Anda di halaman 1dari 12

PRE PLANNING BERMAIN

(Metode Lego)
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak I
Dosen Pengampu : Ns. Fatikhu Yatuni Asmara, M.Sc

Disusun Oleh :
Kelompok 7/A.16.1

1. Anis Dwi Prasetyani Putri (22020116130087)


2. Nabella Khairinnissa (22020116130081)
3. Tika Rahmawati (22020116130082)
4. Muhammad Nur Afiyan (22020116130084)
5. Faiq Assidqie (22020116130075)

DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNI VERSITAS DIPONEGORO
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan dirawat di
rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha untuk beradaptasi dengan
lingkungan asing dan baru yaitu rumah sakit, sehingga kondisi tersebut menjadi faktor
stressor bagi anak baik terhadap anak maupun orang tua dan keluarga (Wong, 2000).
Angka kesakitan anak di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Nasional (Susenas)
tahun 2010 di daerah perkotaan menurut kelompok usia 0-4 tahun sebesar 25,8%, usia 5-
12 tahun sebanyak 14,91%, usia 13-15 tahun sekitar 9,1%, usia 16-21 tahun sebesar
8,13%. Angka kesakitan anak usia 0-21 tahun apabila dihitung dari keseluruhan jumlah
penduduk adalah 14,44%. Salah satu hal yang memperngaruhi kesehatan anak adalah
Hospitalisasi.
Wright (2008) dalam penelitiannya tentang efek hospitalisasi pada perilaku anak
menyebutkan bahwa reaksi anak pada hospitalisasi secara garis besar adalah sedih, takut
dan rasa bersalah karena menghadapi sesuatu yang belum pernah dialami sebelumnya,
rasa tidak aman, rasa tidak nyaman, perasaan kehilangan sesuatu yang biasa dialami dan
sesuatu yang dirasakan menyakitkan.
Banyak anak menolak diajak ke rumah sakit, apalagi menjalani rawat inap dalam
jangka waktu yang lama. Peralatan medis yang terlihat bersih dirasakan cukup
menyeramkan bagi anak-anak. Begitu juga dengan bau obat yang menyengat dan
penampilan para staf rumah sakit dengan baju putihnya yang terkesan angker Untuk
mengurangi ketakutan anak yang harus mengalami rawat inap di rumah sakit dapat
dilakukan beberapa cara salah satunya adalah melakukan permainan dokter-dokteran
dengan membiarkan anak bereksplorasi dengan alat-alat kedokteran, seperti jarum suntik
dan stetoskop. Anak berperan menjadi dokter, sementara anak lain atau orang tua
menjadi pasiennya (Imam, 2008).
Dampak negatif dari efek hospitalisasi sangat berpengaruh terhadap upaya perawatan
dan pengobatan yang sedang dijalani pada anak. Reaksi yang dimunculkan pada anak
akan berbeda antara satu dengan lainnya. Anak yang pernah mengalami perawatan di
rumah sakit tentu akan menunjukkan rekasi berbeda bila dibandingkan dengan anak yang
baru pernah. Anak yang pernah dirawat di rumah sakit telah memiliki pengalaman akan
kegiatan yang ada di rumah sakit, kemungkinan hal ini berdampak terhadap tingkat
kecemasan yang dialami. Sedangkan anak yang baru pernah dirawat mungkin mengalami
kecemasan yang lebih tinggi. Pada keadaan seperti ini diperlukan suatu tindakan yang
dapat menurunkan tingkat kecemasan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan kecemasan adalah melalui
kegiatan terapi bermain. Bermain merupakan salah satu alat komunikasi yang natural
bagi anak-anak. Bermain merupakan dasar pendidikan dan aplikasi terapeutik yang
membutuhkan pengembangan pada pendidikan anak usia dini. (Tekin G.2010) Bermain
dapat dilakukan oleh anak yang sehat maupun sakit. Walaupun anak sedang mengalami
sakit, tetapi kebutuhan akan bermain tetap ada. Salah satu fungsi bermain adalah sebagai
terapi dimana dengan melakukan permainan anak akan terlepas dari ketegangan dan
stress yang dialaminya. Melalui kegiatan bermain, anak dapat mengalihkan rasa sakitnya
pada permainannya (distraksi) dan relaksasi melalui kesenangannya melakukan
permainan.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui dampak hospitalisasi pada anak
2. Untuk mengetahui cara meminimalisir dampak hospitalisasi pada anak
3. Untuk mengetahui terapi bermain yang tepat untuk anak usia tujuh tahun
4. Untuk mengetahui efektifitas permainan lego dalam mengurangi dampak
hospitalisasi pada anak
C. Saran
1. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan dibuat suatu Standard Operating Procedure (SOP) tentang terapi
bermain di Rumah Sakit yang disesuaikan dengan umur anak, agar memudahkan
orang tua dan tenaga kesehatan untuk mengurangi dampak hospitalisasi pada anak
2. Bagi Perawat
Perlu adanya pelatihan-pelatihan terkait terapi bermain agar dalam
pelaksanaannya dapat optimal dan lebih terarah.
3. Bagi Responden
Diharapkan orang tua dapat berpartisipasi aktif untuk mendampingi pasien anak
usia tujuh tahun saat dilakukan tindakan keperawatan
BAB II
DESKRIPSI KASUS

A. Karakteristik Sasaran
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data
World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17
juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian
tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit
endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang
sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di
Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000
penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita
yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.
B. Analisa Kasus
Anak K. laki-laki usia 7 tahun dirawat dengan diagnose medis demam
typhoid. Anak mendorong piring makanan. Anak takut dengan perawat. Anak
menyampaikan perawat selalu mengelak dan selalu bersembunyi.
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang
mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer
patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat
menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila
keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi,
penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan
ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman
akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang
melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke
lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel
fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag
ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali
masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai
tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit
kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini
adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur
berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.
C. Prinsip Bermain
Anak usia sekolah menyukai permainan berkelompok seperti permainan
olahrga tim, memasak, bercerita, berkebun, bermain kartu dan monopoli atau
sejenisnya yang bisa dimainkan dengan teman sebaya (Wong et al, 2009). Anak usia
sekolah yang dirawat di rumah sakit jenis permainan kartu, boneka, buku cerita,
monopoli, lego dan lain sebagainya lebih tepat karena tidak terlalu menguras energi.
Jenis permainan yang dipilih disesuaikan dengan perkembangan anak. Perkembangan
anak secara moral mengetahui beberapa nilai dan standar perilaku yang diterima, dan
mereka akan merasa bersalah jika melanggar. Anak usia 6-8 tahun
menginterpretasikan proses hospitalisasi sebagai suatu hukuman akibat kesalahan atau
tindakan buruk yang dilakukan anak. Jika ini dibiarkan akan menganggu
perkembangan anak. Dukungan moral dengan bermain bersama teman sebaya sangat
diperlukan. Pengalaman berharga akan didapatkan saat berinteraksi dengan teman
sebaya. Pengalaman berharga yang bisa dipelajari antara lain anak belajar
menghargai, anak belajar menyesuaikan diri dan belajar bersosialisasi dengan
lingkungan sekitar (Sholikah, 2011).
Adapun prinsip dalam bermain di rumah sakit pada anak usia 7 tahun adalah
sebagai berikut:

1. Prinsip Bermain di Rumah Sakit


2. Tidak banyak mengeluarkan energi, singkat dan sederhana.
3. Mempertimbangkan keamanan dan infeksi silang.
4. Kelompok umur yang sama.
5. Permainan tidak bertentangan dengan pengobatan
6. Semua alat permainan dapat dicuci
7. Melibatkan orang tua.
8. Beri pujian untuk hal – hal yang dicapai

D. Karakteristik Permainan Menurut Teori


Karakteristik permainan (bermain lego) pada anak usia 7 tahun :

1. Menurut Isi :
a. Sense of Pleasure Play : Permainan yang dilakukan untuk mencapai suatu
kesenangan, Anak mendapatkan kesenagan dari suatu objek
disekelilingnya.
b. Skill play : Permainan pada anak yang sifatnya membina keterampilan,
seperti bermain lego atau menyusun balok
2. Menurut Karakteristik Sosial :
Associatve Play : Bermain dalam kelompok, dalam suatu aktivitas yang sama
tetapi masih belum terorganisir, tidak ada pembagian tugas, mereka bermain
sesuai keinginannya, tanpa ada unsur saling mempengaruhi, misalnya anak
bermain lego, menyusun puzzle, menyusun balok.
Pada bermain lego, anak memilih apakah melibatkan orang lain atau anak
bermain sendiri
BAB III
METODOLOGI BERMAIN

A. Judul permainan
Metode Lego
B. Deskripsi permainan
LEGO muncul dari sebuah bengkel kayu milik Ole Kirk Christiansendi
Billund, Denmark pada tahun 1916. "Lego", merupakan frase dalam bahasa Belanda
“Leg Godt”, berarti ”Play Well” (dikutip dari “OleKirkChristiansen”). Kemudian the
Lego Group menemukan bahwa "Lego" dapat dimaknai secara terpisah sebagai "I put
together” atau "I assemble” dalam bahasa Latin yang berarti “Saya satukan menjadi
satu” atau “Saya rakit”.Ide permainan ini berasal dari pengalaman Ole yang melihat
anaknya bermain sisa potongan kayu dan disusun menjadi sebuah bentuk yang
menarik seperti mobil dan rumah.Setelah itu Ole mencobakannya dengan merancang
potongan kayu untuk disusun dan dimainkan sebelum berganti ke material plastik dan
mendunia sampai saat ini.
Tidak hanya sekedar bermain dengan potongan LEGO, terapi LEGOjuga
melibatkan kehadiran seorang terapis yang memandu klien anak atau dewsa untuk
fokus dan menyelesaikan masalah mereka.Melalui terapi LEGO, anak dapat belajar
untuk berkomunikasi dengan orang lain, mengekspresikan perasaan, mengubah
perilaku, mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan mengembangkan
hubungan mereka dengan lingkungan sekitar.
Pada tahun 2004, Dr. Dan LeGoff menerbitkan sebuah hasil penelitian yang
menunjukkan adanya peningkatan signifikan yang dialami oleh sekelompok anak
autistik setelah mengikuti terapi selama 12 minggu. Setiap anak mampu memulai
percakapan lebih banyak dengan anak yang lain dan percakapan tersebut berlangsung
dengan lebih lama.Anak-anak ini menunjukkan lebih sedikit keinginan untuk
menyendiri dan bersikap kaku dibandingkan ketika sebelum menjalani terapi (LeGoff,
2004).Anak-anak yang menjalani 12 sesi terapi lanjutan berikutnya bahkan
mengalami peningkatan yang lebih signifikan lagi.
Penelitian kembali dilakukan oleh LeGoff dan Sherman pada tahun 2006
untuk membandingkan antara dua kelompok anak yang menjalani terapi bermain
dengan LEGO dan kelompok anak yang tidak terlibat terapi bermain dengan LEGO
sama sekali. Anak yang masuk dalam kelompok yang menjalani terapi bermain
dengan LEGO menunjukkan perkembangan kompetensi sosial yang baik dan mampu
beradaptasi terhadap situasi sosial dengan lebih baik (LeGoff & Sherman, 2006).
Permainan LEGO merupakan pengalaman yang melibatkan pengalaman yang
berguna dan multi sensoris sehingga dapat dirancang untuk memenuhi kebutuhan
individual.Berikut merupakan rancangan dasar terapi bermain dengan LEGO.Setiap
individu belajar terlebih dahulu mengenai serangkaian aturan dan keterampilan
membentuk LEGO. Kemudian mereka diajak untuk berkenalan satu sama lain dalam
kelompok.Setiap anggota kelompok menyepakati ide/proyek menyusun LEGO yang
dapat dilakukan dan diselesaikan oleh setiap orang.Setiap individu akan memiliki
peran yang akan dirotasi selama pelaksanaan terapi. Kelompok akan bekerjasama
membentuk struktur LEGO sesuai dengan rencana yang disepakati bersama
(Kristiansen & Rasmussen, 2014)
Metode lego memberikan beberapa manfaat seperti telah disebutkan oleh salah
satu promotor mainan lego Ardi Lazuardi (2012), yaitu pertama aspek kognisi, yang
akan melatih kreativitas dan menciptakan daya imajinasi seseorang. Kedua
menyatukan ide, seorang anak akan saling bertukar ide untuk mewujudkan kreasi
imajinasi. Ketiga untuk mengajar anak bersosialisasi, dimana dengan lego ini aspek
social anak akan berkembang dan anak akan belajar untuk berkomunikasi dengan
baik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, saat pemberian metode lego ini subjek
mampu menmbuat tokoh nenjia go yang ia susun sendiri menunjukkan munculnya
daya kreativitas subjek. Ke-mudian saat subjek tidak bisa mengerjakan atau ada suatu
bagian lego yang hilang, subjek bertanya kepada peneliti serta orang yang ada di
sekitarnya. Hal tersebut menunjukkan adanya penyatuan ide serta adanya suatu
komunikasi yang terjalin antara subjek dengan orang lain. (Suryadi, 2017)
C. Tujuan permainan
Tujuan dari permainan ini adalah :
a. Agar anak dapat belajar berkomunikasi dengan orang lain
b. Untuk mengembangkan kemampuan dalam pemecahan masalah dan
mengembangkan hubungan mereka dengan lingkungan sekitar
c. Untuk mengurangi kecemasan pada anak usia prasekolah yang menjalani
hospitalisasi.
d. Menurunkan perilaku menghindar pada anak yang mengalami trauma terhadap
pengobatan atau perawat yang merawat.

e. Untuk mencapai suatu kesenangan, anak mendapatkan kesenangan dari suatu


objek disekelilingnya.
f. Untuk membina keterampilan, kreativitas, imajinasi dan motorik halus anak

D. Keterampilan yang perlu diperlukan


Adapun ketrampilan yang diharapkan atau yang dimiliki anak, adalah:
1. Kemampuan berkomunikasi yang baik dengan orang lain
2. Menunjukkan perkembangan kompetensi sosial yang baik
3. Mampu beradaptasi terhadap situasi sosial dengan lebih baik
E. Jenis permainan
Associatve Play( Bermain dalam kelompok)
F. Alat Bermain
Adapun alat yang dapat dipakai selama bermain diantaranya :
a. Lego(Lego untuk usia 7 tahun)
G. Waktu Pelaksanaan
Tempat : Bangsal Melati RSUD Ungaran
Hari/ Tanggal : Jum’at, 14 Mei 2018
Waktu : 09.00 s/d 10.00 WIB

H. Proses Bermain
No. Tahap Waktu Kegiatan Media
1. Pembukaan 5 menit - Memberikan salam -
- Menjelaskan proses bermain
2. Pelaksanaan 45 menit - Menanyakan apakah anak Lego
pernah bermain menyusun lego
dan suka melakukannya
- Menjelaskan aturan bermain.
- Membagikan lego
- Membimbing anak menyusun
lego
3. Penutup 10 menit - Evaluasi -
- Memberi reinforcement positif
- Memberi salam penutup

I. Hal-hal yang perlu diwaspadai


Hal hal yang perlu diwaspadai dalam terapi bermain :
1. Pastikan mainan lego tersebut tidak dalam pengawasan orang dewasa.
2. Lego tersebut terbuat dari bahan yang tidak aman.
3. Rebutan mainan yang akan berujung pertengkaran.
J. Antisipasi meminimalkan hambatan
Antisipasi untuk meminimalkan hambatan
1. Selalu dalam pengawasan orang dewasa
2. Memberi mainan lego dengan bahan yang aman
3. Pastikan anak mencuci tangan dengan bersih setelah bermain
K. Kriteria evaluasi

1. Evaluasi struktur
a. Menyiapkan preplanning, alat bantu
b. Menyiapkan tempat
c. Kontrak waktu dengan peserta sebelum melakukan kegiatan
2. Evaluasi proses
a. Peserta kooperatif terhadap tercapai bermain yang diberikan
b. Alat dapat digunakan dengan efektif.
c. Anak antusias mengikuti terapi bermain ini sampai selesai dengan didampingi
orang tua.
d. Peserta menjawab pertanyaan yang diajukan
e. Kegiatan berjalan lancar
3. Evaluasi hasil
a. Anak dapat mengalihkan rasa sakitnya pada permainan (distraksi)
b. Anak mendapatkan relaksasi melalui kesenangannya melakukan permainan
c. Terapi bermain yang dilakukan sukses
d. Terapi bermain yang dilakukan dapat meminimalisir dampak hospitalisasi pada
anak secara efektif
Daftar Pustaka

Arifin, F. F. (2017). Laporan Program Terapi Bermain Therapeutic Peer Play Dengan
Bermian “Lego” Di Ruang Anak Lantai 1 Rsup Dr. Kariadi Semarang. Universitas
Diponegoro.

Dyna Apriany. 2013. Hubungan Antara Hospitalisasi Anak Dengan Tingkat Kecemasan
Orang Tua. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing),
Volume 8, No.2, Juli 2013.
Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed.
Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba
Medika, 2002:1-43
Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A Samik
Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000
Riyadi, Sujono & Sukatmin. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak Ed Pertama. Yogyakara
: Graha Ilmu.
Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Ed.
2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45

Suryadi, D. (2017, April). Studi Awal Identifikasi Efek Terapi Bermain dengan Lego. Jurnal
Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni, Vol. 1, 240-247.

Tekin G. & Sezer O. (2010). Applicability of play therapy in Turkish early childhood
education system: today and future’, Procedia Social and Behavioral Sciences, vol. 5,
hal. 50-54, diakses 24 Mei 2011

Anda mungkin juga menyukai