Anda di halaman 1dari 17

DEFINISI

Banyak orang yang bertanya tentang Sampradaya. Jangankan masyarakat awam, para
tokoh Hindu banyak yang belum paham tentang sampradaya. Sampradaya disebut pula
dengan paksa, perguruan, parampara, sekte. Di Bali, sampradaya disebut juga
dengan aguron-guron. Dalam kamus sansekerta Sampradaya dapat berarti: - seorang yang
memberi anugrah, - penyaji, - tradisi, - ajaran agama yang sudah mantap yang diajarkan oleh
seorang guru suci, - kepercayaan yang telah mentradisi, - sesuatu yang khas yang merupakan
bagian dari system ajaran weda, - suatu cara pengungkapan tradisi weda, - satu versi dalam
tradisi ajaran weda. Sampradaya atau aguron-guron adalah berguru kepada orang bijak.
Sampradaya atau aguron-guron atau sekte memiliki ciri spiritual yang tidak terlalu
terkait pada lembaga. Namun lebih menekankan pada sikap mental, spirit pada niskama karma.
Dalam realitasnya kelompok sampradaya memiliki program yang relatif lebih intensif.
Sampradaya adalah penganut weda, serta merupakan bagian dari Hindu yang besar ini.
Sampradaya mengejar tujuan umat Hindu yakni mokshartam jagadita ya ca iti dharma.

Secara umum sampradaya adalah gerakan bhakti atau spiritual kehadapan Tuhan Yang Maha
Esa, cara sekelompok orang untuk memantapkan bhakti sesuai dengan jalan yang dipilihnya
sendiri. Dengan mempelajari pengertian tersebut, dapat dirangkum dengan sebuah definisi
bahwa menurut Jendra (2007:17), sampradaya adalah suatu sistem perguruan yang telah
mentradisi yang menjadi bagian integral dari sistem belajar pengetahuan sejati (spiritual) dalam
veda atau agama Hindu. Kalau memang sampradaya merupakan bagian integral dari veda
mengapa harus dibenci, mengapa harus disingkirkan dan bahkan sering terjadinya panatisme
yang berlebihan di masyarakat Hindu.

Lahirnya Sampradaya
Sumber ajaran Agama Hindu adalah kitab suci catur veda. Syair-Syair kitab suci
Weda Sruti disebut Mantra. Sedangkan syair-syair kitab Sastra weda disebut Sloka. Kitab suci
Catur Weda itu terdiri dari 20389 Mantra. Empat kitab suci weda itu dipelajari oleh 1180 Sakha
atau kelompok spiritual.
 Rg Weda dengan jumlah Mantra sebanyak 10552 dipelajari oleh 21 Sakha.
 Sama Weda dengan jumlah Mantra 1.875 dipelajari oleh 1000 Sakha.
 Yajur Weda dengan jumlah Mantra 1975 Mantra dipelajari oleh 109 Sakha ,dan
 Atharwa Weda dengan jumlah Mantra 5.967 dipelajari oleh 50 Sakha.

Sampradaya lahir dari Upanisad


Setiap Sakha dibahas atas bimbingan Resi yang benar-benar menghayati Weda baik
teori maupun praktek. Resi itu disebut Sadaka, karena telah mampu melakukan Sadana atau
mewujudkan ajaran suci Weda dalam kehidupannya sehari-hari. Orang yang mampu
melakukan Sadana itulah yang disebut Sadaka. Sakha itu ibarat sekolah. Sedangkan kitab suci
Weda itu ibarat “kurikulum” yang harus diterapkan oleh sekolah tersebut. Meskipun kurikulum
yang diterapkan oleh setiap sekolah itu sama, pasti setiap sekolah itu memiliki ciri khas
tersendiri yang membedakan satu sekolah dengan sekolah yang lainnya. Demikian jugalah
halnya dengan proses mendalami kitab suci Weda yang merupakan sumber ajaran Hindu.
Disamping itu Weda adalah kitab suci yang sangat memberikan kemerdekaan pada setiap orang
yang meyakininya menyerap ajaran Weda sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-
masing umat.

Dari sistem Sakha itulah melahirkan kitab-kitab Upanisad.


Pandangan setiap Upanisad tentunya memiliki penekanan yang berbeda-beda.
Perbedaan itu adalah perbedaan aspek yang ditekankan. Perbedaan tersebut bukan merupakan
pertentangan dalam Hindu. Perbedaan itu semua mengacu pada batas yang diberikan oleh
Weda.

Karena itu Upanisad adalah sari-sari dari pada kitab suci Weda. Dari Sakha itulah
berkembang Sampradaya atau garis perguruan.Tiap-tiap garis perguruan tentunya
mempertahankan ciri-ciri khas mereka atau mencapai apa yang disebut Parampara.

Parampara artinya berkesinambungan atau tidak putus-putusnya. Tiap-tiap


Sampradaya tentunya berlomba secara sehat untuk mengimplementasikan ajaran Weda dalam
meningkatkan kualitas hidup. Perbedaan ciri khas inilah yang sering disebut SEKTA(sekte)
oleh para ilmuwan sosial.

Di Indonesia sedikit saja ada perbedaan dengan tradisi cara penampilan orang
beragama Hindu sudah dituduh sekta bahkan sering dituduh aliran sesat. Sialnya lagi tanpa
meneliti konsep dasar dan aplikasi dari onsep tersebut dalam kegiatan hidup sehari-hari. Di
Bali khususnya dan di Indonesia umumnya Agama Hindu yang dianut oleh umat Hindu terdiri
dari berbagai sekta. Sekta yang paling mendominasi sekta lainnya adalah sekta siwa sidhanta.
Namun kembali saya nyatakan istilah sekte itu kuranglah tepat. tetapi karena istilah itu sudah
kadung popular agak sulit juga mengembalikan pada istilah yang benar yaitu Sampradaya.

Dari keanekaragaman Sampradaya itulah muncul keaneka ragaman budaya rohani dan
budaya duniawi yang memberikan kegairahan hidup untuk menghapus kejenuhan rutinitas
yang berkepanjangan. Sekte-sekte tersebut memberikan warna warni pada kehidupan
beragama Hindu. Warna-warni itu memotivasi setiap orang atau kelompok untuk terus
berkreasi mengembangkan tradisi Weda. Memang hidup tanpa tradisi menjadi risi. Namun
tradisi tanpa kreasi menjadi basi. Kreasi dalam tradisi harus tetap membawa visi dan misi
Weda.

Mahatma Gandhi mengatakan berenang dilautan tradisi adalah suatu keindahan.


Namun kalau sampai menyelam dilautan tradisi adalah suatu ketololan. Kehidupan beragama
yang sering diintervensi oleh penguasa menyebabkan tersendatnya kreasi untuk menanamkan
esensi weda kedalam lubuk hati sanubari umat penganutnya. Penguasa umumnya sangat takut
pada perubahan kalau bukan perubahan itu atas kehendaknya. karena itulah kreasi untuk
menanamkan nilai-nilai weda pada umat itu menjadi agak tersendat-sendat. Karena setiap
kreasi dituduh sekretarian. Yang dipentingkan dalam kehidupan beragama adalah outputnya
berupa kwalitas hidup yang semakin meningkat baik moral maupun mental.

Sakha-sakha yang mendalami Mantra Weda tersebut bagaikan sekolah yang


mendalami kesucian Weda. Dari sinilah munculnya kelompok-kelompok yang kemudian oleh
para ilmuwan tertentu disebut sekte bahkan ada yang menyebut aliran. Munculnya hal itu
setelah jaman purana. Setelah purana kelompok belajar mendalami Weda yang pada mulanya
disebut sakha itu semakin berkembang. Ada kelompok yang memuja Tuhan dengan
menonjolkan nama Tuhan tertentu. Misalnya ada yang lebih menekankan pemujaan pada
parama siwa, ada yang menekankan pada Maha Wisnu, ada yang menekankan pada Param
Brahma ada yang menekankan pada pemujaan Sri Krisna sebagai Tuhan Yang Maha
Esa,demikian seterusnya. Bagi yang benar-benar memahami Agama Hindu perbedaan
penekanan Nama Tuhan yang disebut Ista Dewata itupun tidak akan menjadi persoalan.
Mengapa demikian karena dalam kitab Rg Weda I.164.46 disebutkan sebagai berikut: Ekam
Satvipraa bahudha vadanti artinya Tuhan itu ESA adanya pada Vipra (orang bijaksana)
menyebutkan dengan banyak nama. Kalau dalam purana nama Tuhan itu disebutkan dengan
berbagai nama hal itu syah saja menurut kitab suci Weda.

Yang penting jangan saling menyalahkan. Jangan ada yang memuja Tuhan sebagai
Sri Krisna merendahkan orang yang memuja Tuhan dengan nama Siwa. Demikian juga
sebaliknya. Pemuja Tuhan dengan Nama Siwa jangan menganggap salah kalau ada umat Tuhan
dengan Nama Sri Krisna. Nama-nama Tuhan tersebut sama-sama ada dalam kitab purana.
Purana itu adalah tergolong kitab Sastra Weda. Bukan Weda Sruti. Umumnya dikenal adanya
18 purana. Dari 18 purana itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok;
1. Satvika Purana dengan menekankan pada pemujaan Wisnu sebagai Nama
Tuhan Yang Mahaesa.
2. Rajasika Purana dengan menekankan Brahma sebagai Nama Tuhan Yang
Mahaesa.
3. Thamasika Purana dengan menekankan Siwa sebagai Nama Tuhan Yang
Mahaesa.
Brahma, Wisnu, Siwa adalah tergolong Guna Awatara yaitu tiga fungsi Tuhan yang
turun menjelma kedunia sebagai pengendali Tri Guna. Wisnu adalah Tuhan sebagai pemelihara
sifat-sifat Sattwam, Brahma sebagai pengendali sifat Rajas agar selalu menimbulkan aspek
positifnya. Demikian juga Siwa adalah Tuhan sebagai pengendali sfat-sifat Thamas agar sifat
Thamas dapat mengekspresikan aspek positifnya.

Brahma,Wisnu dan Siwa ini disebut juga Dewa Tri Murti dengan tiga fungsi yaitu
sebagai pencipta, sebagai pemelihara dan sebagai pemralina. Dalam perkembangan selanjutnya
sekte-sekte atau sampradaya itupun terus berkembang. Misalnya sekte siwa. Ada sekte Siwa
Pasupata ada sekta Siwa Sidhanta, Sekte Waisnawa juga berkembang ada yang menekankan
Maha Wisnu sebagai Nama Tuhan yang Mahaesa. Ada juga sekta Bhagawata yang
menekankan Sri Bhagawan Krisna sebagai Nama Tuhan Yang Mahaesa. Adanya berbagai
kelompok-kelompok tersebut adalah suatu keindahan dalam Agama Hindu.

Swami Siwananda menyatakan: Hinduisme menampung segala tipe manusia dan


memberikan hidangan spiritual bagi setiap orang sesuai dengan kemampuan dan
pertumbuhannya masing-masing. Hal ini merupakan keindahan dari Agama Hindu yang
menarik hati ini itulah kemuliaan Hinduisme. Oleh karena itu tidak ada pertentangan dalam
perbedaan Hinduisme.

SLOKA
Agama Hindu menyebutkan bahwa dalam usaha perjalanan manusia menuju kepada
Tuhan, ada empat jalan yang harus ditempuh yaitu Catur Marga. Catur artinya empat dan
Marga artinya jalan. Jadi Catur Marga artinya: empat jalan yang harus ditempuh dalam usaha
manusia menuju kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Empat jalan tersebut adalah Karma
Marga, Bhakti Marga, Jnana Marga, dan Raja Marga. Di dalam kitab Bhagavad Gita Bab IV
Sloka (11) disebutkan :
ye yatha mam prapadyante
tams tathai ‘va bhajamy aham
mama vartma ‘nuvartante
manushyah partha sarvasah

Artinya :
Jalan manapun ditempuh manusia kearah-Ku, semuanya Ku-terima, dari mana-mana
semua mereka menuju jalan-Ku, oh Parta.

Bhagawad Gita Bab VII sloka (21), mempertegas makna dari sloka di atas yang
berbunyi :

yo-yo yam-yam tanum bhaktah


sraddhaya ‘rchitum achchhati
tasya-tasya ‘chalam sraddham
tam eva vidadhamy aham

Artinya :
Apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku
perlakukan kepercayaan mereka sama, supaya tetap teguh dan sejahtera.

Dari penjelasan sloka Bhagawadgita di atas, jelas menegaskan kepada setiap umat
Hindu dalam menempuh jalan apapun yang dilakukannya dengan tujuan untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, akan Ku terima. Begitu pula halnya dengan “Catur
Marga“, empat jalan yang harus dilaksanakan manusia dalam usahanya untuk mencapai
tingkat kesadaran tertinggi yaitu kembali kepada Yang Maha Pencipta, merupakan satu
kesatuan yang satu sama lainnya sangat berkaitan, sehingga keempat karma tersebut harus
dipahami dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan Jnana (ilmu pengetahuan)
tentang hukum ke-Tuhanan yang ada dalam kitab suci sebagai dasar untuk meluruskan
pelaksanaan marga-marga lainnya. Jika, setiap umat paham akan pengertian tentang tujuan
agama Hindu adalah satu, yakni mewujudkan kesejateraan, ketentraman dan keharmonisan
dalam kehidupan setiap pemeluknya. Walaupun setiap orang memilih jalan yang berbeda maka
tidak akan terjadinya konflik di keidupan sosial masyarakat Hindu. Perlunya kesadaran ke
dalam diri sendiri terlebih dahulu, sebagai landasan fundamental umat Hindu dalam
melaksanakan kehidupan beragama yang baik.

LATAR BELAKANG
A. Latar belakang
Tuhan Yang Maha Esa adalah Brahman, merupakan asal dari semua yang adayang pernah ada
dan yang akan ada, baik yang bersifat nyata (sekala) amaupun yang sersifat tidak nyata (niskala).
Alam semesta jagad raya ini adalah ciptaan Tuhan, sebagai wujud nyata akan kemaha beradaan
Tuhan. Alam semesta jagad raya ini sangat luas bahkan tiada ujung akhir dan pangkalnya, namun
ada di dalam Tuhan. Sejauh-jauh kita memandang, sejauh apapun kita menghayalkan tentang
luasnyaalam semesta ini, masih tetap tak terbayangkan. Dilangit kita melihat bintang dengan
ggugusannya, diatas bintang masih ada langit dengan gugusan bintang-bintangnya. Miliaran
bintang baik yang terlihat maupun yang tidak dapat dilihat, galaksi yang nampak sebagai gugusan
bintang-bintang, dan planet-planet yang mengorbit pada masing-masing bintang atau tata surya
itu tidak terlihat karena jaraknya yang sangat jauh. Alam semesta yang penuh rahasia dengan
luas yang tiada batasnya ini mengandung rahasia Ilahi yang tak terjangkau oleh alam pikir
manusia, walau dibantu dengan tehnologi secanggih apapun. Demikian maha agung dan maha
luasnya alam semesta jagad raya ini sebagai wujud nyata adanya Sang Pencipta Yang Maha
Agung yang menciptakan segala yang ada di alam semesta ini.

Setelah memahami kemaha agungan Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya bagaimana metode
mendekatkan diri kehadapan-Nya, sehingga keberadaan Tuhan betul-betul dirasakan dan rasa
sujud bakti selalu menggema dalam diri. Banyak jalan yang ditempuh oleh umat manusia untuk
melakukan pendekatan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Banyak agama dengan sekte-
sektenya dan aliran kepercayaan yang mengajarakan berbagai cara untuk umat manusia
mendekatkan diri dan menempuh jalan ketuhanan. Secara bersama-sama dalm kelompoknya
sebagai kelompok masyarakat, agama, sekte maupun aliran kepercayaan melakukan kegiatan
ritual keagamaan dalam berbagai jenis acara dan upacara. Seperti dalam agama Hiundu muncul
beberapa Sekte yang dikenal dengan Sekte Bhakti, Sekte Wisnu, Sekte Siwa, Sekte Sakti, sekte
tantra

SEKTE DLM AGAMA HINDU


Sekte-sekte dalam Agama Hindu
a. Sekte Bhakti
Sekitar tahun 500 SM, muncul beberapa kecenderungan “pemujaan”, pelayanan atau
kebaktian yang mencakup pengertian percaya, taat dan berserah diri kepada dewa. Pemujaan
dan kebaktian kepada dewa itu dinyatakan dalam puja yang perwujudannya kadang-kadang
dinyatakan dengan mempersembahkan berbagai macam buah-buahan dan bunga-bungaan
kepada para dewa disertai dengan penyelenggaraan upacara mengitari kuil-kuil tertentu. Puja
dan bhakti tersebut dilakukan dengan hidmat dan sikap badan tertentu, seperti sikap
merebahkan dan meniarapkan diri di dekat patung yang terdapat dalam kuil atau tempat-tempat
yang dianggap suci lainnya sambil mengucapkan beberapa doa.

Urain tentang bhakti terdapat dalam kitab Narada Bhakti Sutra dan Shadilya Sutra.
Kitab ini banyak membicarakan wawasan keagamaan pada sekte bhakti yang terdapat di India.
Menurut sutra-sutra tadi, bhakti bukannya merupakan suatu “pengetahuan” dan juga bukan
merupakan “perbuatan ritus”, juga bukan merupakan “sistem keagamaan”, tetapi merupakan
kasih sayang, ketaatan, kepatuhan dan penyerahan diri kepada sesuatu. Bhakti adalah “pasrah”
setulus-tulusnya (prapatti) bukan kepada suatu objek yang bersifat duniawi tetapi hanya kepada
“dewa” semata dengan segenap avatara atau ingkarnasinya. Karena itu barang kali ada
benarnya kalau dari pengertian di atas dikatakan bahwa bhakti lebih tinggi daripada meditasi
falsafi.
Wujud bhakti memiliki jenjang istilah maupun sikap sebagai tatakrama mewujudkan
rasa bhakti yang beretika. Istilah bhakti itu diantaranya:

Menghormati adalah pencetus bhakti terhadap semua makhluk, terhadap semua


ciptaan Tuhan baik yang nyata maupun tidak nyata. Kita patut saling hornat menghormati
sesama makhluk hidup, sesama ciptaan Tuhan yang mana masing-masing ciptaan-Nya itu telah
memiliki hukumnya masing-masing yang seharusnya berjalan selaras dengan perputaran roda
hukumnya masing-masing.

Memuja adalah wujud bhakti dalam bentuk lantunan puji-pujian yang ditujukan
kepada kebesaran Tuhan baik dalam bentuk manifestasi-Nya atau sifat-sifat ketuhanan yang
memberi berkah-Nya pada kebutuhan hidup ini. Puji-pujian yang dikidungkan dalam pemujaan
adalah untuk menyenangkan yang dipuja, mewujudkan rasa senang dan rasa tenang dalam
kebahagiaan.

Berdoa adalah wujud bhakti yang dilakukan dalam menyampaikan permohonan


kehadapan-Nya. Atas ketidak mampuan dan keterbatasan kita wajib berdoa agar diberkati dan
diampuni segala dosa serta kekurangan- kekurangan kita. Berdoa adalah sebagai wujud rendah
hati, sebagai wujud kesadaran akan keterbatasan kita sebagai manusia.

Menyembah adalah bentuk bhakti sebagai penyerahan diri yang dilakukan dengan
tulus dan penuh kepasrahan terhadap kemaha agungan Tuhan.

b. Sekte Wisnu
Sekte ini lebih mengutamakan pemujaan kepada dewa Wisnu karena dewa ini sangat
simpatik bagi mereka dengan sifat-sifatnya yang berdasar pada perasaan bhakti (cinta).
Pandangan pengikutnya antara lain menyatakan bahwa kebaikan Wisnu dengan
Bhaktinya ialah yang dapat memberikan jaminan kedamaian hidup bagi uumat pemujanya,
karena itu cukuplah bagi pengikut-pengikutnya untuk menyerahkan diri saja kepada-Nya.

Sikap penyerahan diri kepada-Nya akan membawa mereka kepada Nirwana. Segala
kebaikan bhakti Wisnu itu dilukiskan dengan panjang lebar dalam sucinya yaitu kitab Purana
Didalam kitab tersebut diceritakan bagaimana manifestasi dan kebaikan bhakti Wisnu dalam
usahanya menolong ummat manusia dari segala bentuk kehancuran dan kejahatan. Dengan
jelma (melakukan avatara) menjadi berbagai makhluk ajaib dalam 10 rupa, maka kehancuran
dan kejahatan dapat dihindari.

Kesepuluh avatara tersebut adalah:

1. Matsyavatara, berupa ikan besar untuk menolong manusia pada saat banjir besar
melanda dunia yang akan menenggelamkannya.

2. Kurnavatara, sebagai kura-kura untuk menolong dewa-dewa pada waktu


mengaduk samudera guna mendapatkan air amerta (air hidup) yakni air yang
bilamana diminum orang akan mengalami hidup kekal abadi.

3. Narashimha, sebagai singa yang berbadan manusia yang membunuh raksasa yang
tidak bisa dibunuh olehsiapapun.

4. Varahavatara, sebagai babi rusa yang menolong manusia dengan menggigit bumi
yang pada saat itu akan dibawa karpatala (neraka dibawah bumi) oleh musuh-
musuh manusia.

5. Vamanavatara, sebagai oarang cebol yang dapat mengalahkan cucu raksasa yang
bernama Narashinka. Cucu raksasa tersebut bernama Bali (Daitya Bali)

6. Budhavatara, sebagai budha yang bertugas melemahkan musuh-musuh dewa yang


menyebarkan ilmu palsu.

7. Parasuramvatara, sebagai kesatrya yang bersenjatakan parasu ( kampak)


membunuh beberapa kesatrya yang menghina ayahnya, sebagai pembalasan atas
penghinaan tersebut.

8. Ramavatara, rama sebagai kesatrya, anak Dasarata yang dibuang kehutan


belantara, dimana ia kehilangan isterinya Shinta, karena perbuatan Dasamuka
(Rahmana) yang berwatak rakus dan yang menganiaya ummat manusia. Akhirnya
Rama dapat membunuh Rahwana serta dapat merebut kembali isterinya, (cerita
tentang Rama tersebut diuraikan dalam kitab Ramayana).

9. Kalkiavara, sebagai Kalki ( Ratu Adil) yang dapat mmententramkan dunia yang
mengalami kekacauan akibat perbuatan makhluk-makhluk jahat di dunia.
10. Kresnavatara, sebagai Kresna yang kemudian membunuh Raja Kamsa (seorang
raja Mathura kemenakan Kresna).

Semua avatara Wisnu tersebut merupakan salah satu gambaran simbolis yang
mencerminkantentang kebenaran kepercayaan Wisnuisme kepada adanya “juru selamat” di
dunia dan manusia dari kehancuran hidupnya.

Wisnu biasanya dibedakan menjadi 4 sampradaya pokok atau sekte, diantaranya yang
sangat kuno adalah Sri Sampradaya yang diperkenalkan oleh Ramanuja Acarya, kira-kira
pertengahan abad ke-12. Para Pengikut Ramanuja memuliakan Wisnu dan Laksmi beserta
inkarnasinya, mereka disebut pengikut Ramanuja atau Sri Sanpradayin atau Sri Waisnawa.

c. Sekte Siwa
Penganut Hindu dari sekte Siwa meyakini Tuhan adalah Siwa. Salah satu bentuk
pemujaan Siwa yang dilakukan oleh pada Pendeta Siwa adalah dengan mengucapkan mantra
yang disebut sebagai Mantra Catur Dasa Siwa, yakni empat belas wujud Siwa.

Mantra ini digunakan untuk mendapat pengaruh ke-Tuhan-an yang kuat dan suci serta
untuk mendapat kebahagian sekala-niskala.

Mantra itu sebagai berikut:


1. Om Ang Prasada Kala Siwaya namah
2. Om Ang Stiti Kala Siwaya namah
3. Om Ang Kala-kutha Siwaya namah
4. Om Ang Maha-suksma Siwaya namah
5. Om Ang Suksma Siwaya namah
6. Om Ang Anta-kala Siwaya namah
7. Om Ang Adhi-kala Siwaya namah
8. Om Ang Parama Siwaya namah
9. Om Ang Ati–suksma Siwaya namah
10. Om Ang Suksma-tara Siwaya namah
11. Om Ang Suksma-tama Siwaya namah
12. Om Ang Sada Siwaya namah
13. Om Ang Parama Siwaya namah
14. Om Ang Sunia Siwaya namah

Pendeta Siwa yang mengucapkan dan meresapkan Mantra Catur Dasa Siwa ingin
mendudukkan Siwa dalam tubuh / dirinya mulai dari bagian bawah tubuh sampai ke bagian
atas tubuh, yakni:
1. Mantra nomor 1 untuk kaki kanan
2. Mantra nomor 2 untuk kaki kiri
3. Mantra nomor 3 untuk perut
4. Mantra nomor 4 untuk pusar
5. Mantra nomor 5 untuk hati
6. Mantra nomor 6 untuk tangan kanan
7. Mantra nomor 7 untuk tangan kiri
8. Mantra nomor 8 untuk mata kanan
9. Mantra nomor 9 untuk mata kiri
10. Mantra nomor 10 untuk telinga kanan
11. Mantra nomor 11 untuk telinga kiri
12. Mantra nomor 12 untuk sela-sela alis
13. Mantra nomor 13 untuk ujung hidung
14. Mantra nomor 14 untuk ubun-ubun

Pemeluk-pemeluk aliran ini sangat optimis terhadap kebulatan kekuasaan dewa Siwa
ini, karena ia dipercayai dapat menjelma menjadi berbagai bentuk kedewataan yang
menggambarkan akan kekuasaannya yang besar. Kekuasaannya meliputi: penentuan hidup dan
matinya manusia dan kekuasaannya adalah yang tertinggi diantara dewa-dewa.

Pada masa permulaan Agama Hindu, Siwa tidak pernah dipuji orang sebagaimana
halnya Wisnu. Sebagai tanda kekuasaannya dewa ini digambarkan secara fantastis dengan
tangan empat. Bilamana ia sedang menjadi Siwa Maha Dewa (Maheswara) maka tak ada dewa
atupun yang dapat mengalahkan kekuasaannya. Bilamana ia sedang menjelma menjadi dewa
Maha Guru maka Siwa adalah sebagai oarang tua berjanggut yang saleh dan suka membimbing
manusia ke arah hidup bahagia. Sebagai ciri watak-wataknya sebagai guru, dia disimbulkan
dalam bentuk orang yang membawa kendi, sapu lalat (cemara) dan tasbih ( akshamala). Tetapi
bilamana ia sedang menjelma menjadi Mahakala, maka watak serta sikapnya dilukiskan
sebagai raksasa yang buas merusak apa yang dikehendaki dan kejam. Oleh karena itu sebagai
tanda pada Kroda (amarahnya) diberi simbol Parasu (Kanpak), Trisula (lembing dengan tiga
mata). Dan Fesu (jaring).

Jadi keistimewaan Dewa Siwa ini adalah dapat mempunyai watak/sifat-sifat pribadi
yang satu sama lain kadang-kadang berlawanan. Dalam pemujaan-pemujaan demikian mereka
memberikan korban-korban dan saji-sajian setiap waktu tertentu dibawah pimpinan pendeta-
pendetanya.

d. Sekte Sakti
Sebenarnya aliran ini masih dapat dimasukkan sebagai bagian dari aliran Siwa, tetapi
karena yang disembah dan dipuji bukan lagi Siwa melainkan saktinya dalam bentuk Darga,
dan karena lebih luasdan lebih mendalam, maka lebih tepat kalau dianggap sebagai salah satu
aliran keagamaan tersendiri dalam agama Hindu. Sakti adalah kekuatan, prinsip aktif yang
menyebabkan Siwa mampu menciptakan. Tanpa Sakti tersebut Siwa tidak akan dapat berbuat
apa-apa karena Siwa adalah prinsip pasif. Karena itu Sakti menjadi lebih penting daripada Siwa
sendiri. Segala sesuatu terjadi karena bersatunya prinsip pasif dengan prinsip aktif. Yaitu
persatuan Siwa dengan Saktinya, Durga.

Persatuan antara Siwa dan Saktinyaadalah persatuan antara laki-laki dan perempuan,
yang dilambangkan sebagai Linga dan Yoni. Karena itu hubungan seks mempunyai arti yang
ssangat penting dalam sekte Sakti ini. Karena segala sesuatu tercipta melalui persatuan
tersebut, maka egala sesuatau mengandung kekuatan dan Sakti Siwa. Bentuk-bentuk tertentu
dari Sakti dan segala sesuatu adalah baik; tidak ada yang tidak baik. Hanya orang yang tidak
mengerti saja yang beranggapan bahwa ada yang baik dan ada yang tidak baik. Ini keliru,
karena anggapan itu hanya didasarkan pada kesadaran manusia sendiri. Untuk mencapai
kebenaran dan kelepasan (moksa) manusia harus melepaskan diri dari belenggu kekeliruan ini.
Ia harus melepaskan kesadarannya sendiri sehingga dapat menyadari kebenaran bahwa segala
sesuatuadalah perwujudan dari Sakti dan Siwa, dan bahwa semua adalah baik.

e. Sekte Tantra
Aliran ini dalan usaha mencapai Nirwana lebih mementingkan cara penbacaan
manter-mantera rahasia dan membebaskan ruang gerak hawa nafsu. Dalam kitab Tantrisme
yang disebut kitab “AGAMA” dan “TANTRA” dinyatakan bahwa “Hendaknya manusia
jangan mengekang hawa nafsunya tetapi sebaliknya hawa nafsu harus dibebaskan dan diberi
kepuasan. Dengan demikian, maka jiwa manusia menjadi merdeka dari segala tekanan-tekanan
psikisnya”.

Cara-cara yang ditempuh ialah menjalankan 5 (lima) “ma” yang terdiri dari Matsya:
makan ikan sebanyak-banyaknya. Mada: meminum tuak sebanyak mungkin. Mansa: makan
daging sebanyak-banyaknya. Mudra: makan sejenis nasi (padi-padian) sebanyak-banyaknya.
Akhirnya Mauethua: melepaskan nafsu birahi sebanyak-banyaknya dengan wanita.

Dengan kepuasan nafsu tersebut, manusia dapat melepaskan diri dari sengsara.
Adapun sistem ajaran Tantrayana tersebut diberikan dalam bentuk percakapan antara Siwa
dengan Durga (isteri Siwa).

KESIMPULAN
Sebagai mana yang juga terdapat dalam agama-agama besar lainnya, di dalam agama
Hindu juga terdapat aliran-aliran atau sekte-sekte atau Sampradaya, yang masing-masing
mempunyai konsep tersendiri dalam menanggapi beberapa segi ajaran agama yang dipandang
lebih penting daripada ajaran pokoknya.

Agama Hindu berkembang menjadi banyak Sampradaya. Hal Ini disebabkan karena
Weda tidak diwahyukan kepada seorang Maha-Rsi saja, dan juga tidak diwahyukan dalam
kurun waktu yang sama dan diwahyukan pula di tempat yang berbeda. Hal inilah yang
menyebabkan terbentuknya banyak sekte-sekte atau Sampradaya.

Dalam agama Hindu muncul beberapa Sekte-sekte atau Sampradaya yang berbagai
macam jenisnya. Namun hal penting yang perlu kita ingat adalah terlepas dari berbedanya
budaya yang dilakukan, tujuan kesemua sekte atau Sampradaya tersebut masih sama yaitu
memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai manifestasinya.

SEKTE
Menurut Goris, dalam perkembangan kehidupan di Bali, ada 9 sekta yang berkembang
yaitu setelah abad ke-10 Masehi, ke sembilan sekta itu adalah :

1. Sekta Pasupata
2. Sekta Bhairawa

3. Sekta Waisnawa

4. Sekta Boddha

5. Sekta Brahma

6. Sekta Rsi

7. Sekta Sora

8. Sekta Ganapatya

9. Sekta Çiwa Sidantha

Menurut Dr. Goris, sekte-sekte yang pernah ada di Bali setelah abad IX meliputi Siwa
Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa, dan Sogatha
(Goris, 1974: 10-12). Di antara sekte-sekte tersebut, yang paling besar pengaruhnya di Bali
sekte Siwa Sidhanta. Ajaran Siwa Sidhanta termuat dalam lontar Bhuanakosa.

Sekte Siwa memiliki cabang yang banyak. Antara lain Pasupata, Kalamukha,
Bhairawa, Linggayat, dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya. Kata Sidhanta berarti
inti atau kesimpulan. Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme.
Siwa Sidhanta ini megutamakan pemujaan ke hadapan Tri Purusha, yaitu Parama Siwa, Sada
Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan
fungsinya, karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai fungsinya yang
berbeda-beda. Siwa Sidhanta mula-mula berkembang di India Tengah (Madyapradesh), yang
kemudian disebarkan ke India Selatan dipimpin oleh Maharesi Agastya.

Sekte Pasupata juga merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta
tampak jelas dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan
Lingga sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga
sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas sekte Pasupata. Perkembangan sekte Pasupata di
Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama pada pura yang
tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi
yang sempurna dan ada pula yang dibikin sangat sederhana sehingga merupakan lingga semu.
Adanya sekte Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi
Agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki,
pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri dipandang
sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama. Bukti berkembangnya
sekte Waisnawa di Bali yakni dengan berkembangnya warga Rsi Bujangga.

Adanya sekte Bodha dan Sogatha di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan
mantra Bhuda tipeyete mentra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika.
Stupika seperti itu banyak diketahui di Pejeng, Gianyar. Berdasarkan hasil penelitian Dr. W.F.
Stutterheim mentra Budha aliran Mahayana diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke 8
Masehi. Terbukti dengan adanya arca Boddhisatwa di Pura Genuruan, Bedulu, arca
Boddhisatwa Padmapani di Pura Galang Sanja, Pejeng, Arca Boddha di Goa Gajah, dan di
tempat lain.

Sekte Brahmana menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta.
Di India sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-
kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa
Dharmasastra merupakan produk dari sekte Brahmana.

Mengenai sekte Rsi di Bali, Goris memberikan uraian yang sumir dengan menunjuk
kepada suatu kenyataan, bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari
Wangsa (golongan) Brahmana. Istilah Dewarsi atau Rajarsi pada orang Hindu merupakan
orang suci di antara raja-raja dari Wangsa Ksatria.

Pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama yang dilakukan sekte Sora,
merupakan satu bukti sekte Sora itu ada. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut
Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi ciri
penganut sekte Sora. Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini juga terdapat
sekarang di Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan
pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang
telah melakukan yajnya.
Sekte Gonapatya adalah kelompok pemuja Dewa Ganesa. Adanya sekte ini dahulu
di Bali terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun
kecil. Ada berbahan batu padas atau dai logam yang biasanya tersimpan di beberapa pura.
Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu pada
dasarnya Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti di lereng
gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai, dan sebagainya. Setelah zaman Gelgel,
banyak patung ganesha dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat
pemujaan. Akibatnya, patung Ganesa itu tak lagi mendapat pemujaan secara khusus, melainkan
dianggap sama dengan patung-patung dewa lain.

Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama.
Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa pakaman di Bali
merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga
merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa.
Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan
kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra, yaitu enam
lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga
bersumber dari sekte ini.
Pada tahun Saka 910 (988 M), Bali diperintah raja Dharma Udayana. Permaisurinya
berasal dari Jawa Timur bernama Gunapria Dharmapatni (putri Makutawangsa Whardana).
Pemerintahan Dharma Udayana dibantu beberapa pendeta yang didatangkan dari Jawa Timur.
Antara lain Mpu Kuturan. Mpu Kuturan diserahi tugas sebagai ketua majelis tinggi penasehat
raja dengan pangkat senapati, sehingga dikenal sebagai Senapati Kuturan.

Seperti telah diuraikan sebelumnya, sebelum pemerintahan suami istri Dharma


Udayana/Gunapria Dharmapatni (sejak awal abad ke 10), di Bali telah berkembang berbagai
sekte. Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup berdampingan secara damai. Lama-kelamaan
justru sering terjadi persaingan. Bahkan tak jarang terjadi bentrok secara fisik. Hal ini dengan
sendirinya sangat menganggu ketentraman Pulau Bali. Sehubungan dengan hal tersebut, raja
lalu menugaskan kepada Senapati Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu. Atas dasar tugas
tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang
dilakukan di Bataanyar (Samuan Tiga). Pertemuan ini mencapai kata sepakat dengan keputusan
Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga.
ALIRAN DI HINDU
Aliran Waisnawa

Aliran dalam tubuh Hinduisme yang memuja Wisnu dewa pemelihara menurut konsep
Trimurti (Tritunggal) beserta sepuluh perwujudannya (awatara). Aliran ini menekankan pada
kebaktian, dan para pengikutnya turut memuja berbagai dewa, termasuk Rama dan Kresna
yang diyakini sebagai perwujudan Wisnu. Pengikut aliran ini biasanya non-asketis, monastis
(mengikuti cara hidup biarawan), dan menekuni praktik meditasi serta melantunkan lagu-lagu
pemujaan.
Biasanya umat Waisnawa bersifat dualisme. Aliran ini memiliki banyak tokoh suci,
kuil, dan kitab. Aliran ini terbagi dalam beberapa golongan, yaitu: Sri Sampradaya (Waisnawa
yang memuja Laksmi sebagai pasangan Wisnu), Brahma Sampradaya (Waisnawa yang memuja
Wisnu secara eksklusif), Rudra Sampradaya (Waisnawa yang memuja Wisnu atau para awatara,
seperti Kresna, Rama, Balarama, dan lain-lain), Kumara Sampradaya (Waisnawa yang memuja
Caturkumara).

Aliran Saiwa
Aliran dalam tubuh Hinduisme yang memuja Siwa. Kadangkala Siwa digambarkan
sebagai Bhairawa yang menyeramkan. Umat Saiwa lebih tertarik pada tapa brata daripada umat
Hindu aliran lainnya, dan biasa ditemui berkeliaran di India dengan wajah yang dilumuri abu
dan melakukan ritual penyucian diri. Mereka bersembahyang di kuil dan melakukan yoga,
berjuang untuk dapat menyatukan diri dengan Siwa.
Aliran ini terbagi dalam beberapa golongan, yaitu: Pasupata (Saiwa yang menekankan
tapa brata, terutama tersebar di Gujarat, Kashmir, dan Nepal), Saiwa Siddhanta (Saiwa yang
mendapat pengaruh Tantra), Kashmira Saiwadarshana (Saiwa yang monistis dan idealistis),
Natha Siddha Siddhanta (Saiwa yang monistis), Linggayata (Saiwa yang monoteistis), Saiwa
Adwaita (Saiwa yang monistis dan teistis).

Aliran Sakta
Aliran Hinduisme yang memuja Sakti atau Dewi. Pengikut Saktisme meyakini Sakti
sebagai kekuatan yang mendasari prinsip-prinsip maskulinitas, yang dipersonifikasikan sebagai
pasangan dewa. Sakti diyakini memiliki berbagai wujud. Beberapa di antaranya tampak ramah,
seperti Parwati (pasangan Siwa) atau Laksmi (pasangan Wisnu). Yang lainnya tampak
menakutkan, seperti Kali atau Durga.
Sakta memiliki kaitan dekat dengan Hinduisme Tantra, yang mengajarkan ritual dan
praktik untuk penyucian pikiran dan tubuh. Umat Sakta menggunakan mantra-mantra, sihir,
gambar sakral, yoga, dan upacara untuk memanggil kekuatan kosmis. Aliran ini mengandung
dua golongan utama, yaitu: Srikula (pemujaan kepada dewi-dewi yang bergelar Sri) dan
Kalikula (pemujaan kepada dewi-dewi perwujudan Kali).

Aliran Smarta
Aliran Hindu-monistis yang memuja lebih dari satu dewa meliputi Siwa, Wisnu, Sakti,
Ganesa, dan Surya di antara dewa dan dewi lainnya tetapi menganggap bahwa dewa-dewi
tersebut merupakan manifestasi dari zat yang Maha Esa. Dibandingkan tiga aliran Hinduisme
yang disebutkan di atas, Smarta berusia relatif muda. Berbeda dengan Waisnawa atau Saiwa,
aliran ini tidak bersifat sektarian secara gamblang, dan berdasarkan pada iman bahwa Brahman
adalah asas tertinggi di alam semesta dan meresap ke dalam segala sesuatu yang ada.
Pada umumnya, umat Smarta memuja Yang Mahakuasa dalam enam personifikasi:
Ganesa, Siwa, Sakti, Wisnu, Surya, dan Skanda. Karena umat Smarta menerima keberadaan
dewa-dewi Hindu yang utama, mereka dikenal sebagai umat liberal atau non-sektarian. Mereka
mengikuti praktik-praktik filosofis dan meditasi, serta menekankan persatuan antara individu
dengan Tuhan melalui kesadaran.

Anda mungkin juga menyukai