Anda di halaman 1dari 6

1. Etiologi hepatitis B dan sirosis hepar?

Jawab:
a. Hepatitis B
Hepatitis adalah peradangan atau infeksi pada sel-sel hati. Penyebab hepatitis
yang paling sering adalah virus yang dapat menyebabkan pembengkakan dan
pelunakan hati. Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan yang
dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan
serta bahan-bahan kimia. Adapun Hepatitis B, disebabkan oleh Virus Hepatitis B
(VHB) (Rumini, 2018).
b. Sirosis hepar
Etiologi sirosis hepatis diantaranya virus hepatitis (B,C,dan D), alkohol,
kelainan metabolik, hemakhomatosis, penyakit Wilson, defisiensi
Alphalantitripsin, galaktosemia, tirosinemia, kolestasis, sumbatan saluran vena
hepatika, sindroma Budd-Chiari, payah jantung, gangguan imunitas, toksin dan
obat-obatan, operasi pintas usus pada obesitas, kriptogenik dan malnutrisi
(Budhiarta, 2017).

Sumber:
Budhiarta, D.M.F. 2017. Penatalaksanaan dan Edukasi Pasien Sirosis Hati dengan
Varises Esofagus di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2014. Intisari Sains
Medis. Vol 8(1). Viewed on 17 December 2019. From https://isainsmedis.id/
index.php/ism/article/viewFile/106/124
Rumini, Zein, U., and Suroyo, R.B. 2018. Faktor Risiko Hepatitis B pada Pasien di
RSUD. Dr. Pirngadi Medan. Jurnal Kesehatan Global. Vol 1(1). Viewed on 17
December 2019. From http://ejournal.helvetia.ac.id/index.php/jkg

2. Gejala klinis hepatitis B dan sirosis hati?


Jawab:
a. Hepatitis B
Gejala hepatitis B amat bervariasi dari tanpa gejala sampai gejala yang berat
seperti muntah darah dan koma. Pada hepatitis akut gejala amat ringan dan apabila
ada gejala, maka gejala itu seperti gejala influenza. Gejala itu berupa demam
ringan, mual, lemas, hilang nafsu makan, mata jadi kuning, kencing berwarna
gelap, diare dan nyeri otot. Pada sebagian kecil gejala dapat menjadi berat dan
terjadi fulminan hepatitis yang mengakibatkan kematian. Sedangkan gambaran
klinis hepatitis B kronik sangat bervariasi. Pada banyak kasus, tidak didapatkan
keluhan maupun gejala dan hasil pemeriksaan tes faal hati normal. Pada sebagian
lagi, didapatkan hepatomegali, atau bahkan splenomegali, atau tanda-tanda
penyakit hati kronik lainnya, misalnya eritema palmaris, spider nervi; dan
pemeriksaan laboratorium, sering didapatkan kenaikan kadar ALT walaupun tidak
selalu. Pada umumnya, kadar bilirubin normal. Kadar albumin serum umumnya
masih normal kecuali pada kasus-kasus yang parah (Soemaharjo, 2015).
b. Sirosis hati
Secara fungsional sirosis terbagi atas:
1. Sirosis hati kompensata: sering disebut dengan laten sirosis hati. Pada tipe
kompensata ini belum terlihat gejala-gejala yang nyata, tekanan vena porta
belum terlalu tinggi dan masih terdapat sel-sel hati yang sehat untuk memenuhi
kebutuhan tubuh;
2. Sirosis hati dekompensata: dikenal dengan aktifsirosis hati, pada stadium ini
terlihat gejala yang sudah jelas, misalnya ascites, edema dan ikterus. Pada hati
terjadi gangguan arsitektur hati yang mengakibatkan kegagalan sirkulasi dan
kegagalan parenkim hati yang masing-masing memperlihatkan gejala klinis
berupa spider nevi, alopesia pectoralis, ginekomastia, kerusakan hati, ascites,
rambut pubis rontok, eritema palmaris, atropi testis, kelainan darah
(anemia,hematom/ mudah terjadi perdarahan) dan koma (Budhiarta, 2017).

Sumber:
Budhiarta, D.M.F. 2017. Penatalaksanaan dan Edukasi Pasien Sirosis Hati dengan
Varises Esofagus di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2014. Intisari Sains
Medis. Vol 8(1). Viewed on 17 December 2019. From https://isainsmedis.id/
index.php/ism/article/viewFile/106/124
Soemaharjo, S. 2015. Hepatitis Virus B, Edisi 3. Jakarta: EGC.

3. Bentuk penularan dari hepatitis B?


Jawab:
Hepatitis Virus yang penularannya melalui parenteral adalah Hepatitis B,
Hepatitis C, dan Hepatitis D. Adapun bentuk penularan dari hepatitis B yaitu:
1. Pemakaian tatto
Pemakaian tatto merupakan salah satu faktor risiko yang dapat menyebabkan
penyebaran penyakit hepatitis B, banyak pengguna tatto yang tidak menyadari
bahaya proses pembuatannya. Penggunaan tatto yang dapat menyebabkan
penyebaran penyakit menular adalah pembuatan tatto yang menggunakan jarum,
proses pembuatan tatto menggunakan jarum yang tidak sekali pakai dan tidak di
sterilkan dapat menularkan berbagai penyakit menular termasuk hepatitis B;
2. Penggunaan jarum suntik
Penggunaan jarum suntik bersama merupakan kebiasaan pasien yang pernah
dilakukan meliputi penggunaan obat-obatan terlarang atau narkoba jenis jarum
suntik, dimana jarum tersebut digunakan secara bergantian. Perilaku-perilaku
seperti ini merupakan perilaku berisiko terhadap penyakit hepatitis B sehingga
mereka yang pernah menggunakan narkoba jenis suntik memiliki peluang untuk
menderita hepatitis B;
3. Hubungan Seksual
Pasangan seksual merupakan orang yang terlibat dalam hubungan seksual.
Aktifitas seksual biasa dilakukan oleh pasangan suami istri, aktifitas seksual
merupakan salah satu jalan penyebaran penyakit menular termasuk hepatitis B,
partner yang setia pada pasangannya biasanya akan terhindar dari berbagai
masalah penyakit menular. Tetapi jika seseorang melakukan aktifitas seksual
dengan berganti-ganti pasangan, hal ini dapat mempertinggi risiko terhadap
kejadian penyakit menular termasuk hepatitis B, melalui hubungan seksual yang
tidak sehat, hepatitis B dapat menular melalui cairan dan alat kelamin yang
terluka, HBV akan masuk ke sel hati melalui pembuluh darah dengan mudah
(Rumini, 2018).

Sumber:
Rumini, Zein, U., and Suroyo, R.B. 2018. Faktor Risiko Hepatitis B pada Pasien di
RSUD. Dr. Pirngadi Medan. Jurnal Kesehatan Global. Vol 1(1). Viewed on 17
December 2019. From http://ejournal.helvetia.ac.id/index.php/jkg

4. Penatalaksanaan sirosis hepar?


Jawab:
Penatalaksanaan pada sirosis hati pada prinsipnya berupa simtomatis dan
suportif berupa istirahat yang cukup, pengaturan makanan yang cukup dan seimbang;
misalnya: cukup kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin. Pengobatan sirosis hati
berdasarkan etiologi. Misalnya pada sirosis hati akibat infeksi virus hepatitis C dapat
diberikan pengobatan dengan interferon. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati
akan diberikan jika telah terjadi komplikasi seperti ascites, spontaneous bacterial
peritonitis (SBP), Hepatorenal syndrome, ensefalophaty hepatic dan perdarahan
karena pecahnya varises esofagus (Budhiarta, 2017).
Pada komplikasi ascites dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang
terdiri dari istirahat dan diet rendah garam. Penderita dapat berobat jalan dan apabila
gagal maka penderita harus dirawat. Pemberian diuretik diberikan bagi penderita yang
telah menjalani diet rendah garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat
badannya kurang dari 1 kg setelah 4 hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat
pemberian diuretik adalah hipokalemia dan hal ini dapat mencetuskan encepalophaty
hepatic, maka pilihan utama diuretik adalah spironolakton yang dimulai dengan dosis
rendah, serta dapat dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis
maksimal diuresinya belum tercapai maka dapat kita kombinasikan dengan furosemid
(Budhiarta, 2017).
Pada kasus Spontaneous bacterial peritonitis (SBP) infeksi cairan dapat terjadi
secara spontan atau setelah tindakan parasintesis. Pengobatan SBP adalah dengan
memberikan Cephalosporins Generasi III (Cefotaxime) secara parenteral selama lima
hari, atau Quinolon secara oral (Budhiarta, 2017).
Ensefalophaty hepatic adalah sindrom neuropsikiatri yang didapatkan pada
penderita penyakit hati menahun, mulai dari gangguan ritme tidur, perubahan
kepribadian, gelisah sampai ke pre koma dan koma. Prinsip penanganan pada
perdarahan karena pecahnya varises esofagus adalah tindakan resusitasi sampai
keadaan pasien stabil (Budhiarta, 2017).

Sumber:
Budhiarta, D.M.F. 2017. Penatalaksanaan dan Edukasi Pasien Sirosis Hati dengan
Varises Esofagus di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2014. Intisari Sains
Medis. Vol 8(1). Viewed on 17 December 2019. From https://isainsmedis.id/
index.php/ism/article/viewFile/106/124

5. Epidemiologi sirosis hepar?


Jawab:
Keseluruhan insiden sirosis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000
penduduk. Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hati alkoholik maupun infeksi
virus kronik. Di Indonesia, data prevalensi sirosis hati belum ada, hanya laporan-
laporan dari beberapa pusat pendidikan. Di RS Sarjito Yogyakarta, jumlah pasien
sirosis hati berkisar pada 4, 1 % dari pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam
selama kurun waktu 1 tahun pada 2004. Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai
pada kaum laki-laki jika dibandingkan dengan kaum wanita sekitar 1,6:1 dengan umur
terbanyak antara golongan umur 30 – 59 tahun. Di Negara barat penyebab terbanyak
sirosis hepatis adalah konsumsi alkohol, sedangkan di Indonesia terutama disebabkan
oleh virus hepatitis B maupun C. Lebih dari 40% pasien sirosis asimtomatik. Pada
keadaan ini sirosis ditemukan waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu
otopsi (Budhiarta, 2017).

Sumber:
Budhiarta, D.M.F. 2017. Penatalaksanaan dan Edukasi Pasien Sirosis Hati dengan
Varises Esofagus di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2014. Intisari Sains
Medis. Vol 8(1). Viewed on 17 December 2019. From https://isainsmedis.id/
index.php/ism/article/viewFile/106/124

6. Diagnosis banding?
Jawab:
1. Hepatitis B
Hepatitis B merupakan suatu penyakit yang berbahaya, karena seseorang yang
menderita penyakit ini lebih banyak tidak menunjukkan gejala yang khas,
sehingga penderita akan mengalami keterlambatan diagnosis. Hepatitis adalah
suatu proses peradangan difus pada jaringan yang dapat disebabkan oleh infeksi
virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan serta bahan-bahan kimia.
Penyakit ini menyerang semua umur, gender dan ras di seluruh dunia. Hepatitis B
dapat menyerang dengan atau tanpa gejala hepatitis. Sekitar 5% penduduk dunia
mengidap hepatitis B tanpa gejala. Namun demikian, hepatitis B dapat dicegah
dengan memberikan imunisasi. Imunisasi hepatitis B diberikan sedini mungkin
setelah lahir. Pemberian imunisasi hepatitis B pada bayi baru lahir harus
berdasarkan apakah ibu mengandung virus hepatitis B aktif atau tidak pada saat
melahirkan. Ulangan imunisasi hepatitis B dapat dipertimbangkan pada umur 10-
12 tahun. Apabila anak sampai usia 5 tahun belum mendapatkan imunisasi
hepatitis B maka diberikan secepatnya (Rumini, 2018).
2. Hepatitis C
Infeksi virus hepatitis C (HCV) adalah suatu masalah kesehatan global.
Diperkirakan sekitar 170 juta orang di dunia telah terinfeksi secara kronik oleh
HCV. Masa inkubasi hepatitis C umumnya sekitar 6-8 minggu (berkisar antara 2-
26 minggu) pada beberapa pasien yang menunjukkan gejala malaise dan jaundice
dialami oleh sekitar 20-40% pasien. Peningkatan kadar enzim hati (SGPT > 5-15
kali rentang normal) terjadi pada hampir semua pasien. Selama masa inkubasi ini,
HCV RNA pasien bisa positif dan meningkat hingga munculnya jaundice. Selain
itu juga bisa muncul gejala-gejala fatique, tidak napsu makan, mual dan nyeri
abdomen kuadran kanan atas. Dari semua individu dengan hepatitis C akut, 75-
80% akan berkembangmenjadi infeksi kronis (Soemaharjo, 2015).
3. Varises esofagus
Varises esofagus adalah penyakit yang ditandai dengan pembesaran abnormal
pembuluh darah vena di esofagus bagian bawah. Varises esofagus terjadi jika
aliran darah menuju hati terhalang. Aliran tersebut akan mencari jalan lain, yaitu
ke pembuluh darah di esofagus, lambung, atau rektum yang lebih kecil dan lebih
mudah pecah. Ketidakseimbangan antara tekanan aliran darah dengan kemampuan
pembuluh darah mengakibatkan pembesaran pembuluh darah (varises). Varises
esofagus biasanya merupakan komplikasi sirosis. Sirosis adalah penyakit yang
ditandai dengan pembentukan jaringan parut di hati. Beberapa keadaan lain yang
juga dapat menyebabkan varises esofagus antara lain gagal jantung kongestif yang
parah, trombosis di vena porta atau vena splenikus, Sarkoidosis, Schistomiasis,
dan Sindrom Budd-Chiari (Budhiarta, 2017).

Sumber:
Budhiarta, D.M.F. 2017. Penatalaksanaan dan Edukasi Pasien Sirosis Hati dengan
Varises Esofagus di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2014. Intisari Sains
Medis. Vol 8(1). Viewed on 17 December 2019. From https://isainsmedis.id/
index.php/ism/article/viewFile/106/124
Rumini, Zein, U., and Suroyo, R.B. 2018. Faktor Risiko Hepatitis B pada Pasien di
RSUD. Dr. Pirngadi Medan. Jurnal Kesehatan Global. Vol 1(1). Viewed on 17
December 2019. From http://ejournal.helvetia.ac.id/index.php/jkg
Soemaharjo, S. 2015. Hepatitis Virus B, Edisi 3. Jakarta: EGC.

7. Rujukan?
Jawab:
Sistem rujukan nasional untuk pasien dengan hepatitis B didesain melibatkan
seluruh komponen kesehatan yang ada di masyarakat Indonesia, dimulai dari FKTP
sebagai garda terdepan hingga Rumah Sakit Umum Daerah tipe A. Setiap komponen
memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda untuk menjamin terlaksananya
tujuan dibentuknya sistem rujukan nasional (Kemenkes, 2015).
a. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
Sebagai lini terdepan, FKTP memiliki tugas untuk melakukan pemeriksaan
HBsAg pada kelompok dengan risiko tinggi maupun pasien dengan tanda dan
gejala klinis yang sesuai. Dokter umum bertugas pada sistem rujukan ini. Apabila
pasien memiliki hasil pemeriksaan HBsAg positif, pasien kemudian segera dirujuk
ke dokter spesialis penyakit dalam di Rumah Sakit Umum Daerah tipe B/C. FKTP
tidak menyediakan obat-obatan antivirus untuk terapi hepatitis B. Pemeriksaan
laboratorium yang lebih lengkap dilakukan pada institusi kesehatan yang lebih
tinggi (Fasilitas Kesehatan Tingkat Sekunder/FKTS) (Kemenkes, 2015).
b. Fasilitas Kesehatan Tingkat Sekunder
Fasilitas Kesehatan Tingkat Sekunder diperlengkapi dengan pemeriksaan
penunjang yang lebih lengkap dan beberapa jenis obat antivirus untuk
memberikan tatalaksana kepada pasien hepatitis B yang dirujuk oleh FKTP.
Pemeriksaan penunjang yang wajib disediakan oleh FKTS adalah:
1) USG;
2) Biopsi hati;
3) AFP;
4) Pemeriksaan Laboratorium: ALT, HbeAg, Anti-Hbe, HbsAg (Kemenkes,
2015).
Pemeriksaan DNA VHB kuantitatif dilakukan dengan melibatkan
laboratorium yang terdapat di tiap provinsi. Darah pasien diambil di FKTS ini,
kemudian dikirimkan sesuai dengan 28 protokol pengiriman sampel (Kemenkes,
2015).
Dokter spesialis penyakit dalam diperbolehkan melakukan tatalaksana pada
pasien dengan syarat hasil pemeriksaan HBeAg positif dan nilai DNA VHB yang
rendah (2x104 IU/mL - <2x108 Iuo/mL) pada pemeriksaan praterapi. Pemberian
pegylated interferon hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis penyakit dalam
konsultan gastroenterohepatologi di Fasilitas Kesehatan Tingkat Tersier (FKTT).
Tidak ada obat antivirus yang disediakan untuk anak pada FKTS ini (Kemenkes,
2015).
c. Fasilitas Kesehatan Tingkat Tersier.
FKTT memiliki obat antivirus dan pemeriksaan yang lebih lengkap
dibandingkan dengan FKTS. Pasien dewasa dirujuk dari FKTS apabila terdapat
resistensi, memerlukan pengobatan pegylated interferon, nilai HBeAg negatif,
atau nilai DNA VHB yang tinggi (≥ 2 x 108 IU/mL) pada pemeriksaan praterapi.
Pada anak, pasien dirujuk ke FKTT dan untuk mendapatkan pemeriksaan biopsi
dan tatalaksana sesuai indikasi apabila terdapat peningkatan ALT lebih dari 2 kali
lipat batas atas normal pada pemeriksaan laboratorium di FKTS. Seluruh
pemeriksaan padaFKTS dan pemeriksaan DNA VHB kuantitatif tersedia pada
FKTS ini. Pada FKTS ini, dokter spesialis penyakit dalam konsultan
gastroenterohepatologi dan dokter spesialis anak konsultan gastroenterohepatologi
bertanggung jawab dalam melakukan pemeriksaan dan tatalaksana terhadap
pasien hepatitis B yang dirujuk dari FKTS (Kemenkes, 2015).

Sumber:
Kemenkes. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 53 Tahun
2015 Tentang Penanggulangan Hapatitis Virus. Viewed on 17 December
2019. From https://www.persi.or.id/images/regulasi/permenkes/pmk532015.
pdf

Anda mungkin juga menyukai