Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tubuh manusia terancam oleh sejumlah unsur penginvasi yang potensial,
baik allergen maupun mikroorganisme yang secara terus menerus
mengancam pertahanan permukaan tubuh. Sesudah system pertahanan
tertembus, mikroorganisme akan bersaing dengan tubuh untuk mendapatkan
nutrient dan jika hal ini dibiarkan berkembang tanpa dihalangi,
mikroorganisme tersebut akan mengganggu system enzim serta
menghancurkan jaringan tubuh yang penting. Untuk memberikan
perlindungan terhadap unsur penginvasi ini, tubuh dilengkapi oleh system
pertahanan yang rumit. Garis pertama pertahanan tersebut terdiri atas sel-sel
epitel yang membungkus kulit dan membentuk dinding pelapis saluran
napas, cerna dan kemih. Struktur serta kesinambungan permukaan ini dan
resistensinya terhadap penetrasi merupakan penangkal awal untuk
menghalangi para penyerang.
Salah satu mekanisme pertahanan tubuh yang paling efektif adalah
kemampuannya untuk melengkapi diri sendiri dengan berbagai senjata
(antibody) yang secara individual didesain agar sesuai dengan setiap
penyerang yang baru, yaitu protein spesifik yang disebut antigen. Antibodi
bereaksi dengan antigen lewat sejumlah cara : (1) dengan menyalut
permukaannya jika antigen tersebut berupa subtansi tertentu, (2) dengan
menetralkannya jika antigen tersebut toksik, dan (3) dengan mengedapkannya
dari larutan jika antigen tersebut terlarutkan. Antibodi akan mempersiapkan
antigen untuk mengalami proses yang dilakukan oleh sel-sel fagosit dari
darah dan jaringan tubuh.
Bila antigen merupakan zat asing yang sejati, tubuh akan dilindungi
terhadap antigen tersebut, jika tidak, dapat terjadi imunopatologi. Kalau
keadaan ini terjadi, respons imun yang dalam keadaan ini terjadi, rospons

1
imun yang dalam keadaan normal bersifat protektif akan mengakibatkan
gangguan fungsi dalam system kekebalan tersebut. Kelainan hipersensitivitas
(alergi) merupakan keadaan dimana tubuh menghasilkan respons yang tidak
tepat atau yang berlebihan terhadap antigen spesifik.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami tentang Hipersensitivitas (Alergi).
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui dan memahami tinjauan tentang Hipersensitivitas
(Alergi).
b. Untuk mengetahui dan memahami Patofisiologi Hipersensitivitas
(Alergi).
c. Untuk Mengetahui dan memahami tentang Manifestasi Klinik
Hipersensitivitas (Alergi).
d. Untuk Mengetahui dan memahami tentang Evaluasi Diagnostik
Hipersensitivitas (Alergi).
e. Untuk Mengetahui dan memahami Proses Keperawatan terkait
Hipersensitivitas (Alergi).

C. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menguraikannya dalam tiga bab
dengan rincian sebagai berikut. Bab satu Pendahuluan. Bab ini meliputi latar
belakang penulisan, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan. Bab dua
Tinjauan Teoritis tentang Konsep Hipersensitivitas (Alergi). Pada bab ini
penulis menguraikan menjadi lima subbab inti. Subbab inti yang pertama
membahas tentang tinjauan Hipersensitivitas (Alergi). Subbab inti yang
kedua membahas tentang patofisiologi Hipersensitivitas (Alergi). Subbab inti
yang ketiga membahas tentang manifestasi klinik Hipersensitivitas (Alergi).
Subbab inti yang keempat membahas tentang Evaluasi Diagnostik

2
Hipersensitivitas (Alergi). Dan subbab inti yang kelima membahas tentang
proses keperawatan terkait Hipersensitivitas (Alergi). Bab tiga Kesimpulan.
Pada bab ini penulis menguraikan simpulan yang berkaitan dengan
permasalahan.

3
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Tinjauan
1. Pengertian Alergi
Alergi merupakan respons imun yang tidak tepat dan kerapkali
membahayakan terhadap substansi yang biasanya tidak berbahaya.
Reaksi alergi merupakan manifestasi cedera jaringan yang terjadi
akibat interaksi antara antigen dan antibody. Kalau tubuh diinvasi oleh
antigen yang biasanya berupa protein yang dikenali tubuh sebagai benda
asing, maka akan terjadi serangkaian peristiwa dengan tujuan untuk
membuat penginvasi tersebut tidak berbahaya, menghancurkannya dan
kemudian membebaskan tubuh darinya. Kalau limfosit bereaksi
terhadapa antigen, kerap kali antibody dihasilkan. Reaksi alergi umum
akan terjadi ketika system imun pada seseorang yang rentan bereaksi
secara agresif terhadap suatu substansi yang normalnya tidak berbahaya
(mis. Debu, tepung sari gulma). Produksi mediator kimia pada reaksi
alergi dapat menimbulkan gejala yang berkisar dari gejala yang ringan
hingga gejala yang dapat menyebabkan kematian.
System imun tersusun dari banyak sel serta organ dan substansi
yang disekresikan oleh sel-sel serta organ-organ ini. Berbagai bagian dari
system imun ini harus bekerja bersama untuk memastikan pertahanan
yang memadai terhadap para invasi (yaitu, virus, bakteri, substansi asing
lainnya) tanpa menghancurkan jaringan tubuh sendiri lewat reaksi yang
terlampau agresif.

2. Tipe-tipe Hipersensitivitas (Alergi)


a. Hipersensitivitas Anafilaktik (Tipe I)
Keadaan ini merupakan hipersensitivitas anafilaktik seketika
dengan reaksi yang dimulai dalam tempo beberapa menit sesusah
kontak dengan antigen. Kalo mediator kimia terus dilepaskan,reaksi

4
lambat dapat berlanjut sampai 24 jam. Reaksi ini diantarai oleh
antibody IgE (regin) dan bukan antibody IgG atau IgM.
Hipersensitivitas tipe I memerlukan kontak sebelumnya dengan
antigen yang spesifik sehingga terjadi produksi antibodi IgE oleh sel-
sel plasma. Proses ini berlangsung dalam kelenjar limfe tempat sel-sel
T helper membantu menggalakan reaksi ini. Antibodi IgE akan terikat
dengan reseptor membrane pada sel-sel mast yang dijumpai dalam
jaringan ikat dam basophil. Pada saat terjadi kontak ulang antigen akan
terikat dengan antibody IgE didekatnya dan pengikatan ini
mengaktifkan reaksi seluler yang memicu proses degranulasi serta
pelepasan mediator kmia (histamine, leukotriene dan ECF- A[eosinifil
chemotactic factor anafilaksis]).
Mediator kimia primer bertanggung jawab atas berbagai gejala
pada hipersensitivitas tipe I karena efeknya pada kulit, paru-paru dan
traktur gastrointestinal. Gejala klinis ditentukan oleh jumlah allergen,
jumlah mediator yang dilepas, sensitivitas target organ dan jalur
masuknya allergen. Reaksi hipersensitivitas tipe I dapat mencakup
anafilaksis local dan sistemik.
b. Hipersensitivitas Sitotoksik Tipe II
Hipersensitivitas sitotoksik terjadi kalau system kekebalan secara
keliru menganali konsituen tubuh yang normal sebagai benda asing.
Reaksi ini mungkin menyebabkan akibat dari antibody yang
melakukan reaksi silang dan pada akhirnya dapat menimbulkan
kerusakan sel serta jaringan. Hipersensitivitas tipe II meliputi
pengikata antibody IgG atau IgM dengan antigen yang terikat sel.
Akibat pengikatan antigen-antibodi berupa pengaktifan rantai
komplemen dan destruksi sel yang menjadi tempat antigen terikat.
Reaksi hipersensitivitas tipe II terlibat dalam penyakit miastenia
gravis dimana tubuh secara keliru menghasilkan antibody terhadap
reseptor normal ujung saraf. Contoh lainnya adalah sindrom
Goodpasture yang pada sindrom ini dihasilkan antibody terhadap

5
jaringan paru dan ginjal sehingga terjadi kerusakan paru dan gagal
ginjal. Anemia hemolitik imun karena oat, kelainan hemolitik Rh pada
bayi baru lahir dan reaksi tranfusi darah yang tidak kompatibel
merupakan contoh hipersensitivitas tipe II yang menimbulkan
destruksi sel darah merah.
c. Hipersensitivitas Kompleks Imun (Tipe III)
Kompleks imun terbentuk ketika antigen terikat dengan antibody
dan dibersihkan dari dalam sirkulasi darah lewat kerja fagositik. Kalua
kompleks ini bertumpuk dalam jaringan atau endothelium vaskuler,
terdapat dua buah faktor yang turut menimbulkan cedera, yaitu
peningkatan jumlah kompleks imun yang beredar dan adanya amina
vasoaktif. Sebagai akibatnya terjadi peningkatan permeabilitas
vascular dan cedera jaringan. Persendian dan ginjal merupakan organ
yang terutama rentan terhadap tipe cedera ini. Hipersensitivitas tipe III
berkaitan dengan sistemik lupus eritematosus, artritis rematoid, serum
sickness, tipe tertentu nefritis dan beberapa tipe endocarditis
bakterialis.
d. Hipersensitivitas Tipe-Lambat (Tipe IV)
Reaksi ini, yang juga dikenal sebagai hipersensitivitas seluler,
terjadi 24 hingga 72 jam sesudah kontak dengan allergen.
Hipersensitivitas tipe IV diantarai oleh makrofag dan sel-sel T yang
sudah tersensitisasi. Contoh reaksi ini adalah efek penyuntikan
intradermal antigen tuberculin atau PPD (purified protein derivative).
Sel-sel T yang tersensitisasi akan bereaksi dengan antigen pada atau
didekat tempat penyuntikn. Pelepasan limfokin akan menarik,
mengaktifkan dan mempertahankan sel-sel makrofag pada tempat
tersebut. Lisozim yang dilepas oleh sel-sel makrofag akan
menimbulkan kerusakan jaringan. Edema dan fibrin merupakan
penyebab timbulnya reaksi tuberculin yang positif. Dermatitis kontak
merupakan hipersensitivitas tipe IV yang terjadi akibat kontak dengan
allergen seperti kosmetika, plster, obat-obat topical, bahan aditif obat

6
dan racun tanaman. Kontak primer akan menimbulkan sensitisasi,
kontak ulang menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang tersusun dari
molekul dengan berat-molekul rendah atau hapten yang terikat dengan
protein atau pembawa dan kemudian diproses oleh sel-sel Langerhans
dalam kulit. Gejala yang terjadi mencakup keluhan gatal-gatal,
eritema dan lesi yang menonjol.

B. Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam
tubuh seseorang yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah
terkena alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut
mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala
timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul
maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan memicu
aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B
untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan melekatnya
antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang
mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka
akan terjadi 2 hal yaitu,:

1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin


memberikan efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel –
sel radang misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan
reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang
merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah
yang banyak, kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh
melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan
menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria,
kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru
paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang

7
paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini
ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan
bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian.

C. Manifestasi Klinik
Gejala alergi dapat mulai dari yang ringan hingga yang berat. Gejala
alergi yang ringan dapat berupa bersin – bersin, hidung meler, gatal – gatal
baik bersifat lokal atau seluruh tubuh, hidung mampet dan gejala alergi
lainnya. Gejala alergi dapat dapat terlihat pada kulit, mata, hidung, paru-
paru dan perut, tergantung pada jenis alerginya. Gejala-gejala alergi bisa
mulai dari ringan ke sangat serius adalah :

1. Hives atau welts, ruam, blisters, atau masalah kulit disebut eksim. Ini
adalah yang paling umum gejala alergi obat.
2. Batuk, wheezing, Hidung, dan kesulitan bernapas.
3. Demam.
4. Kulit melepuh dan mengelupas. Masalah ini disebut racun berhubung
dgn kulit necrolysis, dan dapat membawa maut jika tidak dirawat.
5. Anaphylaxis, yang merupakan reaksi paling berbahaya. Dapat
membawa maut, dan Anda akan memerlukan perawatan darurat. Gejala,
seperti hives dan kesulitan bernapas, biasanya muncul dalam waktu 1
jam setelah minum obat, reaksi cepat tanpa perawatan, Anda dapat
masuk ke shock.
Gambaran lain yang menandakan adanya alergi adalah :
1. Adanya penonjolan kemerahan, seperti orang terkena cacar
2. Adanya biduran
3. Adanya kemerahan pada kulit yang disertai dengan sisik kulit.
4. Adanya perdarahan dalam kulit, seperti kemerahan pada penderita
demam berdarah dengue.
5. Adanya radang pada pembulih darah (vaskulitis)
6. Adanya rekasi kemerahan karena kontak dengan sinar matahari

8
7. Adanya penonjolan bernanah seperti jerawat.
8. Kelainan lain gawat darurat, seperti kulit seperti terbakar yang
dalam klinik disebut nekrolisis epidermal toksik.
Gejala alergi yang berbahaya meliputi rekasi anafilaksis. Reaksi
alergi yang sangat berbahaya adalah gejala anafilaksis, gejalanya dapat
berupa shock berupa tekanan darah secara tiba – tiba dan cepat sehingga
membahayakan nyawa si penderita, kepala pusing dan sang penderita
terlihat sangat cemas sehingga perlu penanganan yang cepat dan harus
segera di bawa ke klinik atau RS. Gejala alergi anafilaksis paling sering
terjadi pada gigitan serangga dan alergi obat tertentu namun reaksi
anafilaksis akibat minum obat tersangat jarang terjadi.
Kerasnya reaksi alergi, gejala dapat sangat bervariasi. Gejala
ringan mungkin tidak begitu terlihat, hanya membuat tubuh merasa
sedikit sakit. Gejala sedang dapat membuat tubuh merasa sakit, seolah-
olah mendapat flu atau bahkan dingin.sedangkan gejala parah dari reaksi
alergi akan menimbulkan rasa yang sangat tidak nyaman, bahkan
melumpuhkan.
Kebanyakan gejala reaksi alergi menghilang tak lama setelah
berhenti eksposur. Reaksi alergi yang paling parah disebut anafilaksis.
Anafilaksis dapat mengancam jiwa dan memerlukan perhatian medis
segera. Penanganan cepat sangat penting untuk anafilaksis. Jika tidak
ditangani secara cepat, anafilaksis dapat menyebabkan koma atau
kematian Gejala dapat berkembang pesat. Dalam anafilaksis, alergen
menyebabkan reaksi alergi seluruh tubuh yang dapat mencakup :
1. Gatal-gatal dan gatal-gatal di seluruh (bukan hanya di daerah terbuka
2. Mengi atau sesak napas
3. Suara serak atau sesak di tenggorokan
4. Kesemutan di tangan, kaki, bibir, atau kulit kepala
Tidak, tidak semua orang memiliki alergi. Orang-orang mewarisi
kecenderungan untuk menjadi alergi, meskipun tidak ke alergen tertentu.
Bila salah satu orangtua alergi, anak mereka memiliki kesempatan 50%

9
memiliki alergi. risiko itu melompat hingga 75% jika kedua orang tua
memiliki alergi.

D. Evaluasi Diagnostik
1. Hitung darah lenhkap dengan hitung jenis
Hitung sel drah putih biasanya normal kecuali dalam keadaan
infeksi. Esinofil dalam keadaan normal merupakan 1%-3% dari
jumlah total sel darah putih. Tingkat antara 5% dan 15% adalah non
spesifik tetapi benar-benar menunjukan reaksi alergik.
Esinofilia sedang—15% hingga 40% leukosit dalam darah sebagai
esinofil diemukan pada pasien dengan gangguan alergik disamping
pasien gangguan malignitas imunodefisiensi, infeksi parasite, penyakit
jantung kongenital dan pada pasien-pasien yang menjalani dialysis
peritoneal.
Esinofil berat—50% hingga 90% leukosit dalam darah sebagai
esinofil ditemukan pada pasien sindrom hiperesinofilia ideopatik.
2. Jumlah Total Esinofil
Hitung esinofil yang akurat dapat dilakukan dengan menggunakan
cairan pengencer khusus yang menimbulkan hemolisis eritrosit dan
mewarnai sel-sel esinofil.
3. Pemeriksaan Apus Esinofil
Selama episode simtomatik, sekresi nasal, sekresi konjungtiva dan
sputum dari pasien-pasien atopic biasanya mengungkapkan sel-sel
esinofil yang menunjukan reaksi alergik aktif.
4. Kadar Total Serum IgE
Kadar total serum IgE yang tinggi mendukung diagnosis penyakit
atopik; kendati demikian, kadar IgE yang normal tidak menyingkirkan
kemungkinan diagnosis gangguan alergi. Kadar IgE tidak sesensitif
pemeriksaan PRIST (paper radioimunosorbent test) dan ELISA
(anzyme-linked immunosorbent assay). Perangkt komersial untuk
pengukuran IgE. Indikasi pemeriksaan kadar IgE mencakup:

10
a. Evaluasi imunodefisiensi
b. Evaluasi reaksi obat
c. Pemeriksaan skrining laboratorium awal untuk asper gliosis
bronkopulmoner alergika
d. Evaluasi alergi diantara anak-anak yang menderita bronkiolitis
e. Diperensiasi ezema atopic dan non atopic
f. Diferensiasi asma dan rhinitis atopic dan non atopic.
5. Skin Test
Mencangkup penyuntikan intradermal atau aplikasi supervisial
(epikutaneus) yang dilakukan secara bersamaan waktunya pada
tempat-tempat terpisah dengan menggunakan beberapa jenis larutan.
Larutan ini mengandung masing-masing anti gen yang mewakili suatu
jenis alergen, termasuk tepung sari (pollen), yang besar
kemungkinannya terlibat dalam penyakit pasien. Makna klinis yang
positif (bidur dan aritema) bergantung pada kolerasinya dengan
riwayat alergi, hasil pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium.
Tes kulit memiliki arti yang penting bagi bukti lainnya yang
diperoleh dari anamnesis riwayat pasien. Tes kulit akan menunjukan
anti genyang paling besar kemungkinannya untuk mencetuskan gejala
disamping memberikan petunjuk mengenani intensitas sensitiasi
pasien.
Takaran pollen yang disuntikan juga penting. Kebanyakan pasien
menunjukan hipersensitivitas terhadap lebih dari satu pollen; dalam
kondisi pemeriksaan, mungkin pasien tidak bereaksi (sekalipun
biasanya bereaksi) terhadap pollen spesifik yang menginduksi
serangannya.
Jika terdapat keraguan terhadap paliditas tes kulit, pemeriksaan
RAST atau tes provokasi dapat dilakukan. Pada tes provokasi antigen
yang dicurigai diteteskan pada jaringan yang sensitif (seperti mukosa
konjungtiva, nasal atau bronkial, atau diberikan peroral kedalam
traktus gastrointestinal), dan responnya diamati.

11
Jika tes kulit diperlukan, kecurigaan yang beralaskan bahwa
sebuah alergen yang spesifik menimbulkan gejala pada pasien yang
alergi harus terdapat. Namun, beberapa langkah penjagaan harus
dilakukan sebelum melakukan tes kulit :
a. Tes tidak dilakukan pada saat terjadi bronkospasme.
b. Tes epikutaneus (tes goresan atau tusukan) dilakukan sebelum
pelaksanaan metode pemeriksaan lain dalam upaya untuk
meminimalkan resiko reaksi sistemik.
c. Perlengkapan emergensi harus sudah tersedia untuk mengatasi
reaksi anafilaksis.
d. Metode tes kuli mencakup tes tusukan kulit, tes goresan dan tes
kulit intradermal. Sesudah tes kulit dan tes intradermal dilakukan
dengan menggunakan alergen ynag tdak menimbulkan reaksi yang
positif. Karena menggunakan tantangan antigen yang lebih besar,
maka reaksi lokal atau sistemik dapat terjadi jika digunakan
antigen yang sama yang menimbulkan reaksi kulit atau goresan
yang positif. Bagian punggung merupakan daerah tubuh yang
paling sesuai untuk tes kulit karena memungkinkan pelaksanaan
banyak tes.

Aplikator multi tes (lincolen labs) merupakan alat yang


terdapat di pasaran dengan bagian kepala yang multipel sehingga
memungkinkan pemberian antigen lewat penusukan yang multipel
pada tempat- tempat yang berbeda.

Interpretasi hasil tes kulit.pengenalan dan penggunaan yang


konsisten terhadap sistem penentuan yang terpilih merupakan unsur
penting. Sistem penentuan derajat (grading sistem) harus diidentifikasi
pada lembar tes kuilit untuk interpretasi yang dilakukan kemudian.
Reaksi positif, yang dibuktikan dengan adanya bidur urtika atau
eritema (kemerahan) yang terbatas didalam inakulasi atau kontak

12
dianggap sebagai indikator untuk menunjukan sensitifitas terhadap
alergen yang sesuai.

Hasil negatif palsu dapat terjadi karena teknik yang tidak benar,
larutan atigen yang kadauarsa dan penggunaan obat yang menekan
daya reaksi kulit. Kortikosteroid serta anti histamin mensupresi daya
reaksi kulit dan pemberian kedua preparat ini harus dihentikan dahulu
48-96 jam sebelum pada tes yang bergantung pada lama kerjannya.
Hasil tes yang positif palsu dapat terjadi akibat pembuatan atau
pemberian alergi yang tidak benar.

Interpretasi hasil yang positif atau negatif harus didasarkan


pada riwayat sakit pasien, hasil pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan
laboratorium lainnya. Pedoman berikut ini dapat digunakan dalam
menginterpretasikan hasil tes kulit:

a. Tes kulit lebih dapat diandalkan untuk mendiagnosis sensitifitas


atopik pada pasin rinokonjungtivitis alergika ketimbang pasien
asma.
b. Hasil tes kulit yang positif sangat erat kaitannnya dengan alergi
makanan.
c. Penggunaan tes kulit untuk menegakan diagnosis hipersensitifitas
cepat terhadap obat- obatan sangat terbatas karena yang menjadi
penyebab hipersensitivitas tersebut bukan obatnya sendiri
melainkan metabolit obat.
6. Tes Propokasi
Tes propokasi meliputi pemberian langsung alergen pada mukosa
respiratorius dengan mengamati respon target organ tersebut. Tipe
pengujian ini sangat membantu dalam mengenai alergen yang bermakna
secara klinis pada pasien- pasien dengan hasil tes yang positif.
Kekurangan yang utama pada tipe pengujian ini adalah keterbatasan satu
antigen per sesi dan risiko timbulnya gejala yang berat, khususnya
bronkospasme, pada pasien asma.

13
7. Tes Radioalergosorben
Tes alergosorben (RAST) merupakan pemeriksaan
radioimunoassay yang mengukur kadar IgE spesifik-alergen. Sampel
serum pasien dikenakan dengan sejumlah kompleks partikel alergen yang
dicurigai. Sesudah serum pasien dipusing, pemeriksaan radioimmunoassay
akan mendeteksi antibodi IgE yang spesifik-alergen. Hail tes kemudian
dibandingkan dengan nilai control. Disamping ituh mendeteksi sebuah
alergen, pemeriksaan RAST juga menunjukan kualitas alergen yang
diperlukan untuk mencetuskan suatu reaksi alergi. Nilainya dilaporkan
pada skala yang berkisar dari 0 hingga 5; nilai 2+ atau lebih dianggap
sebagai nilai yang signifikan. Keuntungan utama RAST jika dibandingkan
jenis-jenis tes yang lain adalah (1) kurangnya risiko untuk terjadinya
reaksi sistemik, (2) stabilitas antigen, dan (3) kurangnya ketergantungan
pada reaktivitas kulit yang termodifikasi oleh obat-obatan. Kekurangan
utamanya mencakup (1) keterbatasan pilihan antigen, (2) kurangnya
sensitivitas bila dibandingkan dengan tes kulit intra dermal, (3) kurangnya
hasil-hasil yang sudah tersedia, dan (4) biaya.

E. Gangguan Hipersensitivitas (Alergi)


1. Anafilaksis
a. Definisi
Anafilaksis merupakan respons klinis terhadap reaksi
imunologi cepat (hipersensitivitas tipe I) antara antigen yang
spesifik dan antibodi. Reaksi tersebut terjadi terjadi akibat
antibody IgE dengan cara berikut: (1) Antigen melekat pada
antibody IgE yang terikat dengan membrane permukaan sel mast
serta basophil dan menyebabkan sel-sel target ini diaktifkan. (2)
Sel mast dan basophil kemudian melepas mediator yang
menyebabkan perubahan vaskuler; pengaktifan trombosit,
eosinophil serta neutrophil; dan pengaktifan rangkaian peristiwa

14
koagulasi. Reaksi anafilaktoid (reaksi mirip anafilaksis) secara
klinis serupa dengan anafilaksis. Namun, reaksi ini tidak
diantarai oleh interaksi antigen-antibodi tetapi sebagai akibat dari
substansi yang bekerja langsung pada sel-sel mast atau jaringan
yang menyebabkan pelepasan mediator. Reaksi ini dapat terjadi
pada penggunaan obat-obatan, konsumsi makanan, latihan fisik
dan transfuse antibody sitotoksik.
b. Tipe-tipe Reaksi Anafilaktik
1) Local
Reaksi anafilaktik local biasanya meliputi urtikaria serta
angioedema pada tempat kontak dengan antigen dan dapat
merupakan reaksi yang berat tetapi jarang fatal.
2) Sistemik
Reaksi sistemik terjadi dalam tempo kurang-lebih 30 menit
sesudah kontak dalam system organ berikut ini:
kardiovaskuler, respiratorius, gastrointestinal dan
integument.
c. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala utama pada reaksi anafilaktik dapat
digolongkan menjadi reaksi sistemik yang ringan, sedang dan
berat.
1) Ringan
Reaksi sistemik yang ringan terdiri atas rasa kesemutan
serta hangat pada bagian perifer dan dapat disertai dengan
perasaan penuh dalam mulut serta tenggorokan. Kongesti
nasal, pembengkakan periobrital, pruritus, bersin-bersin dan
mata yang berair dapat terjadi. Awitan gejala mulai dalam
waktu 2 jam pertama sesudah kontak.
2) Sedang
Reaksi sistemik yang sedang dapat mencakup salah satu
gejala di atas di samping gejala flushing, rasa hangat,

15
cemas dan gatal-gatal. Reaksi yang lebih serius berupa
bronkospasme dan edema saluran napas atau laring dengan
dipsnea, batuk serta mengi. Awitan gejala sama seperti
reaksi yang ringan.
3) Berat
Reaksi sistemik yang berat memiliki onset mendadak
dengan tanda-tanda serta gejala yang sama seperti diuraikan
di atas dan berjalan dengan cepat hingga terjadi
bronkospasme, edema laring, dipsnea berat serta sianosis.
Disfagia (kesulitan menelan), kram abdomen, vomitus, dire
dan serangan kejang-kejang dapat terjadi. Kadang-kadang
timbul henti jantung.
d. Terapi
Terapi spesifik bergantung pada beratnya reaksi. Pada mulanya
diperlukan pemeriksaan untuk mengevaluasi fungsi
respiratorius dan kardiovaskuler. Jika pasien berada dalam
keadaan henti jantung, resusitasi kardiopulmoner harus segera
dilakukan. Oksigen diberikan dengan konsentrasi yang tinggi
selama pelaksanaan resusitasi kardiopulmoner atau jika pasien
mengalami sianosis, dipsnea atau mengi. Epinefrin dalam
bentuk larutan dengan pengenceran 1:1000 disuntikan subkutan
pada ekstremitas atas atau paha dan dapat diikuti dengan
pemberian infus yang kontinu. Antihistamin dan kortikosteroid
dapat pula diberikan untuk mencegah berulangnya reaksi dan
urtikaria serta angioedema. Untuk mempertahankan tekanan
darah dan status hemodinamika yang normal, diberikan
preparat volume expander dan vasopressor. Pada pasien dengan
bronkospasme atau riwayat asma bronkiale atau penyakit paru
obstruksi menahun, preparat aminopilin dan kortikosteroid
dapat pula diberikan untuk memperbaiki kepatenan serta fungsi
saluran napas.

16
2. Rinitis Alergik
a. Definisi
Rintisis alergik (hay fever, rhinitis alergik kronik,
polionosis) merupakan bentuk alergi respiratorius yang paling
sering ditemukan dan diperkirakan diantarai oleh reaksi
imunologi cepat (hipersensitivitas tipe I). penyakit ini
mengenai sekitar 8% hingga 10% dari populasi penduduk A.S.
(20% hingga 30% penduduk remaja ). Jika tidak diobati, dapat
terjadi banyak komplikasi seperti asma alergik, obstruksi nasal
kronik, otitis kronik dengan gnagguan pendengaran, anosmia
(gangguan kemampuan membau), dan pada anak-anak,
deformitas dental orofasial. Diagnosis dini dan terapi yang
adekuat sangat penting.
Karena rhinitis alergik ditimbulkan oleh tepung sari atau
kapang (mold) yang terbawa angin, keadaan ini ditandai oleh
insidensi musiman di Negara dengan cepat musim:
Awal musim semi-tepung sari (pollen) pohon (oak, elm,
poplar)
Awal musim panas (rose fever)- tepung sari rerumputan
(timothy, read- top)
Awal musim gugur-tepung sari gulma (ragweed)
b. Patofisiologi
Sensittisasi dimulai dengan konsumsi atau inhalasi antigen.
Pada mejanaan ulang, mukosa nasal bereaksi dengan
pelambatan kerja silia, pembentukan edema dan infiltrasi
leukosit (terutama eosinophil). Histamine merupakan mediator
utama reaksi alergi pada mukosa nasal. Edema jaringan terjadi
akibat vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler.
c. Manifestasi Klinik
Gambaran rhinitis alergik yang khas mencakup kongesti
nasal, secret hidung yang jernih serta encer, bersin-bersin dan

17
rasa gatal pada hidung. Sering terdapat rasa gatal pada
tenggorokan dan platum mole. Drainase mucus ke dalam faring
akan merangsang upaya yang berkali-kali untuk membersihkan
tenggorokan dan menimbulkan batuk kering atau suara yang
parau. Sakit kepala, nyeri di daerah sinus paranasal dan
epistaksis dapat menyertai rhinitis alergik. Keadaan ini
merupakan rhinitis kronis, dan gejala bergantung pada pajanan
lingkungan serta daya responsive intrinsic hospes.
d. Evaluasi Diagnostik
Pada banyak kasus rhinitis alergik musiman diperlukan
musiman diperlukan diagnosis dini yang dibuat berdasarkan
riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan jasmani. Pemeriksaan
diagnostic yang dapat dilakukan mencakup sediaan apus nasal,
hitung darah perifer, total serum IgE, tes epikutan, tes
intradermal, RAST, pemeriksaan eliminasi serta provokasi
makanan, dan tes provokasi nasal.
e. Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah untuk meringankan gejala. Terapi
dapat mencakup salah satu atau seluruh intervensi berikut ini:
tindakan menghindari allergen, farmakoterapi atau
imunoterapi. Petunjuk yang diberikan secara lisan harus
dikuatkan kembali dengan informasi tertulis sebagai sarana
permanen untuk mengingatkan pasien. Pengetahuan mengenai
konsep umum yang berkaitan dengan pemeriksaan dan terapi
pada gangguan alergi sangat pentik. Perawat harus memainkan
peran yang aktif dalam penatalaksanaan pasien yang menderita
kelainan ini dan mungkin berada dalam posisi untuk
memberikan nasihat tentang prosedur ini kepada pasien yang
potensial.
1) Terapi Penghindaran (Menghindari Alergen)

18
Dalam terapi penghindaran, setiap upaya harus
dilakukan untuk menghilangkan allergen yang bekerja
sebagai factor pemicu. Tindakan sederhana dan control
lingkungan sering efektif untuk mengurangi grjala. Contoh-
contoh tindakan ini adalah penggunaan alat pengendali
suhu ruangan atau air conditioner, pembersih udara,
pelembab/penghilang kelembaban dan lingkungan yang
bebas asap.
2) Farmakoterapi
a. Antihistamin.
Antihistamin kini diklasifikasikan sebagai antagonis
reseptor-H1 atau bloker H1 yang digunakan dalam
penanganan gangguan alergik yang ringan, dan
antagonis resptor H2 yang digunakan untuk
mengawasi ulkus lambung serta duodeni. Preparat
bloker H1 secara selektif mengikat reseptor – H1
sehingga mencegah kerja histamin pada tempat-
tempat ini. Preparat ini tidak mencegah pelepasan
histamin dari sel-sel mast atau basofil. Antagonis –
H1 tidak menimbulkan efek pada reseptor H2 tetapi
memiliki kemampuan untuk mengikat reseptor
nonhistamin. Kemampuan preparat antihistamin
tertentu untuk terikat dengan reseptor muskarinik
dan memblok reseptor tersebut melandasi beberapa
efek samping anti kolinergik yang menonjol pada
obat-obat ini.
b. Preparat Adrenergik.
Preparat adenergikmerupakan vasokonstriktor
pembuluh darah mukosa dan dapat diberikan secara
topikal (nasal serta oftalmika) di samping per oral.
Pemberian topikal ( tetesan dan semprotan )

19
menyebabkan efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan pemberian oral; kendati demikian,
penggunaan secara topikal dianjurkan dibatasi
selama beberapa hari saja untuk mencegah rebound
congestion. Preparat dekongestan nasal adrenergik
digunakan untuk meringankan kongesti nasal kalau
diberikan secara topikal pada mukosa hidung.
Preparat ini mengaktifkan tempat-tempat reseptor
alfa-adrenergik pada otot polos pembuluh darah
mukosa hidung; preparat adrenergik topikal akan
mengurangi aliran darah setempat, eksudasi cairan
dan edema mukosa. Tetes mata adenergik
digunakan untuk mengurangi potensial adalah
hipertensi, aritmia, palpitasi stimulasi SSP,
iritabilitas, tremor, dan takifilaksis ( percepatan
status hemodinamika). Contoh-contoh preparat
dekongestan adrenergik dan cara pemberiannya
terdapat dalam tabel.
3. Dermatitis Kontak
a. Definisi
Dermatitis kontak ( dermatitis venenata) merupakan
respons reaksi hypersensifitas lambat tipe IV. Penyakit ini
adalah kelainan inflamasi yang sering bersifat ekzematosa dan
disebabkan oleh reaksi kulit terhadap sejumlah bahan yang
iritatif dan alergenik. Ada empat bentuk dasar: alergik, iritan,
fototistik dan fotoalergika (tagel 51-4). Hamper setiap zat padat
menimbulkan dermatitis kontak. Getah semacam pohon cemara
(poison ivy) kemungkinan contoh penyebab dermatitis kontak
yang paling sering ditemukan di Amerika; penyebab dermatitis
kontak ynag lainnya adlah bahan kosmetika, sabun, detergen
dan bahan kimia industry. Kepekaan kulit dapat terbentuk

20
sesudah mengalami periode kontak yang singkat atau lama, dan
gambaran klinis nya dapat tibmbul beberapa jam atau minggu
sesudah kulit yang peka itu terpajan.
b. Manifestasi Klinik
Gejala dermatitis kontak mencakup gatal- gatal, rasa
terbakar, eritema, lesi kulit (vesikel) dan edema yang diikuti
oleh pengeluaran secret, pembentukan kusta serta akhirnya
pengeringan dan pengelupasan kulit. Pada respon yang berat
dapat tebentuk bullae homoragik. Reaksi yang berulang- ulang
dapat disertai penebalan kulit dan perubahan pigmentasi.
Invansi sekunder oleh bakteri dapat terjadi pada kulit yang
mengalami ekskoriasi karena digosok atau digaruk. Biasannya
tidak terdapat gejala sistemik kecuali jika erupsinya tersebar
luas

Table 51-4 Rangkuman karakteristik, pemeriksaan diagnostic dan Terapi Pelbagai


Tipe Dermaitis Kontak
Tipe Etiologi Gambaran Pemeriksaan Terapi
Klinis Diagnostik
Alergik Reaksi  Vasodilatasi Tes patch  Hindari bahan
Hepersensifitas dan (kontraindikasi penyebab
tipe IV yang infiltrate untuk Larutan
terjadi akibat perivaskuler dermatitis akut Burrowl atau
kontak kulit pada yang kompres air
dengan bahan dermis. menyebar dingin
alergenik. Tipe  Epiderma luas)  Korti
ini memiliki intrasel. kosteroid
periode  Biasanya sistemik
sensitifitas 10- terlihat pada (prednison)
14 hari permukaan selama 7-10
dorsal hari
tangan  Korti
kosteroid
topical untuk
kasus- kasus
yang ringan.
 Antihistamin
oral untuk

21
mengurangi
pruritus.
Iritan Terjadi akibat  Kekeringan Gambaran  Identifikasi
kontak dengan kulit yang hasil tes patch dan
bahan kimiawi berlangsun negative yang penghilangn
atau fisik g beberapa sesuai sumber iritasi
merusak kulit hari hingga  Pemberian
tanpa dasar bulan. krim hirofilik
imunologik.  Vesikulasi, atau vaselin
Terjadi fisura dan untuk
sesudah kontak pecah- mendinginkan
pertama pecah kulit dan
dengan iritan  Tangan dan mengurangi
atau kontak lengan infeksi
ulang dengan bawah  Kostikosteroid
iritan ringan merupakan topical dan
selama waktu bagian obat kompres
yang lama yang paling untuk
sering mengetasi lesi
terkena yang berair
 Antibiotic
untuk infeksi
dan histamine
oral untuk
pruritus
Fototistik Menyerupai Serupa Tes Sama seperti
tipe iritan tapi dengan photopatch dermatitis
memerlukan dermatitis alergik dan
kombinasi iritan. iritan
sinar matahari
dan bahan
kimia untuk
merusak
epidermis
Fotoalergik Menyerupai Serupa Tes Sama seperti
dermatitis dengan photopatch dermatitis
alergik tetapi dermatitis alergik dan
memerlukan iritan iritan
pajanan cahaya
disamping
kontak allergen
untuk
menimbulkan
reaksi
imunologik

22
c. Diagnosis
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan lokasi erupsi dan hasil
anamnesis riwayat kontak. Kendati demikian, pada kasus –
kasus yang iritannya tidak jelas atau pada pasien yang tidak
mengamati, diagnosis mungkin sangat sulit detegakan banyak
prosedur penanganan yang bersifat “coba- coba” harus
dilakukan sebelum penyebabnya dapat ditetapkan dengan
benar. Tes patch pada kulit dan preparat yang diberikan
menjadi penyebabnya dapat menjelaskan diagnosis. Bentuk
terapi untuk semua gtipe dermatitis kontak ada pada table 51-4.
4. Dermatitis Atopik
a. Definisi
Dermatitis Atropik merupakan kalianan hipersensitifitas
segera (immediate hypersensitif) tipe I. riwayat dalam keluarga
lazim dijumpai. Insiden dermatitis atropik paling tinggi pada
bayi dan anak- anak. Sebagian besar pasien menunjukan
kenaikan jumlah eusinofil perifer dan kadar IgE serum yang
signifikan. Pruritus dan hiperiritabilitas kulit merupakan ciri
khas dermatitis atropik yang paling konsisten dan berkaitan
dengan jumlah histamine yang besar di dalam kulit.
Kekeringan kulit yang berlebihan dengan keluhan gatal- gatal
yang berhubungan dengan perubahan kandungan lemak,
aktifitas kelenjar sebasea serta pengeluaran keringat. Sebagai
reaksi terhadap garukan, gejala kemeahan segera tampak pada
kulit dan kemudian dalam waktu 15- 30 detik akan diikuti oleh
gambaran pucat selama 3 menit. Lesi terjadi sekunder akibat
trauma garukan dan akan tampak pada tempat- tempat denagn
peningkatan pengeluaran keringat serta hipervaskuralitas.
Dermatitis atropik merupakan kelainan kronik denagn remisi
dan eksaserbasi. Terapinya harus bersifat individual menurut
kebutuhan masing- masing pasien.

23
Pendidikan Paseien dan Perawatan di Rumah. Pedoman
terapi mencakup pengurangan rasa gatal dan perbuatan
menggaruk dengan cara mengenakan bahan kain dari katun,
mencuci tangan dengan sabun detergen yang lembut,
melembabkan udara kering pada musim dingin, memelihara
suhu ruangan antara 20ᵒC hingga 22,2ᵒC, mengguanakan
preparat anti histamine seperti defenhidramin (benadryl) atau
terfenadin (seldane) dan menghindari binatang, debu, obat
semprot serta parfum. Pasien didorong agar menjaga
kelembaban kulit dengan mandi tiap hari dan menggunakan
preparat pelembab topical kulit. Preparat topical kortikosteroid
dapat dioleskan pada kulit untuk mencegah inflamasi, dan
setiap infeksi harus diobati dengan antibiotic untuk
menghilangakan staphylococcus aureus jika diperlukan.
5. Dermatitis Medikamentosa
a. Definisi
Dermatitis medikamentosa, yaitu kelainan hipersensitifitas
tipe I, merupakan istilah yang digunakan untuk ruam kulit
karena pemakaian internal obat- obat atu medikasi tertentu.
Medikasi tertentu cenderung menimbulkan erpsi dengan tipe
yang sama kendati masing- masing orang akan memperlihatkan
reaksi yang berbeda terhadap setiap medikasi.
Pada umumnya reaksi obat timbul mendadak memiliki
warna cerah memperlihatkan karakteristik yang lebih dramatis
dibandingkan erupsi akibat infenksi yang agak serupa, dan
menghilang dengan cepat setelah pengobatan dihentikan
kecuali ruam akibat bromide dan yodida. Ruam dapat disertai
dengan gejala sistemik atau gejala menyeluruh. Jika ditemukan
alergi akibat pengobatan, pasien harus diingatkan bahwa
mereka memiliki hipersensifitas terhadap obat tertentu dan
dinasihati agar tidak menggunakan kembali.

24
Erupsi kulit yang berhubungan dengan terapi medikasi
menunjukan hipersensifitas yang lebih serius. Perawat harus
menilai kondisi pasien dan melaporkan setiap timbulnya erupsi
sehingga terapi dapat dimulai sejak dini.
6. Urtikaria dan Edema Angioneurotik
a. Definisi
Urtikaria (gelegata) merupakan reaksi alergi
hipersensitivitas tipe I pada kulit yang ditandai oleh
kemunculan mendadak lesi menonjol yang edematous,
berwarna merah muda dengan ukuran serta bentuk yang
bervariasi, keluahan gatal dan menyebabkan ganggua rasa
nyamanyang setempat. Kelainan ini dapat mengenai setiap
bagian tubuh, termasuk membrane mukosa (khususnya mulut),
laring (kadang- kadang dengan komplikasi respiratoris yang
serius) dan traktus gastri=ointestinal. Setiap urtikaria akan
bertahan selama periode waktu tertentu yang bervariasi dari
beberapa menit hingga beberapa jam sebelum menghilang.
Selama berjam- jam atau berhari- hari kumpulan lesi ini dapat
timbul, hilang dan kembali lagi secara episodic. Jika rangkaian
kejadian ini berlanjut tanpa batas waktu, kadaan tersebut
dinamakan urtikaria kronik.
Edema angioneurotik menenai lapisan kulit yang lebih
dalam sehingga tidak terjadi lesi diskrit yang merupakan ciri
khas urtikaria tetapi pembengkakan yang lebih difus. Kadang-
kadang lesinya dapat terlihat menutupi seluruh bagian
punggung. Kulit diatas mungkin terlihat normal kendati sering
berwarna kemerahan. Pembengkakan ini tidak mencekung
ketika ditekan seperti halnya pada edema yang biasa. Daerah
tubuh yang kerapkali terkena adalah bibir, kelopak mata, pipi,
tangan, kaki, genitalia dan lidah; membrane mukosa laring,
bronkus dan saluran gastrointestinal dapat pula terkena

25
khususnya pada tipe herediter. Pembengkakan dapat timbul
mendadak, dalam waktu beberapa detik atau menit, atau secara
perlahan- lahan dalam waktu 1 jam atau 2 jam. Pada keadaan
yang terakhir ini, kemunculuan sering didahului oleh rasa gatal
atau terbakar. Jarang lebih dari satu lesi yang timbul sekaligus
kendati lesi yang satu dapat muncul kembali pada daerah yang
sama. Setiap lesi biasanya berlangsung 24 hingga 36 jam. Pada
keadaan yang kadang-kadang dijumpai, lesi timbul kembali
dengan keteraturan yang nyata pada interval 3 hingga 4
minggu.
7. Angioedema Herediter
a. Definisi
Angiodema herediter, kendati bukan kelainan imunologi
dalam pengertian yang lazim, ikut dimasukan dalam bagian ini
karena lesinya menyerupai angioedema alergik dank arena
keseriusan keadaan ini. Gejala disebabkan oleh edema pada
kulit, saluran nafas atau saluran cerna. Serangan dapat dipicu
trauma atau bias terjadi secara spontan.
Kalau kulit diurut terkena, pembengkakan biasaanya
bersifat difus, tidak gatal dan biasanya tidak disertai urtikaria.
Edema gastrointestinal dapat menyebabkan nyeri abdomen
yang cukup berat untuk menunjukan indikasi pembedahan.
Edema saluran nafas atas dapat menyebabkan pembengkakan
nyata pada uvula dan laring sehingga pasiennya bias tercekik.
Edema laring yang akut merupakan manifestasi yang paling
seruis dari kelainan ini dan telah menyebabkan kematian akibat
asfiksia pada hamper 20%dari pasien- pasin ini. Serangan
biasannya mereda dalam tempo 3 sampai 4 hari, tetapi selama
periode ini harus dilakukan observasi pasien dengan hati- hati
untuk medeteksi tanda tanda obstruksi laring yang sering
memerlukan tindakan trakeostomi guna menyelamatkan jiwa

26
pasien. Epineprin, antihistamin anti kortikosteroid biasanya
digunakan dalam penanganan angioderma herediter kendati
keberhasilan pemeberian obat- obat ini amat terbatas.
8. Alergi Makanan
a. Definisi
Perkiraan insidensi alergi makanan yang di antara IgE yang
merupakan hipersensitivitas tipe I berkisar 0.1% hingga 7,0%
populasi. Gejala klinis nya berupa gejala alergik yang klasik
(urtikaria, dermatitis atropik, meni, batuk-batuk, edema laring,
angiodema) dan gejala gastrointestinal (gatal: pembengkakan
bibir, lidahserta palatum; nyeri abdomen; mual; kram; vomitus
dan diare). Hamper setiap makanan dapat menyebabkan alergi.
Penyebab yang paling sering ditemukan adalah biji- bijia,
kacang, telur, susu, kedelai, gandum dan coklat. Pemeriksaan
diagnostic yang cermat dilakukan pada pasien dengan suspek
hipersensitivitas makanan; yang termasuk pemeriksaan ini
adalah anamnesis riwayat sakit yang rinci, hasil pemeriksaan
jasmani dan diagnostic yang tepat. Kalau pemeriksaan alergi
ingin dilakukan, tes kulit digunakan untuk mengenali sumber
gejala dan berguna dlam mengenali jenis- jenis makanan
tertentu sebagai unsur penyebab.
Terapi bagi hipersensitivitas makanan mencangkup
penghilangan (eliminasi) atau pengurangan (reduksi) jenis
makan yang sensitive. Terapi farmakologik diperlukan bagi
pasien yang pajanannya dengan makanan yang menimbulkan
alergik tidak terkontrol atau pasien dengan sensitivitas terhadap
lebih dari astu jenis makanan dan tidak respontif terhadap
tindakan eliminasi. Terapi obat mencakup pengguanaan
histamine H₁ serta H₂, preparat adrenegik, kortikosteroid dan
natrium kromolin.

27
Banyak alergi makanan menghilang bersamaan dengan
waktu, khusus nya pada anak- anak. Sekitar sepertiga gangguan
alergik yang sudah terbukti akan menghilang dalam tempo 1
hingga 2 tahun jika pasien berhati- hati menghindari makanan
penyebab alergi tersebut.
9. Serum Sickness
a. Definisi
Penyakit yang dikenal dengan serum sickness merupakan
contoh hypersensitivitas tipe III kompleks imun. Biasanya
serum sickness terjadi setelah pemberian anti serum dari
sumber binatang untuk pengobatan atau pencegahan penyakit
menular seperti tetanus, pneumonia, rabies, difteri, bootulisme
dan gigtan ular berbisa serta black widow spider. Dengan
ditemukannya serum antitetanus manusia (human anti tetanus
serum) anti biotik, penyakit serum sickness yang klasik sudah
jauh lebih jarang dijumpai saat ini biala disbanding taun- taun
sebelumnya. Namun demikian, pelbagi obat (terutama
penisilin) dapat menyebabkan reaksi yang mirip serum sickness
dan serupa dengan yang disebabkan oleh serum asing.
b. Manifestasi Klinis
Gejala disebabkan oleh reaksi dan serangan imunologi
terhadap serum atau obat. Antibody yang terbentuk tampaknya
merupakan kelompok IgE dan IgM. Manifestasi dini yang
dimulai 6 hingga 10 hari sesudah pemberian obat mencangkup
reaksi inflamasi pad tempat suntikan yang diikuti oleh
limfadenopati regional dan generalisata. Biasanya terjadi ruam
kulit yang bias bersifat urtukaria tau purpura, dan persendian
sering terasa nyeri ketika ditekan serta membengkak. Vaskulitis
dapat terjadi pada setiap organ kendati lebih sering terlihat
pada ginjal yang mengkibatkan proteinuria serta kadang-
kadang sedimen dalam urin. Mungkin terdapat kelainan jantung

28
yang ringan hingga berat. Neuritis erifer dapat menyebabkan
paralisis temporer pada ekstremitas bawah atau mungkin
paralisis temporer pad ekstremitas bawah atau mungkin
menyebabkan lias dan menimbulkan sindrom uillain- Brarre.
c. Penatalaksaan
Perjalanan penyakit biasanya berlangsung beberapa hari
hingga beberapa minggu jika tidak diobatai; namun, pasien
akan menunjukan reaksi yang segera dan lengkap bila diobati
dengan antihistamin dan kortikosteroid. Tetapi yang agresif,
termasuk dukungan ventilasi, mungkin diperlukan bila terjadi
neuritis perifer dan sindrom uillain- Brarre.

F. Proses Keperawatan
1. Pasien Rinitis Alergik
a. Pengkajian
Pemeriksaan dan anamnesis riwayat pasien mengungkapkan gejala
bersin-bersin yang kerapkali bersifat serangan mendadak dengan
ingus yang encer serta berair, mata serta hidung yang terasa gatal,
lakrimasi dan kadang-kadang sakit kepala. Riwayat keperawatan
mencangkup riwayat alergik pada diri pasien atau anggota
keluarganya. Pemeriksaan alergi akan menemukan sifat antigen,
perubahan gejala menurut musim dan riwayat penggunaan obat.
Perawat harus pula mengumpulkan data-data subjektif mengenai
apa yang dirasakan pasien sesaat sebelum gejala muncul dengan
jelas, seperti peristiwa pruitus, masalah pernafasan dan rasa
kesemutan. Disamping semua gejala ini, keluhan suara parau,
mengi, biduran, ruam, eritema atau edema harus diperhatikan.
Setiap hubungan antara masalah emosional atau stres dan
terpicunya gejala alergik harus dikaji.
b. Diagnosa Keperawatan

29
Berdasarkan data-data yang dikumpulkan dari hasil anamnesis
riwayat sakit dan pemeriksaan jasmani, diagnosis keperawatan
yang utama bagi paasien mencangkup:
1) Pola pernapasan tidak efektif yang berhubungan dengan eaksi
alergik
2) Kurang pengetahuan tentang alergi modifikasi gaya hidup serta
praktik perawatan mandiri seperti yang dianjurkan
3) Kerusakan koping terhadap kondisi kronik dan kebutuhan
terhadap perubahan lingkungan.

Masalah Kolaborasi

Komplikasi Potensial

Berdasarkan data-data hasil pengkajian, komplikasi potensial dapat


mencangkup:

a) Anafilaksis
b) Gangguan pernapasan
c) Reaksi yang merugikan terhadap obat
d) Ketidakpatuhan terhadap pengobatan/terapi

c. Perencanaan dan implementasi


Sasaran. Sasaran bagi pasien dapat mencangkup pemulihan
pernapasan ke pola yang normal, pengetahuan tentang penyebab
serta pengendalian gejala alergik, perbaikan cara mengatasi
masalah dengan perubahan serta modifikasi, dan tidak adanya
komplikasi.
1) Intervensi Keperawatan
a) Perbaikan Pola Pernapasan
Pasien diberitahu dan dibantu untuk memodifikasi
lingkungannya guna mengurangi intensitas gejala alergik.
Di samping itu, paisen diberitahu untuk menjaga pola

30
pernapasan yang normal melalui pengurangan kontak
dengan orang yang menderita ISPA. Jika terjadi ISPA ,
pasien dianjurkan untuk menarik napas dalam dan sering
batuk agar pertukaran gas berlangsung secara memadai dan
kemungkinan atelektasis dapat dicegah. Pasien diberi tahu
untuk memeriksakan diri ke dokter karena gejala alergik
bersama ISPA dapat menggnggu fungsi paru yang adekuat.
Kepatuhan pada pengobatan dan terapi lainnya harus
dianjurkan dan di dorong kembali.
b) Peningkatan pengetahuan tentang alergik dan strategi untuk
strategi untuk mengendalikan gejala.
Intruksi bagi pasien mencakup pembahasan tentang
strategi untuk meminimalkan pajanan terhadap alergen,
prosedur desensititasi dan penggunaan obat yang benar.
Intruksi mengenai strategi lainnya untuk
mengendalikan gejala alergik harus didasarkan pada
kebutuhan masing-masing pasien yang ditentukan oleh hasil
tes, intensitas gejala dan motivasi pasien serta keluarganya
untuk menghadapi keadaan ini. Beberapa petunjuk umum
bagi mereka yang sensitif terhadap debu dan kapang
dirumah mencangkup hal-hal berikut ini:
1) Mencoba mempertahankan lingkungan yang bebas
debu, khususnya di tempat tidur:
(a) Mengurangi isi kamar sampai sedikit mungkin;
tanggalkan gorden serta tirai dan gantikan dengan
skrin yang ditarik.
(b) Keluarkan karpet; cuci lantai dan papan alas rumah,
bersihkan debunya dan gunakan alat vakum setiap
hari. Lantai dari kayu atau keramik lebih disukai
daripada karpet atau permadani.
(c) Gantikan perabotan yang sarat hiasan kayu sehingga

31
mudah berdebu.
(d) Hindari seprei yang berbulu, mainan yang berbulu,
bantal atau guling dari kapuk; gantikan dengan
bahan katun yang mudah dicuci.
(e) Tutupi kasur dengan tutup tempat tidur (bedcover)
hipoallergen yang bisa dikancing dengan ritsleting
agar terpasang dengan pas.
(f) Hindari penggunaan kain yang menimbulkan gatal.
2) Di dalam rumah sebagai satu kesatuan, kurangi debu
dengan mengikuti praktik berikut ini:
(a) Gunakan uap panas atau air panas untuk pemanasan
ketimbang udara panas.
(b) Gunakan alat penyaring udara atau pengatur suhu
udara.
3) Untuk pasien yang sensitif terhadap tepung sari (polen)
atau kapang (mold), kurangi kontak dengan cara:
(a) Menentukan saat pollen mencapai jumlah tertinggi ;
kurangi kontak pada saat-saat ini.
(b) Menghindari gudang jerami, gulma, dedaunan
kering dan rumput yang baru dipotong.
(c) Kenakan masker pada saat kemungkinan kontak
meningkat (mis., dalam cuaca yang berangin, pada
saat memotong rumput).
(d) Mencari tempat yang ber AC ketika musim alergi
mencapai puncaknya
(e) Meminum anti histamin sesuai dengan resep dokter.
(f) Menghindari obat semprot dan parfum ;
menggunakan kosmetik yang hipoalergen.
4) Menentukan makanan khusus yang dapat menimbulkan
masalah. Hindari makaanan yang tampaknya
menyebabkan masalah selama satu periode waktu.

32
Dengan cara mencoba, kita dapat menyusun daftar
makanan yang perlu dihindari. Contohnya adalah ikan,
biji-bijian, telur dan coklat.
Jika pasien akan menjalani tindakan desentitasi,
perawat harus menjelaskan kembali pejelasan dokter
mengenai tujuan dan prosedur tindakan tersebut. Petunjuk
setelah menyentikan alergen tentang rangkaian inokulasi
berikutnya, yang biasanya diberikan tiap 2 minngu atau tiap
bulan, harus diikuti. Petunjuk ini mencangkup (1) tinggl
dahulu dikamar praktik dokter selama sedikitnya 30 menit
agar tindakan emergenci dapat dilakukan jika pasien
mengalami reaksi alergi, (2) jangan menggosok atau
menggaruk tempat suntikan, dan (3) meneruskan rangkain
suntikan selama periode waktu yang diperlukan.

Disamping menghindari situasi yang dapat memicu


gejala alergi, pasien harus memahami dasar pemikiran, cara
kerja serta efek samping semua obat yang diresepkan dokter
untuk menngendalikan alergi dan metode pemberian yang
benar.

Karena anti histamin kerap kali menimbulkan


mengantuk pasien harus diingatkan tentang kemungkinan
ini dan efek samping lainnya pada pemakaian obat-obat
tertentu. Pekerjaan mengoprasikan mesin, mengemudikan
kendaraan dan melakukan aktivitas yang memerlukan
konsentrasi yang tinggi harus ditunda dahulu. Kepda pasien
harus diberitahukan pula mengenai bahaya minum alkohol
ketika menggunakan obat-obat ini karena akan menambah
berat efek alkohol.

Pasien harus menyadari akibat yang ditimbulkan


oleh penggunaan secara berlebihan obat-obat

33
simpatomimetik dalam bentuk tetes atau semprot hidung.
Keadaan yang dinamakan rinitis medika mentosa dapat
terjadi. Sesudah pemakaian secraa topikal obat tersebut,
periode rebound dapat terjadi dimana membran mukosa
menjadi lebih sembab dan kongestif ketimbang sebelum
obat tersebut di gunakan reaksi semacam ini dapat membuat
si pemakai lebih banyak obat. Pola aktivitas yang bersifat
siklis akan terjadi. Pemakaian preparat topikal harus
dihentikan sama sekali dengan segera untuk mengatasi
masalah tersebut.

c) Penyesuaian diri terhadap gangguan kronik.


Meskipun reaksi alergi jarang mengakibatkan
kematian, keadaan ini memerlukan kewaspadaan yang
konstan terhadap alergen dan modifikasi gaya hidup atau
lingkungan pasien untuk mencegah timbulnya gejala.
Gejala alergi acap kali muncul sepanjang tahun dan
menimbulkan gangguan rasa nyaman serta ketidakenakan
terhadap pasien. Meskipun pasien tidak sampai jatuh sakit
dalam musim alergi, kerapkali ia juga tidak merasa sehat.
Keharusan untuk waspada terhadap alergen dalam
lingkungan yang mungkin memicu alergi dan keberadaan
alergen di seluruh lingkungan hidup pasien dapat
melelahkan pasien serta memberikan beban tambahan pada
kemampuannya untuk menjalani kehidupan yang normal.
Stres yang berkaitan kesulitan ini selanjutnya dapat
meningkatkan prekuensi atau intensitas gejala.
Untuk membantu pasien dalam menyesuaikan diri
dengan semua modifikasi ini, perawat harus memahami
kesulitan yang dihadapi oleh pasien tersebut. Pasien
memerlukan dorongan untuk mengutarakan perasaan serta
keprihatinannya dengan kata-kata di dalam lingkungan

34
yang mendukung, dan mengindentifikasi strategi untuk
menghadapi masalahya secara efektif.
2) Implementasi
Pementauan dan Penatalaksanaan

Komplikasi Potensial

a) Anafilaksis dan Kesulitan Bernafas.


Fungsi respiratorius dan kardiovaskuler dapat mengalami
gangguan yang serius saat terjadi reaksi alergik; gangguan
ini dapat disebabkan oleh reaksi iyu sendiri atau oleh obat-
obatan yang digunakan untuk mengatasinya. Karena itu,
status respiratorius dan kardiovaskuler pasien harus
dievaluasi dengan cara memantau frekuensi pernapasan,
menilai adanya kesulitan bernapas atau suara pernapasan
yang abnormal, memantau irama serta frekuensi denyut
nadi dan tekanan darah. Tanda-tanda vital harus dipantau
dan dicatat secara teratur atau setiap kali pasien
mengeluhkan gejala seperti rasa gatal atau kesulitan
bernapas. Jika tejadi keluhan dan gejala yang menunjukan
reaksi anafilaksis, obat-obat dan peralatan emerjensi harus
sudah siap pakai.
b) Reaksi yang Merugikan terhadap Obat.
Penggunaan astemizol atau terfenadin dengan dosis yang
berlebihan dapat menyebabkan kematian karena aritmia
atau henti jantung. Tanda-tanda dan gejala yang berbahaya
harus segera dilaporkan kepada dokter (yaitu, urtikaria,
kesulitan bernapas, mulut yang kering, palpitasi, sakit
kepala atau vertigo). Pasien harus mengetahui nama,
takaran, frekuensi, kerja dan efek samping semua obat yang
dipakainya.
c) Ketidakpatuhan pada Pengobatan.

35
Pengetahuan tentang pengobatan tidak selalu menjamin
kepatuhan pasien. Tindakan meminta pasien untuk
mengenali hambatan yang potensial dan menggali
pemecahan yang bisa diterima atas masalah perubahan gaya
hidup yang diperlukan bagi penanganan keadaan yang
efektif dapat meningkatkan kepatuhan pasien pada
pengobatannya.
d. Evaluasi
Hasil yang Diharapkan
1) Memperlihatkan pola pernapasan yang normal.
a) Paru-paru bersih pada auskultasi
b) Tidak menunjukkan suarapernapasan tambahan (krepitasi,
ronkhi, mengi)
c) Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif
d) Melaporkan tidak terdapatnya gangguan pernapasan (napas
yang pendek, kesulitan pada inspirasi atau ekspirasi)
2) Memperlihatkan pengetahuan tentang alergi dan strategi untuk
mengendalikan gejala
a) Mengenali alergen penyebab jika diketahui
b) Menyatakan metode untuk menghindari alergen dan cara
mengendalikan faktor-faktor pemicu di dalam maupun di
luar rumah.
c) Menguraikan nama, tujuan, efek samping dan metode
pemberian obat-obat yang diresepkan dokter.
d) Mengenali saat harus segera mencari pertolongan medik
untuk mengatasi reaksi alergi yang berat.
e) Menguraikan aktivitas yang mungkin menyebabkan reaksi
alergi dan bagaimana keterlibatannya dapat dimaksimalkan
tanpa mangaktifkan reaksi alergi tersebut.

36
3) Mengalami peredaan gangguan rasa nyaman dan beradaptasi
dengan ketidaknyamanan karena alergi
a) Menghubungkan aspek-aspek emosional dari reaksi alergi.
b) Menghilangkan barang-barang yang menahan debu dari
lingkungan.
c) Mengenakan mesker yang sudah dibasahi jika debu atau
kapang merupakan masalah.
d) Menghindari ruangan yang penuh asap dan debu atau
tempat-tempat yang baru saja disemprot.
e) Menggunakan tempat-tempat ber-AC hampir sepanjang
hari.
f) Meminum antihistamin menurut resep dokter; turut serta di
dalam program desensitasi jika dapat dilakukan
4) Tidak adanya komplikasi
a) Tanda-tanda vital tetap berada dalam batas-batas normal
b) Melaporkan tidak terdapatnya gejala atau kejadian
anafilaksis (urtikaria, gatal-gatal, kesemutan, pada bagian
periper, perasaan penuh dalam mulut dan tenggorokan,
lushing atau kesulitan menelan) atau batuk-batuk, bersin-
besin atau kesulitan bernapas.
c) Memperagakan prosedur yang benar dalam pemakaian
sendiri obat-obat emergenci untuk mengatasi reaksi alergi
yang berat.
d) Menyatakan dengan benar tanda-tanda dan gejala yang
harus dilaporkan terhadap dokter.
e) Menyatakan dengan benar nama, takaran serta frekuensi
pemberian obat, kerja obat seta efek sampingnya, dan
tanda-tanda serta gejala yang harus dilaporkan kepada
dokter.
f) Membahas perubahan gaya hidup yang bisa diterima dan
cara-cara pemecahannya untuk mengenali hambatan yang

37
potensial sehingga kepatuhan terhadap penanganan serta
pengobatan dapat dipastika.

38

Anda mungkin juga menyukai