Anda di halaman 1dari 5

2.2.

1 Pengkajian Konstipasi

Tujuan dari pemeriksaan fisik dan riwayat penyakit anak dengan konstipasi
fungsional dan situasional adalah untuk mengetahui faktor penyebab serta
menyingkarkan adanya penyebab konstipasi organik. Hasil pengkajian berupa
informasi mengenai frekuensi defekasi, ukuran dan bentuk feses, riwayat defekasi
pertama setelah lahir. Gejala terkait konstipasi yang perlu dikaji distensi abdomen,
anoreksia, mual dan muntah, nafsu makan kurang, penurunan BB dan kegagalan
penambahan BB (Hilichi, 2008 dalam Bowden & Greenberg, 2010). Pengkajian
lain yang diperlukan adalah riwayat diet dan toilet training, adanya stres
psikososial.

Dalam pengkajian juga perlu diketahui adanya keluhan nyeri perut yang
diekspresikan. Pemeriksaan fisik yang berhubungan dengan konstipasi yaitu
pemeriksaan palpasi untuk mengetahui adanya massa feses di kuadran kiri .atas,
pemeriksaan auskultasi untuk mengetahui gerakan peristaltik usus, pemeriksaan
inspeksi untuk mengetahui kontur abdomen serta adanya distensi (Bowden &
Greenberg, 2010). Pemeriksaan perianal untuk mengetahui adanya anal fisura,
posisi anus ruam popok serta prolaps rectum. Pemeriksaan traktus urinaria perlu
dilakukan untuk mengkaji adanya riwayat infeksi traktus urinaria.

Untuk mendiagnosa konstipasi, alat ukur yang digunakan menurut Bennet &
Cresswell (2003) adalah Bowel score.

Tabel 1

Bowel score untuk mendiagnosa konstipasi

Skor Keterangan Hasil ukur

A Jumlah defekasi dalam 3 hari terakhir .....x/3hari

B Konsistensi feses dalam 3 hari terakhir 0,1,2,3

0=tidak ada, 1= keras, 2 = normal, 3 = lunak

A+B Jumlah defekasi + nilai konsistensi feses Bowel score = A+B


Keterangan: konstipasi ditegakkan bila skore ≤ 3
2.2.2 Intervensi Keperawatan Konstiapsi

Intervensi keperawatan untuk anak dengan konstipasi bersifat individual


tergantung pada tingkat keparahan gejala dan tingkat perkembangan anak. Untuk
konstipasi sederhana tindakan yang dibutuhkan adalah meningkatkan hidrasi, diet
serat yang lebih banyak seperti buah-buahan dan sayuran. Konstipasi pada anak-
anak dengan kondisi khusus membutuhkan evaluasi tambahan dan pengobatan
yang kemungkinan besar di luar lingkup perawatan. Untuk anak yang mengalami
konstipasi dengan gejala berat, rencana perawatan dilakukan dalam tiga tahap
yaitu pertama disimpaksi yakni pembersihan usus disertai dengan edukasi kepada
orangtua, yang kedua adalah pencegahan reimpaksi, dan yang ketiga adalah
pembentukan kebiasaan defekasi melalui latihan (Montgomery & Navarro 2008
dalam Bowden & Greenberg, 2010).

Edukasi pada intervensi pertama yaitu memberikan informasi mengenai proses


defekasi normal, perubahan patofisiologi terkait konstipasi, tujuan dari setiap
intervensi terapeutik dan hasil yang diharapkan sertapotensi masalah yang timbul
akibat konstipasi.

Menurut Lemone & Burke(2011) intervensi keperawatan pada klien dengan


konstipasi terutama berupa edukasi antara lain:
1) Memonitor pola defekasi klien serta konsintensi feses. Tindakan ini bertujuan
untuk mengkaji apakah ada perubahan pola defekasiklien dari pola defekasi
sehari-hari
2) Menyediakan asupan cairan yang cukup setiap hari sesuai kebutuhan.
Pemenuhan asupan cairan yang cukupakan melunakkan konsistensi feses dan
mendorong motilitassaluran pencernaan
3) Menganjurkan klien untuk minum segelas air putihsetelah bangun tidur di
pagi hari dan sebelum sarapan serta menyediakanwaktu dan privasi klien
untuk buang air besar setelah sarapan. Aktivitas in mendorong pola defekasi
yang alami bagi klien. Air putih yangdiminum sebelum sarapan akan
menstimulasi peristaltik saluranpencernaan
4) Menganjurkan klien untuk melakukan aktivitas seperti ambulasi atau
latihanfisik sesuai kemampuan seperti miring kanan miring kiri, Range of
motion, latihan di tempat tidur. Aktivitasmampu menstimulasi peristaltik,
memperkuat otot abdomen,mempermudah eliminasi.
5) Konsultasi dengan ahli gizi untuk menyediakan diet tinggi serat alamiasalkan
tidak ada kontraindikasi.kandungan serat alami akan menambahmassa feses
dan mestimulasi saluran pencernaan.
6) Bila diindikasikan, kolaborasi pemberian laksatif atau pelunak feses

2.2.3 Mekanisme Air Putih untuk Mencegah Konstipasi

Airputih merupakan komponen terbesar dalam tubuh. Air berperan sebagai pelarut
dan sarana pembuangan sisa produksi dalam tubuh, membantu proses
metabolisme, mengatur suhu tubuh, menjaga keseimbangan serta
mempertahankan volume darah (Potter & Perry, 2009)

Hasil studi menggunakan air putih dengan volume 250-500 ml sebagai terapi air
menimbulkan reflek gastrokolik dalam upaya pencegahan konstipasi(Lunding,
2006)). Demikian juga penelitian yang dilakukan Yasmara, Irawaty, & Kariasa
(2013) menunjukkan bahwa minum air putih memiliki pengaruh yang signifikan
dalam mencegah konstipasi.

Pagi hari merupakan waktu yang tepat untuk mengaktifkan refleks gastrokolik,
yaitu suatu refleks yang terjadi saat lambung meregang dengan volume tertentu.
Lambung melakukan kontraksi dan melalui saraf otonom ekstrinsik meningkatkan
motilitas kolon melalui gerakan propagasi untuk mencegah terjadinya konstipasi.
Gerakan propagasi ini terjadi pada pagi hari saat pertama kali bangun tidur
(Snodgrass & Bush, 2014); Sudoyo, 2007)

Pemilihan air putih untuk mengisi volume lambung karena derajat fluiditas kimus
di lambung mempengaruhi pengosongan lambung. Air putih sudah berbentuk cair
merata tanpa harus dicerna lagi sebelum disalurkan ke duodenum ( Snodgrass &
Bush, 2014). Air putih secara kimiawi tidak mempengaruhi sekresi hormon oleh
kelenjar endokrin di saluran pencernaan (Snodgrass & Bush, 2014). Dengan
minum air putih 250-500 ml pada pagi hari, maka lambung akan menstimulasi
barostat lambung untuk melakukan kontraksi atau gaya peristaltik (Lunding,
2006) Peningkatan volume isi lambung akan merangsang peningkatan motilitas
lambung melalui efek langsung peregangan pada otot polos serta melalui
keterlibatan pleksus intrinsik, saraf vagus, dan hormon lambung gastrin. Karena
yang dimasukkan adalah air putih, maka derajat fluiditas air putih mempercepat
tingkat keenceran sehingga isi lambung semakin cepat dievakuasi. Hal tersebut
tercetusnya refleks gastrokolik(Snodgrass & Bush, 2014)

Refleks ini menstimulasi otot polos kolon sehingga meningkatkan motilitas kolon
melalui kontraksi propagasi. Kontraksi ini akan memperpendek waktu feses
transit di kolon sehingga penyerapan air berkurang dan tidak terjadi konstipasi
Ketika gerakan massa di kolon mendorong tinja ke dalam rektum, peregangan
yang terjadi di rektum merangsang reseptor regang di dinding rektum, memicu
refleks defekasi. Refleks ini menyebabkan sfingter ani internus (otot polos)
melemas dan rektum dan sigmoid berkontraksi lebih kuat. Tindakan ini sangat
meningkatkan tekanan intraabdomen, yang membantu mendorong tinja. (Bassotti
& Villanaci, 2009; (Snodgrass & Bush, 2014)

Anda mungkin juga menyukai