Anda di halaman 1dari 19

DUALISME FINANSIAL

(EKONOMI)

Disusun Oleh Kelompok 7 :


AL IMAMMUL HAFIZH.A.SY (15.822.0068)
ZARKASI (17.822.00)
INDAH SAPUTRI (17.822.00)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MEDAN AREA
2019
PENDAHULUAN

Negara berkembang merupakan negara yang pada pertengahan abad yang lalu
memiliki taraf pembangunan dan kemakmuran yang sangat rendah. Pada tahun
1950-an sebagian negara berkembang-menurut pengamatan bebrapa ahli ekonomi
Barat-taraf hidupnya masih di bawah taraf negara maju pada saat negara-negara
maju tersebut baru memulai pembangunan ekonominya di permulaan abad ke-19.
Negara berkembang terutama terdiri dari negara yang berada di tiga benua yaitu
Afrika, Asia dan Amerika Latin. Negara-negara di Afrika tergolong sebagai negara
berkembang yang sangat miskin, sementara negara-negara di Amerika Latin
tergolong sebagai negara berkembang yang relatif kaya.
Dikebanyakan negara Asia-Afrika yang pada periode 1820 hingga perang
dunia II sebagai merupakan daerah terjajah (seperti India, Indonesia dan Ghana)
dan sebagian lainnya mempunyai pemerintahan sendiri seperti (China dan
Thailand) pembangunan ekonomi hampir tidak ada. Perekonomian berkembang
dengan sangat lambat dan taraf hidup masyarakatnya tidak berkembang.
Dikebanyakan Amerika Latin, pertumbuhan ekonominya lebih pesat dari Asia dan
Afrika, tetapi tidak secepat di negara maju. Keadaan ini yang menyebabkan taraf
hidup di negara Amerika Latin tidak banyak berbeda seperti yang dicapai Asia atau
Afrika yang relatif kaya.
PERMASALAHAN

Hampir semua Negara menghadapi sistem dualisme, kita perlu mengetahui


tentang system dualisme sosial menurut J.H. Boeke dan yang paling penting
terutama di Indonesia. Indonesia menurut J.H. Boeke mengalami dualisme ekonomi
atau dua sistem ekonomi yang berbeda dan berdampingan kuat. Dua sistem tersebut
bukan sistem ekonomi transisi dimana sifat dan ciri-ciri yang lama makin melemah
dan yang baru makin menguat melainkan kedua-duanya sama kuat dan jauh
berbeda. Perbedaan tersebut karena sebagai akibat penjajahan orang-orang Barat.
Apabila tidak terjadi kedatangan orang-orang Barat mungkin sistem pra-
kapitalisme Indonesia dan dunia Timur pada umunya pada suatu waktu akan
berkembang menuju sisitem atau tahap kapitalisme. Akan tetapi sebelum
perkembangan kelembagaan-kelembagaan ekonomi dan sosial menuju ke arah
sama, penjajah dengan sisitem kapitalismenya (dan sosialismenya serta
komunisme) telah masuk ke dunia Timur. Inilah yang menimbulkan sistem
dualisme atau masyarakat dualisme.
Adapaun ciri-ciri dari negara berkembangan adalah :
 Tingkat kemakmuran yang rendah
 Produktivitas pekerja sangat rendah
 Tingkat pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi
 Kegiatan ekonomi tetap terpusat di sektor pertanian
 Bahan mentah merupakan ekspor terpenting
 Kegiatan ekonomi bersifat “dualistis”
Permasalahan-permasalahan yang dialami negara berkembang adalah
terhambatnya pembangunan ekonomi yang menjadikan negara berkembang tidak
mencapai tingkatan seperti negara maju. Salah satu faktor penghambatnya adalah
dualisme ekonomi yang menyebabkan mekanisme pasar tidak berjalan seperti
seharusnya yang menjadikan pembangunan ekonomi di negara berkembang salah
satunya di Indonesia.
Maka dari itu paper ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai bagaimana
dualisme ekonomi itu menjadi salah satu faktor penghambat pembangunan
ekonomi di negara berkembang secara khususnya di Indonesia.
Dualisme Finansial
Myint (1967) meneruska studi Higgint mengenai proses terjadinya dualisme.
Dalam analisis Myint, beliau mengemukakan mengenai dualisme finansial. Hal ini
pun merujuk pada pengertian bahwa pasar uang dalam negara jajahan (NSB)
dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu pasar uang yang terorganisir dengan baik
(organized money market) dan pasar uang yang tidak terorganisir (unorganized
money market).Pasar uang yang terorganisir dengan baik terdiri dari bank-bank
komersial dan lembaga-lembaga keuangan non-bank. Lembaga ini terdapat di
pusat-pusat bisnis dan kota-kota besar, serta memiliki tujuan untuk menyediakan
pinjaman kepada perusahaan yang bergerak dalam bidang perkebunan tanaman
ekspor dan pertambangan. Namun setelah NSB mencapai kemerdekaan,
pemerintah mengadakan usaha yang sifatnya mendorong lembaga-lembaga
keuangan modern untuk memberikan pinjaman kepada sektor ekonomi lainnya,
terutama sektor industri dan pertanian rakyat.Sedangkan dalam keadaan sebaliknya,
tidak ada lembaga keuangan formal seperti bank atau lembaga keuangan non-bank.
Contohnya seperti petani kaya atau rentenir. Ciri penting dari pinjaman melalui
lembaga keuangan informal ini yaitu tingkat biaya yang sangat tinggi. Namun,
karena lembaga informal ini merupakan satu satunya penyalur dana, para petani
menyukainya karena prosedur peminjaman dananya yang tidak terlalu rumit

Dasar Teori
Teori J.H. Boeke tentang dualisme ekonomi di negara berkembang
bergantung pada anugerah alami yaitu sumber daya sebagai penunjang
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan karena dalam ekonomi berkembang,
modal alami mungkin hanya sumber modal yang tersedia langsung dari alam.
Selain itu, banyak negara yang beruntung memiliki sumber daya alam yang
melimpah untuk mengeksploitasi, meskipun seperti yang telah kita lihat,
kemungkinan besar bentuk modal alami yang tersedia untuk negara berkembang
adalah mungkin tanah. Mengingat pentingnya modal alam untuk pembangunan
berkelanjutan, orang bisa menyimpulkan bahwa kelimpahan sumber daya yang
lebih besar harus meningkatkan kinerja ekonomi. Artinya, ekonomi yang memiliki
sumbangan yang lebih besar dari sumber daya alam pasti memiliki kesempatan
yang lebih baik untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran
yang lebih tinggi dari ekonomi yang relatif miskin sumber daya. Ini harus terutama
berlaku sehubungan dengan negara berpenghasilan rendah dan menengah, yang
perekonomiannya bergantung pada umumnya lebih mengeksploitasi persediaan
modal alami mereka dalam transisi untuk mengembangkan sektor industri dan jasa
dan 'lepas landas' ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih seimbang panjang
pertumbuhan jangka.
Pola penggunaan sumberdaya dalam negara-negara berkembang cukup
relevan dengan masalah kerusakan sumberdaya dan kemiskinan. 'Dualisme' ini
diungkapkan oleh kekhawatiran penggunaan sumber daya agregat dan
ketergantungan dalam ekonomi global. Misalnya, fakta menunjukkan bahwa
ekonomi yang paling rendah dan menengah sangat tergantung pada eksploitasi
sumber daya alam. Dalam hal ini ketergantungan ekonomi di negara berkembang
pada sumber daya alam berkorelasi negatif dengan kinerja ekonomi di negara
tersebut. Implikasi bagi negara-negara berpenghasilan rendah adalah bahwa 'lepas
landas' menjadi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan seimbang, dengan
demikian ketergantungan ekonomi keseluruhan pada sumber daya alam akan
bertahan dalam jangka menengah dan panjang. Jadi, salah satu indikator dari teori
ini adalah dualisme tingkat ketergantungan sumber daya ekonomi, yang diukur
dengan pangsa komoditas primer dalam total ekspor.
Seperti halnya di sektor pertanian yang telah memberikan sumbangan yang
nyata dalam perekonomian nasional yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Indonesia, mempercepat pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan,
menyediakan lapangan kerja, dan menyeimbangkan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup. Sebagai sektor ekonomi, pertanian mempunyai fungsi yaitu:
menghasilkan bahan pangan, pakan, agroindustri dan bioenergi; meningkatkan
kapabilitas petani dan keluarganya; menghasilkan devisa, pembentukan Produk
Domestik Bruto (PDB) pertanian, serta membantu menjaga keseimbangan
lingkungan dengan praktek usaha tani yang ramah lingkungan.
Dihadapkan pada berbagai perubahan dan perkembangan lingkungan yang
sangat dinamis seperti meningkatnya populasi penduduk; meningkatnya impor
produk pertanian; tekanan globalisasi dan liberalisasi pasar; pesatnya kemajuan
teknologi dan informasi; makin terbatasnya sumberdaya lahan, air dan energi;
banyaknya jaringan infrastruktur pertanian yang rusak; menurunnya minat kaum
muda pada usaha pertanian, serta perkembangan dinamis sosial budaya
masyarakat, maka pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian di
Indonesia ke depan menghadapi berbagai macam tantangan.
Tantangan tersebut antara lain bagaimana meningkatkan ketersediaan bahan
pangan, pakan, bioenergi dan agroindustri produk dalam negeri; memperbaiki
sistem distribusi dan meningkatkan diversifikasi konsumsi dan keamanan pangan;
meningkatkan nilai tambah, mutu dan daya saing produk pertanian di pasar
domestik dan internasional, regulasi dan deregulasi peraturan dan perundangan
bidang pengolahan dan pemasaran hasil pertanian. Rencana Strategis (Renstra)
Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian ini merupakan
dokumen perencanaan yang berisikan visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, strategi,
program dan kegiatan Ditjen PPHP yang akan dilaksanakan selama lima tahun ke
depan (2010-2014). Dokumen ini disusun berdasarkan analisis strategis atas
potensi, peluang, tantangan dan permasalahan termasuk isu strategis terkini yang
dihadapi dalam pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian selama
lima tahun ke depan.
Sekali lagi, petunjuk penting untuk mengungkap paradoks dari kinerja
ekonomi yang buruk dari berbasis sumber daya negara-negara berkembang saat ini
dapat ditemukan fakta penggunaan sumber daya alam dalam perekonomian.
Sebagai contoh, negara-negara berkembang saat ini adalah memulai sebuah pola
pengembangan sumber daya-tergantung yang memuncak dalam eksploitasi sumber
daya perbatasan, terutama dalam bentuk perluasan lahan pertanian dan stres kronis
pada sumber daya air tawar, tetapi hasil akhir tidak tidak menghasilkan banyak di
jalan kemajuan ekonomi yang berkelanjutan.
Studi Kasus Dualisme Ekonomi di Negara Berkembang:
Dualisme Ekonomi Keterkaitannya Terhadap Globalisasi Pertanian dan Konflik
Sumberdaya Alam Yang Muncul di Indonesia
a. Globalisasi Pertanian
Globalisasi secara teoritis penuh dengan tuntutan atas negara-negara yang
ingin (dipaksa harus) terlibat, seperti mengendurkan bea masuk, mengendurkan
proteksi, mengurangi subsidi, memangkas regulasi ekspor-impor, perburuhan,
investasi, dan harga, serta melakukan privatisasi atas perusahaan milik negara.
Kondisi tersebut tidak akan banyak membawa produk-produk lokal ke pasar
internasional. Sekalipun perusahaan - perusahaan TNCs (Trans Nasional
Cooperations) dibebani tanggungjawab sosial, namun fenomenanya tidak akan jauh
berbeda dengan pola kemitraan atau contract farming yang pada hakekatnya
bermodus eksploitasi. Dalam hal ini Indonesia yang tergolong sebagai negara
agraris, masih diliputi oleh konflik ini namun keterkaitannya terhadap globalisasi
pertanian yang marak terjadi.
Genderang globalisasi pertanian di Indonesia sesungguhnya telah dimulai
sejak pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan hongitochten, yaitu cara
perdagangan monopoli yang disertai dengan penghancuran kebun-kebun/hutan-
hutan rempah penduduk yang berani menyaingi monopoli perdagangan tersebut
(Satari, 1999). Pada tahun 1830 globalisasi semakin kentara dengan diterapkannya
kebijakan tanam paksa (cultur stelsel). Tanah sebagai sumberdaya alam yang
penting dikuasai oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang di desa diwakili Kepala
Desa dan dipinjamkan kepada petani, dan petani harus membayarnya. Pada tahun
1870 Pemerintah Kerajaan Belanda memberlakukan Undang-Undang Agraria
(Agrarische) sebagai pelumas masuknya modal swasta Eropa sebagai tonggak
pertanian modern (estate). Rakyat pedesaan yang semula merupakan petani mandiri
berubah status menjadi buruh perkebunan, dan berakhir di awal abad ke 19 (VOC
bangkrut).
Globalisasi pertanian di Indonesia memuncak pada era 1970-an, ketika
program Revolusi Hijau (Green Revolusion) intens diintroduksikan. Berbagai input
luar produk dari perusahaan-perusahaan TNCs dipaksakan kepada petani untuk
diterapkan. Puncaknya tercapai tahun 1985, yaitu swasembada beras. Setelah itu
intensitas dan eskalasi pasar input luar semakin menggila seiring dengan
dikembangkannya konsepsi agribisnis. Di penghujung abad 20, kebijakan
ekonomi makro Indonesia semakin jelas tepolarisasi pada pertumbuhan.
Implikasinya, alokasi sumberdaya untuk pembangunan pertanian tergeser oleh
sektor manufaktur sebagai sektor prioritas. Dengan demik ian, pembangunan yang
selayaknya “agriculture-led” menjadi di dominasi oleh pemba ngunan yang bersifat
“manufacturing industries-led”.
Meningkatnya respon negatif dari berbagai kalangan atas dampak negatif
program Revolusi Hijau tidak lantas membuat TNCs terhenti. Melalui sosialisasi
pada berbagai ruang publik, TNCs pun dapat melangkah dengan mulus lewat
pendekatan Agribisnis. Lewat pendekatan inilah senyatanya TNCs dapat dengan
mudah mengintegrasikan pasar nasional kedalam pasar internasional yang dikuasai
dan dikontrolnya. Melalui pendekatan Agribisnis dominasi TNCs diperhalus
dengan menghadirkan keragaman istilah yang sepertinya berbau pemerataan,
seperti Contrac Farming, Kemitraan (PIR, TRI), Rice Estate, Corporate Farming,
dan sebagainya. Dengan demikian, perbudakan dan pemarginalan petani menjadi
tidak kentara. Secara sosial praktis, TNCs pun menjadi baking para petani berdasi
dalam segala hal. Ini merupakan praktik efisiensi yang perlahan namun pasti akan
menyingkirkan para petani kecil (fenomenanya dapat kita saksikan pada usaha tani
sayuran di Dataran Tinggi, poultryshop, dsb).

b. Konflik Sumber Daya Alam di Riau sepanjang tahun 2008


Berdasarkan catatan Badan Pertanahan Nasional (BPN), sedikitnya ada
7.491 konflik agraria yang saat ini sedang ditangani BPN dan Kepolisian Republik
Indonesia. Tingginya konflik ini disebabkan oleh adanya ketimpangan penguasaan
sumber daya alam antara masyarakat yang menggantungkan hidup dari sumber
ekonomi berbasis sumber daya alam (tanah, hutan, perkebunan, jasa lingkungan
dll) dengan penguasaan oleh sektor bisnis, khususnya sektor industri
skala besar perkebunan, kehutanan dan pertambangan, dan penguasaan
oleh negara yang masih menegasikan adanya hak-hak masyarakat adat/lokal
(tenurial, tradisional, ulayat).
Untuk konteks di Provinsi Riau, Konflik-konflik tersebut terjadi didominasi
oleh maraknya penguasaan sumber daya alam oleh perkebunan besar kelapa sawit
dan Hutan Tanaman Industri untuk bahan baku industri bubur dan kertas (pulp dan
paper), disamping untuk kepentingan perlindungan kawasan hutan konservasi dan
lindung. Sepanjang tahun 2008, Scale Up mencatat sedikitnya ada 96 konflik
sumber daya alam, dengan luas lahan konflik 200.586,10 hektar. Wujud konflik
di lapangan bukan hanya terjadi antara 2 pihak, melainkan bisa lebih,
bahkan pemerintah seringkali juga sebagai pihak yang langsung terlibat, baik
sebagai pemicu maupun dalam posisi membela salah satu pihak ataupun dengan
alasan penegakan hukum positif, seperti dalam kasus penertiban masyarakat
kawasan konservasi.
Konflik di Industri Kehutanan (Hutan Tanaman Industri)

Hutan Tanaman Industri mulai berkembang di Riau hampir bersamaan


dengan Perkebunan, sebagai bentuk ekspansi setelah industri ini terlebih dahulu
eksis di Sumatera utara (PT. Inti Indo Rayon). Dalam praktek penguasaan sumber
daya alam, Hutan Tanaman Industri relatif lebih besar mendapat resistensi dari
masyarakat dibanding perkebunan, karena merupakan komoditi yang tidak
memiliki pasar yang bebas seperti kelapa sawit dan masa panennya 6-7 tahun sekali.
Makanya untuk mengatasi resistensi masyarakat, industri ini cendrung memperkuat
program sosialnya melalui Corporate social Responsibility (CSR). Walaupun pada
kenyataannya program CSR yang ada tetap saja belum efektif meredam konflik
dengan masyarakat sekitarnya. Di beberapa daerah konflik yang mendapat
perlawanan masyarakat cukup kuat, industri ini mencoba menyelesaikan
konflik dengan cara membangunkan kebun sawit atau karet untuk masyarakat
korban, dan menawarkan skema kerja sama dalam bentuk Hutan Tanaman Rakyat
(HTR).

Secara umum industri ini karena tingginya resistensi masyarakat,


relatif lebih memiliki beragam alternatif penyelesaian konflik dibandingkan
perkebunan kelapa sawit. Namun tetap saja tuntutan masyarakat korban
terhadap lahan mereka yang dikuasai perusahaan terjadi dimana-mana. Dalam
beberapa kasus menyebabkan bentrok fisik seperti yang terjadi baru-baru ini antara
masyarakat Dusun Suluk Bungkal Desa Beringin Kecamatan Pinggir Kabupaten
Bengkalis dengan Kepolisian Daerah Riau yang membantu PT. Arara Abadi
mengamankan lahannya dari okupasi masyarakat (Serikat Tani Riau).
Selama tahun 2008 Scale Up mencatat sedikitnya ada 24 konflik antara
masyarakat dengan sektor Kehutanan di Riau, dengan lahan konflik seluas 85.771
hektar. Konflik-konlfik yang ada merupakan konflik berkepanjangan yang terjadi
sejak tahun-tahun sebelumnya, tapi belum mendapatkan penyelesaian yang
memadai.Tentu saja hal ini menyebabkan warga miskin di pedesaan meningkat hal
ini dikarenakan kebijakan ekonomi pemerintah cenderung memfasilitasi penduduk
di perkotaan ketimbang warga desa. Pemerintah lebih mementingkan kegiatan di
sektor industri/jasa daripada sektor primer (pertanian) yang jadi gantungan hidup
mayoritas (43 persen) warga, terutama di pedesaan. Data-data menunjukkan,
sebagian besar rumah tangga petani (73,4 persen) adalah petani padi/palawija. Ini
menggambarkan dua hal sekaligus: sebagian besar petani miskin, dan sebagian
besar orang miskin itu petani. Konsep yang kita kenal tentang urban-rural linkages
tak berjalan. Akhirnya, kota makin perkasa, sedangkan desa justru kian merana.
Ini terjadi akibat kesalahan strategi industrialisasi. Bukannya membuat
sejahtera, industrialisasi malah memiskinkan sektor pertanian. Industrialisasi telah
menciptakan dualisme ekonomi: ekonomi padat modal, teknologi, dan modern di
perkotaan, dan ekonomi tradisional padat tenaga kerja di pedesaan. Tiadanya
keterkaitan di antara keduanya membuat kedua wilayah kian tertutup satu sama
lain. Ketidakseimbangan pembangunan antara Indonesia bagian barat dan timur,
khususnya antara Jawa dan non-Jawa, juga kian serius. Disparitas antardaerah ini
sudah terjadi sejak dulu, tapi hingga kini belum ada perbaikan. Pada 2010, kawasan
barat (Jawa+Sumatra) menguasai 81 persen PDB nasional dengan Jawa yang hanya
9 persen dari luas wilayah menguasai 58 persen PDB nasional. Jawa juga menjadi
sentra ekonomi sekunder dan tersier, sedangkan luar Jawa ekonomi primer.
Menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian/pedesaan memperlemah
kapasitas pertanian Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh makin meningkatnya
jumlah petani gurem dan rusaknya sumber daya pertanian, baik lahan, DAS,
maupun hutan. Menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian yang tidak
diimbangi kemampuan sektor ini dalam memberikan penghidupan layak bagi para
petani dan tenaga kerja pertanian bukan hanya meningkatkan pengangguran dan
kemiskinan di pedesaan serta meningkatkan kesenjangan desa-kota dan pertanian-
industri, tapi juga melumpuhkan seluruh perekonomian nasional. Kondisi ini akan
mempengaruhi kemampuan petani dan sektor pertanian dalam menopang pangan,
pakan, sandang-papan, dan bahan bakar secara berkesinambungan untuk menjamin
kualitas (jiwa, raga, dan kecerdasan) warga dan generasi mendatang.
Tanpa mengubah insentif ekonomi, dualisme ekonomi ini akan tetap
langgeng. Ke depan, sistem ekonomi harus dikembalikan kepada konstitusi.
Kekayaan alam yang dimiliki negeri ini harus dikelola untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Lalu, formulasi insentif fiskal seharusnya diarahkan sesuai
dengan kepentingan nasional. Sampai beberapa tahun ke depan, masalah
pengangguran dan kemiskinan masih akan menjadi isu terpenting, sehingga insentif
fiskal harus ditujukan untuk mengatasi dua soal itu. Karena itu, insentif fiskal harus
didorong untuk mengembangkan sektor pertanian, pertambangan, dan industri agar
pertumbuhan ekonomi tidak selalu ditopang sektor non-tradable.
PEMBAHASAN

Salah satu ciri penting dari negara berkembang seperti telah dijelaskan
adalah: perekonomiannya bersifat dualistik. Maksudnya, dalam perekonomian
kegiatan ekonomi dapat dibedakan kepada dua golongan: kegiatan ekonomi modern
dan kegiatan ekonomi tradisional. Beberapa pendapat telah dikemukakan tentang
akibat yang kurang menguntungkan dari adanya dualisme tersebut terhadap
kemungkinan untuk mengembangkan perekonomian, terutama yang masih
menjalankan kegiatan-kegiatannya secara tradisional. Analisis-analisis tersebut
pada dasarnya menunjukkan bahwa ciri ekonomi yang bersifat dualistik tersebut,
terutama dualisme sosial dan teknologi, menimbulkan keadaan-keadaan yang
menyebabkan mekanisme pasar tidak berfungsi secara semestinya. dan
ketidaksempurnaan mekanisme pasar ini selanjutnya mengakibatkan sumber daya
yang tersedia tidak digunakan secara efisien.
Indonesia pada dasarnya adalah negara agraris, negara dengan sumberdaya
dasar pertanian. Dengan demikian, pembangunan (ekonomi) Negara ini
seharusnya berkembang atas dasar kemampuan sumberdaya pertaniannya.
Perjalanan sejarah sejak kemerdekaan memang menunjukkan berbagai dinamika
pembangunan ekonomi nasional bangsa ini. Ada pasang dan ada pula surutnya.
Berbagai catatan kisah sukses pertanian pernah dilalui, sejak peningkatan
produksi dan produktivitas berbagai komoditas baik tanaman pangan,
perkebunan, peternakan, hortikultura maupun perikanan, hingga tercapainya
swasembada pangan beras dan gula di tahun 80-an. Sebaliknya kerumitan
permasalahan tidak juga semakin reda, sejak masalah-masalah infrastruktur,
kelembagaan, tataniaga, SDM, ketenagakerjaan, hingga kepada masalah kesiapan
memasuki globalisasi dan daya saing.
Pertanian dalam berbagai masa GBHN senantiasa menjadi backbone
strategi pembangunan ekonomi nasional. Berbagai persoalan besar bangsa
seperti peningkatan ketahanan pangan, pertumbuhan ekonomi dan wilayah,
kesempatan kerja, peningkatan ekspor, dan pemeliharan lingkungan, ditumpukan
pada kinerja pembangunan pertanian. Sungguh besar peran strategis ekonomi
pertanian dilihat dari kacamata tersebut. Namun ironisnya, sampai saat ini,
hampir 60 tahun sejak kemerdekaan justru catatan tingkat pendapatan dan
kesejahteraan para petani, peternak, pekebun dan nelayan tidak pernah beranjak
lebih baik secara riil dibandingkan pelaku pembangunan lainnya. Nilai tukar
penghasilan riil mereka stagnan atau justru semakin menurun, kesempatan
berusaha di bidang pertanian semakin sulit dan rumit karena semakin
menyempitnya sumberdaya fisiknya, infrastruktur dan teknologi yang cenderung
tidak bertambah dan tidak bersaing, serta lingkungan internal maupun eksternal
yang semakin tidak friendly terhadap pertanian.
Globalisasi pertanian secara kausalistik muncul sebagai respon atas tesis
Malthus (1766-1834). Ini merupakan perwujudan dari idiologi kapitalistik yang
berkarakter efisiensi (profit maxization), competition for gain, freedom, un-
security, dan un-sustainability (sementara) yang eksis dalam naungan prudence
atau the invisible hand (Adam Smith). Un-security inilah yang mendorong
revolusi industri, pencarian dan penaklukkan, imperialisme atau kolonialisme di
dunia, dan penemuan lewat rekayasa genetik. Pada dasarnya, un-security-lah yang
melandasi semangat evolusi, dan social darwinisme. Globalisasi secara teoretis
penuh dengan tuntutan atas negara-negara yang ingin (dipaksa harus) terlibat,
seperti mengendurkan bea masuk, mengendurkan proteksi, mengurangi subsidi,
memangkas regulasi ekspor-impor, perburuhan, investasi, dan harga, serta
melakukan privatisasi atas perusahaan milik negara. Kondisi tersebut tidak akan
banyak membawa produk-produk lokal ke pasar internasional. Sekalipun
perusahaan-perusahaan Trans National Corporations (TCNs) dibebani tanggung
jawab sosial, namun fenomenanya tidak akan jauh berbeda dengan pola kemitraan
atau contract farming yang pada hakekatnya bermodus eksploitasi.
Syarat-syarat yang ditetapkan sesungguhnya merupakan perangkap yang
sulit ditembus oleh negara dunia ketiga. Kecenderungannya akan mempercepat
proses penurunan daya saing produk lokal. Pada perkembangnnya, segala sesuatu
yang berbau lokal akan melemah dan hilang. Mahatir (Kompas, 5/2/2004)
berpendapat bahwa pengintegrasian perekonomian dunia hanya akan membawa
malapetaka bagi negara berkembang. Itu bukan hanya merusak ekonomi lokal,
tetapi juga akan menciptakan perlambatan ekonomi, anarki ekonomi, dan
kekacauan sosial (social chaos).
Mander, Barker, dan Korten (2003) menyatakan bahwa globalisasi ekonomi
justru menciptakan kon disi sebaliknya dari klaim para penganjurnya. Kegagalan
itu tidak hanya disuarakan oleh oposisi tetapi juga oleh para pendukungnya. UNDP
(1999) melaporkan bahwa ketimpangan antar petani kaya dengan petani miskin
semakin meluas setelah diberlakukannya globalisasi. Adalah sistem perdagangan
dan sistem keuangan global sebagai biang keroknya. Menurut CIA, globalisasi
tidak menyentuh kaum miskin, termasuk petani gurem (peasant) yang jumlahnya
sangat dominan di Indonesia. Globalisasi cenderung menghancurkan tatanan dan
modal -modal sosial. Meskipun gagasannya di tuangkan dalam kerangka
pemberdayaan masyarakat sebagai penampakan corporate social responsibility
TNCs, namun hasilnya tetap tidak pernah terwujud.
Menurut Pollnac (1988) dan Garkovich (1989), menghadirkan sebuah
lembaga baru dalam suatu masyarakat dengan maksud memotong struktur
hubungan atau jaringan (sosial, komunikasi, kerja) yang telah terpola atau
berlangsung mapan, merupakan skenario yang tidak mengindahkan karakterist ik
sosio-budaya dan pranata lokal, dan dengan ini kegagalan bisa terjadi. Hasil
penelitian FAO atas negara-negara yang mengimplementasikan kesepakatan
putaran uruguay di 16 negara menunjukkan telah terjadinya trend konsentrasi
pertanian yang jelas berakibat pada marginalisasi petani kecil, meningkatnya
pengangguran dan angka kemiskinan.
Impor berbagai produk dan bahan baku pertanian kian hari kian meningkat.
Meskipun jumlah produk pertanian yang diekspor dan dipasarkan di pasar domestik
jauh lebih tinggi daripada impor, namun selisih nilainya hanya 2 persen (Khudori,
2003). Nilai 2 persen sesungguhnya tidak berarti, karena jika dianalisis, nilai
transaksi berjalan produk pertanian Indonesia itu sesungguhnya devisit. Betapa
tidak, produk pertanian yang diekspor oleh Indonesia sesungguhnya adalah
produk yang padat dengan input luar (impor). Keunggulan produk tersebut jelas
sangat bersifat kompetitif semu (shadow competitivenes). TNCs sebagai pihak
yang paling tahu akan efisiensi memandang bahwa proses produksi usaha tani (on-
farm) sangat rentan terhadap risiko dan ketidakpastian, untuk itu ia menerapkan
strategi kemitraan atau contarc farming.
Memang sebagai “pemaklun” yang sangat ketergantungan, petani Indonesia
masih merasakan keuntungan. Sebagaimana dikatakan Evans (1979) dan Warren
(1980), negara ketiga bisa menikmati kemajuan meskipun berada dalam kondisi
ketergantungan, suatu proses yang disebutnya sebagai “dependent development”.
Namun keuntungan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya dan
kerugian yang harus ditanggung, seperti perkembangannya, tesis Malthus
bersimbiosis dengan keyakinan dan mitos efficiency sebagai satu-satunya prinsip
dasar yang har us dipergunakan dalam pengelolaan lingkungan alam, ekonomi, dan
berbangsa. Mitos tersebut kemudian berlanjut pada mitos lain, bahwa hanya Trans
National Corporations (TNCs) yang memiliki jaringan pemasaran internasional
yang sudah mapan-lah yang paling efisien, dan oleh karenanya TNC lah yang
dipercaya dan ditaklidi sebagai pihak yang paling berhak sebagai penyedia pangan
dunia.
Dalam hal ini kaitan dualisme ekonomi terhadap globalisasi pertanian adalah
meningkatnya peluang kelangkaan produksi komoditas-komoditas pertanian.
Dalam kondisi tersebut, prioritas pembangunan pertanian diarahkan kepada
peningkatan produksi dan pemenuhan serta pencapaian kecukupan bahan panga,
terutama beras. Namun, peningkatan produksi saja ternyata sulit untuk
meningkatkan kesejahteraan petani di pedesaan. Oleh karena itu, sejak tahun 1994
paradigma pembangunan pertanian mengalami perubahan dari pendekatan
produksi menjadi pembangunan pertanian berorientasi agribisnis. Permasalahan
mendasar bangsa ternyata sebagian besar berada pada petani dan masyarakat
perdesaan yaitu kemiskinan, keterbelakangan, ketidakberdayaan dan
pengangguran. Lebih lanjut disampaikan sebuah tawaran untuk pemecahan
masalah mendasar bangsa tersebut yaitu dengan mengupayakan profit center berada
pada petani. Prinsip tersebut seyogyanya merupakan paradigma pembangunan
pertanian pada saat ini dan di masa depan yang harus dihayati dan menjadi acuan
operasional bagi seluruh pemangku kepentingan.
Faktor-faktor internal yang dominan mempengaruhi kemampuan petani
dalam meningkatkan kesejahteraannya antara lain adalah masalah penguasaan
sumberdaya, terutama: (1). Sumberdaya alam, (2). Teknologi, khususnya teknologi
pasca panen dan pengolahan hasil, (3). Modal dan (4). Informasi, khususnya
informasi pasar, akses kepada teknologi dan modal. Sedangkan faktor eksternal
antara lain menyangkut:
(1). System pembinaan,
(2). Kebijakan ekonomi makro,
(3). Kebijakan khusus, seperti kebijakan perdagangan menyangkut komoditas
tertentu, dan
(4). Perubahan lingkungan strategis yang potensial menjadi tantangan dan
menimbulkan permasalahan bagi petani. Dari permasalahan yang telah
dikemukakan menunjukkan bahwa peluang bagi petani di perdesaan
untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui perolehan nilai tambah
hasil pertanian dapat terlaksana apabila petani di perdesaan dapat
menguasai proses pengolahan dan pemasaran komoditas yang
diusahakan, atau penerapan system agribisnis secara utuh.
Mencermati situasi di atas, jelas sangat diperlukan upaya-upaya
pengembangan agribisnis yang lekat dengan peningkatan pemberdayaan
(empowering) masyarakat agribisnis terutama skala mikro dan kecil dalam suatu
kebijakan yang “berpihak”. Keberpihakan kebijakan semacam itu sangat (baca:
mutlak) diperlukan untuk mengatasi berbagai kendala dan tantangan
pengembangan agribisnis yang beriorentasi ekonomi kerakyatan keadilan, dan
sekaligus meningkatkan daya saing dalam iklim “kebersamaan” pelaku - pelaku
ekonomi lainnya. Untuk itu, sebagai prasyarat keharusan diperlukan suatu iklim
kebijakan yang mendorong terbangunnya institusi (kelembagaan) yang mampu
meningkatkan posisi petani menjadi bagian dari suatu kebersamaan entitas
bisnis, baik dalam bentuk kelompok usaha bersama, koperasi, korporasi
(community corporate) ataupun shareholder. Upaya kelembagaan tersebut
diyakini akan dapat menjadi nilai (value) baru, semangat baru bagi petani
untuk terutama dapat melonggarkan keterbatasan-keterbatasannya, seperti akses
terhadap sumberdaya produktif (terutama lahan), peningkatan produktivitas kerja,
akses terhadap pelayanan dan rasa keadilan, serta meningkatkan rasa percaya diri
akan lingkungan yang aman, adil dan transparan.
KESIMPULAN

Tiga permasalahan pokok yang dihadapi oleh negara sedang berkembang


adalah sebagai berikut: berkembangnya ketidakmerataan pendapatan, kemiskinan,
gap atau jurang perbedaan yang semakin lebar antara negara maju dengan negara
sedang berkembang. Berdasarkan teori J.H. Boeke tentang dualisme ekonomi di
negara berkembang dimana bergantung pada anugerah alami suatu negara terhadap
sumber daya untuk pertumbuhan ekonomi dan pembangunan karena dalam
ekonomi berkembang, modal alami mungkin hanya sumber modal yang tersedia
langsung dari alam.
Adapun dikarenakan Indonesia negara agraris maka kasus dualisme ekonomi
didominasi atas globalisasi pertanian yang telah dimulai sejak pemerintah kolonial
Belanda menerapkan kebijakan hongitochten, yaitu cara perdagangan monopoli
yang disertai dengan penghancuran kebun/hutan rempah penduduk yang berani
menyaingi monopoli perdagangan tersebut disingkirkan sehingga menimbulkan
konflik karena ketimpangan penguasaan sumber daya alam. Oleh karena itu untuk
meminimalisir dampak negative dari globalisasi dan konflik pertanian yang terjadi
diperlukan upaya pengembangan agribisnis yang lekat dengan peningkatan
pemberdayaan (empowering) masyarakat agribisnis terutama skala mikro dan
kecil dalam suatu kebijakan yang “berpihak”.
DAFTAR PUSTAKA

Ramon Lopez and Michael A. Toman. Economic Development And Environmental

Sustainability. Oxford : The Initiative for Policy Dialogue Series

Endang Mulyani,dkk. 2007. Ekonomi Pembangunan. Jakarta : Universitas Terbuka

M.L.Jhigan.1994. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada

Ahmad Zazali dan Hary Oktavian. “Konflik Sumber Daya Alam, Ancaman

Keberlanjutan

(Catatan Kritis Akhir Tahun 2008)”. 2 November 2011.fe-unimal.org

Abbas, Tarmizi. “Modal Manusia dan Pertumbuhan Ekonomi”. 2 November 2011.

elib.pdii.lipi.go.id

Alan. “Alam dan Teknologi”. 2 November 2011. kerohanianpskh.multiply.com

“Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat Adat”. 2 November.

dte.gn.apc.org

“Mengurangi Belenggu Ekonomi Dualistik”. 2 November 2011.

tempointeraktif.com

Setiawan, Iwan. “Dampak Globalisasi Terhadap Pertanian Indonesia”. 2

November. pustaka.unpad.ac.id

“Renstra Dirjen PPHP”. 2 November 2011. diperta.ntbprov.go.id

Anda mungkin juga menyukai