RHETORICAL THEORY
Disusun Oleh:
KELAS A
2019
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. atas hidayah,
karunia, pertolongan, dan kelancaran-Nya yang diberikan kepada penyusun untuk
dapat membuat makalah ini. Tak lupa juga shalawat dan salam kepada junjungan
kita Nabi Muhammad SAW, tak lupa juga dengan para sahabat dan keluarnganya.
Melalui tugas ini, diharapkan dapat memenuhi tugas penyusun, dan dapat
dijadikan bahan pembelajaran, penambah pengetahuan bagi pembaca.
Sadar akan kodrat manusia yang tidak luput dari kesalahan, maka dalam
penyusunan makalah ini pasti banyak kekurangan yang penyusun lakukan. Untuk
itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran atas makalah ini agar menjadi bahan
pembelajaran dalam penyusunan makalah di masa mendatang.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................19
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam teori komunikasi, terdapat salah satu jenis teori retorika atau retorik.
Tetapi istilah itu bukan merupakan hal yang asing bagi kita. Pasti banyak
masyarakat yang pernah ataupun sering mendengar dengan istilah retorika ini.
Namun pada kenyataannya, banyak masyarakat yang salah mengartikan arti
retorika itu sendiri.
Dalam makalah ini, penyusun akan mangangkat sebuah rumusan masalah sebagai
berikut:
1
7. Apa Saja Hukum Retorika?
8. Apa Saja Tipe-Tipe Orator?
9. Menggunakan Pendekatan Model Komunikasi Apa?
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
Manfaat dari makalah dan pemaparan ini yaitu, diharapkan pembaca dapat
mengetahui dan mengaplikasikan teori retorika ini dalam kehidupan sehari-hari
dengan baik. Dan agar dapat mengurangi salah pemahaman dan penafsiran
mengenai makna retorika.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Kata ‘retorika’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu rhetoriks yang berarti
kecakapan berpidato. Kata tersebut terkait dengan kata rhetor (pembicaraan
publik), dan terkait dengan kata rhema (perkataan). Sehingga secara etimologis,
retorika bermakna sebagai kecakapan berpidato pembicara publik yang terbiasa
berkata-kata. Retorika dapat dikatakan sama dengan speech (pidato), oral
communication (komunikasi publik), dan public communication (komunikasi
publik).
3
dikontraskan dengan suatu tindakan atau aksi; ini adalah omong kosong; berbicara
tanpa substansi; ornamen belaka. Pemahaman kontemporer tentang retorika ini
bertentangan dengan sejarah panjang teori retorika, yang berasal dari barat hingga
zaman Yunani dan Roma Kuno yang menyediakan fondasi yang telah lama
dibangun untuk menegakkan disiplin komunikasi kontemporer. Menurut Lloyd
Bitzer (1968), retorika muncul sebagai tanggapan terhadap suatu keadaan darurat,
masalah, atau sesuatu yang tidak seharusnya.
Bagi orang Yunani Kuno, retorika adalah penggunaan argumen logos dan
logika, etika, kualitas personal atau kredibilitas pembicara, dan jalan atau argumen
emosi untuk membangun argumen yang persuasif. Retorika pada dasarnya adalah
seni berkhotbah, yang secara sistematis dan berseni pikir melalui lima hukum
retorika: penemuan, organisasi, gaya, pengiriman, dan memori.
Murid Corax, Tisias, membawa ajaran retorika ke Athena dan daratan utama
Yunani. Membawa kepercayaan bahwa retorika dapat diajarkan, bahwa kefasihan
bukanlah sesuatu yang tersirat, dan menimbulkan sekelompok guru retorika yang
disebut dengan sophists (dalam bahasa Yunani berarti sophos (pengetahuan atau
kebijaksanaan)). Akan tetapi, di Athena, sudut pandang mereka tidak sama dengan
sekarang yang kita lihat. Mereka tidak dipercayai dengan alasan terdapat banyak
orang asing yang tinggal di Athena, orang Athena bangga akan kota mereka dan
menghakimi orang lain sekalipun mereka berasal dari daerah Yunani lainnya.
Selain itu kaum sesat (kaum yang mengaku mengajarkan kebijaksanaan yang
4
merupakan kemampuan bawaan dan tidak dapat diajarkan) menuntut pelayanan
mereka, bertentangan dengan tradisi Yunani, sehingga beberapa orang tidak
menyukai kaum sofis.
5
mengabaikan seni retorika akan menyalakhan dirinya sendiri ketika para
pendengarnya memilih kepalsuan. Maka Aristoteles-lah yang melakukan
pengkajian secara teoritis, sehingga wajar saja jika ia disebut sebagai bapa retorika
dimana buku pertamanya yaitu (Rhetorike/Rhetoric/al-Khutbah) berisi mengenai
penyikapan/cara-cara yang memungkinkan untuk persuasi. Persuasi diartikan
sebagai bujukan halus/rayuan, dan/atau ajakan kepada seseorang dengan cara
memberikan alasan dan prospek baik yang meyakinkan.
6
ujaran nasional dengan rekan-rekan nasionalnya. Pada tahun 1960-an, minat
istimewa ini diperluas yang mencakup berbagai metode, pokok bahasan, dan
berbagai awal filsafat.
Retorika penting agar apa yang diucapkan dapat didengar, apa yang
didengar dapat dimengerti, apa yang dimengerti dapat disetujui, apa yang disetujui
dapat diterima, apa yang diterima dapat dihayati, dan apa yang dihayati dapat
mengubah tingkah laku.
7
2. Retorika Epideiktik/Demonstratif: wacana yang berhubungan dengan
pujian atau tuduhan. Contoh: pidato seremonial.
3. Retorika Deliberatif: saat pembicara harus menentukan suatu tindakan yang
harus diambil, sesuatu yang harus atau tidak boleh dilakukan. Dan
dirancang untuk memengaruhi khalayak dalam kebijakan pemerintah.
Contoh: pidato politis.
8
memutuskan perkara. Adapun pengertian lainnya seperti
kebijaksanaan praktis, dimana phronesis tidak hanya seseuatu yang
diketahui melainkan yang dapat diketahui dan dapat dilakukan.
Kepraktisan berkaitan dengan kebaikan dan keburukan pada
manusia.
b) Arete (moderisasi di tengah ekstrem)
Kata ini berasal dari Yunani yang berarti kebaikan (virtue),
kesempurnaan diri (personal excellence), kemampuan untuk
mengatur urusan pribadi secara cerdas dan sukses di masyarakat,
serta kemampuan untuk memimpin. Arete juga bermakna sebagai
kesempurnaan fungsional pada segala sesuatu.
c) Eunoia (berorientasi pada liyan)
Eunoia bisa diartikan ‘goodwill’ yaitu kehendak baik. Dalam buku
Aristoteles, Riger Crips menerjemahkan sebagai mengharapkan
kebaikan bagi orang lain. Harapan tersebut hanya utuk orang lain
dan tidak mengharapkan manfaat yang dapat diterima oleh dirinya
sendiri dari eunoianya. Ketika ada kepentingan pribadi pada suatu
nait baik, niat baik itu bukan eunoia, melainkan sebentuk egoisme
atau individualisme.
9
b) Prudentia (kata dan situasi)
Prudentia merupakan sinonim phronesis. Keduanya sama-sama
kebijaksanaan praktis, hanya saja ‘prudentia’ berasal dari bahasa
Latin. Menurut Cicero, adalah kemampuan untuk menyelaraskan
perkataan dengan situasi.
c) Diligentia (altruisme nir-egoisme)
Secara definitif, diligentia selaras dengan eunoia. Diligentia
merupakan komitmen pembicara kepada pendengarnya.
2) Pathos (emosi dan karakter komunikan)
Pathos dapat diartikan sebagai pengalaman baik atau buruk, kondisi
sesuatu, perasaan, dan emosi jiwa. Seorang komunikator harus dapat
memengaruhi emosi komunikan.
1) Emosi: pembangkit dan peredamnya
Menurut Aristoteles, emosi adalah semua perasaan yang dapat
mengubah keputusan orang, dan terkadang terasa nenyakitkan
kadang menyenangkan. Rasa marah diakibatkan oleh penghinaan
(slighting) yang menurutnya dilakukan dengan merendahkan diri
(contempt), menghina dengan membuat dongkol (spite), dan
menghina dengan mengolok-olok (insolence). Amarah juga muncul
karena terjadi sesuatu yang bertolak belakang dengan yang
diharapkan.
Pada momen-momen tertentu, amarah diperlukan. Terutama untuk
melawan kezaliman dan keburukan. Karena itu, orator terkadang
perlu untuk membangkitkan amarah pendengar dengan
mengondisikan emosi pendengar dalam amarah.
Aristoteles juga membahas tentang hal-hal yang menenangkan
amarah, yaitu calmness, yaitu kerendahatian yang dapat meleburkan
amarah, waktu amarah berlalu lama atau suasana begitu cair dan
bernuansa humor.
10
Aristoteles mencatat ada tiga metode berpikir dan berkomunikasi, yaitu:
a) Demonsttif, berorientasi pada hakikat kebenaran, kebaikan, dan
keindahan.
b) Dialektis, menerima kebenaran dengan perdebatan yang cenderung
menggunakan logika menang kalah.
c) Retoris, metode ini cenderung membujuk, menganjurkan, dan
kadang mengancam dengan cara-cara yang sederhana.
3) Logos (format pesan retorika)
Logos berasal dari bahasa Yunani yang berarti kata atau pikiran. Logos
disinonimkan dengan janji, pernyataan, resolusi, perintah, ucapan, wacana,
dialog, berita, cerita, tulisan, prinsip, orasi, opini, harapan, penilaian, dan
pertimbangan. Logos berisi format pesan yang dibuat dan disampaikan oleh
orator untuk membujuk pendengar.
a) Sampel: contoh faktual dan ilutrasi fiktif
Sampel adalah contoh yang disampaikan dalam pidato. Menurut
Aristoteles, sampel bersiafat induktif agar mudah ditangkap indrawi
dan mudah dipercaya oleh massa. Cara membentuknya melalui dua
cara, yaitu menyebutkan fakta-fakta aktual di suatu masa dan
membuat fakta-fakta baru secara ilustratif atau fabel.
Sampel pertama: misalnya Al-Qur’an yang menceritakan
sejarah orang-orang di masa lalu untuk diambil pelajaran.
Sampel kedua: misalnya memilih penyanyi terbagus tidak
bisa diserahkan kepada suara massa, melainkan juri yang
dapat menilainya agar tidak terjadi terpilihnya penyanyi
yang populer bukan penyanyi yang terbagus.
b) Adagium: pernyataan umum praktis
Adagium/peribahasa (maxim) adalah pernyataan umum tentang
tindakan praktis. Misalnya, “tidak ada satupun manusia yang tak
ingin di hargai”. Adagium terdiri dari empat model, yaitu adagium
yang punya suplemen dan berhubungan dengan adagium yang
11
paradoks, adagium yang tidak punya suplemen berhunungan dengan
adagium yang tidak paradoks.
Adagium paradoksal adalah adagium yang diperdebatkan karena itu
perlu penjelasan. Dengan kata lain, adagium paradoksal perlu diberi
tambahan (suplemen) berupa penjelasan. Misalnya “memaafkan
adalah memaafkan sesuatu yang tidak termaafkan”.
Berbeda dengan adagium non-paradoksal, yaitu adagium yang telah
dikenal kebenarannya. Misalkan “kehidupan manusia hanya
sementara”. Maka tidak diperlukan tambahan, walaupun ada pasti
itu hanya pengembangan spektrum pembicaraan.
c) Ethymeme: argumen retorika
Ethymeme adalah deduksi yang berurusan dengan adagium. Jika
adagium adalah premis atau kesimpulan bagi Ethymeme, maka
Ethymeme adalah argumen bagi adagium. Namun Ethymeme
merupakan argumen yang tidak sempurna karena sebagian
premisnya tersembunyi. Misalnya, premis mayornya “Irfan bisa
menjadi warga negara Indonesia”, dan premis minornya “orang tua
Irfan asli Indonesia”. Yang seharusnya:
Premis mayor : semua orang yang orang tuanya asli
Indonesia, bisa menjadi waga negara
Indonesia.
Premis minor : Orang tua Irfan asli Indonesia.
Kesimpulan : Irfan bisa menjadi warga negara
Indonesia.
12
2.7 Hukum Retorika
1. Inventio: Penemuan Data Retorika
13
2. Dispositio: Penyusunan Data Retorika
14
kesimpulan sederhana), atau kemungkinan (bukti, kredibilitas
(keadaan yang dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan),
ketentuan, dan perbandingan).
5) Reprehensio (mencari kekeliruan pada apa yang terjadi),
menyanggah argumentasi lawan dengan meninjau premis,
kesimpulan dan argumennya, dari sudut koherensi (keselarsan) dan
korespondensi (hubungan/kesamaan).
6) Peroratio (penutup), menutup tulisan/pembicaraan dengan
enumerasi yang memuaskan kognisi dengan kesimpulan dan sintesis
(kelebihan kelemahan atas tesis dan antitesis), dan dengan
indiganasi (menyulut amarah) dan komplain (menyulut rasa
kasihan) yang memantik afeksi untuk bertindak.
Keenam unsur dispositio itu bila diserhanakan hanya berisi tiga hal,
yaitu pembukaan, inti pidato, dan penutup.
15
menghafal. Namun, jika suatu yang dihafalkan berbentuk benda, maka
sebuah asosiasi menjadi suatu keharusan. Dan membayangkan tempatnya,
dapat memberikan kesan yang tersusun rapi.
16
Model komunikasi Aristoteles memiliki beberapa karakteristik, diantaranya adalah :
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Teori retorika ini dijadikan sebagai media persuasi, yang berarti diharapkan
dapat mengubah sikap para pendengarnya. Lewat teori ini, pembicara dapat
mengetahui bagaimana yang seharusnya dilakukan ketika melakukan pembicaraan
kepada khalayak dan mempraktikannya di kehidupan sehari-hari, untuk dapat
mamastikan para pendengarnya dapat menerima dan meyakini pesan yang telah
disampaikan. Tetapi bukan berarti teori ini dijadikan sebagai pembicaraan yang
omong kosong, agar tidak ada lagi para pendengar yang salah menanggapi
mengenai retorika sendiri.
3.2 Saran
Penyusun sadar akan banyaknya kesalahan dan jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penyusun akan memperbaiki dalam pembuatan makalah melalui
pedoman-pedoman yang dapat dipertanggungjawabkan, tak lupa juga, penyusun
mengharapkan saran dari pembaca demi penyusunan makalah selanjutnya dapat
dilakukan dengan lebih baik lagi.
18
DAFTAR PUSTAKA
Griffin, E., Ledbetter, A., & Sparks, G. (2015). A First Look at Communication
Theory. New York: McGraw-Hill Education.
Rosyisin, I. (2019). Teori Retorika (2): Five Canons of Rhetoric atau Lima Hukum
Retorika. [Online]. Diakses dari
https://www.youtube.com/watch?v=d2dCvmIEzKU.
19