Anda di halaman 1dari 19

IMPLEMENTASI PHT BERUPA BERBAGAI STRATEGI

PENGENDALIAN ULAT GRAYAK (Spodoptera litura


Fabricius) PADA TANAMAN KEDELAI
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengendalian Terpadu Hama dan
Penyakit Tanaman

KELOMPOK 2
AGROTEKNOLOGI C

Fitria Riani 150510120011


Sheilla Fauzia Rahmi 150510120084
Arif Affan Wicaksono 150510120107
Hilda Sandra Utami 150510120111

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2014
IMPLEMENTASI PHT BERUPA BERBAGAI STRATEGI
PENGENDALIAN ULAT GRAYAK (Spodoptera litura Fabricius) PADA
TANAMAN KEDELAI
----------------------------------------------------------------------------------------------
ABSTRAK
Kedelai merupakan komoditas tanaman pangan yang sangat dibutuhkan setelah padi dan
jagung. Kebutuhan kedelai di Indonesia rata-rata sekitar 2,20 ton/tahun. Dari jumlah yang
harusnya tersedia, produksi kedelai dalam negeri hanya mampu mencukupi 35-40%,
sedangkan sisanya diperoleh dari impor. Maka pemerintah melalui berbagai programnya
berupaya keras meningkatkan produksi kedelai nasional agar mencapai swasembada pada
tahun 2010-2012. Salah satu yang dapat menghambat produksi kedelai adalah serangn hama
ulat grayak (Spodoptera litura). Kehilangan hasil yang diakibatkannya dapat mencapai 80%,
dan serangan beratnya menyebabkan puso (gagal panen). Pengendalian ulat grayak pada
tanaman kedelai di tingkat petani umumnya masih berpegang pada insektisida, akan tetapi
hal itu kurang efektif. Untuk mengantisipasi ancaman serangan ulat grayak, perlu diketahui
biologi tingkat kerusakan, kehilangan hasil, dan cara pengendaliannya di tingkat petani agar
mampu menyusun strategi pengendalian yang tepat. Pengendalian ulat grayak dapat
dilaksanakan dengan menerapkan Pengendalian Hama Terpadu (PHT), yakni dengan
menggunakan komponen PHT yang kompatibel berlandaskan azas ekologi dan ekonomi.

Kata kunci: Kedelai, Ulat grayak, Spodoptera litura, pengendalian hama terpadu
----------------------------------------------------------------------------------------------

I. PENDAHULUAN
Kedelai merupakan komoditas tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan
jagung. Selain itu, kedelai juga merupakan tanaman palawija yang kaya akan protein yang
memiliki arti penting dalam industri pangan dan pakan. Kedelai berperan sebagai sumber
protein nabati yang sangat penting dalam rangka peningkatan gizi masyarakat karena aman
bagi kesehatan dan murah harganya. Kebutuhan kedelai terus meningkat seiring dengan
pertumbuhan jumlah penduduk dan kebutuhan bahan industri olahan pangan seperti tahu,
tempe, kecap, susu kedelai, tauco, snack, dan sebagainya.

2
Kebutuhan kedelai di Indonesia mencapai 2,20 ton/tahun. Dari Dari jumlah yang
harusnya tersedia, produksi kedelai dalam negeri hanya mampu mencukupi 35-40%,
sedangkan sisanya diperoleh dari impor. Kenaikan harga kedelai di pasar global yang bahkan
mencapai 100% ikut mempengaruhi fluktuasi harga di dalam negeri, yakni dari sekitar Rp
3.500/kg pada akhir tahun 2007 dan menjadi Rp 7.500/kg pada awal tahun 2008. Harga yang
meningkat tajam pada akhirnya akan turut serta menaikkan harga bahan pangan berbahan
dasar kedelai seperti tahu dan tempe (Deptan, 2008). Kenaikan harga diharapkan menjadi
motivasi bagi para petani agar kembali menanam kedelai yang sebelumnya dinilai tidak
menguntungkan. Selain itu juga melalui berbagai program, pemerintah terus berupaya keras
meningkatkan produksi kedelai yang bertujuan untuk mencapai swasembada pada tahun
2010-2012.
Salah satu ancaman yang dapat menghambat produksi kedelai adalah adanya
serangan hama. Serangga yang berasosiasi dengan tanaman kedelai di Indonesia mencapai
266 jenis, yang terdiri atas 111 jenis hama, 53 jenis serangga kurang penting, 61 jenis
serangga predator, dan 41 jenis serangga parasit (Okada et al. 1988). Dari 111 jenis serangga
hama tersebut, 50 jenis tergolong hama perusak daun, namun yang berstatus hama penting
hanya 9 jenis (Arifin dan Sunihardi 1997). Berdasarkan hasil identifikasi terhadap 9 jenis
serangga hama pemakan daun, ulat grayak (Spodoptera litura) merupakan salah satu yang
utama. Kehilangan hasil yang diakibatkannya dapat mencapai 80% dan bahkan puso (gagal
panen) jika tidak segera dikendalikan. Usaha pengendalian hama di tingkat petani masih
berpegang pada insektisida, akan tetapi jauh dari efektif.
Untuk mengantisipasi ancaman serangan ulat grayak pada tanaman kedelai perlu
diketahui: 1) perkembangan ekobiologi populasi hama, 2) tingkat kerusakan tanaman yang
terserang, 3) distribusi atau luas serangan, 4) ekosistem pendukung, dan 5) arti ekonomi
kerusakan tanaman terhadap hasil. Identifikasi morfologi dan biologi penting agar dapat
menyusun strategi pengendalian yang tepat.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Hama dan Penyakit Tanaman yang Menyerang Kedelai
Pada dasarnya hama tanaman terbagi menjadi tiga golongan yaitu serangga,
vertebrata, dan tungau. Hama serangga selanjutnya digolongkan kembali berdasarkan
jenjang fungsionalnya antara lain : serangga pemakan bahan organik, herbivor, predator,
parasitoid, penyerbuk, dan netral (wisatawan atau yang hanya tinggal sementara dalam suatu

3
pertanaman). Organisme ini bersifat merugikan apabila keberadaannya di atas ambang batas
ekonomi. Beberapa jenis hama yang menyerang tanaman kedelai dan menurunkan hasil
produksinya adalah sebagai berikut.
1. Aphis spp (Aphis glycine)
Hama ini merupakan kutu dewasa berukuran kecil 1-1,5 mm berwarna hitam,
ada yang bersayap dan tidak. Kutu ini dapat dapat menularkan virus SMV (Soybean
Mozaic Virus). Menyerang pada awal pertumbuhan dan masa pertumbuhan bunga
dan polong. Gejala yang ditimbulkan pada tanaman kedelai yang diserang adalah
layu dan pertumbuhannya terhambat.
2. Melano Agromyza phaseoli
Hama ini berukuran kecil sekali sekitar 1,5 mm. Prose penyerangan dilakukan
saat alat bertelur pada leher akar, larva masuk ke dalam batang memakan isi batang,
kemudian menjadi lalat dan bertelur kembali. Hama ini lebih berbahaya bagi kedelai
yang ditanam di ladang.
3. Kumbang daun tembukur (Phaedonia inclusa)
Hama jenis ini bertubuh kecil, hitam bergaris kuning dan bertelur pada
permukaan daun. Larva dan kumbang memakan daun, bunga, pucuk, polong muda,
bahkan seluruh tanaman.
4. Cantalan (Epilachana soyae)
Kumbang berwarna merah dan larvanya yang berbulu duri, pemakan daun dan
merusak bunga.
5. Ulat polong (Etiela zinchenella)
Ulat yang berasal dari kupu-kupu ini bertelur di bawah daun buah. Setelah
menetas, ulat masuk ke dalam buah sampai besar, memakan buah muda. Gejala yang
ditimbulkan berupa lubang kecil pada buah. Apabila penyerangan terjadi saat buah
masih hijau, polong bagian luar berubah warna serta di dalam polong terdapat ulat
gemuk hijau dan kotorannya.
6. Kepala polong (Riptortis lincearis)
Hama ini menyerang tanaman kedelai dan menimbulkan gejala berupa bercak
hitam dan polong menjadi hampa.
7. Lalat kacang (Ophiomyia phaseoli)
Hama lalat kacang menyerang tanaman kedelai muda yang baru tumbuh.
Menyerang tanaman muda yang baru tumbuh.
8. Kepik hijau (Nezara viridula)

4
Hama kepik hijau memliki panjang tubuh sebesar 16 mm, bertelur di bawah
permukaan daun dan berkelompok. Setelah 6 hari telur menetas menjadi nimfa
(kepik muda) yang berwarna hitam bintik putih. Pagi hari berada di atas daun, saat
matahari bersinar turun ke polong, memakan polong dan bertelur. Umur kepik dari
telur hingga dewasa antara 1 sampai 6 bulan.
Gejala yang ditimbulkan saat hama ini menyerang tanaman kedelai adalah
polong dan biji mengempis serta kering. Selain itu, biji bagian dalam atau kulit
polong berbintik coklat.
9. Ulat grayak (Prodenia litura)
Hama ini menyerang tanaman kedelai secara mendadak dan dalam jumlah
besar. Bermula dari kupu-kupu berwarna keabu-abuan, panjang 2 cm dan sayapnya
3-5 cm, bertelur di permukaan daun. Tiap kelompok telur terdiri dari 350 butir.
Gejala yang ditimbulkan berupa kerusakan pada daun, ulat hidup bergerombol,
memakan daun, dan berpencar mencari rumpun lain.
Sedangkan OPT lain yang menyerang tanaman kedelai dan berpengaruh terhadap
produktivitasnya adalah penyakit. Beberapa penyakit tanaman kedelai yang pada umumnya
ditemukan di lapangan diantaranya :
1. Layu bakteri (Pseudomonas solanacearum)
Penyakit ini menyerang pangkal batang. Penyerangan pada saat tanaman
berumur 2-3 minggu dan penularan melalui tanah dan irigasi. Gejala yang
ditimbulkan berupa layu mendadak apabila kelembaban terlalu tinggi dan jarak
tanam rapat.
2. Penyakit layu (Sclerotium rolfsii)
Penyakit ini menyerang tanaman pada umur 2-3 minggu, saat udara lembab,
dan tanaman berjarak tanam pendek. Gejala yang ditimbulkan berupa daun sedikit
demi sedikit layu dan menguning.
3. Penyakit lapu (Witches Broom: Virus)
Penyakit ini menyerang polong menjelang proses pengisian polonh. Penularan
melalui singgungan tanam karena jarak tanam terlalu dekat. Gejala yang ditimbulkan
dapat dilihat dari bunga, buah dan daun mengecil.
4. Penyakit anthraknosa (Colletotrichum glycine mori)
Penyakit ini menyerang daun dan polong yang telah tua. Penularan dengan
perantaraan biji-biji yang telah kena penyakit, lebih parah jika cuaca cukup lembab.
Gejala yang ditimbulkan yaitu daun dan polong memiliki bintik-bintik kecil

5
berwarna hitam, daun yang paling rendah rontok, serta polong muda yang terserang
hama menjadi kosong dan isi polong tua menjadi kerdil.
5. Penyakit karat (Cendawan phakospora Phachyrizi)
Penyakit ini menyerang daun tanaman kedelai. Penularan dengan perantaraan
angin yang menerbangkan dan menyebarkan spora. Gejala yang ditimbulkan berupa
daun tampak bercak dan bintik coklat.
6. Penyakit bercak daun bakteri (Xanthomonas phaseoli)
Penyakit ini menyerang daun. Gejala yang ditimbulkan berupa permukaan
daun yang memiliki bercak-bercak menembus ke bawah.
7. Penyakit busuk batang (Phytium sp)
Penyakit ini menyerang batang tanaman kedelai. Penularan melalui tanah dan
irigasi. Gejala yang ditimbulkan berupa batang menguning kecoklat-coklatan dan
basah, kemudian membusuk dan mati.
8. Virus mosaik (virus)
Penyakit ini menyerang daun dan tunas tanaman. Penularan vektor penyebar
virus ini adalah Aphis glycine (sejenis kutu daun). Gejala yang ditimbulkan berupa
perkembangan dan pertumbuhan lambat, tanaman menjadi kerdil.
Berdasarkan hasil identifikasi terhadap berbagai jenis hama dan penyakit yang
menyerang, ulat grayak (Spodoptera litura) merupakan salah satu jenis hama pemakan daun
yang sangat penting. Dan dapat dikatakan sebagai OPT dominan dalam menurunkan hasil
produksi tanaman kedelai. Kehilangan hasil akibat serangan hama tersebut dapat mencapai
80%, bahkan puso jika tidak dikendalikan. Usaha pengendalian hama di tingkat petani
hingga kini masih mengandalkan insektisida, namun kurang efektif. Oleh karena itu
diperlukan pengendalian hama terpadu yang efektif dengan mengetahui terlebih dahulu
analisis bioekologi OPT seperti dibawah ini.

Bioekologi Ulat Grayak


Langkah kedua yang perlu diperhatikan dalam implementasi PHT adalah analisis
bioekologi dari OPT itu sendiri. Dalam hal ini organisme yang dominan mengganggu bahkan
menurunkan produktivitas tanaman kedelai adalah hama ulat grayak.
Menurut sistematika klasifikasi, ulat grayak termasuk dalam ordo Lepidoptera, famili
Noctuidae, genus Spodoptera dan spesies litura. Hama ini bersifat polifag atau mempunyai
kisaran inang yang cukup luas atau banyak inang, sehingga agak sulit dikendalikan.
Tanaman inang dari hama ini diantaranya kedelai, cabai, kubis, padi, jagung, tomat, tebu,

6
buncis, jeruk, tembakau, bawang merah, terung, kentang, kacangkacangan (kedelai, kacang
tanah),
Strategi pengendalian hama yang efektif dapat disusun dengan mempelajari
bioekologi hama. Cakupan bioekologi adalah sebagai berikut.
1. Morfologi dan Biologi Hama
Ulat grayak memiliki sayap ngengat bagian depan berwarna coklat atau
keperakan dan sayap belakang berwarna keputihan dengan bercak hitam
(Gambar. 1c). Kemampuan terbang ngengat pada malam hari mencapai 5 km.
Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian dasar melekat pada daun
(kadang-kadang tersusun dua lapis), berwarna coklat kekuningan, diletakkan
berkelompok masing-masing 25−500 butir. Telur diletakkan pada bagian daun
atau bagian tanaman lainnya, baik pada tanaman inang maupun bukan inang.
Bentuk telur bervariasi. Kelompok telur tertutup bulu seperti beludru yang
berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina, berwarna kuning
kecoklatan.
Larva mempunyai warna yang bervariasi, memiliki kalung (bulan sabit)
berwarna hitam pada segmen abdomen keempat dan kesepuluh (Gambar. 1b).
Pada sisi lateral dorsal terdapat garis kuning. Ulat yang baru menetas berwarna
hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklatan, dan hidup berkelompok
(Gambar 1a). Beberapa hari setelah menetas (bergantung ketersediaan makanan),
larva menyebar dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya. Pada siang
hari, larva bersembunyi di dalam tanah atau tempat yang lembap dan menyerang
tanaman pada malam hari atau pada intensitas cahaya matahari yang rendah.
Biasanya ulat berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar.
Warna dan perilaku ulat instar terakhir mirip ulat tanah Agrothis ipsilon,
namun terdapat perbedaan yang cukup mencolok, yaitu pada ulat grayak terdapat
tanda bulan sabit berwarna hijau gelap dengan garis punggung gelap memanjang.
Pada umur 2 minggu, panjang ulat sekitar 5 cm. Ulat berkepompong di dalam
tanah, membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon), berwarna coklat kemerahan
dengan panjang sekitar 1,60 cm. Siklus hidup berkisar antara 30−60 hari (lama
stadium telur 2−4 hari). Stadium larva terdiri atas 5 instar yang berlangsung
selama 20−46 hari. Lama stadium pupa 8− 11 hari. Seekor ngengat betina dapat
meletakkan 2.000−3.000 telur.

7
Ulat grayak tersebar luas di Asia, Pasifik, dan Australia. Di Indonesia,
hama ini terutama menyebar di Nanggroe Aceh Darussalam, Jambi, Sumatera
Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua.

Gambar 1. Kelompok telur (a), ulat instar 3 (b), dan imago ulat grayak (c).

2. Gejala Serangan
Larva ulat grayak yang masih muda merusak daun dengan meninggalkan
sisa-sisa epidermis bagian atas (transparan) dan tulang daun. Larva instar lanjut
merusak tulang daun dan kadang-kadang menyerang polong. Biasanya larva
berada di permukaan bawah daun dan menyerang secara serentak dan
berkelompok. Serangan berat menyebabkan tanaman gundul karena daun dan
buah habis dimakan ulat (Gambar. 2). Serangan berat pada umumnya terjadi pada
musim kemarau, dan menyebabkan defoliasi daun yang sangat berat.

Gambar 2. Gejala serangan ulat grayak pada daun kedelai.

3. Ekosistem Pemicu Serangan Ulat Grayak Pada Kedelai

8
Tanaman kedelai di lahan sawah biasanya diusahakan setelah padi. Pola
tanam yang diterapkan petani bergantung pada ada atau tidaknya ketersediaan
air. Pola tanam yang umum dilakukan meliputi padi-padi-kedelai, padi kedelai-
kedelai atau padi-kedelai. Pola terakhir umumnya diterapkan pada lahan tadah
hujan atau berpengairan terbatas. Penanaman kedelai pada pola tanam kedua atau
ketiga atau jatuh pada musim kering akan memicu serangan hama khususnya ulat
grayak.
Situasi dan kondisi yang memicu pertumbuhan populasi ulat grayak
diantaranya:
a. Cuaca panas
Pada kondisi kering dan suhu tinggi, metabolisme serangga hama
meningkat sehingga memperpendek siklus hidup. Akibatnya jumlah telur
yang dihasilkan meningkat dan akhirnya mendorong peningkatan populasi.
Oleh karena itu, intensitas serangan ulat grayak pada pertanaman kedelai
musim tanam ketiga (musim kemarau II) umumnya lebih tinggi dibanding
pada musim hujan.
b. Penanaman tidak serentak dalam satu areal yang luas
Penanaman kedelai yang tidak serentak menyebabkan tanaman berada
pada fase pertumbuhan yang berbeda-beda sehingga makanan ulat grayak
selalu tersedia di lapangan. Akibatnya, pertumbuhan populasi hama makin
meningkat karena makanan tersedia sepanjang musim.
c. Aplikasi insektisida.
Pengaplikasian insektisida yang kurang tepat baik jenis maupun
dosisnya, dapat mematikan musuh alami serta meningkatkan resistensi dan
resurgensi hama. Aplikasi insektisida dengan dosis tinggi dapat memicu
timbulnya resistensi hama terhadap insektisida, sedangkan aplikasi
insektisida pada dosis sublethal dapat menyebabkan timbulnya resurgensi.
Oleh karena itu, pengendalian yang hanya mengandalkan pada
penggunaan berbagai jenis insektisida mengakibatkan sebagian besar populasi
ulat grayak di lapangan berubah menjadi strain yang mempunyai resistensi
silang, seperti yang terjadi di Pakistan (Ahmad et al. 2008), Cina (Huang dan
Han 2007), dan Indonesia (Marwoto dan Bejo 1997). Adanya berbagai strain
ulat grayak menyebabkan pengendalian dengan insektisida sering dikatakan
tidak efektif.

9
Dalam rangka pengendalian ulat grayak pada tanaman kedelai, kondisi
lingkungan dan cara tanam perlu diatur sedemikian rupa sehingga tidak sesuai
bagi pertumbuhan dan perkembangan hama. Beberapa mekanisme alami dapat
bekerja secara efektif dan efisien dalam ekositem sebagai upaya menjaga
kelestarian dan keseimbangan ekologi untuk menekan populasi suatu hama.
Mekanisme alami tersebut meliputi predatisme, parasitisme, patogenitas,
persaingan intra/interspesies, suksesi, produktivitas dan stabilitas. Jaring-jaring
makanan merupakan unsur ekosistem yang cukup penting dalam pengelolaan
hama.
Selain itu berbagai praktek budidaya yang sering memicu timbulnya
masalah hama adalah sebagai berikut:
 Waktu tanam
Waktu tanam yang tidak seragam sering menimbulkan masalah hama
karena stadia pertumbuhan tanaman yang dikehendaki hama selalu
ada.
 Benih
Keberhasilan usaha tani kedelai salah satunya bergantung pada benih,
terutama daya tumbuh dan kesehatan benih. Penggunaan benih yang
kurang sehat menghasilkan tanaman yang mudah terserang hama dan
penyakit.
 Ketersediaan air
Kerusakan tanaman akibat serangan hama akan makin parah jika
terjadi kekurangan air.
 Kondisi kesuburan tanah
Pada tanah yang subur, tanaman dapat tumbuh dengan vigor yang baik
dan akan meningkatkan preferensi serangga hama. Tanaman yang
tumbuh pada tanah yang kurang subur memiliki vigor yang kurang
baik, dan apabila terserang hama, tanaman menjadi rusak berat
sehingga hasil menurun.
 Keragaman cara pengendalian hama dan penyakit
Pengendalian hama yang dilakukan secara individual, bukan atas
dasar musyawarah kelompok, akan menyulitkan pengendalian hama
pada satu hamparan. Keragaman teknik budi daya yang diterapkan

10
petani perlu mendapat perhatian dalam upaya pengendalian ulat
grayak berdasarkan atas pertimbangan ekosistem.

III. PEMBAHASAN
Daya rusak dan Kehilangan Hasil Akibat Ulat Grayak
Gangguan hama merupakan salah satu masalah dan ancaman utama terhadap
peningkatan produksi kedelai di Indonesia khusunya. Spodoptera litura sebagai salah satu
jenis hama ter[enting yang mampu merusak daun kedelai dibandingkan dengan hama
perusak daun lainnya, mampu mengakibatkan kehilangan hasil tanaman kedelai hingga 80%
bahkan puso atau kehilangan panen jika petani tidak mampu mengendalikannya. Tingkat
kehilangan hasil bergantung terhadap varietas yang digunakan, fase pertumbuhan, dan waktu
serangan. Hama S. litura ini merupakan hama yang bersifat polifag atau dapat menyerang
berbagai jenis tanaman seperti pangan, sayuran, dan buah-buahan dan serangga migrasi yang
menimbulkan kerusakan serius pada pertanaman kedelai. Maka, kehadirannya sangat perlu
diwaspadai, karena dapat menyerang tanaman pada berbagai fase seperti fase vegetative (11-
30 HST), fase pembungaan dan awal pengisian polong (31-30 HST), dan fase pertumbuhan
dan perkembangan polong serta pengisian biji (51-70 HST).
Hama ini menyerang tanaman kedelai dengan memakan daunnya yaitu pada saat fase
larva dengan memakan daun hingga sobek, berlobak, dan tampak transparan.
Perkembangannya sangat cepat, setelah telurnya meneras dan ulatnya tinggal sementara
maka ia akan meletakkan telurnya di tempat yang tersembunyi seperti di bawah daunnya,
sementara pada malam harinya ulat mulai menyerang tanaman. Ulat muda ini menyerang
hingga tersisa epidermis bagian atas dan tulang-tulang daunnya saja, sementara berbeda
dengan ulat tua akan merusak pertulangan daun hingga tampak lubang-lubang hasil gigitan.
Kerusakan daun akibat serangan hama pemakan daun ini akan mengganggu proses
fotosintesis yang akhirnya menyebabkan kehilangan hasil. Dalam satu siklus hidupnya,
seekor larva S. litura dari instar 1 sampai 5 mampu menghabiskan daun kedelai sebanyak
191,98 cm2 atau setara dengan 2,16 g berat daun segar. Hama ini juga mampu menyebabkan
kehilangan hasil kedelai sebanyak 79% pada staida berbunga dengan kepadatan populasi 2
larva per tanaman. Serangan terbesar terjadi pada umur tanaman 10 HST yang menyebabkan
kerusakan sebesar 12,5% dan lebih 20% kerusakan tanaman pada saat penyerangan terhadap
tanaman berusia 20 HST.

11
Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 1993,
serangan hama S. litura mencapai 4.149 ha dengan intensitas serangan sekitar 17,80%.
Serangan tersebut menurun pada tahun 1994 dengan intensitas serangan 14,40%. Berikut
tabel luas serangan akibat ulat grayak pada pertanaman kedelai Indonesia.

Tabel 1. Luas Serangan S. litura pada tanaman kedelai di Indonesia (2002-2007)


Sumber: Direktorat Perlindungan Tanaman (2008)

Apabila serangan hama S. litura menyebabkan defoliasi daun pada fase R2 (fase
pertumbuhan tanaman berbunga penuh, pada dua atau lebih buku batang utama terdapat
bunga mekar), dan faser R3 (fase pertumbuhan tanaman mulai membentuk polong, terdapat
satu atau lebih polong sepanjang 5 mm pada batang utama), maka kerusakan yang
ditimbulkan lebih besar daripada serangan pada fase R4 (fase pertumbuhan tanaman polong
berkembang penuh, polong pada batang utama mencapai panjang 2 cm atau lebih), R5 (fase
pertumbuhan tanaman polong berisi, polong pada batang utama berisi biji dengan ukuran 2
mm x 1 mm), dan R6 (fase pertumbuhan tanaman biji penuh, polong pada batang utama
berisi biji berwarna hijau atau biru yang telah memenuhi ringga polong/besar, biji mencapai
maksimum). Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa jika pada fase R2 dan R3
terdapat paling sedikit 1 ekor ulat/m, maka kerusakan daun mencapai 50%. Selain itu,
serangan ulat grayak pada fase pertumbuhan tersebut menyebabkan bunga banyak yang
gugur, sehingga menurunkan jumlah polong yang terbentuk nantinya, meskipun tidak
mempengaruhi terhadap berat bobot 100 biji. Ambang luka ekonomi S. litura pada R2-R4
rata-rata adalah 2 ekor larva per 1 m baris tanaman. Maka, serangan S. litura ini perlu
diwaspadai khusunya pada fase R3, karena defoliasi akan terjadi pada fase tersebut dan

12
menyebabkan kerugian hasil yang sangat signifikan dibandingkan pada fase V6, R2, R4, dan
R5 (Arifin, 1986).

Pengendalian Terpadu Hama Ulat Grayak Pada Tanaman Kedelai


Pengendalian ulat grayak pada tanaman kedelai dewasa ini pada umumnya bertumpu
pada penggunaan insektisida kimia berbahan aktif profenofos, lamdasihalotrin, dan
monokrofos yang terbukti mampu mengendalikan ulat grayak. Namun, penggunaan
insektisida kimia secara terus-menerus dan penggunaannya yang diaplikasikan secara
kurang tepat akan menyebabkan timbulnya resistensi dan resurgensi ulat grayal terhadap
bahan kimai tertentu. akibat lain penggunaan insektisida kimia tersebut adalah timbulnya
residua tau sisa bahan kimia pada tanaman/organ target utama tanaman kedelai yang dapat
membahayakan kesehatan manusia sebagai konsumen utama.
Pada daerah yang petaninya mempunyai modal yang cukup hampir 90% petani
menggunakan insektisida sebagai pengendali utama hama S. litura, namun pada lahan
marginal sebagian besar petani yang kurang modal menggunakan hanya 50 % petani yang
menggunakan insektisida kimia. Pada beberapa daerah sangat sensitive terhadap pemakaian
insektisida dengan dosis dan frekuensi yang tinggi, namun ada pula yang menggunakan
insektisida dengan dosis di bawah yang dianjurkan. Kedua langkah tersebut sama-sama akan
berdampak negatif, karena hama akan tidak dapat terkendali dengan baik. beberapa kendala
yang menyebabkan petani gagal dalam melakukan penanggulangan hama tersebut di
antaranya lemah dalam mengidentifikasi hama dan gejala serangannya, tindakan
pengendalian yang terlambat, aplikasi insektisida yang kurang tepat, serta belum cukupnya
informasi bioekologi hama yang menyerang kedelai.

Pendekatan Sistem Pengendalian


Mendorong pentingnya pengendalian hama secara terpadu ini akan menekan
penggunaan insektisida kimia dan mempertahankan keberlanjutan sistem usaha tani (Carter,
1989). Seperti penggunaan komponen teknologi pengendalian azadirachtin dan
nucleopolyhedrosis pada ulat grayak dapat dinyatakan sebagai komponen pengendalian
alternatif selain penggunaan insektisida kimia. Pengendalian hama S. litura ini diarahkan
pada penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yaitu cara pendekatan atau
pengendalian hama yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi
dalam rangka pengelolaan ekosistem yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Strategi dari teknologi PHT ini adalah penggabungan komponen-komponen secara

13
kompatibel yang didasarkan pada asas ekologi dan ekonomi. Berikut beberapa pirnsip-
prinsip operasional yang digunakan dalam PHT.
Berikut beberapa prinsip operasional yang digunakan dalam PTHPT:
 Budidaya tanaman sehat
Tanaman yang sehat mempunyai ketahanan ekologi yang tinggi terhadap
gangguan hama. Maka dari itu, penerapan paket teknologi produksi dalam
praktek-praktek agronomis harus diarahkan kepada tewujudnya tanaman yang
sehat
 Pelestarian musuh alami
Musuh alami seperti parasit, predarot, dan patogen serangga merupakanbeberapa
faktor pengendali hama penting yang perlu dilestarikan dan dikelola agar mampu
berperan secara maksimum dalam pengaturan populasi hama di lapangan. Maka,
penggunaan insektisida perlu dilakukan secara selektif dan tidak terus-menerus.
Penggunaan pestisida nabati biji mimba yang megandung azadirachtin terbukti
mampu menekan serangan ulat grayak.
 Pemantauan ekosistem secara terpadu
Pemantauan ekosistem pertanaman yang intensif secara rutin oleh petani
merupakan dasar analisis ekosistem untuk pengambilan keputusan dan
pelaksanaan tindakan yang diperlukan.
 Petani sebagai ahli PHT
Merupakan seorang pengambil keputusan dalam menganalisis ekosistem dan
mampu menetapkan keputusan pengendalian hama secara tepat sesuai dengan
dasar PHT.

Analisis Ekosistem sebagai Dasar Pengendalian Hama


Dalam sistem Pengendalian Hama Terpadu, pengambilan keputusan didasarkan atas
analisis ekosistem. Analisis ekosistem yang telah ditetapkan dan berfungsi terdiri dari tiga
subsistem, yaitu:
a. Pemantauan
Pemantauan atau monitoring merupakan kegiatan memantau keadaan
agroekosistem yang dikelola melalui kegiatan pengamatan rutin, baik terhadap
komponen biotik seperti keadaan tanaman, intensitas kerusakan, populasi hama
dan penyakit, populasi musuh alami, dan keadaan gulma, maupun komponen
abiotik seperti curah hujan, suhu, air, dan angin.

14
Pengamatan secara rutin dilakukan oleh petugas pengamat khusus atau
petani terlatih dengan metode pengamatan yang praktis, ekonomis, dan teliti,
serta tetap dapat dipertanggungjawabkan.
b. Pengambilan Keputusan
Subsistem pengambilan keputusan berfungsi untuk menentukan keputusan
pengelolaan hama yang tepat didasarkan pula pada hasil pemantauan.
Pengambilan keputusan didasarkan pada teknologi pengelolaan hama yang
dikuasai oleh petani atau kelompok tani dan tersedia. Keputusan yang diambil
merupakan tindakan yang perlu dilakukan agar sasaran PHT terpenuhi, termasuk
kapan dan bagaimana pestisida akan digunakan
c. Tidakan Pengendalian (Action Program)
Program tindakan pengendalian memiliki fungsi untuk segera
melaksanakan keputusan dan rekomendasi yang dibuat oleh subsistem
pengambilan keputusan dalam bentuk tindakan pengendalian atau pengelolaan
hama pada unit lahan atau lingkungan yang dikelola. Tindakan tersebut dapat
dilakukan oleh petani perorangan atau secara berkelompok.

Gambar 2. Bagan teknik operasional pengambilan keputusan pengendalian hama pada


tanaman kedelai
Sumber: Iptek Tanaman Pangan Vol 2 No 1-2007

15
Komponen Pengendalian
Komponen-komponen pengendalian hama yang dapat dipadukan dalam penerapan
PHT pada tanaman kedelai adalah:
1. Pengendalian alami dengan mengurangi tindakan-tindakan yang dapat
merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami. Penyemprotan dengan
insektisida yang berlebihan, baik dosis maupun frekuensi aplikasinya, akan
mengancam populasi musuh alami (parasitoid dan predator).
2. Pengendalian fisik dan mekanik yang bertujuan untuk mengurangi populasi
hama, mengganggu aktivitas fisiologis hama, serta mengubah lingkungan fisik
menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan hama. Pengurangan
populasi hama dapat pula dilakukan dengan mengambil kelompok telur,
membunuh larva dan imago atau mencabut tanaman yang sakit.
3. Pengelolaan ekosistem melalui usaha bercocok tanam yang bertujuan untuk
membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan
pembiakan hama, serta mendorong berfungsinya agensia pengendali hayati.
Beberapa teknik bercocok tanam yang dapat menekan populasi hama meliputi:
a. Penanaman varietas tahan. Pada tahun 2003 telah dilepas satu varietas
kedelai yang toleran terhadap serangan ulat grayak yaitu varietas Ijen
(Suhartina 2005).
b. Penggunaan benih sehat dan berdaya tumbuh baik. Benih yang sehat akan
tumbuh menjadi tanaman yang sehat pula. Selanjutnya, tanaman yang
sehat akan mampu mempertahankan diri dari serangan hama dengan
kemampuan tumbuh kembali (recovery) yang lebih cepat.
c. Pergiliran tanaman untuk memutus siklus hidup hama. Pergiliran tanaman
dengan menanam tanaman bukan inang sebelum atau sesudah kedelai
ditanam dapat memutus siklus hama sehingga populasi hama menjadi
tertekan.
d. Sanitasi dengan membersihkan sisa-sisa tanaman atau tanaman lain yang
dapat menjadi inang hama.
e. Penetapan masa tanam dan penanaman secara serempak pada satu
hamparan dengan selisih waktu tanam maksimal 10 hari untuk
menghindari waktu tanam yang tumpang-tindih. Waktu tanam yang tidak
serempak dalam area yang luas akan mendorong pertumbuhan populasi
hama.

16
f. Penanaman tanaman perangkap atau penolak hama sehingga hama lebih
senang pada tanaman perangkap dibanding tanaman utama, misalnya
menanam jagung pada areal pertanaman kedelai untuk menarik hama ulat
grayak (Marwoto et al. 1991).
4. Penggunaan agens hayati (pengendalian biologis). Pengendalian biologis pada
dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk
mengendalikan hama. Musuh alami seperti parasitoid, predator, dan patogen
serangga hama merupakan agens hayati yang dapat digunakan sebagai
pengendali ulat grayak (Marwoto 1999). NPV efektif mengendalikan hama ulat
grayak (Bejo 1997a). Kombinasi NPV dengan azadirachtin (insektisida nabati
dari tanaman mimba) lebih efektif mengendalikan ulat grayak (Nathan dan
Kalaivani 2005, 2006). Bacillus thuringiensis (Bt) merupakan agens hayati
berbahan aktif bakteri yang efektif mengendalikan ulat grayak (Bejo 1997b).
Pemanfaatan Bt sebagai agens hayati untuk mengendalikan ulat grayak aman
terhadap serangga bukan sasaran sepertiparasitoid dan predator (Walker et al.
2007). Kombinasi feromon seks dan aplikasi insektisida berdasarkan pemantauan
mampu mencegah kehilangan hasil kedelai akibat serangan ulat grayak hingga
50% (Marwoto 1996).
5. Pestisida nabati untuk mengembalikan populasi hama pada asas
keseimbangannya. Serbuk biji mimba efektif mengendalikan hama ulat grayak
(Susilo et al. 1996).

Tabel 2. Ambang kendali dan strategi pengendalian hama ulat grayak pada tanaman
kedelai

17
Pestisida kimiawi dapat digunakan setelah dilakukan analisis ekosistem terhadap
hasil pengamatan dan ketetapan tentang ambang kendali. Pestisida yang dipilih harus yang
efektif dan telah diizinkan. Strategi pengendalian ulat grayak dapat dilakukan berdasarkan
pemantauan ambang kendali dan strategi komponen pengendalian, sehingga penerapan PHT
yang dilakukan dipilih berdasarkan alternatif pengendalian yang ada (Tabel 2).

Monitoring Keberadaan Hama dan Lingkungan yang Mendukung


Monitoring dilakukan dengan pemantauan secara rutin dengan jadwal yang telah
diatur. Monitoring dilakukan untuk melihat apakah hasil dari percobaan yang dilakukan
mampu mengurangi serangan hama ulat grayak pada tanaman kedelai. Dalam setiap
pemantauan harus dikumpulkan data untuk dapat menarik kesimpulan dari percobaan yang
telah dilaksanakan. Data yang telah terkumpul kemudian disesuaikan dengan tabel ambang
kendali. Disamping monitoring juga harus terus diupayakan pembentukan lingkungan yang
mendukung agar kedelai terus berproduksi dengan baik dan menjadi kurang sesuai bagi
kehidupan hama ulat grayak dengan memperhatikan beberapa aspek yang dapat
mempengaruhi pengendalian seperti sanitasi, rotasi tanaman, jarak tanam, dan aspek lainnya.

IV. KESIMPULAN
Ulat grayak (S. litura) merupakan hama penting pada tanaman kedelai karena dapat
menurunkan produktivitas tanaman, khususnya pada fase pertumbuhan R2-R4. Hampir 60%
pertanaman kedelai ditanam pada musim kemarau atau setelah padipadi sehingga rawan
terhadap serangan ulat grayak. Pengendalian hama ulat grayak, selain dengan cara kimiawi,
dapat memanfaatkan agens hayati Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV), Bacillus
thuringiensis, tanaman perangkap, feromon seks, dan bahan nabati seperti serbuk biji
mimba. Pengendalian ulat grayak pada tanaman kedelai harus berlandaskan pada
Pengendalian Hama Terpadu (PHT).

18
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Agro Inovasi. TT. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kedelai.
Marwoto, dan Suharsono. 2008. Strategi dan Komponen Teknologi Pengendalian Ulat
Grayak (Spodoptera litura Fabricius) pada Tanaman Kedelai. Balai Penelitian
Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. Jurnal Litbang Pertanian,
27(4), 2008.

19

Anda mungkin juga menyukai