libur, kan?” Mak Ape
bekata ramah.
“benar Mak, saya libur. Tapi habis makan sahur dan
salat subuh, saya beres-beres rumah. Terus ke sini,” kata Amir
lagi.
“Emakmu sudah pergi bekerja?” tanya Mak Ape.
“Sudah Mak Ape,” ujar Amir. Emak Amir bekerja
sebagai pembantu di keluarga Pak Budi. Setiap hari ia sibuk,
harus belanja, memasak, menyuci dan menyetrika. Tetapi
keluarga Pak Budi sangat baik. Emak betah bekerja di sana.
“Awas Mir, jangan buang di selokan itu,” Mak Ape
mengingatkan.
“Tidak Mak Ape. Pak Guru selalu mengingatkan,
membuang sampah di selokan bisa menyebabkan banjir. Juga
tak enak dilihat,”kata Amir.
“Eh, agar aman kita buat lubang saja untuk tempat
pembuangan sampah. Dan biar Amang saja yang membuat
lubang sampah itu,”kata Mak Ape. Ketika itu Amang berada di
dapur.
Amir menyapu sambil melihat pohon rambutan yang
masih hijau.
Selesai bekerja, Mak Ape menghampirinya dengan
bungkusan di tangannya.
“Semalam anakku datang dan membawa pesananku.
Ini baju-baju untukmu, Mir. Ini memang baju cucuku yang
memang sudah dipakai. Tapi masih bagus-bagus. Dan ini ada
satu setel baju baru, buat lebaran. Kau tak usah mengambil
tabunganmu, untuk membeli baju baru.
“Baju ini untuk saya, semuanya?” tanya Amir.
“Iya untukmu. Juga ini ada sedikit kue-kue dan ikan
untukmu, buat nanti untuk buka puasan bersama Emakmu.
Setelah itu Amir permisi pulang. Dia melangkah
dangan perasaan yang sangat senang sekali. Karena ia dikasih
baju baru oleh Mak Ape. Dia berjanji untuk tidak akan
mengecewakan Mak Ape.
.

“SEBUNGKUS NASI UNTUK PENGEMIS”

Hari ini hujan turun cukup deras dan lama. Sejak awal
pelajaran tadi pagi, awan kelabu dan sedikit demi sedikit
menetaskan air. Hingga saat jam pulang sekolah, hujan
semakin deras.
Tak sedikit anak yang nekat pulang berbasah-basah.
Termasuk seorang gadis kecil kelas 5, Yulia namanya. Ia biasa
berangkat dan pulang sekolah tanpa antar jemput ayah dan atau
ibunya. Ayahnya seorang sopir angkutan umum, sedang ibunya
membuka warung makan di depan rumah. Kedua orang tuanya
sibuk untuk memenuhi kebutuhanhidup sekeluarga. Untunglah,
Yulai anak yang penuh pengertian. Ia tak pernah malu dengan
keadaannya. Bahkan ia pun mengurus kedua adiknya yang
masih kelas 1 danyang berusia 5 tahun, dengan rassa senang.
Siang itu, rupanya hujan makin deras. Terpaksa Yulia
berteduh. Kalau nekat melanjutkan perjalanannya, bisa-bisa
jatuh sakit.
“Deras sekali hujannya!” serunya sambil mengusap
tetesan-tetesan air yang mengalir di dahinya. Hampir seluruh
pakaiannya basah, ia mendekapkan kedua tangannya ke arah
lengannya, sembari menggigil kedinginan.
Jalanan tampak sepi. Rupanya baik para pengguna
jalan maupun pejalan kaki lebih memilih mencari tempat
berlindung. Yang tampak hanyalah tetesan air hujan diiringi
bunyi petir dan kilat. Warna langit sangat pucat, seperti
lembaran kain putih yang terbentang luas.
Tak jauh di samping Yulia berdiri, seorang pengemis
tertidur pulas dengan hanya berselimutkan kain tipis pada
punggungnya. Ia tidur menelungkup seperti seekor kura-kura.
Sebentar-sebentar pengemis itu membalikkan tubuhnya dan
mengucapkan sepatah dua patah kata yang tidak jelas. Pertama
memandangnya, Yulia merasa jijik. Tapi tak lama kemudian
terbersit rasa iba dalam hatinya.
“Kasihan pengemis ini. Ia begitu kurus dan papa. Tak
seorangpun yang memperhatikannya, bahkan mungkin orang
akan menghindarinya.”
Dalam pikirannya, Yulia merasa berjuta kali lebih
beruntung dari si pengemis. Di kala lapar, ibu Yulia pasti akan
menawarkannya makanan. Begitu pula saat ia sakit, ibu dan
ayahnya pasti akanberebut menanyakan keadaannya.
Begitu hujan agak reda, Yulia segera pulang.
Setelah mandi dan makan, ia menyusul ibunya yang
sibuk melayani para pembeli di warung. Melihat warung
ibunya ramai dikunjungi pembeli, Yulia senang. Tapi sejenak
senyum di bibirnya sirna manakala ia ingat pengemis kurus
yang dijumpainya saat berteduh tadi.
“Pengemis itu pasti kelaparan. Tapi...mana dia punya
uang untuk membeli nasi dengan lauk pauknya?” pikiran itu
terus mengganggu dirinya.
“Tadi kulihat di kaleng uangnya tidak ada sepeser pun
uang. Jadi...tidak mungkin ia dapat mengisi perutnya.”
Sambil terus berpikir, Yulia tetap membantu ibunya.
Ia membersihkan piring-piring dan gelas kotor dari para
pengunjung. Selain itu juga membantu membungkus makanan.
Tiba-tiba dari pikirannya muncul untuk membelikan
sebungkus nasi untuk pengemis kurus itu. Mengapa tidak,
begitu pikirnya. Segera diambilnya uang dari sakunya dan
diserahkan pada ibunya.
“Ada apa, Yul?” tanya ibunya, heran.
“S-saya mau pesan nasi bungkus, satu saja.”
“Buat siapa?”
“Ng... pengemis yang saya temui di jalan tadi. Ia
begitu kurus, pasti sangat kelaparan,” jawab Yulia polos dengan
mimik muka penuh harap.
Sejenak ibunya tersenyum. Dipandangnya wajah Putri
kecilnya itu, lalu disentuh pipinya dengan belaian.
“Ibu tidak habis mengerti, kenapa putri ibu begitu
penuh kasih? Sudah, uang ini simpan saja. Ibu akan
membungkuskannya untukmu,” lanjut ibu Yulia.
“Tidak. Ibu harus menerima uang ini. Anggaplah saya
yang membelikan pengemis itu. Kalau ibu yang memberi, itu
akan lain. Karena...karena saya benar-benar tulus memberi
pengemis itu nasi bungkus!” seru Yulia serius.
Akhirnya ibunya mengalah, diterimanya uang
pemberian putrinya itu. Setelah menerima bungkusan itu, Yulia
langsung pergi ke tempat pengemis kurus itu. Dilihatnya ia
masih tidur tergeletak di emperan toko. Dihampirinya
pengemis itu dengan langkah perlahan, lalu diletakkannya
sebungkus nasi yang dibawanya di samping pengemis itu.
Setelah itu, ia segera meninggalkannya.
Esok harinya ketika Yulia berangkat ke sekolah,
dilihatnya kerumunan orang di tempat pengemis kurus yang
kemarin diberikan makan.
“Ada apa? Ada apa?” tanya Yulia pada orang-orang di
sekitarnya.
“Seorang pengemis mati!” seru orang itu sembari
menunjuk pada sosok kurus terbaring dengan seulas senyum
tipis di bibirnya.
“Ya Tuhan, dia pengemis yang kemarin sore
kutemui!” teriak Yulia dalam hati. Ia berdiri dengan tegangnya
di samping pengemis yang sudah tidak bernyawa itu.
“Mungkin dia kedinginan.”
“Mungkin juga. Kasihan ya!” seru seseorang kepada
yang lain.
“Tapi kemarin sore kulihat pengemis itu sedang
makan sebungkus nasi dengan lahap dan senangnya. Raut
wajahnya benar-benar bahagia.”
“Aku yakin, sebelum meninggal ia ingin
mengucapkan banyak terima kasih pada orang yang telah
memberinya nasi itu,” komentar yang lain.
Tak terasa, air mata mengalir dari kedua pelupuk mata
Yulia. Sambil mengatupkan kedua bibirnya, gadis itu bedo’a
dalam hati, agar jiwa pengemis itu mendapatkan ketenangan di
surga.
Yulia merasa sedikit terhibur karena sempat
membahagiakan pengemis itu, walau hanya sesaat, dengan
sebungkus nasi.
“MENGINTIP MATAHARI LEWAT PANTAT BOTOL”

Banyak orang bercita-cita isa menatap permukaan


matahari. Sayangnya, tidak semua orang mampu
mewujudkannya. Sebab, menatap matahari tidak mungkin
dengan mata telanjang. Selain mata terasa pedih,
pandanganpun tiba-tiba silau. Kalau pun di paksakan, paling
bertahan beberapa menit saja.
Teleskop, barangkali, masih satu-satunya alat bantu
untuk menatap benda-benda angkasa, seperti planet, komet,
dan asteroid. Sayangnya, sarana itu hanya di nikmati orang-
orang tertentu. Para ilmuan ruang angkasa, fisikawan, astronot,
atau beberapa hobiis tata surya. Bagi masyarakat awam yang
tak mampu membeli teleskop ya cuma bisa
mimpi”bercengkrama”,”tersenyum ceria” dan”bercanda mesra”
dengat pusat tata surya itu.
Memang ironis, matahari (pusat tata surya) yang
berbuat baik kepada seluruh ummat manusia melalui pancaran
sinarnya yang indah mepesona, kurang “bersahabat”
Dengan mata telanjang kita. Kita pun adakalanya
jadi iri melihat para ilmuan bisa menikmati kemolekan melihat
pusat tata surya kita itu.
Ingin “bercengkrama” dengan pusat tata surya,
seperti mereka? Berikut ini salah satu cara menatap matahari,
tanpa menyebabkan mata anda pedih, meskipun berjam-jam.
Caranya? Siapkan sebuh botol ,dan kaca kosong bewarna hijau
(botol anggur atau botol apa saja yang berwarna hijau)”. Cuci
botol sebisa mungkin. Lalu masukkan kira-kira segelas air
bersih di dalam motor itu. Biasa juga cairan amoniak.
“ULAR DALAM SEPATU”

Bardi bergegas merapikan buku-bukunya dan


peralatan sekolahnya untuk siap- siap berangkat sekolah. Jam
sudah menunjukkan pukul 06.50.
“Sarapan dulu, Di”, kata ibunya sambil
menggelengkan kepalanya. Karena Bardi tergesa-gesa keluar
dari kamarnya. Kemudian Bardi meraih roti di atas meja dan
meminum seteguk susu.
Sejak mereka pindah, memang jarak antara rumah
Bardi dengan sekolahnya menjadi bertambah jauh. Bardi harus
mengayuh sepeda ke sekolah. Dulu memang Bardi jalan kaki.
Setelah sampai di sekolah Bardi langsung memarkir
sepedanya. Lalu berlari ke kelasnya yang paling ujung. Begitu
ia duduk bel masuk berbunyi. Minggu lalu Bardi dihukum oleh
Pak Pardede, dikarenakan Bardi terlambat masuk kelas.
“Hampir saja,” kamu kena hukuman,”jawab Raja.
“Hampir saja,” jawab Bardi dengan nafas lega.
“Kumpulkan buku kalian di depan, hari ini
ulangan,”kata Pak Pardede. Anak-anak kelas lima langsung
ramai protes. Namun Pak Pardede tidak peduli.
“Memangnya Bapak harus bilang kalau sekarang ini
mau ulangan?” Anak- anak terdiam seketika. Bardi gelisah,
karena semalaman dia tidur hingga larut malam. Dan juga dia
tidak sempat untuk belajar.
Bereskan sendiri, Di. Bik Atik tidak ada. Belajar
mandiri,” kata ibu ketika Bardi sudah pulang. Emangnya Bik
Atik kemana?” Tanya Bardi. Bik Atik pulang, anaknya sakit.
“berapa hari?” “sampai anaknya sembuh.
Esok harinya Bardi bangun tidur pagi-pagi sekali.
Hari ini dia piket sekolah. Bardi tidak mau terlambat.
Selesai memakai baju seragam Bardi bolak-balik
bingung mencari sepatunya. “memangnya kamu taruh di
mana?” tanya ibu. Bardi tidak menjawab. Lupa. Kemarin Bardi
ingat, melempar sepatunya ke suatu tempat. Tapi di mana ya?
“Ada apa, Di?” tanya Wawan sambil memegangi
tangannya Bardi.
“Kamu kenapa Bardi, sakit?” tanya Nina panik
melihat wajah pucat Bardi.
Bardi lalu pingsan.. wawan dan Raja berlari
mencari telepon umum untuk menelepon orang tuanya.
Tak lama kemudian ayah dan ibu Bardi pun datang.
Ayah bardi langsung melepas sepatu yang dipakai Bardi. Tapi
betapa terkejutnya ayah, ibu, dan teman-teman Bardi, ketika
seeokor ular keluar dari dalam sepatunya Bardi. Lalu cepat-
cepat ayah mengambil sapu-sapu yang digunakan untuk
membunuh ular tersebut.
Bardi pun segera dibawa ke rumah sakit terdekat.
Kata dokter Iwan, Bardi Cuma kaget. “Untungnya bukan ular
berbisa,” katanya lagi.
Bardi memang takut terhadap ular. Ketika ada yang
menggeliat di dalam sepatunya. Seketika itu Bardi
membayangkan ular dan langsung berteriak, karena takut
berlebihan dia ketakutan dan langsung pingsan.
Sejak saat itulah Bardi tidak sembarangan
meletakkan barang-barang miliknya.
“TERPAKSA KALAH LAGI”

Dua hari lagi, saat-saat yang sudah ditunggu-tunggu.


Kesebelasan SD Wirolegi 7 akan berhadapan dengan
kesebelasan SD Kepatihan 4. Pertandingan tersebut pasti akan
seru sekali.
Dheo, pemain kanan luar SD Wirolegi 7 sudah giat
berlatih. Dia pemain SD Wirolegi 7 yang paling ditakuti lawan
karena larinya yang sangat cepat dan juga lincah.
Pada kejuaraan tahun lalu, SD Wirolegi 7 kalah dari
SD Kepatihan 4. Semua teman- teman dan guru Dheo sangat
menyesali kekalahan itu. Dheo tiba-tiba jatuh sakit sehingga
tidak bisa memperkuat kesebelasan timnya.
Sekarang Dheo sudah siap. Dia sudah berlatih
dengan sungguh-sungguh. Dia berjanji kepada teman-temannya
untuk menebus atas kekalahannya yang tahun lalu.
Siang hari sepulang sekolah Dheo di suruh ibunya
untuk membeli benang. Benang itu akan digunakan untuk
menjahit baju olahraga yang akan dipakai saat pertandingan.
Sambil membayangkan celana merah yang baru,
Dheo berlari menuju warung. Setelah selesai membeli benang,
Dheo kembali berlari-lari hendak pulang. Tiba-tiba Dheo
melihat sebuah layang-layang yang putus. Tampaknya pula ada
anak yang sedang mengejar layangan tersebut.
Dheo lupa akan pesan ibunya agar cepat-cepat
pulang. Dasar pemain kanan yang hebat, kaki Dheo sangat
cepat berlari. Sebentar saja anak-anak lain sudah ditinggalnya.
Tiba-tiba, kaki Dheo tersandung batu besar.
Tubuhnya bergguling-guling di atas jalan beraspal. Dan
gagallah Dheo untuk meraih layang-layang itu. Ia duduk
sambil meringis kesakitan. Pergelangan kakinya terasa sakit
sekali bukan kepalang. Anak lainnya pun menertawakannya.
Sudah dua hari Dheo masih berjalan terpincang-
pincang. Kakinya masih bengkok dan sakit. Ia terpaksa duduk
di pinggir lapangan, tidak ikut bertanding. Sangat tersiksa
perasaannya, karena kesebelasannya SD Wirolegi 7 terpaksa
kalah lagi dengan menyolok: 3-1.

“CERITA DI TONG SAMPAH”

Suasana subuh masih menyelimuti awan. Ayam jantan


berkokok membangunkan pemiliknya yang masih terlelap.
Azan subuh baru berkumandan. Udara bersih yang segar akan
hilang sebentar lagi. Kendaraan bermotor akan
menyumbangkan polusinya ke udara yang segar.
Seorang pemuda membawa karung beras yang
kosong di punggungnya. Ia berjalan menyusuri rumah-rumah
sebuah komplek di bilangan kota Jakarta. Sandal jepit tua dan
usang, setia menemaninya mengelilingi komplek perumahan
itu. Baju hitam dan celana hitam adalah pakaian dinasnya
ketika ia berkeliling menghampiri temapt-tempat sampah yang
diam membisu di setiap depan rumah.
Ada aneka ragam tong sampah di komplek itu. Ada
yang dibuat sangat indah, sepadan dengan warna cat rumahnya,
dibuatkan tutup tong sampah dari besi yang kuat. Ada yang
dibuat seadanya, dan ada pula yang hanya meletakkan tong
yang sudah bocor sebagai pengganti tempat sampah.
“Tong sampah ini pasti sudah tidak sabar menunggu
kedatanganku”. Dikunjunginya tong sampah pertama yang
bercat putih. Gerombolan lalat berlomba melarikan diri ketika
ia memasukkan tongkat besi yang biasa digunakannya untuk
mengais-ngais sampah.
“Sayang tidak ada yang bisa diambil, hanya sampah-
sampah rumah tangga”.
Sesekali anjing menggonggong melihat sosoknya atau
mendengar langkah kakinya. Memang suasana suny sangat
peka dengan suara yang pelan sekali. Entahlah, apa yang
diucapkan anjing-anjing tersebut. Terkadang ia berpikir,
bahawa gonggongan anjing-anjing itu adalah pujian terhadap
dirinya. Sebab ia tetap bekerja dengan tidak menjadi peminta-
minta atau merampok.
Tak pernah terpikir dalam dirinya untuk menjadi
seorang penjahat atau pengemis, meskipun profesi itu sudah
dijalani oleh beberapa temannya. Dan kehidupan mereka
menjadi lebih baik daripada kehidupannya kini. Tetapi
keberkahan tidak pernah menghampiri mereka. Hidup mereka
selalu diselimuti oleh derita dan tekanan.
Ah, ia hanya akan berkelut dengan sampah-sampah
bekas yang dibuang oleh pemiliknya. Inilah keahlian yang
dimilikinya. Profesi inisudah digelutinya sejak ia berumur
enam tahun, kegiatan rutin yang dijalaninya setelah
menjalankan shalat subuh.
Rumah yang terbuat dari kardus dan triplek itulah
tempat untuk menghamba kepada sang Khalik. Cukup untuk
berdiri dan sujud jika shalat, dan berbaring untuk melepas rasa
lelah. Tidak pernah ia mengharapkan yang lebih dari itu.
Hatinya akan sangat girang bila mendapatkan gelas-
gelas plastik kemasan air mineral, atau kardus-kardus yang
sudah robek di sana-sini. Baginya benda-benda itu seperti
sebongkah emas yang menjadikannya seorang jutawan.
Tong-tong sampah itu selayaknya mesin ATM yang
biasa digunakan orang-orang yang tinggal di perumahan
tersebut untuk mengambil uang tabungna dengan cepat.
Suasana pagi adalah suasana yang sangat nyaman
untuk mengais sampah. Jarang ada orang yang melihatnya.
Di pagi-pagi buta ketika azan subuh belum
berkumandang, seorang remaja putri sedang menatap matanya
di depan computer. Tidak ada ide untuk ditulis, kosong.
Dibiarkannya komputer itu memainkan screen saver-nya.
Ia hanya menatap komputer itu. Sesekali ia menatap
langit-langit rumahnya yang tinggi dan putih bersih.
“Ya Allah, berilah hamba-Mu ide untuk menulis”.
Do’a-do’a itu selalu keluar dari mulutnya, ketika ia akan
menulis.
Kenapa pekerjaan in sulit sekali? Kenapa kerja
kerasnya tidak menghasilkan apa-apa? Semua sia-sia. Ia sudah
tahu bahwa pekerjaannya adalah hal yang sulit. Setiap buku,
koran, majalah, artikel di internet yang dibacanya mengatakan
bahwa pekerjaan ini membutuhkan semangat yang keras.
Ia hany berharap bahwa hasil dari pekerjaannya
dimuat di salah satu media cetak. Ia hanya berharap ada redaksi
yang berbaik hati untuk memuat karyanya. Tetapi, sepertinya
itu hanya mimpi belaka. Beberapa sayembara juga sudah
diikutinya. Tapi, hasilnya nihil.
Sempat terpikir oleh dirinya, bahwa redaksi-redaksi di
majalah atau di koran yang telah dikiriminya tulisan hanya
akan memuat tulisan orang-orang yang memang sudah dikenal
sebagai penulis atau orang-orang yang berhubungan dengan
penulis, seperti adiknya penulis, kakaknya penulis, atau
anaknya penulis.
Sedangkan dirinya hanya penulis amatir, yang tidak
akan pernah dimuat karyanya oleh para redaksi di media cetak
mana pun.
Tetapi ia tidak bisa melepaskan ini semua. Menulis
ada bagian dari dirinya. Ia mersakan kepuasan yang tidak dapat
diutarakan ketika berhasil menyelesaikan tulisannya.
Ia hanya membayangkan bahwa tulisan-tulisannya
kini berada di tong-tong sampah redaksi. Atau beberapa di
antaranya mungkin sudah sampai di Bantar Gebang, atau
tempat pembuangan sampah lainnya.
Tidak adakah redaksi yang terbaik hati untuk
menerima tulisannya?
Hanya ketidak mengertian yang selalu memenuhi
pikirannya. Sudah hamper setahun ia mencoba untuk menulis.
Mengirimkan naskah ke media cetak yang terbit di ibu kota,
terutama media cetak kesayangannya. Setiap minggu
ditargetkannya untuk mengirim sebuah karya, bahkan lima
bulan terakhir menjadi dua karya dalam seminggu.
Kini sudah puluhan karyanya dibawa oleh pak pos ke
meja redaksi. Tapi...nihil. tak satu pun yang dimuat. Tidak
pernah ada kabar gembira yang datang kepadanya. Azan subuh
berkumandang. Remaja purti ini segera mengangkat badannya
untuk mengambil wudhu. Dibiarkannya komputer itu menyala.
Tidak perduli dengan anjuran pemerintah untuk menghemat
listrik.
Terasa segar air wudhu yang membasahi wajahnya.
Segera ia membentuk pintu kamar orang tuanya. Segera ia
mengetuk pintu kamar orang tuanya, membangunkan mereka
untuk melaksanakan salat subuh, kemudian membangunkan
abang kesayangannya.

“ KREATIF”
PR matematika belum selesai Endang kerjakan.
Namun ia segera meletakkan bolpennya. Ia tak tahan
mendangar suara tangisan Isan yang makin rebut saja.
Ending bertanya pada mbak Emi, pengasuh Isan.
“Isan tidak mau makan. Pakai sayur bening, tidak
mau. Roti, tidak mau juga. Sekarang dibikinin telor ceplok, dia
juga tidak mau. Keluh mbak Emi. Lalu menggaruk- garuk
kepalanya karena kehabisan akal.
Ending mengangkat alasnya tinggi. Lalu mendekati
Isan yang duduk di lantai dengan air matanya yang bercucuran.
Dan Endang pun menarik tangan Isan pelan dan hati-hati.
“ayo, makan sama mbak Endang. Makan roti dadu
dengan manik-manik mutiara...”
Seketika tangisan Isan seketika berhenti. Ia tak bisa
menyimpan rasa herannya. Setelah sesaat diam, ia bangkit
berdiri dan berkata,”Judul roti kok, panjang sekali, Mbak?”
Mendengar suara yang nyaris polos, Endang dan
Mbak Emi tak bisa menahan tawa.
Ending tergagap, ia menoleh pada Mbak Emi.” Apa
tadi judulnya, Mbak Emi?”... Endang lupa pada “Judul” yang
dibuatnya sendiri.
Masih menahan tawa, Mbak Emi menjawab ”lo, yang
punya judulkan Mbak Endang sendiri!
“Mmm, dengan manik-manik mutiara,” Endang
menyambut cepat. Ia mengusap air mata Isan yang mengalir
dipipinya.
Isa duduk di kursi. Ending mengiris roti menjadi
kotak-kotak kecil. Ditata di piring dan ditetesi dengan susu
kental manis di atasnya.
“Dimakan dengan garpu kecil....,” Endang menusuk
sepotong roti itu dan.... mulut Isan sudah terbuka.
Nyami! Mbak Emi ternganga, soalnya, entah berapa
kali ia menyuruh Isan makan roti.
Keesokan harinya sepulanh sekolah, Endang melihat
Isan makan dengan gembira.
Mata Endang memudar. Di piring Isan, ada nasi
dicetak bulat seperti bukit kecil. Dan sepotong telur menghiasi
diatasnya, juga ditetesi kecap. Tapi... Endang mendekatkan
wajahnya. “telur kok bisa berbentuk dadu seperti itu?”
cetusnya heran.
Begini lho mbak. Sebelum di masak telurnya saya
pecahkan dulu. Kuning dan putihnyta saya campur, lalu
dimasukkan ke plastic dan dikukus. Lalu di iris- iris berbentuk
dadu,”jelas mbak Emi.” Kalau di rebus Isan hanya mau
putihnya saja. Padahal yang kuningkan lebih kaya akan protein.
Plok plok plok! Endang betepuk tangan. “Mbak Emi
tambah pintar saja,” katanya memuji.
Mbak Emi lalu tertawa mendengarnya. Besok Isan
akan saya buatkan sayur bening pelangi!”
“sayur bening tapi tidak hanya bayam. Biar meriah ya
bikin warna- warni. Dikasih wortel dan makroni ,” jelas Mbak
Emi.
Sejak itulah Isan tidak rewel lagi soal makanan,
karena Mbak Emi sudah pintar berkreasi.
“KOKO KENA BATUNYA”

Pagi ini adalah pagi yang cerah. Koko bersiap


berangkat sekolah. Ditatanya buku tulis ke dalam tas dengan
rapi. Kemudian ia menyantap sarapan yang telah disiapkan
dimeja makan supaya nanti di sekolah mempunyai banyak
tenaga.
Jam menunjukkan pukul 06.30. Koko bergegas ke
luar rumah. Koko mencium kedua tangan orang tuanya
sebelum berangkat ke sekolah. Dia berangkat sekolah sambil
bernyanyi-nyanyi. Dia senang karena bertemu dengan banyak
teman.
Sampailah anak-anak di depan pintu gerbang sekolah
mereka. Di depan warung dekat sekolah, terlihat Bandung
bersama temannya Joko. Mereka terkenal sebagai anak yang
nakal. Kadang-kadang mereka meminta uang kepada anak-
anak yang lain dengan berbagai ancaman.
Bel berbunyi keras, tetapi ketiga anak tersebut masih
berdiri di depan warung. Anak-anak lain pun bergegas masuk
kelas masing-masing.
Pukul 7 lewat 5 menit, Bandung, Joko, dan Koko
belum juga masuk kelas. Bandung dan Joko terus mengajak
Koko untuk bolos. Koko belum mengerjakan PR, makanya dia
mau saja diajak membolos oleh mereka.
Bandung, Joko, Koko bejalan- jalan di dekat pasar.
Suasana sangat ramai. Koko merasa senang karena di ajak
membolos. Dia tidak perlu ikut pelajaran matematika. Sambil
berjalan, mereka melihat di sekitar pasar. Di antara meraka ada
yang melihat tempat video game yang cukup ramai.
Di dalam tampat persewaan video game suasananya
sangat ramai. Mereka bermain bertanding bola. Koko, Joko,
dan Bandung bermain sampai lupa waktu.
Setelah mereka cukup lama bermain, Koko merasa
sangat lapar, uangnya tinggal sedikit. Ia merasa menyesal main
game, karena ia banyak kehilangan uang. Terlintas di
pikirannya untuk membeli somay. Jajanan pinggir jalan itu
langsung saja ia beli dan segera dimakan.
Satu kantong plastik somay dihabiskan semua. Tiba-
tiba pandangan mata Koko menjadi kabur, perutnya terasa sakit
sekali. Tubuhnya jatuh di atas tanah. Pak polisi yang melihat
kejadian itu langsung menolong Koko dan membawanya ke
sekolah.
Tidak lama kemudian Koko pun sadar dari
pingsannya. Dilihatnya teman- teman berdiri di sampingnya.
Koko menceritakan semua asal mula dia pingsan.
“Tadi saya di ajak Bandung dan Joko membolos, bu. Terus saya
makan somay di pinggir jalan, dan akibatnya perut saya sakit
karena jajan sembarangan”.
Suasana kelas tiba-tiba riuh. Teman-temannya sibuk
bertanya pada Koko apa yang dialami.
Koko kaget dan sontak dia langsung duduk tenang.
Dia merasa bersalah karena talah menjadi penyebab
kegaduhan.
Tak lama bel pulang pun berdering. Dia mulai
mengemasi barang-barangnya. Ibu guru memerintahkan Toya,
ketua kelas mereka untuk menyiapkan berdo’a.
“Gubrak!! “Suara aneh terdengar dari bagian
belakang kelas.
“Aduh,” teriak salah satu siswa.
Ternyata suara teriakan itu adalah suara Koko.
“Ada apa Ko? Tanya Bu Guru.
“Aduh sakit Bu, saya kejatuhan remahan plafon!”
jawab Koko.
Sebagian dari teman Koko ada yang tertawa ada juga
yang merasa kasihan terhadap Koko yang tertimpa plafon.
Setelah kejadian itu Koko diantar ke UKS. Di sana
dia diobati dan dibersihkan lukanya. Hesti memang seorang
dokter kecil. Jadi, masalah mengobati luka, adalah tugasnya
sehari-hari.
“Makanya, Ko. Jangan bolos! Kata Hesti.
“Iya Hes, aku juga menyesal. Coba aku nggak bolos
ya? Pasti nasibku tidak seperti ini. Perut sakit, pingsan,
tertimpa plafon pula!” lanjut Koko.
Selah semua lukanya dibalut. Dia pulang bersama
Hesti. Tak jauh dari persimpangan tempat ia berpisah dengan
Hesti, Koko bertemu dengan Bandung dan Joko.
Di saat Koko di ajak untuk bolos lagi, dia mencoba
menolak ajakan itu. Dia sudah berjanji pada guru dan teman-
temannya untuk tidak bolos lagi.
Hesti yang merasa cemas dengan keadaan Koko,
tidak langsung pulang. Dia mencoba untuk mengikuti Koko
dari belakang. Betapa kagetnya Hesti yang mendapati Koko
sedang berbincang- bincang dengan Joko dan Bandung.
Pada saat itu Hesti mengendap-endap secara diam-
diam. Mengamati segala gerak-gerik Joko, Koko, dan
Bandung. Hesti yang betubuh mungil bersembunyi di balik pos
kamling. Hesti menguping apa yang dibicirakan Koko,
Bandung, dan Joko.
Ternyata Bandung dan Joko masih berusaha untuk
membujuk Koko untuk membolos lagi. Koko tetap pada
pendiriannya untuk tidak membolos lagi.
Koko berlari bersemangat menuju rumahnya.
Bandung dan Joko tersenyum di belakang Koko. Mereka
membohongi Koko tentang harga tiket band Gokil.
Hesti yang melihat kejadian itu merasa curiga. Pasti
ada yang tidak beres dengan mereka. Dia hanya bisa berharap
tidak terjadi apa-apa dengan Koko.
Sesampainya di rumah, Koko melepas sepatu dan
langsung tertidur pulas. Beberapa menit kemudian matanya
sudah terpejam. Ibunya hanya bisa memandang kasihan.
Anaknya habis pingsan siang itu.
Keesokan harinya, pagi itu berjalan seperti biasa.
Tidak ada yang terlalu spesial. Pukul 06.30 Koko sudah
berangkat sekolah.
Koko segera keluar rumah. Pagi itupun cukup cerah.
Suasananya sangat cocok untuk menonton suatu pertunjukan.
Tidak jauh dari tempat Koko dan teman-temannya
berdiri, Hesti sudah berdiri di tiang listrik yang menjulang
tinggi. Di mengamati segala gerak-gerik Bandung dan Joko. Ia
curiga ada sesuatu yang direncanakan Bandung dan Joko.
Tiba-tiba Koko mulai bergerak dari tempatnya berdiri.
Dan benar saja, dia beserta Joko dan Bandung menjauh dari
sekolah. Sesampai di halte,Hesti menghentikan langkahnya,
dia berbalik arah menuju sekolah, karena tinggal berapa menit
lagi bel akan berbunyi.
Dengan sedikit mimik kecewa, Hesti melangkah
kembali ke sekolah. Namun Hesti bisa memastikan bahwa
Koko telah membolos lagi.
Di halte bus, ketiga siswa itu menunggu angkot
menuju tempat konser band Gokil. Tak lama kemudian anngkot
pun tiba. Koko tak sabar melihat aksi band faforitnya.
Karena sudah puas melihat konser band faforitnya,
Koko ingin kembali pulanng ke rumah. Namun sekarang dia
sudah tidak punya ongkos pulang. Tiba-tiba ada dua orang
yang menghampirinya. Ternyata itu adalah Hesti dan Ibu Guru.
Pada akhirnya Koko pulang bersama ibu guru. Dia
menyesal karena telah mengingkari janjinya.
Sontak dia kaget saat kedua temannya itu di tangkap
polisi. Koko pun kembali ke dalam ruang kelasnya.
“TIGA SAHABAT YANG PEMBERANI”

Siang itu panas sekali. Rani, anak kelas 6 SD duduk


di pojok sekolahan bersandar pada sebuah pohon. Sambil
menyedot es sirup yang dibelinya.
Di kelurkannya sebuah buku dari dalam tasnya. Rani
duduk termenung sambil mengipas-ngipas bagian kepalanya
dengan buku tadi.
Ketika itu datang Niko, teman sekelas Rani yang suka
jahil namun baik hati. Niko suka dipanggil Nik oleh teman-
temannya. Termasuk juga si Rani.
Bel masuk pun berbunyi, tanda bagi siswa untuk
masuk kelas. Rani langsung menarik Niko yang bengong.
Dua jam berlalu, Rani bersiap untuk pulang. Tak lupa
mereka berdoa dulu. Ibu guru mengingatkan siswanya agar
tidak lupa mengerjakan PR.
Kemudian para siswa pulang bersama-sama. Kedua
sahabat itu berjalan berdua menelusuri jalan pulang. Tak jarang
mereka pulang bersama-sama. Beda dengan sahabat mereka
yang satunya lagi yaitu si Deden.
Dalam perjalanan itu Rani teringat akan keadaan
Deden yang sedang sakit. Niko yang ngelamun langsung
ditegurnya. Kepanasan langsung lari.
Tak lama kemudian sampailah mereka di rumah Niko,
Rani masih harus berjalan lagi menuju rumahnya. Rani yang
kepanasan langsung lari. Dia sesegera mungkin bisa sampai di
rumah.
Setelah sampai di rumah, Rani langsung lari ke kamar
mandi. Suara air mengucur deras dari dalam. Setelah itu dia
mencuci tangan dan kakinya. Karena kehausan, Rani langsung
membuka lemari es dan diteguknya segelas air minum.
Kemudian Rani langsung masuk kamar dan tidur di
kasur busa warna pink miliknya. Seketika itu dia ingat
temannya Nik yang pelupa. Rani segera memencet nomor
telepon rumah Nik.
Tak lama Nik mengangkat gagang telepon. Masih di
bawanya guling butut yang dipakai untuk tidur.
Setelah menelepon Niko, Rani menutup gagang
telepon, tak lama kemudian dia tertidur. Rasa capek seharusnya
bisa membuat Rani terlelap.
Tanpa dibangunkan ibunya, Rani sudah melek lagi.
Dia tidak tahu mengapa siang itu susah untuk tidur dan
mungkin juga karena siang yang panas.
Rani mengambil handuk yang di gantung. Ia bergegas
untuk mandi. Segera ia ganti baju pramuka dan bergegas
menuju rumah Nik.
Jam tangan Rani menunjukkan pukul 3.10. Seperti
biasa, Niko belum bangun dan kaget saat Rani sudah sampai
dirumahnya. Sambil tersenyum ia membuka pintu rumahnya.
Dilihatnya wajah Rani yang merengut. Sorot matanya yang
tajam. Dan Nik pun ketakutan melihat wajah Rani saat itu.
Niko mencoba menenangkan Rani yang meledak-
ledak. Niko yang memang sengaja memasang wajah yang lucu.
Setibanya di sekolah, barisan pramuka sudah berjajar
rapi. Tapi sayang, keterlambatan Rani dan Niko diketahui kak
John.
Sambil menghela nafas lega, Rani masuk ke
barisannya. Rani masuk pada regu teratai, sedangkan Niko regu
kuda terbang.
Setelah barisan dirasa sudah lengkap kak John mulai
menghitung jumlah anak didiknya. Namun, pada regu kuda
terbang, ada satu anggota yang kurang. Ketua mereka Deden
tidak kelihatan.
Rani dan Nik mengambil tas mereka dan bergegas
pulang. Keduanya senang karena sepertinya hari ini kak John
baik hati.
Tibalah Rani dan Niko di depan rumah Deden.
Terlihat suasana sepi.
Setelah cukup lama, Rani mengajak Nik untuk
pulang. Dia merasa Deden tak ada di rumah. Mereka berduab
berjalan ke luar pagar untuk pulang. Tiba-tiba ada yang
membukakan pintu. Seorang laki-laki berumur 12 tahun.
Wajahnya pucat dan berdirinya pun sempoyongan.
Rani dan Nik segera berlari menghampiri teman
mereka yang sudah tidak masuk sekolah selama dua hari itu.
Mereka bertiga berada di ruang tamu Deden yang nyaman itu.
Keesokan harinya mereka mengadakan kemah. Pagi-
pagi sirine telah berbunyi. Mereka harus membuat barisan
berbanjar sesuai regu masing-masing. Segera mereka semua
berlari dari pick up dan menuju lapangan.
Serentak barisan anak-anak itu berjajar rapi
menghadap ke timur berlawanan dengan pembina upacara.
Niko mulai membuat ulah, rasa ingin buang air kecil telah di
tahannya sejak di atas bak mobil tadi. Suasana heboh
memecahkan keheningan upacara pembukaan. Regu kuda
terbang SD Pelita Harapan menjadi pusat perhatian. Muka
Deden terlihat kemerah-merahan menanggung malu karena
kelakuan temannya, Niko. Suara tertawa lirih terdengar dari
seluruh penjuru barisan.
Melihat kejadiaan itu, seluruh anggota regu Teratai
dan Kuda Terbang langsung menundukan kepala karena malu.
Tak lama kejadiaan itu berlalu dan upacara
pembukaan pun selesai. Regu kuda terbang kebagian di bawah
pohon sawo, sedangkan regu teratai sekitar 15 meter dari
pondok kecil. Tongkat pramuka berwarna coklat tua berpanji
kuda terbang ditancapkan tegak di samping pohon itu.
Regu teratai yang cekatan juga sudah menyelesaikan
tendanya dengan baik. Ketua regunya si Tari menghampiri
Deden mengajak untuk mengambil nomor urut peserta di tenda
panitia. Nik dan teman-temannya menunggu di bawah pohon.
Prit... prit... prit. Suara sempritan berbunyi tanda
peserta kembali berkumpul. Regu Kuda Terbang segera berlari
dan cepat-cepat membuat barisan. Mereka tidak ingin
mendapat malu yang kedua kalinya.
Nomor urut peserta sudah di bagikan. Sepertinya
saingan terberat adalah SD Nasional yang dua tahun terakhir
selalu memenangkan lomba yang sama. Niko yang regunya
tidak mau kalah, memandangi regu Marabunta SD Nasional
yang lataknya dua regu di samping kiri regu kuda terbang
dengan tajam.
Dan tibalah waktunya lomba dimulai. Regu yag
berangkat pertama kali adalah SD Nusa Indah.
Tak terasa regu Deden pun berangkat. Yel-yel pun
mulai disuarakan. Niko sebagai pemandu acara mengeluarkan
gaya-gayanya yang menarik perhatian. Panitia pun dibuat
takjub dengan tingkah Niko yang lucu.
Tak jauh dari regu Kuda Terbang, regu teratai
menyusul di belakang. Deden dan regunya menuju POS 1
untuk tes baris-berbaris atau PBB.
POS 1 dilewati dengan lancar. Regu teratai dan Kuda
Terbang jaraknya pendek, digabungkan menjadi satu. Jarak
antara POS 1 dan POS 2 memang cukup jauh.
Karena sudang berjalan cukup jauh akhirnya regu itu
memutuskan untuk beristirahat. Karena sudah tak tahan lagi
ingin buang air kecil, Niko yang takut itu mengajak Rani untuk
mengantarkan dirinya. Rani mengikuti Niko dari belakang tak
lama mereka berjalan, mereka menemukan sungai.
Dari semak-semak terdengar suara yang menggagu
telinganya. Suara itu membuat dirinya sangat penasaran.
Dilihatnya segerombolan laki-laki dewasa dengan sebuah truk
merah berukuran sedang. Salah satu dari mereka memakai
sepatu boot dan berkacamata hitam.
Karena rasa tahunya tinggi, Niko terus saja menyimak
pembicaraan mereka. Niko yang menyimak dibalik pohon
merasa kaget atas apa yang dia dengar. Dia yang merasa takut
akhirnya dia kabur dan berlagak seperti tidak ada yang terjadi.
Keempat orang tadi curiga ternadap Niko, para lelaki
itu langsung menangkap Niko yang ketakutan itu.
Rani bingung menungggu Niko yang tidak kunjung
kembali dari tempat ia buang air kecil.
Rani yang khawatir atas keadaan Niko langsung
menceritkan kejadiaan ini kepada teman-temannya. Deden
yang ikut khawatir memutuskan untuk menolong Niko yang
hilang. Teman-temannya yang lain kembali ketempat panitia
untuk meminta pertolongan.
Setelah lama mencari Niko, Deden menemukan tanda
dari Niko. Deden meneruskan perjalanan menuju bilik tempat
Niko berada.
Deden mengendap-ngendap mendekati bilik.
Sampailah ia pada sebuah jendela belakang. Betapa kagetnya
dia mendapati Niko menangis sambil membawa bendera
semaphore.
Deden bernafas sejenak untuk berfikir bagaimana
cara untuk menyelamatkan Niko. Langsung ia mendekati sapi-
sapi kecil yang diikat di bawah pohon tadi. Di ambilnya batu
tajam untuk mengerat ikatan tali yang menjerat sapi. Dengan
sekuat tenaga, ikatan tali itu pun lepas. Sontak, sapi-sapi itu
berlarian dan menimbulkan suara riuh.
Kawanan pencuri itu berlarian keluar bilik mengejar
sapi yag lepas. Cepat- cepat Deden dan Niko keluar.
Setelah pencuri itu selesai menangkap sapi-sapi itu,
Deden dan Niko yang mau kabur segera dicegat oleh mereka.
Tak lama kemudian polisi pun datang dengan menodongkan
pistolnya kepada pencuri itu. Mereka sangat kegirangan, dan
Rani yang berada di luar tersenyum manis.
Ketiga bocah itu kembali ketenda diantar Pak Polisi.
Teman-teman mereka sangat senang melihat mereka pulang
dengan selamat.

“RUSA YANG SOMBONG”

Seekor rusa jantan yang sedang memimpin


kawanannya mendaki bukit, menuju sebidang padang rumput.
Dia tahu di mana perangkap-perangkap itu terdapat. Rusa itu
berjalan dengan santai menuju perangkap yang tersembunyi
dan di belakangnya berbondong-bondong sekawanan rusa.
Ketika sekawanan rusa itu mendekati sumber air,
anak rusa yang berada di belakang berlari menuju ke depan
memberitahukan kepada pemimpin rusa itu supaya tidak
melewati jalan itu sebab ada lubang tersembunyi di jalan itu.
Tetapi rusa itu tidak memperdulikan perkataan anak rusa itu.
Dengan sombongnya rusa itu melangkah dengan
gagah ke arah lubang yang tersembunyi itu bersama
kawanannya, dan suatu malapetaka terjadi bahwa rusa sang
pemimpin itu dan salah satu kawanannya terjatuh kelubang
tersebut. Sang pemimpin rusa itu mati dengan penyesalan
karena tidak mengikuti nasehat dari anak rusa yang kecil itu.
“KEMATIAN”

Telegram senja yang ku terima, cukup membuat aku


berpikir dengan berbagai kemungkinan. Bunyi telegram cukup
padat, singkat dan memancing bermacam-macam tafsiran
tentang keluarga yang jauh,”pulanglah! Kakek mau bertemu,
titik.”
Pada akhir keputusanku, aku mau pulang dengan
jalan darat, memakai kendaraan umum, bus, serestafek. Kukira
itu jalan paling singkat yang harus ku tempuh. Kalau aku
memilah jalan udara, disamping uang tak cukup, juga ada
persoalan lain berupa resiko yang harus aku hadapi. Resiko
apakah ada tempat kosong untuk berangkat besok atau kapan
jadwal penerbangan yang tepat.
Soalnya, tempat tinggalku kecil, tapi disinggahi oleh
penerbangan domestic yang seminggu entah berapa kali. Aku
sudah mempertimbangkan jika estafet berjalan dengan lancar,
berakhir dalam dua hari bisa sampai. Jika ada yang tidak beres,
mungkin entah berapa hari aku baru sampai. Tetapi aku
berharap semuanya beres dan berjalan dengan lacar.
Memang keinginan untuk cepat mengetahui masalah,
menggebu-gebu dalam benakku. Tetapi, aku juga harus
memperhitunngkan segi ekonomi. Maklumlah, aku belum
berpenghasilan dan kiriman dari rumah selalu saja pas-pasan.
Tak ada kemungkinan untuk menabung, menyisakan uang. Apa
boleh buat aku belajar pasrah setelah usaha maksimal
ketempuh tak berhasil.
Kondisi tingkah perilaku baik ekonomi dalam arti
mengatur kehidupan. Itu pesan kakek. Malahan katanya,
kesederhanaan adalah “ pengelapan” hidup yang semakin
meresap.
Terbayang wajah kakek, yang menjelaskan tentang
hidup yang tak akan abadi untuk selamanya. Karena semuanya
akan musnah dan tak ada sisanya di dunia ini.
“AKAL DODO”

Teng! Teng! Teng!


Bel pulang berdentang nyaring. Anak-anak riuh
berhamburan keluar kelas. Dodo berlari kecil, bergegas ke
gerbang sekolah. Berharap Beno, adik kelasnya, menunggu di
sana. Mereka bertetangga. Setiap hari Beno diantar mobil.
Dodo diizinkan menumpang.
Akan tetapi, ups! Dodo menepuk dahinya. Ia baru
ingat, hari ini Beno tidak masuk sekolah karena sakit. Berarti
Dodo harus pulang sendiri. Ia merogoh uang saku celananya,
berharap masih ada uang untuk naik metromini. Namun,
ternyata tak ada uang sepeser pun di sakunya! Semua habis
dijajankan. Ia benar-benar lupa Beno tak masuk.
Dodo menarik nafas menenangkan diri. Sambil
berpikir, ia berjalan menyusuri trotoar. haruskah pulang
berjalan kaki? ah, dodo menggeleng pelan. rumahnya terlalu
jauh. Menumpang teman? Boleh juga.
Banyak sekali temannya yang searah dengan dirinya,
namun Dodo menggelengkan kepalanya. Lalu mereka keluar
halaman sekolah. Di halte bus dia berhenti. Dia melihat
pengamen duduk di dekatnya yang sedang bernyanyi sambil
memainkan gitarnya.
Plok! Plok! Plok!
Dodo bertepuk tangan mendengar bang Darim selesai
menyanyi. Pemuda itu terkejut melihat Dodo dengan heran.
“ Oooo, kukira kamu menghinaku,” bang Darim
tersenyum.
Ketika bus metromini jurusan pasar minggu berhenti,
keduanya segera meloncat naik. Kami pengamen jalanan akan
menyanyikan lagu untuk menghibur anda. Bang Darim mulai
memetik gitarnya. Dodo bertepuk tangan dan menyanyi kan
sebuah lagu yang tak asing lagi baginya dengan judul
”bujangan”.
Sampai di pasar minggu Dodo dan Bang Darim pun
turun. Tak lupa mereka mengucapkan terima kasih. Dodo
menyerahkan kantong permen yang berisi uang kepada Bang
Darim.
Setelah itu Dodo tersenyum manis dengan ragu.
Keduanya lalu terpisah. Dodo pulang dengan membawa uang
hasi ngamennya bersama Bang Darim. Dan Bang Darim
meneruskan ngamennya.

“PENCURI DAN HARIMAU”


Suatu hari, Somat melihat sapi Pak Tarman yang
cukup gemuk. Somat meneliti di mana letak kandanya dan di
mana juga jalan yang akan di gunakan untuk lari andai ia
ketahuan.
Setelah cukup meneliti, Somat kemudian pulang dan
menunggumalam tiba. Saat malam tiba, Somat pun
mengendap-ngendap menuju rumah Pak Tarman. Ia berhasil
mendekati kandang sapi. Dalam gelapnya malam, Somat
melihat sosok hitam di sudut kandang sebelah utara.
Somad tak tahu, kalau sore itu ada seekor harimau
yang memasuki kandang itu.
Somad melangkah bersiap memasuki kandang. Namun tiba-
tiba trdengar suara anak pak Tarman menagis.
Setelah suasana kembali sepi hati pak Somad jadi
senang. Telah dirasa aman, Somad kembali mendekati pintu
kandang tersebut namun ia pun mendengar ucapan pengasuh
anak pak Tarman. Meskipun binatang, harimau itu mengerti
bahasa manusia. Ia pernah mendengar cerita manusia tentang
hantu yang seram.
Saking takutnya, si harimau diam saja ketika Somad
mengalungkan tali di lehernya. Ia juga menurut saat Somad
menuntunnya keluar kandang.
Mereka terus berjalan, semakin jauh dari rumah pak
Tarman. Biasanya harimau itu suka sekali menggeram dan
mengaung. Namun kini ia diam saja karma takut.
Si harimau itu jadi bingung. Mengapa ada hantu yang
berlari di saat dirinya menggeram. Saat itu orang-orang
terbagun mendengar teriakan Somad. Mendengar suara-suara
manusia harimau itu berlari menyelamatkan diri. Suasana jadi
gempar si harimau itu mempercepat larinya.

“SURAT”

Alma dan Alda berlari menyambut pak Pos. Alma


langsung menyambar surat dari pak Pos. Alda merebut surat itu
dari adiknya. Keduanya sibuk merebutkan surat itu.
Akhirnya .....BREET! Surat itu sobek. Alma dan Alda kaget
bukan main. Apalagi setelah membaca tulisan di amplop surat.
Di situ tertera nama Ayah mereka.
“Kamu sih tidak sabaran! Surat ayah sobek deh!”
tuduh Alda.
“Enak saja! Tadi kan kakak yang merebut dari
tanganku,” sangkal Alma.
“Sudah-sudah. Sekarang kita simpan surat ini di laci.
Lalu kita cari jalan keluarnya,”Alda menghentikan petengkaran
mereka.
Menjelang malam, mereka belum juga mendapat cara
untuk memecahkan masalah itu. Bahkan, dua hari kemudian,
surat itu masih tetap ada di laci meja belajar Alda. Belum juga
di serahkan pada ayah mereka. “ bagaimana, Ma? Sudah
ketemu belum caranya”tanya Alda.
“Belum, kak!” jawab Alma singkat. Namun beberapa
saat kemudian wajahnya tampak girang” Asyik! “Aku dapat
ide!”
“Apa idemu, Ma?” Tanya Alda tak sabar.
“Bagaimana kalau amplop suratnya kita ganti dengan
yang baru. Alamatnya kita salin kembali. Kemudian kita
serahkan pada Ayah, Pura-pura baru kita terima tadi siang,”
Ujar Alma pada kakaknya.
“ANDAI ADA KESEMPATAN KE DUA”

Teeeeet, bel istirahat berbunyi. Anton, murid kelas


5, segera berlari ke kelas 6. Ia menghampiri Hadi, teman satu
regu di pramuka.
“Kemarin bapak membelikanku 3 film baru,” ujar
Anton. Pulang sekolah nanti, kita nonton sama-sama, ya!
“Aku mau tapi...aku ada les privat. Tapi kalau sudah
selesai les, aku akan menyusul ke rumahmu?”ujar Hadi.
“boleh, boleh. Kami akan nonton duluan, nanti
kamu menyusul! Anton mengakhiri pembicaraan.
Saat makan siang, Hadi memikirkan kesembilan
orang temannya itu. Hatinya mulai bimbang. Ia memikirkan PR
matematika yang sulit serta prakarya yang setengah jadi. Mana
yang harus ia pilih?
“Bagaimana kalau les-ku diganti dengan hari lain?
Ah, biar nanti aku menelepon Mas Gito.
Selesai makan Hadi bergegas mencari Hadi yang
gambil sepedanya. Tapi ibunya menghadang,” Mau kemana
Hadi? tanya ibunya.
“Cuma sebentar kok, bu,”jawab Hadi sambil
mengambil sepedanya.
Hadi bepikir. Tapi bukan les yang dipikirkannya.
Melainkan soal tiga film baru di rumah Anton. Hari ini les
ditunda, PR matematika dikerjakan di rumah Anton sambil
menonton film, begitu pikir Hadi.
“Mmm, les-nya ditunda dulu, Mas. Sambil Mas
Gito kembali dari solo.”
Mas Gito akhirnya berpamitan dengan lega.
Ketika tiba di rumah Anton, Hadi melihat 8 sepeda
diparkir di halaman. Semua sudah berkumpul! Anton gembira
menyambut Hadi yang tidak jadi les.
Setelah film pertama sudah selesai di putar. Hadi
ingin memutar ulang. Karena ia ingin menonton bagian
awalnya. Mereka pun menonton film ke dua. Tak terasa hari
mulai semakin sore. Ketika film kedua selesai, Anton bertanya.
“Aku tidak tahu, berapa lama masa film ketiga ini.
Apa semua belum bosan dan masih mau menonton lagi film
yang ke tiga.
Namun, di tengah film televisi mulai mati. Orang
tua Anton menelepon dari kantornya memberitahu Anton
bahwa ada gardu yang terbakar. Mereka semua segera menutup
semua pintu dan jendela.
Kesepuluh anak itu kaget. Apalagi Hadi yang
belum mengerjakan PR matematika dan prakarsanya.
Film memang bisa diputar ulang. Namun
kesempatan hanya datang satu kali! tentu Hadi akan
mengerjakan PR dan prakarsanya dulu.
“TERSINGGUNG PADA KUDA”
Raja yang amat sayang pada kuda hitamnya. Si
Hitam tampak gagah dan anggun, bulunya berkilat dan
ringkiknya kuat.
Suatu hari, Raja singgah di kandang kuda
kesayangannya. Raja amat heran ketika melihat Mista si pejaga
kuda sedang menyuapi si hitam. Di dekatnya ada baskom kecil
yang berisi cairan. Si Hitam makan rumput dengan lahap
sekali.
Pada saat itu raja ingin sekali menyuapi si hitam.
Akan tetapi si Hitam malah melengos tak mau di suapi raja.
Di dalam istana Raja menyibukkan diri
denganmembaca surat-surat yang masuk. Ia berusaha untuk
melupakan ulah si Hitam tadi itu. Namun di dalam hati sang
Raja masih marah pada si Hitam.
Dia mencoba untuk menceritakan hal tersebut
kepada permaisuri. Tapi permaisuri tersenyum melihat perilaku
sang Raja. Namun sang Raja tetap saja ingin tahu apa sebab si
Hitam menolak suapan sang Raja. Pada akhirnya sang Raja
menyuruh pak Kosim untuk menyelidiki hal tersebut. Pak
Kosim aadalah tukang cukur juga orang kepercayaan Raja. Dan
juga Pak Kosim pandai menyimpan rahasia.
Pak Kosim di suruh untuk mendekati Mista. Mista
yang sedang menyuapi si Hitam. Ia mengambil segenggam
rumput yang di masukkan ke dalam baskom yang berisi cairan
dan menyuapi si Hitam. Si Hitam menyambut rumput itu
dengan lahap.
Kemudian pak Kosim menyapa Mista, dan Pak
Kosim pun bertanya mengenai mengapa si Hitam sangat lahap
ketika disuapi dirinya.
Setelah di kasi tahu, Pak Kosim mengikuti jejak-
jejak yang diberitahu Mista. Ternyata si Hitam juga memakan
habis rumput yang diberi Pak Kosim.
Pak Kosim pun langsung menghadap sang Raja.
Ia menjelaskan rahasia rumput si Hitam.
Setelah sang Raja mengetahui hal tersebut, sang
Raja langsung menghadiahi Pak Kosim dengan sekantung
emas dan uang. Ia pulang kerumah dengan rasa gembira.

“PETUALANGAN KAPTEN KOLOR”


George dan Harold bersahabat. Rumah mereka
bersebelahan dan mereka duduk di kelas 4.
Kedua anak ini sebenarnya anak yang baik. Cuma
George dan Harold punya kekonyolan yang kalau di daftar
akan panjang sekali, sehingga kadang mereka mendapat
masalah dan sekali waktu mereka mendapatkan kesulitan yang
amat sangat BESAR.
George dan Harold suka sekali pergi ke rumah
pohon tua di halaman belakang rumah George. Di sana Harold
menggambar dan George mengarang cerita.
Mereka sudah menciptakan ratusan komik yang di
bintangi lusinan super hero. Kapten Kolor ini adalah jagoan
yang terbang hanya memakai celana kolor atau celana dalam
saja. Dan dia juga bisa berantem dengan “kekuatan karet
kolor”.
Karena kekonyolan George dan Harold kadang
menimbulkan masalah besar.
George dan Harold kena hukuman. Tapi berkat
cincin-hipnotis 3-dimensi yang dipesan dari toko si Cebol yang
sok tahu. Mereka bisa mengubah Mr. Krupp yang galak itu
menjadi Kapten Kolor super hero yang paling top, yang
berjuang demi kebenaran, keadilan serta segala sesuatu yang
tidak bakal menyusut lagi.

Anda mungkin juga menyukai