Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN DERMATOVENEREOLOGI JOURNAL READING

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2019


UNIVERSITAS PATTIMURA

TOPICAL DRUGS DELIVERY

Disusun oleh:
Sherly Lebrina Kerjapy (2017-84-049)
Ikramsyah Maulana (2017-84-047)
Riqqah Utami Salatalohy (2018-84-049)

Pembimbing
dr. Hanny Tanasal, Sp.KK
dr. Rita S. Tanamal, Sp.KK

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN DERMATOVENEOROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019

1
PENGHANTARAN OBAT TOPIKAL
Richard H. Guy

PENDAHULUAN: FUNGSI SAWAR KULIT


Kulit memiliki fungsi sawar yang beragam, mulai dari mengatur hilangnya air
dari jaringan secara pasif atau yang tidak dapat dirasakan (insensible) dan sebagai
tempat masuknya bahan yang menyentuh permukaannya. Fungsi yang disebut
terakhir tersebut, tentu saja, memainkan peran penting dalam menentukan efektivitas
pengobatan obat topikal yang dirancang untuk mengurangi penyakit kulit. Oleh
karena itu, optimalisasi setiap terapi dermatologis membutuhkan pemahaman tentang
sawar fisik dari kulit dan mekanisme fisikokimia yang terlibat dalam penyerapan dan
transportasi obat per kutan.
Secara makroskopik, kulit terdiri dari dua komponen utama: dermis dan
epidermis. Struktur yang pertama, yaitu dermis, memiliki ketebalan sekitar 1 mm dan
memiliki jaringan ikat, yang merupakan komponen struktural utama diantaranya
adalah serat kolagen dan serat elastis dalam aqueous glycoprotein gel. Dermis juga
berperan sebagai 'rumah' bagi reseptor mekanik terhadap sentuhan dan panas, folikel
rambut, keringat dan kelenjar apokrin, kelenjar sebasea, pembuluh limfatik dan kaya
akan sirkulasi mikro. Pembuluh darah ini memberikan nutrisi ke kulit serta
menyediakan mekanisme eliminasi xenobiotik yang menembus kulit ke dalam
sirkulasi sistemik.
Ketebalan epidermis rata-rata hanya sebesar 0,1 mm dan merupakan membran
epitel berlapis yang terutama terdiri dari membran basal yang berproliferasi dan
keratinosit suprabasal yang mengalami diferensiasi. Pada permukaan terluar
epidermis, sel-sel telah selesai mengalami diferensiasi dan menciptakan stratum
korneum (stratum corneum; SC) atau lapisan tanduk, yang ketebalannya hanya
sekitar 0,01 mm (kecuali pada telapak tangan dan kaki yang jauh lebih tebal).
Epidermis juga mengandung melanosit, sel Langerhans dan sel Merkel, tetapi bersifat

2
avaskular, sehingga perpindahan zat-zat melintasi lapisan jaringan hanya terjadi
melalui difusi pasif.
Sewaktu keratinosit bergerak naik sepanjang epidermis, sel-sel tersebut
menjadi lebih pipih dan nukleusnya mulai terdegenerasi. Campuran kolesterol, lemak,
asam lemak bebas dan seramida yang kompleks disekresikan ke dalam ruang antar sel
ketika keratinosit mengalami transformasi akhir menjadi korneosit - sel pipih tak
bernukleus, yang mengandung keratin - dan membentuk SC itu sendiri. Secara
mikroskopis, SC sering disamakan dengan 'tembok bata', dimana korneosit
menggambarkan batu bata dan lipid antar sel sebagai semen (Gambar 13.1) [1,2,3].
Korneo-desmosom bertindak sebagai jembatan yang mempertahankan korneosit
bersama-sama sampai sel-sel tersebut mengalami proses degradasi enzimatik ke arah
permukaan SC menyebabkan terjadinya deskuamasi dari lapisan sel luar (yang terjadi
kurang lebih setiap hari).
Hebatnya, stratum korneumlah yang menjadi daya tahan utama kulit terhadap
difusi molekuler baik dari 'dalam ke luar', dalam hal ini seperti air, atau dari 'luar ke
dalam' sehubungan dengan kontak obat-obatan topikal atau zat asing lainnya.
Efektivitas SC untuk membatasi kehilangan air secara transepidermal
(transepidermal water loss; TEWL) ditunjukkan dengan cara mengukur laju
'hilangnya' air sepanjang kulit yang dihilangkan bagian korneosit terluarnya dengan
pengelupasan oleh pita perekat (Gambar 13.2), sehingga terjadi peningkatan TEWL
yang besar setelah sawar epidermis dihancurkan [4].

3
Gambar 13.1 Gambaran skematis dari stratum korneum sebagai dinding bata. Korneosit berperan
sebagai batu bata, dan lipid antar sel sebagai semen. Korneo-desmosom dianalogikan sebagai paku
keling yang mempertahankan korneosit bersama-sama sampai deskuamasi terjadi di permukaan kulit
[1,2,3].

Nilai TEWL yang normal di seluruh kulit manusia saat istirahat adalah sekitar
0,5 mg/cm2/jam. Mengingat bahwa luas permukaan kulit pada pria dewasa adalah
sekitar 2 m2 (atau 20.000 cm2), ini berarti bahwa jumlah air yang hilang secara pasif
di seluruh kulit - dengan asumsi tidak ada keringat secara aktif - adalah antara 200
hingga 300 mL/hari, suatu volume yang sangat kecil jika dibandingkan dengan
konsentrasi air di dalam tubuh, yakni sekitar 1 g/mL (yaitu sekitar 50 mol/L)!
Eksperimen pengelupasan dengan pita perekat yang serupa juga menunjukkan
bahwa SC berperan sebagai sawar utama untuk penetrasi obat topikal setelah
diaplikasikan. Pengecualian terhadap fungsi tersebut sangat terbatas terhadap
senyawa yang sangat lipofilik, yangmana meskipun dengan mudah senyawa tersebut
masuk ke dalam SC, selanjutnya akan dibatasi ke dalam jaringan epidermis
dibawahnya karena tidak mampu terpisah dan memiliki kelarutan yang sangat rendah
pada lingkungan yang didominasi oleh air.

4
Gambar 13. 2. Kehilangan air secara transepidermal (Transepidermal Waterloss; TEWL) di seluruh
kulit manusia in vivo akibat stratum korneum yang dihilangkan secara progresif dengan pengelupasan
oleh pita perekat [4]. Grafik ini mengilustrasikan perubahan relatif dalam TEWL versus fraksi dari
total ketebalan SC yang dihilangkan.

JALUR PENETRASI: MEKANISME ABSORPSI PERKUTAN


Model 'bata dan semen' yang dimiliki oleh SC seketika menghadirkan dua
jalur potensial untuk penetrasi melewati sawar kulit (Gambar 13.3) [5,6]. Yang
pertama adalah jalur secara transelular, yang merupakan jalur yang dapat dilalui
secara langsung dan transfer senyawa-senyawa tersebut diantara korneosit dan lipid
interstitial. Jalur yang lainnya adalah jalur interseluler, yang merupakan jalur berliku
yang mencakup pengangkutan secara unik melalui 'semen' diantara batu bata. Selain
itu, cara lainnya untuk zat-zat kimia yang diaplikasikan secara topikal agar dapat
mengakses jalur tampaknya 'tertutup', melibatkan apendiks kulit (dan, khususnya,
folikel), merupakan alternatif yang lebih lanjut lagi.
Karena tidak ada mekanisme transpor aktif di SC yang telah teridentifikasi,
dan penyerapan perkutan yang hanya melibatkan difusi pasif, maka molekul akan
mengikuti jalur yang paling sedikit resistensi untuk melewati sawar kulit. Pada nilai
nominal, jalur transelular merupakan jalur yang paling menarik: luas permukaannya
dan volume yang tersedia untuk transportasi merupakan yang terbesar, serta panjang
lintasannya yang pendek (sekitar 0,01 mm). Sebaliknya, domain lipid interseluler

5
hanya mencakup sekitar 15% dari volume SC dan, mengingat dimensi korneosit yang
rata, panjang lintasan di sekitar sel adalah sekitar 0,5 mm (yakni 50 kali lebih panjang
daripada transelular).

Gambar 13.3 Jalur penetrasi yang potensial pada stratum korneum [5,6]

Namun, dengan adanya kombinasi kimia analitik yang baik, yakni antara
mikroskop elektron dan biofisika yang diteliti pada tahun 1980-an dan awal 1990-an
telah menghasilkan sebuah konsensus yang menyatakan bahwa jalur interseluler,
pada kenyataannya, merupakan jalur yang dominan. Pengungkapan komposisi dan
susunan lipid antar sel pada SC merupakan langkah pertama yang menjadi kunci
dalam mencapai kesimpulan ini [1,2,3]. Tidak adanya fosfolipid yang diimbangi
keberadaan berbagai seramida merupakan komponen yang penting dan patut
diperhatikan, serta pengorganisasiannya yang tepat, dengan jumlah asam lemak dan
kolesterol yang kira-kira sama, dalam dua tahap lamelar yang berbeda segera
menggambarkan bahwa keberadaan mereka memiliki peran yang lebih penting dari
sekadar sebagai 'pengisi' sederhana di antara batu bata. Kemudian dapat ditarik
kesimpulan, bahwa melalui upaya untuk memvisualisasikan penetrasi senyawa kimia
melewati SC in situ, dimana molekul yang terserap memang terlokalisir ke ruang
antar sel, memperkuat kesan bahwa transportasi senyawa mungkin diarahkan ke
daerah yang kaya lipid ini. Hal ini selanjutnya menuntun para peneliti pada penelitian
untuk memastikan dan mengkonfirmasi hal tersebut yang menunjukkan bahwa
permeabilitas air melalui SC sangat berkorelasi dengan urutan yang dibentuk oleh
domain lipid antar sel: ketika lipid menjadi semakin tidak teratur akibat peningkatan

6
suhu, permeasi air meningkat secara bersamaan. Selain itu, bahkan ketika lipid
melewati fase transisi (dan secara jelas menjadi lebih tidak teratur), permeasi air
secara diskontinyu mengalami peningkatan (Gambar 13.4) [7,8]. Kesimpulan yang
tak terhindarkan dari data ini adalah bahwa jalur difusi untuk air melalui SC adalah
melalui lipid antar sel. Kesimpulan ini diperkuat dalam serangkaian percobaan
lanjutan yang secara independen menilai panjang jalur transportasi menjadi lebih dari
50 kali lipat lebih besar dari ketebalan SC.
Dalam hal transpor melalui apendiks kulit, berbagai data eksperimental
menekankan pada dua sifat umum: (i) secara khusus, folikel rambut, tampaknya
menawarkan jalur 'shunt’ yang lebih cepat melewati sawar SC; dan (ii) kapasitas jalur
tersebut dibatasi oleh kepadatan folikel yang rendah di sebagian besar lokasi tubuh.
Akibatnya, meskipun molekul pertama mencapai lapisan-lapisan kulit setelah formula
obat topikal diaplikasikan, misalnya, mungkin telah menyebar melalui folikel rambut
yang ada [1,2,3], kontribusi keseluruhan untuk transpor adalah kecil pada 'kondisi
stabil' (bisa dikatakan, ketika transportasi lintas SC akan menyusul selanjutnya).

Gambar 13.4. Korelasi antara koefisien permeabilitas air (kp) air melintasi stratum korneum (SC)
dengan urutan yang dibentuk oleh domain lemak antar sel SC (diukur dengan frekuensi getaran
kelompok metilen asimetris (uCH2)) sebagai fungsi dari peningkatan suhu [7,8]

7
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN OBAT KE
KULIT
Absorpsi bahan kimia ke dalam kulit tergantung pada sifat fisikokimianya,
seperti penyajiannya ke kulit (yaitu 'vehikulum' yang mana obat tersebut
dicampurkan), 'lingkungan' kulit saat itu (yaitu kondisi kulit, status penyakit, dll) dan
durasi paparan.
Kemampuan permeabilitas dari suatu molekul tertentu yang sifatnya inheren
dapat dinyatakan dalam hal fluks potensial maksimumnya (Jmax) disepanjang SC [9],
didefinisikan sebagai:
............................ .............. (persamaan 13.1)
di mana Cv,sat adalah kelarutan senyawa tersebut dalam vehikulum yang digunakan,
dan kp adalah koefisien permeabilitasnya di seluruh kulit ketika digunakan dalam
vehikulum itu. Satuan Jmax adalah jumlah per satuan luas per satuan waktu (mis.
µg/cm2/jam). kp memiliki satuan kecepatan (cm/jam) dan tergantung pada difusivitas
bahan kimia (D) sepanjang SC, koefisien partisi antara lipid SC dan vehikulum yang
digunakan (Ksc/v) dan panjang lintasan difusi melintasi SC (h):
........................................... (persamaan 13.2)
Koefisien permeabilitas dari sejumlah besar obat dan bahan kimia lainnya
yang berasal dari air telah ditetapkan secara eksperimental dan telah menciptakan
algoritma sederhana untuk memperkirakan kp (dalam satuan cm/jam) dari air yang
diturunkan [9] dan divalidasi:
............. (persamaan 13.3)
dimana P adalah koefisien partisi oktanol-air dari bahan kimia dan MW adalah berat
molekulnya (dalam Dalton). Log P dan MW adalah parameter fisikokimia zat terlarut
yang tersedia, pertama menentukan lipofilisitasnya (metrik yang sangat umum
digunakan dalam pengembangan farmasi untuk menilai kemampuan molekul untuk
diserap melewati sawar lipid), kedua menjelaskan ukuran, dan selanjutnya laju
difusinya.

8
Persamaan 13.3 mengasumsikan bahwa SC adalah sawar yang menentukan
laju absorpsi perkutan. Namun, seperti disebutkan di atas, untuk senyawa yang sangat
lipofilik, penetrasi dikontrol oleh kemampuannya untuk memecah/larut ke dalam
lapisan kulit yang viable. Dalam hal ini, nilai kp yang diprediksi oleh persamaan 13.3
harus dikoreksi [9]:
.............. (persamaan 13.4)
dimana perkiraan Jmax untuk senyawa kimia sekarang dapat dilakukan dengan
menggunakan persamaan 13.1, dengan kp,corr ditentukan dari persamaan 13.3 dan
13.4 dan kelarutan airnya (yaitu Cwater,sat). Kelarutan air sering ditentukan selama
perjalanan pengembangan obat, atau (seperti log P, sebenarnya) dapat dihitung
menggunakan salah satu dari sejumlah algoritma yang tersedia.
Kisaran kelarutan air dan nilai log P yang dicakup oleh 91 obat, saat ini
disetujui untuk pemberian topikal dan transdermal, baik di Eropa atau AS (atau
keduanya) ditunjukkan pada Gambar 13.5 sebagai fungsi dari berat molekulnya
(molecular weight; MW). Yang juga terlihat jelas adalah bahwa sebagian besar
senyawa memiliki MW kurang dari 500 Dalton, bahwa lipofilisitasnya dan kelarutan
air mencakup banyak ukuran, dan oleh karena itu, dalam artian luas, ada korelasi
terbalik antara log P dan Cwater,sat, dimana logP umumnya meningkat bersamaan
dengan MW dan Cwater,sat sebaliknya menurun.
Estimasi nilai Jmax untuk obat-obatan ini disajikan pada Gambar 13.6,
sebagai fungsi MW, log P dan Cwater,sat. Seperti yang diperkirakan melalui
mpersamaan 13.3, ada dua pola aturan yang jelas: pertama, bahwa fluks obat
berbanding terbalik dengan MW dan, kedua, bahwa dalam kelompok senyawa
dengan MW yang hampir sama, Jmax meningkat dengan meningkatnya lipofilisitas
(log P). Khususnya, sebagian besar obat topikal dan transdermal memanifestasikan
laju fluks maksimum yang agak sederhana di seluruh kulit (garis horizontal putus-
putus pada Gambar 13.6 menandakan Jmax hanya 1 μg/cm2/jam), dan membuktikan
potensi farmakologis yang cukup besar dari senyawa ini.

9
Gambar 13. 5. Kelarutan dalam air dan nilai-nilai log P dari 91 obat yang disetujui untuk pemberian
secara topikal dan transdermal di Eropa dan/atau AS sebagai fungsi terhadap berat molekulnya.

Validasi dari kesimpulan yang diambil dari analisis fisikokimia proses


penyerapan perkutan ini ditunjukkan pada Gambar 13.6b, dimana nilai prediksi Jmax
dibandingkan dengan data yang dipublikasikan dalam literatur (lingkaran hitam dan
bintang) untuk 12 obat yang berbeda. Nilai rata-rata untuk rasio fluks maksimum
eksperimental terhadap yang diprediksi untuk senyawa-senyawa ini adalah 2,04,
artinya, sangat dekat dengan nilai ideal 1.
Oleh karena itu, singkatnya, pendekatan kelarutan dan difusi terhadap prediksi
penetrasi kulit memberikan 'perkiraan pertama' yang layak dari fluks yang mungkin
diharapkan. Parameter kunci yang berdampak pada absorpsi perkutan adalah berat
molekul (atau MW), lipofilisitas (seperti yang digambarkan oleh log P, misalnya) dan
ukuran kelarutan (paling mudah digambarkan oleh kelarutan air). Kriteria obat yang
memiliki bioavailabilitas oral yang baik dikenal dalam apa yang disebut sebagai
Aturan Lima: khususnya, MW kurang dari 500, log P kurang dari 5, dan bahwa
senyawa tersebut mampu menyumbangkan tidak lebih dari lima ikatan hidrogen atau
menerima tidak lebih dari 10 (dua kondisi terakhir berhubungan dengan kelarutan
air). Keadaan yang diilustrasikan dalam Gambar 13.6 sepenuhnya mendukung
serangkaian kriteria yang sama untuk pemberian obat di seluruh kulit, batasan yang
lebih ketat mungkin diperlukan untuk memberikan permeabilitas yang adekuat.

10
Gambar 13.6 Estimasi nilai fluks maksimum (Jmax) untuk obat topikal dan transdermal yang
disetujui pada fungsi: (a) ukurannya (MW); (B) lipofilisitasnya (log P); dan (c) kelarutan airnya
(Cwater,sat).

FORMULA OBAT TOPIKAL YANG DIPAKAI UNTUK MENGOBATI


PENYAKIT KULIT
Mengembangkan pemikiran ilmiah untuk pemilihan dan optimalisasi formula
untuk pemberian obat topikal tertentu ke dalam dan di seluruh kulit merupakan suatu
target yang logis [10,11]. Pendekatan semacam itu harus mengenali vehikulum yang
'ideal': (i) tidak memunculkan efek farmakologis; (ii) melarutkan obat; (iii)
melepaskan obat dengan kinetika yang sesuai; (iv) stabil secara kimia dan fisik; (v)
secara kosmetik menarik; dan (vi) tidak bersifat alergenik dan tidak menyebabkan
iritasi.
Secara paralel, ada masalah-masalah penting untuk diatasi yang mungkin
dapat mempersulit proses pengembangan formula obat. Sebagai contoh, cara di mana
vehikulum berinteraksi dengan kulit dan, khususnya, stratum corneum, sangat
penting. Misalnya, mungkin ada komponen vehikulum yang dapat bertindak sebagai

11
penambah penetrasi, atau yang dapat menyebabkan iritasi pada kulit atau keduanya
(tidak atipikal). Sama halnya, interaksi potensial antara obat dan vehikulum tidak
selalu mudah untuk diprediksi dan tidak ada 'aturan' yang jelas untuk mencocokkan
formula dengan obat tertentu. Situasi ini diperumit oleh literatur yang penuh dengan
data yang sulit diinterpretasikan, seringkali diperoleh dari eksperimen in-vitro
menggunakan kulit dari model hewan, yang telah diketahui melebih-lebihkan efek
vehikulum.
Singkatnya, tidak ada strategi yang konsisten untuk memaksimalkan
pemberian obat melalui penggunaan formula spesifik dan sedikit perhatian telah
diberikan pada 'metamorfosis' vehikulum yang terjadi ketika dipijat ke dalam kulit.
Yaitu, lapisan residu formula yang tersisa setelah pemijatan jelas cukup berbeda dari
yang awalnya diterapkan (eksipien yang mudah menguap, misalnya, dan/atau
meresap secara cepat ke dalam kulit, dan sebagainya).
Akan tetapi, secara progresif, strategi 'pohon keputusan' yang lebih kokoh
mulai muncul untuk menetapkan pilihan formula untuk obat-obatan tertentu. Di AS
telah membahas ini, ini dimulai dengan evaluasi sifat-sifat fisikokimia aktif (ukuran,
lipofilisitas, dan kelarutan) dan estimasi cara penghantaran maksimum yang tepat
ketika diterapkan sebagai larutan tersaturasi, dengan asumsi tidak ada efek vehikulum
pada fungsi pelindung kulit. Dari titik tersebut, formulanya dapat diatur langkah demi
langkah, dengan mengidentifikasi konstituen yang sesuai untuk memastikan aplikasi
obat yang cukup (yaitu bahwa produk akhir mengandung cukup bahan aktif untuk
memberikan pengobatan yang efektif selama periode pemberian dosis), kemudian
mengoptimalkan karakteristik pelepasan obat dari formula dan dari fase residu yang
tersisa setelah aplikasi, dan menciptakan vehikulum yang stabil dan dapat diterima
secara kosmetik.
Faktor perancu, yang biasanya berasal dari faktor biologis, berarti bahwa
strategi tersebut semestinya berulang. Misalnya, formula yang dioptimalkan pada
kulit normal mungkin perlu 'diubah' untuk penggunaan yang lebih optimal pada kulit
yang sakit; atau efek jangka panjang dari vehikulum pada kulit harus dimonitor

12
secara khusus oleh karena adanya eksipien yang penetrasinya meningkat karena
senyawa tersebut dapat menyebabkan iritasi.
Secara umum, formula topikal saat ini dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Formula berbahan dasar hidrokarbon. Untuk penyakit kulit yang kronis,
formula ini lebih disukai karena sifat oklusif dan pelindungnya. Namun, selain
berfungsi sebagai emolien, kegunaan vehikulum ini sebagai pelepasan bahan
topikal menjadi terbatas oleh karena kelarutan obat yang buruk. Kelarutan obat
dapat ditingkatkan dengan menggunakan formula dengan pelarut bercampur
hidrokarbon seperti isopropil miristat atau propilen glikol. Formula anhidrat ini
biasanya agak kaku, lengket, berminyak, salep putih, menyebabkan oklusi kulit
yang tinggi. Formula ini biasanya digunakan untuk mengobati psoriasis, eksim
kronis dan mikosis, yang melibatkan aplikasi area kecil pada kulit kering atau
sangat kering.
2. Formula gel polar. Formula ini adalah sistem fase tunggal yang lebih baik.
Formula ini biasanya berbasis air dan/atau alkohol (hidrogel, gel hidro-alkohol)
dengan kadar lipid yang rendah atau tidak ada. Secara fisik tampak sebagi gel
transparan hingga gel semi-padat yang lebih opak, cepat diserap, tidak
berminyak, non-oklusif dan dapat meningkatkan efek 'pendinginan' kulit setelah
aplikasi. Gel ini digunakan untuk mengobati jerawat, eksim akut, rosacea, dan
kondisi kulit alergi (tetapi kurang sesuai untuk psoriasis dan eksim kronis) dan
diterapkan pada area kecil kulit yang berminyak atau meradang (mis. pada
wajah). Ada berbagai agen pembentuk gel yang tersedia (seperti turunan
selulosa, getah polisakarida dan polimer akrilat, seperti karbomer) yang
memungkinkan pembuatan berbagai macam formula. Variasi kelas vehikulum ini
mencakup hidrogel yang mengandung fase lipid terdispersi, yang disebut gel
emulsi atau emulgel, dan suspensi obat yang tidak larut dalam air dalam hidrogel
(gel suspensi).
3. Krim. Krim merupakan sistem dispersi - yaitu emulsi - dan mewakili sebagian
besar formula topikal berbasis air. Sifat vehikulum ini yang mudah

13
menyesuaikan ini menyebabkan penerapan krim yang luas dalam terapi
dermatologis. Krim membutuhkan 'pengemulsi' (yaitu surfaktan) untuk
menstabilkan campuran fase minyak dan air; dispersi tetesan minyak dalam air
atau tetesan air dalam minyak merupakan hal yang rumit dan susunan lapisan
pengemulsi pada daerah yang menghubungkan minyak-air menentukan struktur
internal dari formula ini (daerah kristal atau cairan-kristalin, struktur heksagonal
atau lamellar, dll.). Air dapat berperan sebagai fase luar, kontinu (emulsi minyak
dalam air, o/w) atau fase dalam, tidak kontinu (air dalam minyak, emulsi w/o).
Fase yang disebut terakhir berbaur dengan mudah dengan lipid SC,
meningkatkan bioavailabilitas obat yang larut dalam lipid dan melembabkan kulit
melalui efek oklusif sederhana. Fase lipid kontinu biasanya terdiri dari
trigliserida atau lilin. Emulsi putih ke hingga putih gading memiliki efek
penambahan lipid yang tinggi dan diterapkan pada area yang luas dari kulit
normal hingga kering, mengobati penyakit seperti psoriasis, eksim kronis dan
mikosis. Emulsi yang pertama (o/w emulsi) lebih menarik secara kosmetik
(kurang lengket dan berminyak) karena lipid di dalamnya terdispersi dengan
baik, dan kontak dengan fase air yang diluar dengan kulit meningkatkan
penguapan air, menghasilkan efek pendinginan setelah aplikasi (namun, perlu
dicatat bahwa pengemulsi seperti surfaktan dalam emulsi o/w dapat menarik uap
air dari kulit dan menyebabkan ekstraksi dan perturbasi lipid SC). Formula ini
bersifat menghidrasi, berwarna putih susu, emulsi yang dapat menyebar, cocok
untuk aplikasi ke area kulit yang besar (baik jenis kulit normal, sedikit kering dan
meradang) yang mengalami jerawat dan eksim akut dan subakut.
4. Sistem dispersi lainnya untuk aplikasi tertentu.Formula yang lebih kompleks ini
meliputi: (i) formula yang dibuat dengan struktur vesikular, seperti liposom atau
niosom, berdasarkan fosfolipid dan surfaktan non ionik, secara berurutan; (ii)
emulsi multipel, nanoemulsi dan mikroemulsi, yang membutuhkan tingkat
surfaktan yang relatif tinggi untuk menjaga stabilitasnya; dan (iii) spray, busa
dan pernis; pernis paling sering digunakan dalam mengobati penyakit kuku.

14
PENILAIAN BIOAVAILABILITAS OBAT TOPIKAL DAN BIOEKIVALENSI
ANTAR FORMULA
Bioavailabilitas dapat didefinisikan sebagai 'kecepatan dan jumlah (rate and
extent) bahan aktif atau senyawa aktif terserap dari produk obat dan menjadi tersedia
di tempat kerjanya'. Bioekivalensi adalah 'tidak adanya perbedaan signifikan dalam
kecepatan dan jumlah bahan aktif atau senyawa aktif dari produk ekivalen farmasetik
atau alternatif farmasetik yang tersedia di tempat kerja obat jika diberikan pada dosis
molar yang sama di bawah kondisi yang sama dalam penelitian yang didisain dengan
tepat'. Untuk entitas senyawa kimia baru, persetujuan mereka sebagai produk obat
membutuhkan keberhasilan demonstrasi keamanan dan efikasi dalam serangkaian uji
klinis yang semakin rinci. Sehubungan dengan komersialisasi bioekivalensi, produk
obat generik untuk konsumsi secara oral, pendekatan yang diterima relatif mudah dan
pada dasarnya didasarkan pada profil darah yang sesuai (kecepatan dan jumlah
penyerapan). Untuk produk obat topikal, sebaliknya, selain kortikosteroid, percobaan
klinis pada dasarnya merupakan satu-satunya jalan agar produk generik disetujui atau
untuk penggantian produk dermatologis yang sudah disetujui yang memiliki
perubahan komposisi yang cukup besar. Uji klinis komparatif relatif tidak sensitif,
memakan waktu dan mahal; untuk mendapatkan kekuatan statistik yang adekuat yang
diperlukan untuk mengevaluasi secara jelas bioekivalensi membutuhkan jumlah
sampel yang sangat besar (mis. ratusan atau lebih).
Metode untuk menentukan bioavailabilitas topikal (BA) dan bioekivalensi
(BE) dirangkum dalam Gambar 13.7 dan dapat dipisahkan menjadi pendekatan in
vitro dan in vivo. Metode dalam huruf miring belum menerima persetujuan resmi
sebagai alat independen untuk mengevaluasi BA/BE obat topikal; yang lain masing-
masing, sampai batas tertentu, telah digunakan untuk membandingkan produk obat
topikal yang berbeda. Sehubungan dengan pendekatan in vitro, Badan Pengawas Obat
dan Makanan AS (Food and Drug Administration; FDA) telah mendeskripsikan suatu
metode untuk memastikan konsistensi kinetika pelepasan bahan aktif dari formula

15
semi-padat yang umum ditemukan dalam produk topikal. Teknik ini mengukur
penghantaran bahan aktif obat (Active Pharmaceutical Ingredient; API) dari produk
yang melintasi membran sintetik berpori (misalnya polimer) dan berfungsi sebagai
pengukuran quality control dari sejumlah karakteristik produk yang penting, seperti
kelarutan dan ukuran partikel dari API dan sifat reologisnya. Dengan demikian,
dalam banyak kasus, laju pelepasan in vitro merupakan tes yang berguna untuk
menilai kesamaan produk ketika perubahan kecil pada formula dibuat. Namun, uji
pelepasan in vitro untuk bentuk sediaan semi-padat bukan tes pengganti untuk in vivo
BA atau BE (seperti yang sering terjadi pada disolusi in vitro dalam bentuk sediaan
oral yang padat).

Gambar 13.7.Metode untuk penentuan bioavailabilitas (BA) dan bioekivalensi (BE) suatu obat
topikal, baik yang telah diterima dan yang masih dibawah konsiderasi oleh pihak berwenang (lihat teks
untuk lebih jelas).

Penggunaan kulit manusia ex vivo untuk mempelajari proses absorpsi


perkutan digunakan secara luas dan memiliki aplikasi dalam berbagai bidang proses
pengembangan obat serta di bidang toksikologi. Meskipun literatur substansial telah
muncul menggunakan model ini, sejauh mana ia dapat meniru keadaan kulit hidup
dan, oleh karena itu, sejauh mana data dapat diekstrapolasi dengan yakin harus
dipertimbangkan secara kritis. Meskipun bukan model yang sempurna, mungkin,
sekumpulan bukti yang terakumulasi selama lebih dari 40 tahun menunjukkan bahwa,
ketika protokol yang konsisten dan kuat digunakan, data tersebut dapat diandalkan
dan berkorelasi dengan yang diperoleh dari subjek yang hidup. Meskipun prinsip-
prinsip dan praktik penelitian absorpsi perkutan in vitro, dan relevansinya dengan

16
BA/BE telah diuji secara hati-hati, pihak yang berwenang belum secara formal
menganut pendekatan ini. Sementara itu, jelas, bahwa studi absorpsi kulit in vitro
secara rutin telah diterapkan dalam berbagai keadaan, termasuk penyaringan dan
optimalisasi formula pengobatan transdermal, topikal, kosmetik dan perawatan
pribadi, dan dalam penilaian risiko yang terkait dengan paparan kulit terhadap bahan
kimia yang berpotensi berbahaya di rumah, tempat kerja, dan lingkungan.
Sejumlah masalah penting telah diidentifikasi sehubungan dengan pendekatan
in vivo yang bergantung pada hasil akhir klinis untuk penilaian BA/BE obat topikal.
Termasuk didalamnya: (i) ketika obat-obatan yang terdaftar (Reference Listed Drug;
RLD) memiliki efikasi yang rendah, sulit untuk menunjukkan bahwa produk yang
diuji dan RLD ini aktif, dan bahwa penelitian ini cukup sensitif untuk mendeteksi
perbedaan antara produk; (ii) ketika RLD diindikasikan untuk populasi pasien yang
relatif kecil; (iii) variabilitas yang tinggi dari titik akhir klinis berarti bahwa BE hanya
dapat dibuktikan ketika produk diuji dalam populasi pasien yang sangat besar -
mengingat biaya uji klinis, ini membuat evaluasi menjadi sangat mahal; dan (iv)
pembuatan pembatas yang potensial terhadap perubahan pasca-persetujuan untuk
meningkatkan kualitas.
Penggunaan pendekatan farmakokinetik 'klasik' (yaitu pengukuran kadar obat
dalam darah atau plasma sebagai fungsi dari waktu pasca-aplikasi) untuk evaluasi
BA/BE obat topikal telah diabaikan karena pada umumnya, jumlah API yang dapat
ditemukan dalam darah kecil dan sulit untuk diukur, dan kadar yang ada biasanya
dianggap (tetapi jarang, terbukti) tidak relevan dengan aktivitas terapi di lokasi kerja
di dalam kulit. Namun, dua fakta kunci layak dipertimbangkan. Pertama, untuk
sebagian besar dari semua obat yang dioleskan secara topikal (termasuk yang
digunakan dalam dermatologi, obat untuk mengobati nyeri dan peradangan lokal pada
subkutan, dan obat transdermal untuk efek sistemik), sawar utama pada proses
penyerapan obat-obatan tersebut ke tempat kerja (di dalam kulit, di bawah kulit
tempat pengaplikasian, atau di kompartemen pusat) adalah stratum corneum. Setelah
SC dilewati, transportasi dalam kulit yang layak dan pengambilan melalui

17
mikrosirkulasi berlangsung relatif cepat, sehingga masuk akal bila berhipotesis bahwa
tingkat obat dalam kompartemen sub-SC (epidermis/dermis, jaringan subkutan,
darah/plasma) menjadi proporsional satu sama lain, meskipun semakin kecil dengan
peningkatan jarak dari permukaan kulit. Jika benar, maka konsentrasi plasma
konvensional (Cp) versus profil waktu mungkin mencerminkan fluktuasi tingkat obat
di situs target di kulit, dan dapat dilakukan perbandingan metrik farmakokinetik
klasik untuk dua produk obat topikal kemudian akan memungkinkan penilaian BE
lokal. Kedua, perkembangan dan evolusi terbaru dan cepat dari teknologi coupled
liquid chromatography and mass spectrometry (LC-MS) mendapatkan bahwa tingkat
API yang sangat rendah dalam darah post-administrasi bentuk sediaan topikal
konvensional sekarang dapat diukur dengan keakuratan dan ketepatan yang cukup
baik agar memungkinkan dilakukannya studi farmakokinetik. Tentu saja, ada
pengecualian potensial untuk penggunaan pendekatan ini, yang tidak masuk akal
(misalnya untuk evaluasi antijamur topikal, atau untuk obat dengan tindakan spesifik
dalam folikel rambut). Sebaliknya, untuk obat yang bekerja dalam kompartemen
subkutan, seperti obat antiinflamasi non-steroid pada otot, sendi, dll., Perbandingan
sensitif profil Cp-time dapat menawarkan pendekatan yang jauh lebih sensitif
terhadap penilaian BE lokal daripada alternatif yang tersedia saat ini.
Kortikosteroid, setelah diserap melalui sawr epidermis, memberikan efek
pemutihan yang dapat diukur pada kulit, yang disebabkan oleh vasokonstriksi
mikrovaskulatur kulit. Efek farmakodinamik ini telah diadopsi sebagai metode yang
dapat diterima untuk menilai BA/BE dari kortikosteroid topikal. Sekalipun
pendekatannya non-invasif dan jauh lebih sulit daripada uji klinis, penyempurnaan
protokol pemilihan subjek yang agak rumit, penilaian efek pemutihan (visual versus
chromameter) dan penentuan durasi dosis, variabilitas yang cukup signifikan terkait
dengan pengujian belum dapat dikurang. Sebagai alat pengganti untuk
membandingkan bentuk sediaan topikal, oleh karena itu, uji vasokonstriksi memiliki
keterbatasan, hanya dapat diterapkan pada steroid yang dapat meningkatkan respon

18
farmakologikan (yang mana, harus ditambahkan, dan tidak terkait dengan mekanisme
kerja obat yang sebenarnya).
Suatu metode yang disebut dermato-farmakokinetik (DPK) untuk menilai BE
dari produk topikal untuk aplikasi pada kulit telah dievaluasi secara masak-masak
selama 15 tahun terakhir. Draf Pedoman FDA, yang kemudian ditarik, membutuhkan
kuantifikasi jumlah total obat di SC sebagai fungsi waktu, mirip dengan profil Cp-
time yang khas dari studi farmakokinetik tradisional menggunakan pengambilan
sampel darah. Namun, hasil yang tidak konsisten dari sebuah studi penting, yang
membandingkan formula gel tretinoin, memunculkan kekhawatiran tentang
reproduktifitas dan kecukupan metode ini untuk menilai obat yang situs targetnya
berada di luar SC. Upaya selanjutnya yang cukup besar diarahkan pada identifikasi
masalah/keterbatasan protokol DPK yang orisinal dan pengembangan prosedur yang
ditingkatkan untuk menghasilkan data dengan kualitas dan reproduksibilitas yang
jauh lebih tinggi. Produk akhir dari penelitian ini adalah metode yang relatif mudah
yang meneliti hanya satu penyerapan dan satu waktu eliminasi per formula [12].
Jumlah total obat dalam SC diukur untuk setiap situs, dan rasio jumlah ini terhadap
RLD dan formula yang diuji kemudian dapat dibandingkan untuk menilai ekivalensi.
Metode ini telah diterapkan secara retrospektif untuk perbandingan gel retinoid dan
secara prospektif dengan analisis data DPK yang diperoleh untuk krim ekonazol yang
konsisten dengan hasil klinis.
Akhirnya, mikrodialisis merupakan teknik in vivo untuk pengambilan sampel
konsentrasi obat bebas dalam cairan ekstraseluler subkutan atau intradermal. Tabung
membran dialisis yang tipis dimasukkan ke dalam kulit dan diperfusi dengan larutan
fisiologis yang sesuai dengan lokasi. Molekul-molekul yang sesuai berdifusi
melintasi membran, memungkinkan kandungan obat yang diserap secara perkutan
dari cairan ekstraseluler dari dermis untuk diambil sampelnya secara terus-menerus
dan diukur selama beberapa jam. Keberhasilan pemantauan penetrasi kulit sejumlah
obat telah dilaporkan. Namun, prosedur yang secara teknis banyak tuntutannya ini
saat ini tetap menjadi alat penelitian, dengan tantangan terkait reaksi jaringan ketika

19
probe dimasukkan, kebutuhan akan alat analitis yang sangat sensitif untuk
mendeteksi jumlah yang sangat rendah dari obat yang meresap (terutama yang tidak
melewati SC dengan cepat) dan lamanya waktu (sekitar 6 jam) subjek dapat dengan
nyaman diimobilisasi dengan probe dialisis. Variabilitas inter- dan intraindividual
relatif besar, dengan koefisien variasi sebesar 100%. Sebagai kesimpulan, terbukti
bahwa BA/BE topikal dapat dinilai dengan menggunakan tes in vitro dan/atau in vivo
yang dipilih secara tepat. Semua tes pengganti memiliki beberapa keterbatasan yang
berbeda-beda, yang berarti bahwa hasil dari pendekatan yang berbeda dapat saling
melengkapi dan meningkatkan kepercayaan pada hasil dari kesetaraan yang
disimpulkan. Adopsi metodologi alternatif untuk memfasilitasi persetujuan produk
obat topikal perlu diantisipasi dalam waktu dekat.

OPTIMALISASI DARI PENGOBATAN DERMATOLOGIS


Untuk mengoptimalkan penggunaan obat-obatan dermatologis (yaitu obat
disertai sistem penghantarannya) [10,11], titik awal yang bermanfaat adalah
peninjauan kembali pembahasan sebelumnya tentang fluks maksimum obat (Jmax)
sepanjang kulit. Dengan menggabungkan persamaan 13.1 dan 13.2 menghasilkan:
.............. .............. (persamaan 13.5)
Dengan asumsi untuk saat ini bahwa vehikulum (v) tidak mampu mengubah
baik difusivitas obat (D), atau panjang lintasan difusi (h) melalui SC, maka Jmax
secara langsung tergantung pada hasil dari koefisien partisi SC/vehikulum senyawa
(Ksc/v) dan kelarutan saturasinya di dalam vehikulum (Cv,sat). Koefisien partisi,
tentu saja, adalah ukuran afinitas relatif suatu obat terhadap SC dibandingkan dengan
yang untuk vehikulum dan, dengan demikian, dapat dinyatakan sebagai rasio
kelarutan dalam dua fase ini, yaitu:
............................ (persamaan 13.6)
Dua deduksi langsung terlihat pada pemeriksaan persamaan 13.5 dan 13.6.
Pertama, substitus persamaan yang terakhir menjadi yang pertama memberikan hasil:
.............. .............. (persamaan 13.7)

20
dan menunjukkan bahwa fluks maksimum obat adalah sama pada setiap vehikulum
yang digunakan pada konsentrasi jenuh, dan hanya bergantung pada kelarutan
senyawa dalam SC. Sementara ada contoh dalam literatur yang mengkonfirmasi
prediksi ini [9], derivasi persamaan 13.7 mengasumsikan situasi ideal di mana
vehikulum (atau komponennya) tidak mempartisi diri ke dalam SC, dan/atau
mengubah kelarutan obat di dalamnya, dan/atau berinteraksi dengan lipid pada SC,
misalnya, dan mengubah nilai D.
Kedua, untuk mencapai Jmax sesuai dengan persamaan 13.5 melibatkan
upaya untuk memaksimalkan dua parameter, yaitu Ksc/v dan Cv,sat, yang
bertentangan satu sama lain. Yaitu, jika sifat-sifat vehikulum diubah untuk
meningkatkan kelarutan obat maka, sesuai dengan persamaan 13.6, ini mengarah
pada pengurangan koefisien partisi SC/vehikulum. Logikanya tidak terhindarkan,
bahwa pembuatan vehikulum dimana obat telah meningkatkan kelarutannya
mengartikan bahwa obat 'menyukai' vehikulum tersebut, dan karenanya afinitas
relatifnya terhadap SC terhadap vehikulum yang 'ditingkatkan' harus dikurangi (sekali
lagi, mengikuti persamaan 13.6).
Poin ini dapat diilustrasikan dengan masalah praktis dalam memformula obat
lipofilik, seperti kortikosteroid dengan kelarutan air rendah, dalam gel berair [10,11].
Untuk meningkatkan 'loading' suatu formula, pelarut yang digunakan bersama -
misalnya, propilen glikol (PG) - dapat dimasukkan untuk meningkatkan Cv,sat.
Meskipun poin ini bekerja secara efisien, seperti yang ditunjukkan pada Gambar
13.8a, dampak berlawanan pada koefisien partisi SC/vehikulum cukup jelas. Dalam
kasus yang ideal, karena %PG dalam vehikulum meningkat dari 0% menjadi 100%,
Cv,sat meningkat dari 0,1 menjadi 10 mg/mL, sedangkan Ksc/v turun dari 100
menjadi 1.

21
Gambar 13.8. (a) Formula obat lipofilik (misalnya kortikosteroid) dengan kelarutan dalam air yang
rendah, dalam gel berair [9]. Profil ini menggambarkan sifat dimana keberadaan co-solvent, propilen
glikol (PG), berdampak pada kelarutan saturasi obat (Cv,sat) dan koefisien partisi SC/vehikulum
(Ksc/v). (B) Fluks relatif dari obat (yang berbanding lurus dengan Ksc/v*Cv) sebagai fungsi dari %PG
dalam vehikulum dan 'loading' obat di dalamnya [10,11].

Pemilihan %PG yang optimal untuk suatu formula tergantung pada


konsentrasi obat yang diinginkan untuk digabungkan. Gambar 13.8b menunjukkan
bagaimana fluks relatif senyawa aktif (yang berbanding lurus dengan Ksc/v*Cv)
bervariasi sebagai fungsi dari %PG dalam vehikulum dan 'loading' obat di dalamnya
[10,11]. Sebagai contoh, pada konsentrasi obat yang ditargetkan 0,1% w/v (yaitu 1
mg/mL), fluks dari gel yang terdiri dari 100% PG agak kecil: pada tingkat co-solvent
ini, obat sepenuhnya terlarut dan jauh dari saturasi kelarutannya. Akibatnya, fluksnya
jauh di bawah Jmax dan 'kecenderungan untuk meninggalkan' vehikulum lebih
rendah karena obat ini cukup 'nyaman' berada di lingkungan itu. Mengurangi %PG
secara progresif menjadi 50% menyebabkan fluks relatif meningkat ke nilai yang
jelas lebih maksimal; karena tingkat obat dalam vehikulum dipertahankan secara

22
konstan, maka seiring dengan berkurangnya persentase co-solvent, konsentrasi obat
menjadi semakin dekat dengan saturasi kelarutannya. Pada 50 %PG (di mana Jmax
tercapai), selanjutnya, masih terdapat co-solvent yang cukup untuk melarutkan 0,1%
w/v obat. Pengurangan dari %PG lebih lanjut mengarah pada pembuatan suspensi
obat, dengan fraksi senyawa dalam larutan yang lebih kecil seiring dengan penurunan
kadarco-solvent. Secara teoritis sementara fluks relatif tetap berada pada Jmax,
periode dimana penghantaran ke kulit dapat dipertahankan menjadi lebih
dikompromikan. Molekul yang terlarut menjadi cepat habis, tetapi mungkin dapat
ditambah lagi secara lambat dengan peleburan obat padat karena berkurangnya
kelarutan senyawa seiring dengan penurunan kadarco-solvent.
Pada konsentrasi obat yang diinginkan sebesar 0,03% (0,3 mg/mL), pola
perilaku yang serupa diamati sebagaimana yang dijelaskan di atas. Namun dalam
kasus ini, %PG yang lebih rendah (sekitar 30%) diperlukan untuk melarutkan tingkat
loading obat ini. Profil untuk target loading obat sebesar 0,01% w/v menunjukkan
bahwa konsentrasi ini sama dengan kelarutan senyawa (Jmax dicapai tanpa perlu co-
solvent); penambahan PG ke formula hanya menyebabkan penurunan fluks karena
co-solvent secara progresif meningkatkan kelarutan obat. Akhirnya, pada 0,005% w/v
obat, fluks setinggi mungkin (sekali lagi, jika tidak ada co-solvent) hanya satu
setengah dari Jmax, mengingat konsentrasinya adalah 50% dari kelarutan air pada
senyawa.
Pengetahuan terkait praktis dapat dipelajari lebih lanjut lagi berdasarkan dari
analisis optimasi formula ini. Secara khusus, pendekatan 'satu ukuran untuk semua'
untuk pemilihan vehikulum jelas tidak sesuai: (i) pemberian obat yang optimal dari
formula yang mengandung berbagai tingkat senyawa mungkin memerlukan
komposisi vehikulum yang berbeda, seperti yang ditunjukkan di atas; (ii)
pengenceran formula dimana obat berwujud sebagai suspensi mungkin tidak selalu
mengarah pada penurunan penghantaran obat; dan (iii) formula optimal dari analog
yang terkait secara struktural, tetapi lebih lipofilik, dari obat yang ada, misalnya, akan

23
membutuhkan tingkat co-solvent yang lebih tinggi dalam formula untuk
memaksimalkan fluksnya ke dalam kulit.
Pada kenyataannya, 'seni' formula topikal bahkan lebih rumit daripada yang
diuraikan di atas dan kondisi 'ideal' yang diasumsikan sejauh ini jarang berlaku
kecuali, mungkin, pada saat-saat awal pemberian formula. Selain obat, air, satu atau
lebih co-solvent dan zat pembentuk gel polimer, vehikulum atau krim berbasis air
yang umum dipakai mungkin akan mengandung pelarut yang mudah menguap
(seperti etanol atau isopropil alkohol) [13], pengemulsi atau surfaktan untuk
menstabilkan sistem dispersi dan/atau memfasilitasi penyerapan obat ke dalam, atau
melewati SC. Vehikulum tersebut juga mungkin mengandugn bahan lain untuk
membuat formula dapat diterima secara kosmetik dan farmasi (mis. Pewangi,
pengawet, dll.). Setelah pengaplikasian produk obat dan pemijatannya ke dalam kulit,
beberapa peristiwa paralel dapat dan memang terjadi [13] sehingga mempengaruhi
disposisi akhir dan bioavailabilitas senyawa aktif, termasuk (tetapi tidak terbatas
pada) hal-hal berikut.
 Penggabungan pelarut yang mudah menguap merupakan cara yang berguna
untuk melarutkan obat yang tidak larut dalam vehikulum (yakni eksipien yang
mudah menguap juga bertindak sebagai co-solvent). Setelah pemberian, pelarut
(seperti etanol) dengan sendirinya akan tersebar dalam SC dan membantu
pemindahan obat dengan cepat dari formula ke sawar kulit. Secara paralel,
pelarut akan menguap, menyebabkan obat, yang sampai pada titik ini dalam
kondisi terlarut oleh kehadiran pelarut, untuk terkonsentrasi dalam vehikulum
dan karenanya meningkatkan kekuatan pendorong untuk difusi ke dalam seluruh
SC. Dari sudut pandang termodinamika, kehilangan pelarut volatil (oleh
penguapan dan serapan SC) pada akhirnya akan mencapai titik dimana jumlah
obat yang tersisa di permukaan kulit tidak lagi dapat sepenuhnya dilarutkan dan
oleh karena itu presipitasi harus terjadi - yaitu, langkah yang secara signifikan
akan menghalangi transfer lebih lanjut ke SC. Namun, karena perubahan formula

24
ini terjadi agak cepat, ada kemungkinan bahwa akan terjadi transien, yang
disebut supersaturasi [13] obat dalam vehikulum yang memungkinkan untuk
jangka waktu yang singkat dimana senyawa aktif dapat dihantarkan ke kulit pada
tingkat yang lebih besar dari Jmax. Kinetika presipitasi dapat terhambat oleh
(misalnya) polimer tertentu, sebagaimana yang digunakan sebagai gel vehikulum
atau untuk menyesuaikan viskositasnya.
 Co-solvent seperti PG sering ditemukan pada kadar yang cukup tinggi dalam
formula topikal. Ketika vehikulum diaplikasikan, co-solvent tidak hanya
mempengaruhi kelarutan obat dan partisinya ke dalam SC, ia juga mentransfer
dirinya melalui sistem penghantaran ke kulit. Sifat fisikokimia dari co-solvent
adalah sedemikian rupa sehingga mereka biasanya terserap dengan baik ke dalam
SC. Setelah proses tersebut, mereka kemudian mampu mengubah kelarutan obat
di lapisan luar kulit [14]; yang mana, prinsip, yakni turunan persamaan 13.7,
dilanggar dan oleh karena itu pemberian obat dapat melebihi Jmax. Gambar 13.9
mengilustrasikan poin ini untuk penghantaran ibuprofen ke SC manusia secara in
vivo dari tiga formula dimana obat tersebut tersaturasi: 50:50 v/v PG: air, 75: 25
v/v PG: air dan PG saja [14] . Analisis ideal di atas yang dikembangkan secara
matematis memprediksi bahwa fluks obat dari ketiga vehikulum seharusnya
identik. Faktanya, dengan meningkatnya PG, ketersediaan ibuprofen meningkat,
relatif terhadap 50:50 PG:air, masing-masing sekitar 2 dan 6,5 kali lipat, untuk
75: 25 PG:air dan PG saja.

Gambar 13.9. Fluks ibuprofen ke stratum korneum manusia in vivo dari tiga formula [14] di mana
obat ini berada pada konsentrasi jenuhnya. PG, propilen glikol.

25
 Jelas, transfer co-solvent ke SC juga akan memfasilitasi penyerapan surfaktan
atau pengemulsi dari vehikulum. Senyawa-senyawa ini telah terbukti mampu
mengganggu secara struktural dan/atau mengekstraksi lipid interselular SC dan
dengan demikian mengganggu fungsi sawar sampai batas tertentu. Oleh karena
itu, peningkat penetrasi dapat berdampak pada koefisien partisi SC/vehikulum
dari obat dan difusivitasnya di seluruh kulit.
 Yang terakhir, setelah formula telah sepenuhnya dipijat ke dalam kulit, terbukti,
seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa 'metamorfosis' lengkap dari
vehikulum terjadi [13], dan hanya menyisakan lapisan residu (yang tidak dapat
dengan mudah divisualisasikan) dari bahan di permukaan SC. Hilangnya co-
solvent oleh penguapan dan/atau penyerapan ke dalam SC berarti sangat
mungkin bahwa lapisan residu mengandung partikel obat padat atau kristal yang
diendapkan keluar dari larutan selama perubahan dramatis komposisi formula
obat (Gambar 13.10) [15,16]. Tampaknya masuk akal untuk berspekulasi bahwa
bahan obat padat ini tidak mungkin diserap ke situs target di kulit, mengingat
tidak adanya agen pelarut yang tersedia. Memang, peristiwa yang dijelaskan
terkait lapisan residu vehikulum dapat menjelaskan mengapa hanya beberapa
persen dari sebagian besar dosis obat topikal yang diaplikasikan yang terserap ke
dalam kulit - sisanya mungkin 'terdampar' dalam keadaan padat di permukaan
dan pada akhirnya dihilangkan dengan abrasi fisik atau pencucian sebelum dosis
berikutnya.

26
Gambar 13.10. Gambar spektroskopi Raman dari (a) ibuprofen padat dan (b) partikel betametason
valerat yang mengkristal pada dan dalam lapisan luar stratum korneum 30 menit setelah aplikasi obat
sebagai larutan dalam propilen glikol. Setiap gambar berukuran sekitar 150 × 150 μm2. (Atas ijin N.
Belsey.)

KESIMPULAN
Fungsi sawar kulit pada dasarnya ditentukan oleh SC, suatu capaian luar biasa
dari bioteknologi yang menjadi sarana yang sangat efisien untuk menghambat
kehilangan air dari 'dalam ke luar' dan untuk penetrasi xenobiotik dari 'luar ke dalam'.
Sementara ada beberapa jalur potensial untuk difusi obat melewati SC, tampak bahwa
sebagian besar senyawa tidak dapat dihantarkan melalui domain interseluler yang
diisi lipid dari sawar kulit, sehingga secara signifikan memperluas jarak yang harus
ditempuh dari satu sisi sawar ke sisi lainnya (dan karenanya secara substansial
menurunkan permeabilitas membran).
Analisis literatur mengenai penyerapan perkutan yang substansial
mengungkapkan dengan tegas bahwa penetrasi molekul dari sawar kulit tergantung
pada lipofilisitas obat (konsisten dengan jalur permeasi utama), ukuran dan sifat
kelarutannya. Parameter fisikokimia utama yang pada akhirnya menentukan fluks
maksimum obat di SC adalah koefisien partisi oktanol-air (P), berat molekul (MW)
dan kelarutan dalam air (Cwater,sat); senyawa dengan nilai lipofilisitas yang ekstrim

27
(mis. log P> 5), MW> 400-500 dan Cwater,sat rendah (kurang dari sekitar 1 mg/mL)
tidak mungkin menembus kulit dengan baik.
Berbagai formula obat topikal telah dikembangkan untuk mengobati penyakit
kulit dan banyak obat poten yang berhasil digunakan untuk menyelesaikan beragam
masalah kulit. Namun, efisiensi sebagian besar produk obat yang disetujui untuk
penggunaan terapeutik agak buruk. Biasanya, hanya beberapa persen dari dosis obat
yang diterapkan yang benar-benar tersedia di situs kerja obat. Karena kinerja yang
mengecewakan ini, tidak mengherankan bahwa penatalaksanaan medikamentosa
penyakit kulit dikaitkan dengan variabilitas yang besar dan bahwa demonstrasi
keamanan dan efikasi (dan memang bioekivalensi antara formula obat yang sama)
saat ini memerlukan uji klinis dengan jumlah pasien yang sangat besar. Oleh karena
itu, dua tantangan besar tetap ada untuk meningkatkan kualitas terapi dermatologis
topikal. Pertama, penting untuk membuat formula yang lebih baik yang mengandung
muatan obat yang lebih rendah tetapi yang memberikan proporsi lebih besar dari
muatan itu. Saat ini, sebagian besar dari obat yang diterapkan mungkin 'terdampar'
pada permukaan kulit dalam keadaan padat setelah hilangnya eksipien co-solvent
(oleh penguapan dan permeasi kulit) selama proses aplikasi (yaitu pijatan dari
formula ke dalam kulit). Perhatian yang lebih besar perlu diberikan pada sifat formula
residu setelah 'metamorfosis' vehikulum ini untuk memastikan bahwa obat tetap
dalam bentuk yang dapat diserap secara molekuler dari lapisan residu. Kedua,
penelitian tambahan diperlukan untuk mengembangkan tes pengganti yang divalidasi,
yang dapat digunakan untuk mengevaluasi secara farmakokinetik dermato-
farmakokinetik - yaitu, bioavailabilitas obat-obatan yang dioleskan dan bioekivalensi
antara formula yang berbeda yang mengandung obat yang sama yang dirancang untuk
mencapai titik akhir klinis yang sama.

28

Anda mungkin juga menyukai