Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

RHETORICAL THEORY

Mata Kuliah: Pengantar Ilmu Komunikasi

Disusun untuk memenuhi tugas UTS

Dosen Pengampu: Dr. Hj. Riche Cynthia Johan, S.Pd., M.Si.,

Hana Silvana, S.Pd., M.Si., dan Ardiansyah, M.I.Kom.

Disusun Oleh:

Farah Gholiyah (1902170)

KELAS A

PROGRAM STUDI PERPUSTAKAAN DAN SAINS INFORMASI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2019

1
KATA PENGANTAR

‫السﻼم عليكم ورحمة ﷲ وبركاته‬

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. atas hidayah,
karunia, pertolongan, dan kelancaran-Nya yang diberikan kepada penyusun untuk
dapat membuat makalah ini. Tak lupa juga shalawat dan salam kepada junjungan
kita Nabi Muhammad SAW, tak lupa juga dengan para sahabat dan keluarnganya.

Melalui tugas ini, diharapkan dapat memenuhi tugas penyusun, dan dapat
dijadikan bahan pembelajaran, penambah pengetahuan bagi pembaca.

Sadar akan kodrat manusia yang tidak luput dari kesalahan, maka dalam
penyusunan makalah ini pasti banyak kekurangan yang penyusun lakukan. Untuk
itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran atas makalah ini agar menjadi bahan
pembelajaran dalam penyusunan makalah di masa mendatang.

Bandung, 19 Oktober 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1

1.1 Latar Belakang Masalah...............................................................................1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................1

1.3 Tujuan ..........................................................................................................2

1.4 Manfaat ........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................3

2.1 Pengertian Komunikasi ................................................................................3

2.2 Pengertian Retorika ......................................................................................3

2.3 Sejarah Retorika ...........................................................................................4

2.4 Manfaat Retorika..........................................................................................7

2.5 Jenis-Jenis Retorika......................................................................................7

2.6 Asumsi-Asumsi Teori Retorika ...................................................................8

2.7 Hukum Retorika .........................................................................................13

2.8 Tipe-Tipe Orator ........................................................................................16

2.9 Pendekatan Terhadap Model Komunikasi .................................................16

BAB III PENUTUP ..........................................................................................18

3.1 Kesimpulan ................................................................................................18

3.2 Saran ...........................................................................................................18

ii
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Komunikasi adalah suatu hal penting untuk bersosialisasi dalam kehidupan.


Teknologi, informasi, dan komunikasi berkembang seiring dengan pemenuhan
kebutuhan akan informasi masyarakat saat ini. Dalam memperoleh informasi,
tentunya ada suatu alat yang merupakan unsur dan sebuah komunikasi yang
dijadikan sebagai suatu proses dalam memperoleh informasi. Banyak masyarakat
yang menerapkan model komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Namun tidak
banyak pula yang mengetahui apa arti dari komunikasi itu sendiri, model
komunikasi yang mereka gunakan, maupun teori-teori komunikasinya.

Dalam teori komunikasi, terdapat salah satu jenis teori retorika atau retorik.
Tetapi istilah itu bukan merupakan hal yang asing bagi kita. Pasti banyak
masyarakat yang pernah ataupun sering mendengar dengan istilah retorika ini.
Namun pada kenyataannya, banyak masyarakat yang salah mengartikan arti
retorika itu sendiri.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam makalah ini, penyusun akan mangangkat sebuah rumusan masalah sebagai
berikut:

1. Apa Pengertian Komunikasi?


2. Apa Pengertian Retorika?
3. Bagaimana Sejarah Retorika?
4. Apa Manfaat Retorika?
5. Apa Saja Jenis-Jenis Retorika?
6. Apa Saja Asumsi-Asumsi Teori Retorika?

1
7. Apa Saja Hukum Retorika?
8. Apa Saja Tipe-Tipe Orator?
9. Menggunakan Pendekatan Model Komunikasi Apa?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui Pengertian Komunikasi


2. Mengetahui Pengertian Retorika
3. Mengetahui Sejarah Retorika
4. Mengetahui Manfaat Retorika
5. Mengetahui Jenis-Jenis Retorika
6. Mengetahui Asumsi-Asumsi Teori Retorika
7. Mengetahui Hukum Retorika
8. Mengetahui Tipe-Tipe Orator
9. Mengetahui Pendekatan Terhadap Model Komunikasi

1.4 Manfaat

Manfaat dari makalah dan pemaparan ini yaitu, diharapkan pembaca dapat
mengetahui dan mengaplikasikan teori retorika ini dalam kehidupan sehari-hari
dengan baik. Dan agar dapat mengurangi salah pemahaman dan penafsiran
mengenai makna retorika.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Komunikasi

Menurut Harold D. Lassweell, komunikasi adalah “Who says what in which


channel to whom with what effect?”. Sedangkan menurut Redi Panuju, komunikasi
merupakan arus sistem yang melekat serta kinerja antar bagian-bagian organisasi
yang mengeluarkan suatu keharmonisan. Dan menurut Prof. Drs. H. A. W.
Widjaya, komunikasi yaitu hubungan kontak antar dan antara individu maupun
kelompok.

2.2 Pengertian Retorika

Kata ‘retorika’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu rhetoriks yang berarti
kecakapan berpidato. Kata tersebut terkait dengan kata rhetor (pembicaraan
publik), dan terkait dengan kata rhema (perkataan). Sehingga secara etimologis,
retorika bermakna sebagai kecakapan berpidato pembicara publik yang terbiasa
berkata-kata. Retorika dapat dikatakan sama dengan speech (pidato), oral
communication (komunikasi publik), dan public communication (komunikasi
publik).

Menurut Jalaluddin Rakhmat (Retorika Modern, 2008), pengertian retorika


biasanya dianggap negatif, seolah-olah retorika hanya seni propaganda saja, dengan
kata-kata yang bagus bunyinya tetapi disanksikan kebenaran isinya. Padahal makna
retorika yang sebenarnya jauh lebih mendalam, yakni pemekaran bakat-bakat
tertinggi manusia yaitu rasio dan cita rasa lewat bahasa selaku kemampuan untuk
berkomunikasi dalam medan pikiran.

Teori retorika adalah pikiran tentang penggunaan simbol manusia. Istilah


retorika dalam penggunaan populer, biasanya memiliki konotasi negatif. Retorika

3
dikontraskan dengan suatu tindakan atau aksi; ini adalah omong kosong; berbicara
tanpa substansi; ornamen belaka. Pemahaman kontemporer tentang retorika ini
bertentangan dengan sejarah panjang teori retorika, yang berasal dari barat hingga
zaman Yunani dan Roma Kuno yang menyediakan fondasi yang telah lama
dibangun untuk menegakkan disiplin komunikasi kontemporer. Menurut Lloyd
Bitzer (1968), retorika muncul sebagai tanggapan terhadap suatu keadaan darurat,
masalah, atau sesuatu yang tidak seharusnya.

Bagi orang Yunani Kuno, retorika adalah penggunaan argumen logos dan
logika, etika, kualitas personal atau kredibilitas pembicara, dan jalan atau argumen
emosi untuk membangun argumen yang persuasif. Retorika pada dasarnya adalah
seni berkhotbah, yang secara sistematis dan berseni pikir melalui lima hukum
retorika: penemuan, organisasi, gaya, pengiriman, dan memori.

2.3 Sejarah Retorika

Konon, retorika mulai menggenjala demi melawan tiran, tepatnya di


Syracuse di mana Hieron berkuasa dengan tangan besi sambil menguasai semua
tanah penduduknya. Untuk mendapatkan kembali tanah yang dirampasnya, orang-
orang harus memiliki kepandaian berbicara untuk meyakinkan hakim bahwa tanah
tersebut adalah miliknya. Oleh karena itu, Corax mengarang buku berjudul Techne
Logon mengenai teknik berbicara dan membantu orang-orang memiliki haknya.

Murid Corax, Tisias, membawa ajaran retorika ke Athena dan daratan utama
Yunani. Membawa kepercayaan bahwa retorika dapat diajarkan, bahwa kefasihan
bukanlah sesuatu yang tersirat, dan menimbulkan sekelompok guru retorika yang
disebut dengan sophists (dalam bahasa Yunani berarti sophos (pengetahuan atau
kebijaksanaan)). Akan tetapi, di Athena, sudut pandang mereka tidak sama dengan
sekarang yang kita lihat. Mereka tidak dipercayai dengan alasan terdapat banyak
orang asing yang tinggal di Athena, orang Athena bangga akan kota mereka dan
menghakimi orang lain sekalipun mereka berasal dari daerah Yunani lainnya.
Selain itu kaum sesat (kaum yang mengaku mengajarkan kebijaksanaan yang

4
merupakan kemampuan bawaan dan tidak dapat diajarkan) menuntut pelayanan
mereka, bertentangan dengan tradisi Yunani, sehingga beberapa orang tidak
menyukai kaum sofis.

Ada beberapa tokoh yang sebelumnya telah berkecimpung dalam retorika,


seperti Plato dan Georgias. Tetapi Georgias dan Plato tidak membahas retorika
secara mendalam. Georgias hanya mempraktikan dan mengajarkan retorika.
Sedangkan Plato hanya mengkritik retorika.

Plato, guru Aristoteles dan filsuf terkemuka di Athena, ia tidak menyukai


kaum sofis karena mereka menyatakan bahwa tidak ada kebenaran mutlak dan teori
mereka dipandang kurang teoritis. Plato percaya pada bentuk yang mutlak baik itu
keadilan, kebajikan serta menggunakan keterampilan retorikanya sendiri untuk
mendiskreditkan para penyair dan pendangan mereka mengenai retorika dalam
dialognya. Keraguannya tercermin dalam cara negatif orang-orang ketika
menggunakan istilah retorik. Plato juga mengkritik retorika Georgias dan kaum
Sofis dalam buku Gorgias dan Phaedus.

Teori-teori klasik didominasi oleh gagasan Plato dan Aristoteles. Plato


membedakan retorika kaum sofis (topik dialognya Georgias yang ia samakan
dengan bahasa kusam) dengan retorika ideal yang ia tawarkan dalam Phaedus.
Aristoteles lebih tertarik pada penyusunan instruksi retorik dan mengembangkan
pendekatan pragmatis pada subjek. Retorika Aristoteles sebenarnya suatu
kumpulan catatan ketika menjadi murid Plato, memaparkan retorika yang sistematis
dan lengkap.

Aristoteles, seperti Plato, menyelesaikan sahutan para penutur dengan


menggunakan keterampilan mereka untuk menggerakkan pendengar sambil
menunjukkan ketidakpedulian mereka terhadap kebenaran. Tetapi tidak seperti
Plato, Aristoteles percaya bahwa kebenaran memiliki keunggulan moral yang
membuatnya lebih dapat diterima daripada kepalsuan. Tetapi lawan moral dari
pendengar dapat menumpulkan, kecuali seorang pembicara etis menggunakan
semua cara persuasi yang mungkin untuk melawan kesalahan. Pembicara yang

5
mengabaikan seni retorika akan menyalakhan dirinya sendiri ketika para
pendengarnya memilih kepalsuan. Maka Aristoteles-lah yang melakukan
pengkajian secara teoritis, sehingga wajar saja jika ia disebut sebagai bapa retorika
dimana buku pertamanya yaitu (Rhetorike/Rhetoric/al-Khutbah) berisi mengenai
penyikapan/cara-cara yang memungkinkan untuk persuasi. Persuasi diartikan
sebagai bujukan halus/rayuan, dan/atau ajakan kepada seseorang dengan cara
memberikan alasan dan prospek baik yang meyakinkan.

Romawi menerapkan dan mengadaptasi teori retorika Yunani untuk


kebutuham mereka sendiri. Cicero menjadi salah satu retorika Romawi karena dia
menulis retorika dan dia sendiri adalah seorang orator yang hebat. Tiga dari teori
retorikanya adalah De Inventione (pada penemuan), De Oratore (pada pidato)
Orator (Pembicara). Dan ia mengembangkan hukum penulisan, khususnya jenis
gaya yang lebih lengkap daripada pendahulunya. Orang Romawi khususnya
berminat akan peranan retorika dalam urusan sipil (150-400 AD), walaupun
persoalan sipil semakin terpisah ketika serangkaian dikrator menguasai Roma.
Retorika terus berperan sebagai seni praktis dengan risalah teoris khususnya
membahas penulisan surat dan pengabaran.

Pada masa renaisans (1400-1600), retorika dipulihkan sebagai subjek untuk


pertanyaan filosofis. Para humanis Italia, seorang pakar bahasa, pakar tata bahasa,
pakar kesusastraan, memperlihatkan kembali minat akan bahasa yang belum pernah
ada sejak kaum sofonis. Mereka percaya bahwa bahasa memiliki tempat utama
untuk membangun dunia manusia.

Teori retorik kontemporer berawal muncul di Eropa dan Amerika Serikat.


Para filsuf Inggris dan Eropa, seperti Richards dari Inggris, pemimpin Perelman di
Belanda, Jurgen Habermas di Jerman, dan Michael Foucault di Prancis, mereka
tertarik pada bahasa dan bagaimana bahasa itu berfungsi dan pada tingkat mikro
untuk menciptakan atau menghapus kesalahpahaman. Minat ini juga terdapat di
Amerika Serikat pada tahun 1914, para guru bahasa inggris yang telah mengajar
pidato di depan umum memisahkan diri untuk membentuk departemen-departemen
baru dalam bidang ujaran dan komunikasi ujaran, serta disiplin baru dalam bidang

6
ujaran nasional dengan rekan-rekan nasionalnya. Pada tahun 1960-an, minat
istimewa ini diperluas yang mencakup berbagai metode, pokok bahasan, dan
berbagai awal filsafat.

2.4 Manfaat Retorika

Aristoteles melihat fungsi retorika sebagai penemuan dalam setiap kasus


“sarana persuasi yang berhasil”. Ia membahas mengenai ruang sidang (forensik)
berbicara, dimana bahasannya para hakim yang mencoba untuk membuat
keputusan yang adil tentang tindakan semua yang telah dimiliki terjadi di masa lalu;
ceremonial (epideictic) berbicara, artinya banyak memuji atau menyalahkan orang
lain atas beneti dari para pendengar masa kini; politik (masyarakat) berbicara
merupakan upaya untuk memengaruhi legislator atau pemilih yang memutuskan
kebijakan masa depan.

Retorika tidak semata-mata hanya diperlukan untuk melawan penguasa


otoriter saja. Tetapi, retorika juga sangat penting dalam sosial-politik misalnya
dalam demokrasi; agama misalnya dalam melakukan ceramah; kehidupan sehari-
hari misalnya norma-norma atau bersikap yang seharusnya ketika dilakukan di
masyarakat.

Retorika penting agar apa yang diucapkan dapat didengar, apa yang
didengar dapat dimengerti, apa yang dimengerti dapat disetujui, apa yang disetujui
dapat diterima, apa yang diterima dapat dihayati, dan apa yang dihayati dapat
mengubah tingkah laku.

2.5 Jenis-Jenis Retorika

1. Retorika Forensik: keadaan ketika para pembicara mendorong munculnya


rasa bersalah atau tidak bersalah dari pendengar. Retorika ini berkaitan
dengan keputusan pengadilan. Contoh: di pengadilan.

7
2. Retorika Epideiktik/Demonstratif: wacana yang berhubungan dengan
pujian atau tuduhan. Contoh: pidato seremonial.
3. Retorika Deliberatif: saat pembicara harus menentukan suatu tindakan yang
harus diambil, sesuatu yang harus atau tidak boleh dilakukan. Dan
dirancang untuk memengaruhi khalayak dalam kebijakan pemerintah.
Contoh: pidato politis.

2.6 Asumsi-Asumsi Teori Retorika

1. Public speaker atau pembicara yang efektif perlu mempertimbangkan


khalayak mereka.
2. Public speaker atau pembicara yang efektif menggunakan sejumlah bukti-
bukti dalam presentasinya, yaitu:
1) Ethos (Kepribadian Komunikator)

Bukti ethos adalah cara, karakter pembicara dalam menyampaikan


pesan. Dalam retorika, ethos adalah potensi persuasif pada karakter dan
kreadibilitas personal pembicara. Pembicara dapat dikatakan berethos
jika ia dapat menginternalisasikan pengetahuannya itu pada dirinya,
sehingga masyarakat dapat menerimanya dengan baik. Karena ethos
terkait dengan persepsi masyarakat, maka Aristoteles menyebutnya
dengan sosiologi karakter.

Menurut May, Aristoteles berpendapat bahwa masyarakat Yunani dapat


mempercayai pembicara berdasarkan pengalaman, pendidikan dan
kebiasaan untuk:

a) Phronesis (mengetahui baik dan buruk)


Dalam buku Aristoteles, Jonathan Barnes mengartikan phronesis
dengan ‘good sense’ (pikiran sehat). Artinya hal yang menginspirasi
kepercayaan pada karakter orator: pikiran sehat, kesempurnaan, dan
kehendak baik. Tetapi pendapat tersebut masih dalam cakupan yang
luas. Jadi, secara spesifiknya phronesis yaitu kemampuan untuk

8
memutuskan perkara. Adapun pengertian lainnya seperti
kebijaksanaan praktis, dimana phronesis tidak hanya seseuatu yang
diketahui melainkan yang dapat diketahui dan dapat dilakukan.
Kepraktisan berkaitan dengan kebaikan dan keburukan pada
manusia.
b) Arete (moderisasi di tengah ekstrem)
Kata ini berasal dari Yunani yang berarti kebaikan (virtue),
kesempurnaan diri (personal excellence), kemampuan untuk
mengatur urusan pribadi secara cerdas dan sukses di masyarakat,
serta kemampuan untuk memimpin. Arete juga bermakna sebagai
kesempurnaan fungsional pada segala sesuatu.
c) Eunoia (berorientasi pada liyan)
Eunoia bisa diartikan ‘goodwill’ yaitu kehendak baik. Dalam buku
Aristoteles, Riger Crips menerjemahkan sebagai mengharapkan
kebaikan bagi orang lain. Harapan tersebut hanya utuk orang lain
dan tidak mengharapkan manfaat yang dapat diterima oleh dirinya
sendiri dari eunoianya. Ketika ada kepentingan pribadi pada suatu
nait baik, niat baik itu bukan eunoia, melainkan sebentuk egoisme
atau individualisme.

Sementara Cicero, sebagaimana dicatat oleh Enos dan


Schanakenberg, mengistilahkan ethos dengan dignitas (berwibawa,
terhormat, dan populer) dan menjelaskan bahwa dignitas adalah
kehormatan yang pantas mendapatkan kewenangan, kepemilikan atas
wibawa. Internalisasinya yaitu:

a) Ingenium (bakat retorika)


Bakat ini berbentuk kemampuan atau minimal minat pada sesuatu,
mungkin ada sejak kecil atau bahkan dari keturunan. Bakat turunan
atau personal, seharusnya disalurkan oleh orang yang bersangkutan
dan didukung oleh orang disekitarnya, agar maju di kehidupan
sosial.

9
b) Prudentia (kata dan situasi)
Prudentia merupakan sinonim phronesis. Keduanya sama-sama
kebijaksanaan praktis, hanya saja ‘prudentia’ berasal dari bahasa
Latin. Menurut Cicero, adalah kemampuan untuk menyelaraskan
perkataan dengan situasi.
c) Diligentia (altruisme nir-egoisme)
Secara definitif, diligentia selaras dengan eunoia. Diligentia
merupakan komitmen pembicara kepada pendengarnya.
2) Pathos (emosi dan karakter komunikan)
Pathos dapat diartikan sebagai pengalaman baik atau buruk, kondisi
sesuatu, perasaan, dan emosi jiwa. Seorang komunikator harus dapat
memengaruhi emosi komunikan.
1) Emosi: pembangkit dan peredamnya
Menurut Aristoteles, emosi adalah semua perasaan yang dapat
mengubah keputusan orang, dan terkadang terasa nenyakitkan
kadang menyenangkan. Rasa marah diakibatkan oleh penghinaan
(slighting) yang menurutnya dilakukan dengan merendahkan diri
(contempt), menghina dengan membuat dongkol (spite), dan
menghina dengan mengolok-olok (insolence). Amarah juga muncul
karena terjadi sesuatu yang bertolak belakang dengan yang
diharapkan.
Pada momen-momen tertentu, amarah diperlukan. Terutama untuk
melawan kezaliman dan keburukan. Karena itu, orator terkadang
perlu untuk membangkitkan amarah pendengar dengan
mengondisikan emosi pendengar dalam amarah.
Aristoteles juga membahas tentang hal-hal yang menenangkan
amarah, yaitu calmness, yaitu kerendahatian yang dapat meleburkan
amarah, waktu amarah berlalu lama atau suasana begitu cair dan
bernuansa humor.

10
Aristoteles mencatat ada tiga metode berpikir dan berkomunikasi, yaitu:
a) Demonsttif, berorientasi pada hakikat kebenaran, kebaikan, dan
keindahan.
b) Dialektis, menerima kebenaran dengan perdebatan yang cenderung
menggunakan logika menang kalah.
c) Retoris, metode ini cenderung membujuk, menganjurkan, dan
kadang mengancam dengan cara-cara yang sederhana.
3) Logos (format pesan retorika)
Logos berasal dari bahasa Yunani yang berarti kata atau pikiran. Logos
disinonimkan dengan janji, pernyataan, resolusi, perintah, ucapan, wacana,
dialog, berita, cerita, tulisan, prinsip, orasi, opini, harapan, penilaian, dan
pertimbangan. Logos berisi format pesan yang dibuat dan disampaikan oleh
orator untuk membujuk pendengar.
a) Sampel: contoh faktual dan ilutrasi fiktif
Sampel adalah contoh yang disampaikan dalam pidato. Menurut
Aristoteles, sampel bersiafat induktif agar mudah ditangkap indrawi
dan mudah dipercaya oleh massa. Cara membentuknya melalui dua
cara, yaitu menyebutkan fakta-fakta aktual di suatu masa dan
membuat fakta-fakta baru secara ilustratif atau fabel.
 Sampel pertama: misalnya Al-Qur’an yang menceritakan
sejarah orang-orang di masa lalu untuk diambil pelajaran.
 Sampel kedua: misalnya memilih penyanyi terbagus tidak
bisa diserahkan kepada suara massa, melainkan juri yang
dapat menilainya agar tidak terjadi terpilihnya penyanyi
yang populer bukan penyanyi yang terbagus.
b) Adagium: pernyataan umum praktis
Adagium/peribahasa (maxim) adalah pernyataan umum tentang
tindakan praktis. Misalnya, “tidak ada satupun manusia yang tak
ingin di hargai”. Adagium terdiri dari empat model, yaitu adagium
yang punya suplemen dan berhubungan dengan adagium yang

11
paradoks, adagium yang tidak punya suplemen berhunungan dengan
adagium yang tidak paradoks.
Adagium paradoksal adalah adagium yang diperdebatkan karena itu
perlu penjelasan. Dengan kata lain, adagium paradoksal perlu diberi
tambahan (suplemen) berupa penjelasan. Misalnya “memaafkan
adalah memaafkan sesuatu yang tidak termaafkan”.
Berbeda dengan adagium non-paradoksal, yaitu adagium yang telah
dikenal kebenarannya. Misalkan “kehidupan manusia hanya
sementara”. Maka tidak diperlukan tambahan, walaupun ada pasti
itu hanya pengembangan spektrum pembicaraan.
c) Ethymeme: argumen retorika
Ethymeme adalah deduksi yang berurusan dengan adagium. Jika
adagium adalah premis atau kesimpulan bagi Ethymeme, maka
Ethymeme adalah argumen bagi adagium. Namun Ethymeme
merupakan argumen yang tidak sempurna karena sebagian
premisnya tersembunyi. Misalnya, premis mayornya “Irfan bisa
menjadi warga negara Indonesia”, dan premis minornya “orang tua
Irfan asli Indonesia”. Yang seharusnya:
Premis mayor : semua orang yang orang tuanya asli
Indonesia, bisa menjadi waga negara
Indonesia.
Premis minor : Orang tua Irfan asli Indonesia.
Kesimpulan : Irfan bisa menjadi warga negara
Indonesia.

Silogisme berbeda dengan Entimem. Silogisme berhubungan dengan


kepastian, sedangkan entimem berhubungan dengan kemungkinan.

12
2.7 Hukum Retorika
1. Inventio: Penemuan Data Retorika

Inventio adalah suatu persiapan dalam berpidato. Pada tahap ini


pembicara menggali khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang
paling tepat. Yang disiapkan adalah bahan-bahan yang dapat
mengembangkan pembicaraan/tulisan yang hendak disampaikan. Dan
bahan-bahan yang diperlukan adalah hal-hal yang dipersoalkan, topik-topik
utama yang harus dikuasai, serta langkah-langkah sistematik yang harus
diikuti.

Hal-hal yang perlu disiapkan seperti, apa yang terjadi? Apa


pengertian bagi kejadian itu? Sejauh mana tingkatannya? Siapa pelakunya?
Apa aturan yang sejalan dan tidak sejalan dengannya? Apa tindakannya?
Dengan menjawab pertanyan-pertanyaan itu, suatu kejadian akan diketahui
secara komprehensif.

Topik-topik yang perlu dikuasai pembicara misalnya, apa yang


membahagiakan dan menyengsarakan manusia? Apa yang benar dan
salah? Apa yang tepuji dan tercela? Di situlah sejarah dan futurologi
diperlukan. Begitu pula epistemologi dan aksiologi beserta
percabangannya yaitu etika dan estetika. Artinya, pembicara tidak hanya
perlu mengetahui data masa lalu, tetapi juga harus memprediksi apa yang
dapat terjadi berdasarkan masa lalu dan masa kini. Tidak sampai di situ,
pembicara tak cukup hanya memiliki data faktual, tapi juga harus dapat
berpikir filosofis, dengan demikian harus belajar filsafat.

Pembicara harus mengikuti langkah-langkah sistematik untuk


mengembangkan pembicaraannya. Langkah tersebut yaitu, definisi,
analogi (kiasan/metafora), konsekuensi (sebab akibat), dan testimoni (dalil
dan kutipan). Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apa
definisi hal yang ditanyakan? Ia dapat diibaratkan dengan apa? Apa sebab
dan akibatnya? Hal apa yang menjadikan penguatnya?.

13
2. Dispositio: Penyusunan Data Retorika

Dispositio adalah cara mengatur argumen bahan pidato supaya


tertata rapi dan mudah diutarakan secara efektif. Aristoteles menyebutnya
dengan texis (pembagian) dengan melalui enam tahapan:

1) Exordium (pembukaan), membuka tulisan atau ucapan dengan hal-


hal yang bisa menarik perhatian pembaca atau pendengar dengan
lima hal yaitu, honourable (hal yang disukai), astonishing (hal yang
diherani), low (hal yang disepelekan), doubtful (hal yang diragukan),
dan obscure (hal yang samar).
2) Narratio (narasi tentang fakta dan fiksi), menceritakan manusia
(fakta, wawancara, dan pikiran) atau benda (fabel, sejarah, argumen)
secara singkat, jelas, dan mungkin, melalui deskripsi (sebab akibat
(latar belakang dan prinsip)), komparasi (anomali (kenyataan atau
gagasan yang tak seharusnya ada disampaikan)), dan rekreasi
(keunikan).
3) Partitio (pembagian berbagai keadaan dan topik),
mengorganisasikan pesan tulisan atau ucapan supaya jelas dan
masuk akal, secara ringkas, komplit, dan padat, baik di permulaan
pembicaraan (mencari titik temu dan titik tengkar) atau di
keseluruhan pembicaraan (membahas apa yang hendak
dibicarakan).
4) Confirmatio (menghadirkan bukti), mengungkapkan bukti-bukti
argumentatif tentang manusia (nama, hal-hal alamiah, cara hidup,
nasib, perspektif, afeksi, keputusan praktis, tindakan, aksidensi, dan
pembicaraannya), atau non-manusia (tempat, waktu, cara
kesempatan, dan failitasnya), dengan metode induksi (kiasan,
pengakuan, kesimpulan), atau deduksi (premis mayor, premis
minor, dan kesimpulan), hingga mencapai suatu keniscayaan
(dilema, enumerasi (argumen yang mengungkapkan berbagai
kekeliruan, lalu dikerucutkan pada suatu kebenaran), dan

14
kesimpulan sederhana), atau kemungkinan (bukti, kredibilitas
(keadaan yang dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan),
ketentuan, dan perbandingan).
5) Reprehensio (mencari kekeliruan pada apa yang terjadi),
menyanggah argumentasi lawan dengan meninjau premis,
kesimpulan dan argumennya, dari sudut koherensi (keselarsan) dan
korespondensi (hubungan/kesamaan).
6) Peroratio (penutup), menutup tulisan/pembicaraan dengan
enumerasi yang memuaskan kognisi dengan kesimpulan dan sintesis
(kelebihan kelemahan atas tesis dan antitesis), dan dengan
indiganasi (menyulut amarah) dan komplain (menyulut rasa
kasihan) yang memantik afeksi untuk bertindak.

Keenam unsur dispositio itu bila diserhanakan hanya berisi tiga hal,
yaitu pembukaan, inti pidato, dan penutup.

3. Elocutio: Gaya Komunikasi Publik

Elucutio merupakan momen mengungkapkan data secara bergaya.


Parameter kesempurnaan kalimat terdapat pada kejelasan, ketepatan,
kepaduan, kekuatan dan harmoninya. Pembicara memilih kata-kata yang
dan bahasa yang tepat. Misalnya ketika kita menjadi pembicara, kita meniru
gaya berbicara seorang tokoh tertentu.

4. Memoria: Teknik Menghafal Dalam Retorika

Memoria adalah kata Latin yang berarti memori atau ingatan.


Pembicara harus mengingat apa yang ingin disampaikannya dengan
mengatur bahan-bahan pembicaraannya. Dalam retorika teknik umum yang
digunakan adalah teknik kesan dan tempat, seperti apa yang dilakukan oleh
para pakar retorika kuno hingga sekarang. Tekniknya yaitu dengan mulai
memerhatikan apa yang hendak dihafal hingga dipahami dengan baik. Bila
yang dihapal berbentuk kata-kata, maka kata-kata tersebut harus diucapkan
berulang-ulang kali, atau menggunakan asosiasi untuk mempermudah

15
menghafal. Namun, jika suatu yang dihafalkan berbentuk benda, maka
sebuah asosiasi menjadi suatu keharusan. Dan membayangkan tempatnya,
dapat memberikan kesan yang tersusun rapi.

5. Pronuntiatio: Teknik Penyampaian Pidato

Dalam teknik penyampaian pidato, tentunya kita akan membahas


mengenai suara, raut muka,, dan gerak tubuh.

1) Suara orator harus jelas, enak didengar, lantang.


2) Raut muka orator harus memancarkan aura kebaikan dan sesuai
dengan konteks yang sedang dibicarakan.
3) Gerak tubuh orator harus diatur untuk mencapai kualitas yang ideal.
Seperti gagah, sopan, anggun, sederhana, bertenaga.

2.8 Tipe-Tipe Orator

1. Noble Selves: orang yang menganggap dirinya yang paling benar,


menganggap lebih hebat dari orang lain, dan sulit dikritik.
2. Rhetorically Reflector: orang yang tidak berpendirian teguh, hanya menjadi
cerminan orang lain.
3. Rhetorically Sensitive: pembicara yang adaptif, cepat menyesuaikan diri
dengan lingkungannya.

2.9 Pendekatan Terhadap Model Komunikasi

Teori retorika ini menggunakan pendekatan terhadap model komunikasi


Aristoteles, yang merupakan salah satu model komunikasi linear yang ditujukan
untuk menggambarkan atau menjelaskan proses public speaking.

16
Model komunikasi Aristoteles memiliki beberapa karakteristik, diantaranya adalah :

 Berpusat pada pengirim pesan


 Khalayak bersifat pasif
 Tidak terlalu fokus pada komunikasi intrapersonal dan interpersonal
 Fokus pada interaksi khalayak dalam komunikasi
 Tidak terdapat umpan bali
 Komunikasi berlangsung satu arah
 Merupakan komunikasi massa
 Hanya bisa digunakan pada public speaking
 Digunakan sebagai media persuasi.

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Teori retorika ini dijadikan sebagai media persuasi, yang berarti diharapkan
dapat mengubah sikap para pendengarnya. Lewat teori ini, pembicara dapat
mengetahui bagaimana yang seharusnya dilakukan ketika melakukan pembicaraan
kepada khalayak dan mempraktikannya di kehidupan sehari-hari, untuk dapat
mamastikan para pendengarnya dapat menerima dan meyakini pesan yang telah
disampaikan. Tetapi bukan berarti teori ini dijadikan sebagai pembicaraan yang
omong kosong, agar tidak ada lagi para pendengar yang salah menanggapi
mengenai retorika sendiri.

3.2 Saran
Penyusun sadar akan banyaknya kesalahan dan jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penyusun akan memperbaiki dalam pembuatan makalah melalui
pedoman-pedoman yang dapat dipertanggungjawabkan, tak lupa juga, penyusun
mengharapkan saran dari pembaca demi penyusunan makalah selanjutnya dapat
dilakukan dengan lebih baik lagi.

18
DAFTAR PUSTAKA

6 Model – Model Komunikasi Menurut Para Ahli. [Online]. Diakses dari


https://pakarkomunikasi.com/model-model-komunikasi.

Griffin, E., Ledbetter, A., & Sparks, G. (2015). A First Look at Communication
Theory. New York: McGraw-Hill Education.

Littlejohn, S.W. & Foss, K.A. (2009). Encyclopedia Communication Theory.


California: SAGE Publication.

Maarif, Z. (2015). Retorika Metode Komunikasi Publik. Jakarta: RajaGrafindo.

Pengertian Komunikasi: Definisi, Tujuan, Fungsi, Jenis, dan Komponennya. [Online].


Diakses dari https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/pengertian-
komunikasi.html.

Rosyidin, I. (2019). Teori Retorika (1): Meluruskan Kekeliruan tentang Retorika.


[Online]. Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=N-
lpzA7QmNg&t=6s.

Rosyisin, I. (2019). Teori Retorika (2): Five Canons of Rhetoric atau Lima Hukum
Retorika. [Online]. Diakses dari
https://www.youtube.com/watch?v=d2dCvmIEzKU.

Saputra, A. A. (2011). Teori Komunikasi-Retorika (the Rhetoric). [Online]. Diakses


dari https://www.slideshare.net/AlvinVinz/teori-komunikasi-retorika-the-
rhetoric.

19

Anda mungkin juga menyukai