“EPISODE BINTANG”
Tak pernah ada yang tahu bahwa bumi yang kita injak
ini diam, konstan tak pernah melakukan gerakan apapun, tidak
berputar, berotasi, berevolusi atau gerakan-gerakan lainnya.
Dan, apakah kalian ingin tahu itu? Sepertinya tidak. Hanya aku
saja yang menyadari hal itu. Kelak, suatu saat nanti aku akan
mengumumkan pada dunia tentang hal ini.
Malam ini kembali menemani bintang. bermain-main
dengan mereka. Kebiasaan klise kaum pemimpin macam aku,
katanya. Aku tak perduli dengan semua pendapat orang-orang
itu. Toh, mereka juga tak pernah memperdulikan aku. Mereka
hanya perduli karena aku mulai tak waras, katanya. Ya, aku
disangka tak waras saat aku sedang berdialog dengan bintang-
bintang. Orang-orang di sekitarku tak pernah tahu bahwa
bintang sama seperti kita. Bitang-bintang itu menciptakan
walau mereka pun menciptakan sinar-sinar untuk dibagikan
kembali kepada seluruh yang membutuhkan.
Tiap malam aku mampu menghitung bintang di
langit. Bila ada pengakuan sia-sia menghitung bintang di
langit, itu hanya pendapat fraksi pemalas. Buktinya aku
mampu. Walau memang tidak pasti jumlahnya. Satu, dua, tiga,
empat ....! “kurasa kau telah terlalu gila dengan bintang-bintang
itu.”
Aku menoleh ke belakang mencari seraut wajah yang
telah memamerkan suaranya untuk mengejekku. Jelas aku
panas, tidak terima dengan leluconnya yang tidak lucu itu. Lagi
pula aku tak pernah mengganggu siapapun saat aku
menghitung bintang-bintang itu. Kudapati Allen, yang berdiri
tegak tepat di belakangku. Aku kembali membalik,
menghadapi jendela. Kembali menghitung bintang-bintang di
langit.
Allen mendekatiku yang kembali asyik dengan
bintang-bintang. Tangannya menyentuh bahuku. Kebiasaan
lama yang tak pernah ditinggalkannya. Merayu, membujuk,
atau apa saja agar aku bisa tersenyum kembali padanya. Tapi
sekarang tak semudah itu.
Allen terlalu banyak omong dan itu membuatku
makin tak suka akan kehadirannya malam itu.
“Kau tak pernah kehilangan siapapun. Seharusnya
aku yang berkata seperti itu, Al,”suaraku berhenti di
kerongkongan. Perih saat mengucapkannya.
Ya, seharusnya aku yang mengucapkan itu. Aku telah
kehilangan Dad, Mom, dan David. Dan aku tidak punya siapa-
siapa kini. Tidak Allen, sahabaku itu, atau juga bibi Allison
yang kini menampungku di rumahnya. Dan aku any punya
bintang. Yang senantiasa mendengarkan ceritaku,tentang
mimpiku, tentang keluargaku, tentang harapanku, tentang
semuanya.
Aku tidak pernah berharap banyak. Tidak juga dengan
orang-orang yang telah membunuh seluruh anggota
keluargaku. Aku hany ingin keluargaku hidup kembali. Ada di
sini bersamaku. Memandang langit yang terang dengan
bintang-bintang. Menembus malam yang panjang bersama
orang-orang yang aku cintai. Itu saja. Tidak boleh atau
salahkah permintaanku itu?
Bumi ini konstan. Dan inilah bukti yang nyata bahwa
teoriku itu benar. Perputaran bumi pada porosnya yang
menyebabkan siang dan malam tak kurasakan lagi. Bagiku
setiap hari adalah malam. Perputaran bumi yang mengelilingi
matahari yang menyebabkan genapnya masa setahun juga tak
pernah kurasakan lagi. Tiap tahun aku berharap akan datangnya
keluargaku. Tapi hingga saat ini, mana ...? Di mana mereka?
Kata orang-orang mereka mati. Tapi mati di mana? Mengapa
aku tak pernah tahu? Mengapa? Aku merasa bahwa bumi ini
tetap pada masa tahun ketika aku kehilangan keluargaku.
Tahun demi tahun yang kulewati sama. Hampa. Sendiri.
Allen menghembuskan nafasnya yang terasa berat.
Ya, aku merasakan itu. Mungkin lelah menghadapiku yang
senantiasa konstan, layaknya bumi ini. Tak pernah berubah.
Bukannya aku tak pernah mencoba untuk berubah, tapi bumi
yang membawaku pada kebisuan hati.
Allen dan aku saling diam. Aku menatap langit,
mencoba berhitung dari awal jumlah bintang yang ada di sana.
Allen mendongakkan kepalanya ke luar jendela. Mencoba larut
bersama bintang, namun sepertinya tak bisa. Dia bukan sahabat
bintang. Jadi, dia tak mampu menembus malam yang
berbintang.
“Suatu saat nanti, aku akan pergi ke tempat bintang-
bintang itu, mengambil satu untukmu agar kau tak lelah
menengadahkan kepala demi berbincang-bincang dengannya.”
Aku menoleh ke arah Allen yang masih merangkul
hangat tubuhku. Aku lupa mengatakan padanya bahwa bintang
itu berlari, berjalan, bergerak mengitari bumi. Akan sulit
baginya menyentuh bintang-bintang itu, dia harus berlari
mengejar bintang bila ingin mengambilkannya untukku.
Kini Allen yang kaget. Dia menatapku seperti tak
percaya. Mungkin baginya, ada yang salah dari ucapanku. Tapi
aku mengatakan hal yang aku percayai kini.
“Ayolah, jangan benar-benar menjadi gila, Ros!”
suara Allen seakan memintaku untuk meralat apa yang telah
didengarnya.
“Rose!” suara Allen tiba-tiba menjadi tinggi dari
sebelumnya. “Kau terlalu cerdas untuk mengingkari kebenaran
sebuah ilmu pengetahuan! Dan kau tahu bukan bahwa ...”
“Aku tahu kau lebih pandai dariku, aku tahu kau ingat
semua konsep yang telah bersama-sama kita pelajari di
sekolah.” Suara Allen berhenti sampai di situ. Kembali, dia
menyelimuti kami berdua. Sementara malam terasa mulai larut.
Ruang kamarku yang sempit menjadi kian sempit dengan
kebisuan ini.
Aku hampir menangis. Bahkan aku menyesal telah
mengatakan hal itu semua pada Allen. Aku bingung harus
bagaimana lagi. Kulirik Allen. Pandangannya menyejukkanku.
Dia terlalu tulus mendengarkan segala keluh kesahku. Aku tahu
berutang banyak kepadanya. Dan ceritaku tadi membuatku
berutang lagi padanya.
“Kau hanya perlu waktu lebih lama untuk menerima
hal ini. Ini memang begitu pahit untuk ditelan olehmu. Tapi
kau juga perlu tahu, dulu para rahib gereja Katholik menentang
teori Copernicus yang mengatakan bahwa matahari diam,
bumilah yang mengelilingi matahari. Perlu waktu yang lama
untuk meyakini doktrin Copernicus. Hingga Galileo pun datang
menyatakan hal yang sama, tapi tetap saja ditentang karena
doktrinnya mengingkari doktrin versi Injil tentang kosmologi
waktu itu. Tapi Galileo menang 359 tahun kemudian. Lembaga
inkuisisi gereja Katholik mengaku salah telah mengkafirkannya
karena doktrinnya yang bartentangan dengan Injil memang
benar, bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta. Bumi
begerak menurut orbitnya untuk mengelilingi matahari. Waktu
aku berdebat dangannya.
Apakah aku yang sekarang adalah aku yang berada
pada lima tahun yang lalu? Yang setia menunggu sepi
keluargaku sendiri? Aku yang telah menjadi gila sekarang
adalah aku yang lima tahun lalu, yang tidak rela menerima
kenyataan bahwa keluargaku telah lenyap. Aku masih konstan
karena aku tak cukup mampu mengimbangi putaran bumi yang
telah kencang. Apakah mungkin seperti itu? Apakah aku
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk sebuah
kebahagian? Atau hanya waktu yang mampu mengobati
lukaku? Tapi sampai kapan lagi aku harus mangejar watu-
waktu itu?
Dad dan Mom tawas dalam sebuah perjalanan pulang
dari rumah salah seorang sahabat. Tapi mayatnya tak pernah
ditemukan. Polisi kesulitan mengatasi kasus ini. Karena semua
bukti dan mayat ke-dua orang tuaku yang tak pernah
ditemukan. Diduga orang tuaku mengalami kecelakaan.
Kondisi sedan yang ditemukan di hutan dekat rumahku
membuktikan hal itu. Tapi diduga pula mereka dibunuh, karena
mayat keduanya belum ditemukan. Karena itu aku tak percaya
kalu kedua orang tuaku meninggal. Saat itulah aku selalu
menunggu di mulut jendela kedatangan Dad dan Mom.
Tapi harapanku tak kunjung menjadi kenyataan. Aku
menjadi benar-benar bosan. Dan jadi merasakan bahwa bumi
itu diam, tidak melakukan apa-apa. Tapi kini aku sadari bahwa
banyak hal yang aku pandang salah.
“KIARA”
Hari ini hujan turun cukup deras dan lama. Sejak awal
pelajaran tadi pagi, awan kelabu dan sedikit demi sedikit
menetaskan air. Hingga saat jam pulang sekolah, hujan
semakin deras.
Tak sedikit anak yang nekat pulang berbasah-basah.
Termasuk seorang gadis kecil kelas 5, Yulia namanya. Ia biasa
berangkat dan pulang sekolah tanpa antar jemput ayah dan atau
ibunya. Ayahnya seorang sopir angkutan umum, sedang ibunya
membuka warung makan di depan rumah. Kedua orang tuanya
sibuk untuk memenuhi kebutuhanhidup sekeluarga. Untunglah,
Yulai anak yang penuh pengertian. Ia tak pernah malu dengan
keadaannya. Bahkan ia pun mengurus kedua adiknya yang
masih kelas 1 danyang berusia 5 tahun, dengan rassa senang.
Siang itu, rupanya hujan makin deras. Terpaksa Yulia
berteduh. Kalau nekat melanjutkan perjalanannya, bisa-bisa
jatuh sakit.
“Deras sekali hujannya!” serunya sambil mengusap
tetesan-tetesan air yang mengalir di dahinya. Hampir seluruh
pakaiannya basah, ia mendekapkan kedua tangannya ke arah
lengannya, sembari menggigil kedinginan.
Jalanan tampak sepi. Rupanya baik para pengguna
jalan maupun pejalan kaki lebih memilih mencari tempat
berlindung. Yang tampak hanyalah tetesan air hujan diiringi
bunyi petir dan kilat. Warna langit sangat pucat, seperti
lembaran kain putih yang terbentang luas.
Tak jauh di samping Yulia berdiri, seorang pengemis
tertidur pulas dengan hanya berselimutkan kain tipis pada
punggungnya. Ia tidur menelungkup seperti seekor kura-kura.
Sebentar-sebentar pengemis itu membalikkan tubuhnya dan
mengucapkan sepatah dua patah kata yang tidak jelas. Pertama
memandangnya, Yulia merasa jijik. Tapi tak lama kemudian
terbersit rasa iba dalam hatinya.
“Kasihan pengemis ini. Ia begitu kurus dan papa. Tak
seorangpun yang memperhatikannya, bahkan mungkin orang
akan menghindarinya.”
Dalam pikirannya, Yulia merasa berjuta kali lebih
beruntung dari si pengemis. Di kala lapar, ibu Yulia pasti akan
menawarkannya makanan. Begitu pula saat ia sakit, ibu dan
ayahnya pasti akanberebut menanyakan keadaannya.
Begitu hujan agak reda, Yulia segera pulang.
Setelah mandi dan makan, ia menyusul ibunya yang
sibuk melayani para pembeli di warung. Melihat warung
ibunya ramai dikunjungi pembeli, Yulia senang. Tapi sejenak
senyum di bibirnya sirna manakala ia ingat pengemis kurus
yang dijumpainya saat berteduh tadi.
“Pengemis itu pasti kelaparan. Tapi...mana dia punya
uang untuk membeli nasi dengan lauk pauknya?” pikiran itu
terus mengganggu dirinya.
“Tadi kulihat di kaleng uangnya tidak ada sepeser pun
uang. Jadi...tidak mungkin ia dapat mengisi perutnya.”
Sambil terus berpikir, Yulia tetap membantu ibunya.
Ia membersihkan piring-piring dan gelas kotor dari para
pengunjung. Selain itu juga membantu membungkus makanan.
Tiba-tiba dari pikirannya muncul untuk membelikan
sebungkus nasi untuk pengemis kurus itu. Mengapa tidak,
begitu pikirnya. Segera diambilnya uang dari sakunya dan
diserahkan pada ibunya.
“Ada apa, Yul?” tanya ibunya, heran.
“S-saya mau pesan nasi bungkus, satu saja.”
“Buat siapa?”
“Ng... pengemis yang saya temui di jalan tadi. Ia
begitu kurus, pasti sangat kelaparan,” jawab Yulia polos dengan
mimik muka penuh harap.
Sejenak ibunya tersenyum. Dipandangnya wajah Putri
kecilnya itu, lalu disentuh pipinya dengan belaian.
“Ibu tidak habis mengerti, kenapa putri ibu begitu
penuh kasih? Sudah, uang ini simpan saja. Ibu akan
membungkuskannya untukmu,” lanjut ibu Yulia.
“Tidak. Ibu harus menerima uang ini. Anggaplah saya
yang membelikan pengemis itu. Kalau ibu yang memberi, itu
akan lain. Karena...karena saya benar-benar tulus memberi
pengemis itu nasi bungkus!” seru Yulia serius.
Akhirnya ibunya mengalah, diterimanya uang
pemberian putrinya itu. Setelah menerima bungkusan itu, Yulia
langsung pergi ke tempat pengemis kurus itu. Dilihatnya ia
masih tidur tergeletak di emperan toko. Dihampirinya
pengemis itu dengan langkah perlahan, lalu diletakkannya
sebungkus nasi yang dibawanya di samping pengemis itu.
Setelah itu, ia segera meninggalkannya.
Esok harinya ketika Yulia berangkat ke sekolah,
dilihatnya kerumunan orang di tempat pengemis kurus yang
kemarin diberikan makan.
“Ada apa? Ada apa?” tanya Yulia pada orang-orang di
sekitarnya.
“Seorang pengemis mati!” seru orang itu sembari
menunjuk pada sosok kurus terbaring dengan seulas senyum
tipis di bibirnya.
“Ya Tuhan, dia pengemis yang kemarin sore
kutemui!” teriak Yulia dalam hati. Ia berdiri dengan tegangnya
di samping pengemis yang sudah tidak bernyawa itu.
“Mungkin dia kedinginan.”
“Mungkin juga. Kasihan ya!” seru seseorang kepada
yang lain.
“Tapi kemarin sore kulihat pengemis itu sedang
makan sebungkus nasi dengan lahap dan senangnya. Raut
wajahnya benar-benar bahagia.”
“Aku yakin, sebelum meninggal ia ingin
mengucapkan banyak terima kasih pada orang yang telah
memberinya nasi itu,” komentar yang lain.
Tak terasa, air mata mengalir dari kedua pelupuk mata
Yulia. Sambil mengatupkan kedua bibirnya, gadis itu bedo’a
dalam hati, agar jiwa pengemis itu mendapatkan ketenangan di
surga.
Yulia merasa sedikit terhibur karena sempat
membahagiakan pengemis itu, walau hanya sesaat, dengan
sebungkus nasi.
“MENGINTIP MATAHARI LEWAT PANTAT BOTOL”
“ KREATIF”
PR matematika belum selesai Endang kerjakan.
Namun ia segera meletakkan bolpennya. Ia tak tahan
mendangar suara tangisan Isan yang makin rebut saja.
Ending bertanya pada mbak Emi, pengasuh Isan.
“Isan tidak mau makan. Pakai sayur bening, tidak
mau. Roti, tidak mau juga. Sekarang dibikinin telor ceplok, dia
juga tidak mau. Keluh mbak Emi. Lalu menggaruk- garuk
kepalanya karena kehabisan akal.
Ending mengangkat alasnya tinggi. Lalu mendekati
Isan yang duduk di lantai dengan air matanya yang bercucuran.
Dan Endang pun menarik tangan Isan pelan dan hati-hati.
“ayo, makan sama mbak Endang. Makan roti dadu
dengan manik-manik mutiara...”
Seketika tangisan Isan seketika berhenti. Ia tak bisa
menyimpan rasa herannya. Setelah sesaat diam, ia bangkit
berdiri dan berkata,”Judul roti kok, panjang sekali, Mbak?”
Mendengar suara yang nyaris polos, Endang dan
Mbak Emi tak bisa menahan tawa.
Ending tergagap, ia menoleh pada Mbak Emi.” Apa
tadi judulnya, Mbak Emi?”... Endang lupa pada “Judul” yang
dibuatnya sendiri.
Masih menahan tawa, Mbak Emi menjawab ”lo, yang
punya judulkan Mbak Endang sendiri!
“Mmm, dengan manik-manik mutiara,” Endang
menyambut cepat. Ia mengusap air mata Isan yang mengalir
dipipinya.
Isa duduk di kursi. Ending mengiris roti menjadi
kotak-kotak kecil. Ditata di piring dan ditetesi dengan susu
kental manis di atasnya.
“Dimakan dengan garpu kecil....,” Endang menusuk
sepotong roti itu dan.... mulut Isan sudah terbuka.
Nyami! Mbak Emi ternganga, soalnya, entah berapa
kali ia menyuruh Isan makan roti.
Keesokan harinya sepulanh sekolah, Endang melihat
Isan makan dengan gembira.
Mata Endang memudar. Di piring Isan, ada nasi
dicetak bulat seperti bukit kecil. Dan sepotong telur menghiasi
diatasnya, juga ditetesi kecap. Tapi... Endang mendekatkan
wajahnya. “telur kok bisa berbentuk dadu seperti itu?”
cetusnya heran.
Begini lho mbak. Sebelum di masak telurnya saya
pecahkan dulu. Kuning dan putihnyta saya campur, lalu
dimasukkan ke plastic dan dikukus. Lalu di iris- iris berbentuk
dadu,”jelas mbak Emi.” Kalau di rebus Isan hanya mau
putihnya saja. Padahal yang kuningkan lebih kaya akan protein.
Plok plok plok! Endang betepuk tangan. “Mbak Emi
tambah pintar saja,” katanya memuji.
Mbak Emi lalu tertawa mendengarnya. Besok Isan
akan saya buatkan sayur bening pelangi!”
“sayur bening tapi tidak hanya bayam. Biar meriah ya
bikin warna- warni. Dikasih wortel dan makroni ,” jelas Mbak
Emi.
Sejak itulah Isan tidak rewel lagi soal makanan,
karena Mbak Emi sudah pintar berkreasi.
“KOKO KENA BATUNYA”
“SURAT”