Anda di halaman 1dari 10

KISAH ORANG MENINGGAL YANG KEMBALI DIHIDUPKAN

Kamis 5 September 2019 18:30 WIB

Kisah Allah menghidupkan orang mati tertuang dalam hadits shahih.

Dikisahkan, pada zaman dahulu ada sekelompok orang dari kaum Bani Israil yang ingin sekali
mengetahui perihal kematian dan rasanya sakaratul maut. Karenanya, mereka memohon agar Alah
menghidupkan kembali satu mayat yang ada di kompleks pemakaman mereka. Allah pun
mengabulkannya. Mayat di salah satu kuburan dihidupkan kemudian bercerita kepada mereka
tentang panasnya kematian yang belum juga hilang rasanya hingga hari itu. Padahal, kematian yang
dialaminya sudah berlangsung seratus tahun.

Berikut adalah hadits shahih yang menyampaikan kisah tersebut.

‫ع َّز َو َج َّل ي ُْخ ِر ُج‬ َّ ‫ع ْونَا‬


َ َ‫َّللا‬ َ َ‫صلَّ ْينَا َود‬
َ ‫ لَ ْو‬:‫طائِفَةٌ ِم ْن بَنِي ِإس َْرائِي َل َحتَّى أَت َ ْوا َم ْقبَ َرة ً ِم ْن َمقَابِ ِر ِه ْم فَقَالُوا‬ َ ‫ت‬ ْ ‫خ ََر َج‬
ْ
‫سهُ ِم ْن قَب ٍْر ِم ْن تِل َك‬ ْ
َ ‫طلَ َع َر ُج ٌل َرأ‬ ْ ُ
َ ‫ فَ َب ْينَا ُه ْم َكذَ ِل َك ِإذ‬،‫ت فَفَ َعلوا‬ ْ
ِ ‫ع ِن ال َم ْو‬ َ ُ‫سائِلَه‬َ ُ‫ َفن‬،‫ات‬ َ ‫لَنَا َر ُج ًًل ِم َّم ْن قَ ْد َم‬
‫عنِي‬ َ ‫ت‬ َ ‫س َك‬ َ ‫ فَ َما‬،‫ع ٍام‬َ ‫ت ِم ْن ِمائ َ ِة‬ َّ َ‫ يَا هَؤُ ََل ِء َما أ َ َر ْدت ُ ْم إِل‬:‫س ُجو ِد فَقَا َل‬
ُّ ‫ي لَقَ ْد ُم‬ ُّ ‫ع ْينَ ْي ِه أَث َ ُر ال‬
َ َ‫ي بَيْن‬ُّ ‫ا ْل َمقَابِ ِر ُح ًَل ِس‬
ُ‫ي ِل َما ُك ْنت‬ َ ِ‫ع َّز َو َج َّل أ َ ْن يَ ُردَّن‬ َّ ‫عوا‬
َ َ‫َّللا‬ ُ ‫ فَا ْد‬، َ‫ت إِ ََّل ْاْلن‬ ِ ‫ارة ُ ْال َم ْو‬
َ ‫َح َر‬
“Suatu ketika ada sekelompok orang dari Bani Israil yang datang ke sebuah kuburan. Mereka
berkata, ‘Andai kita shalat dan berdoa kepada Allah agar mengeluarkan seorang yang sudah
meninggal kepada kita, kemudian kita bertanya kepadanya tentang kematian.” Akhirnya, mereka
shalat dan berdoa. Dalam pada itu, tiba-tiba ada satu mayat mengeluarkan kepalanya dari dalam
kubur. Tampak di antara kedua matanya ada bekas sujud. Ia lalu bertanya, ‘Wahai orang-orang, apa
yang kalian inginkan? Aku meninggal seratus tahun yang lalu. Namun, panasnya kematian belum
hilang hingga sekarang. Maka berdoalah kalian agar mengembalikanku kepada keadaanku
semula’.”

Dari hadits di atas, kita tahu bahwa Allah pernah menghidupkan mayat atas permohonan sejumlah
orang dari kalangan Bani Israil. Mereka meminta hal itu karena ingin bertanya kepada si mayat
perihal kematian dan sakaratul maut.

Allah pun mengeluarkan kepala si mayat dari kuburnya. Bahkan, seperti yang digambarkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mayat tersebut tak ada bedanya dengan orang hidup di
hadapan mereka. Dan di antara kedua matanya terlihat bekas sujud. Uniknya lagi, ia bisa
berbincang dan mengingkari apa yang mereka lakukan terhadap dirinya. Ia mengaku telah
meninggal seratus tahun yang lalu. Dan hingga Allah menghidupkan kembali dirinya, panasnya
kematian masih dirasakannya. Kemudian, sang mayat meminta mereka berdoa kepada Allah agar
dirinya dikembalikan seperti semula.

Sesungguhnya apa yang disampaikan sang mayat itu menunjukkan betapa beratnya yang dirasakan
seorang hamba pada saat kematian, termasuk oleh orang saleh sekalipun. Sebab, berdasarkan
informasi hadits, mayat yang dihidupkan itu termasuk orang yang rajin beribadah. Buktinya, ada
bekas sujud di antara kedua matanya.

Kisah serupa juga pernah terjadi pada zaman Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Beliau diminta
memperlihatkan bagaimana Allah menghidupkan orang yang sudah meninggal. Maka Allah pun
memerintahnya untuk memotong-motong empat ekor burung yang telah disembelih. Keempatnya
lalu dipisahkan di puncak-puncak gunung. Setelah itu, semuanya dipanggil. Uniknya, bagian dari
burung-burung tersebut kembali berkumpul dan membentuk lagi tubuhnya. Ruh-ruhnya juga
kembali datang, hingga burung-burung itu terbang lagi seraya bertasbih kepada Tuhannya.

Pada zaman Nabi Isa, orang-orang Bani Israil juga pernah menyaksikan bagaimana Allah
menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal. Mereka adalah orang-orang yang keluar dari
kampung mereka dengan ribuan jumlahnya karena takut kematian.
Bahkan, kekuasaan Allah subhanahu wata’ala untuk menghidupkan kembali hamba yang telah
meninggal ini juga dikisahkan dalam Al-Qur’an, Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang
yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata,
“Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" Maka Allah mematikan
orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya, “Berapakah lamanya
kamu tinggal di sini?” Ia menjawab, “Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari.” Allah
berfirman, “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan
dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi
tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah
kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami
membalutnya dengan daging.” Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah
menghidupkan yang telah mati) diapun berkata, “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu,” (QS al-Baqarah [2]: 259.

Dari kisah di atas, dapat dipetik beberapa pelajaran penting bagi kita:

Pertama, Allah Mahakuasa menghidupkan orang yang sudah meninggal. Contohnya seperti yang
diceritakan dalam beberapa kisah di atas. Salah satunya mayat yang berbicara tentang kematian
kepada orang-orang Bani Israil. Begitu pun mudah dan kuasanya Allah membangkitkan seluruh
makhluk pada hari Kiamat untuk dikumpulkan di padang mahsyar dan dihisab seluruh amal
perbuatannya.

Kedua, betapa berat dan panasnya kematian yang dialami seorang hamba. Seorang hamba mukmin
dan ahli sujud saja merasakan betapa berat dan panasnya kematian tersebut. Padahal, ia meninggal
sudah seratus tahun yang lain. Bagaimana yang dirasakan oleh seorang hamba yang kufur dan
zalim?

Ketiga, terbuktilah bahwa karamah orang-orang saleh itu ada. Salah satunya Allah menghidupkan
orang yang sudah meninggal dan berbicara kematian kepada mereka.

Keempat, Allah senantiasa mengabulkan doanya orang-orang saleh walaupun bentuknya


bertentangan dengan adat dan kebiasaan manusia.

Kelima, seorang yang ingin memohon perkara besar dianjurkan menunaikan shalat dua rakaat
terlebih dahulu, sebagaimana orang-orang yang dikisahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.

Keenam, kita diperbolehkan menyampaikan informasi atau kisah yang berhubungan dengan orang-
orang Bani Israil selama itu bersumber dari Al-Qur’an dan hadits sahih. Namun bila tidak, seperti
bersumber dari kitab, buku, atau cerita rakyat, sebaiknya diperiksa kembali. Jika kandungannya
bertentangan dengan apa yang sudah menjadi hak Allah dan rasul-Nya, maka tidak boleh
disampaikan, kecuali jika tujuannya untuk menunjukkan penyimpangan di dalamnya sambil
dijelaskan kemaslahatannya. (Lihat: Dr. Sulaiman al-Asyqar, Shahîh al-Qashash al-Nabawî,
[Oman: Daru al-Nafa’is], 1997, cet. pertama, hal. 183).

Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, (lihat: Sunan-nya, jilid 2, hal. 126); Imam
Ahmad (lihat: al-Zuhd, hal. 16-17); Imam Ibnu Abi Syaibah (lihat: al-Mushannaf, jilid 9, hal. 62);
Imam al-Bazar (lihat: Musnad-nya, jilid 1, hal. 108 dan 192); Imam ‘Abdu ibn Humaid (lihat: al-
Muntakhab min al-Musnad, jilid 1, hal. 152); Imam Ibnu Abi Dawud (lihat: al-Ba‘ts, jilid 5, hal.
30). Walllahu a’lam.

Ustadz M. Tatam Wijaya, Alumni Pondok Pesantren Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi,


Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.
Kisah Tiga Orang yang Diseret ke Neraka

Ahad 1 September 2019 21:15 WIB


Share:

Allah akan melindungi dan menjaga orang yang senantiasa memohon perlindungan-Nya. (Ilustrasi:
NU Online)
Bagi seorang mukmin, berprasangka baik (husnudh dhann) kepada Allah amatlah besar faedahnya,
bahkan mampu menyelamatkan dirinya dari siksa api neraka. Contohnya seperti yang dikisahkan
dalam salah satu hadits sahih.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan mauqûf sampai Ibnu ‘Abbas. Ibnu Katsir berkomentar
bahwa sanadnya sahih (lihat: Tafsîr Ibn Katsîr, jilid 6, hal. 97, Surat al-Furqan, ayat 12; al-Nihâyah
fî al-Fitan wa al-Malâhim, hal. 221). Meski statusnya mauqûf sampai Ibnu ‘Abbas, tetapi
dihukumi marfû‘. Sebab Ibnu ‘Abbas tidak mungkin menyampaikannya berdasarkan akal dan
logika nalar semata. Ia menuturkan:

ُ‫ ِإنَّه‬:ُ‫ َما لَ ِك؟ فَتَقُول‬:‫الرحْ َم ُن‬ َّ ‫ فَ َيقُو ُل لَ َها‬،‫ض‬ ٍ ‫ض َها ِإلَى َب ْع‬ ُ ‫ض َب ْع‬ ُ ‫ فَت َ ْنزَ ِوي َو َي ْنقَ ِب‬،‫ار‬ ِ َّ‫الر ُج َل لَيُ َج ُّر ِإلَى الن‬
َّ ‫ِإ َّن‬
:ُ‫الظ َّن بِ َك فَيَقُول‬ َّ ‫ب َما َكانَ َهذَا‬ ِ ‫ يَا َر‬:ُ‫ فَيَقُول‬،‫ار‬ ِ َّ‫الر ُج َل لَيُ َج ُّر إِلَى الن‬
َّ ‫ع ْبدِي َوإِ َّن‬ َ ‫ أ َ ْر ِسلُوا‬:ُ‫ير ِمنِي فَيَقُول‬ ُ ‫لَيَ ْست َِج‬
‫ار فَت َ ْش َه ُق إِلَ ْي ِه‬ِ َّ‫الر ُج َل لَيُ َج ُّر إِلَى الن‬
َّ ‫ع ْبدِي َوإِ َّن‬ َ ‫ فَيَقُو ُل أ َ ْر ِسلُوا‬:‫ي َرحْ َمت ُ َك قَا َل‬ َ ِ‫سعَن‬َ َ ‫ أ َ ْن ت‬:ُ‫ظنُّ َك؟ فَيَقُول‬ َ َ‫فَ َما َكان‬
َ ‫ َوت َْزفَ ُر زَ ْف َرة ً ََل َي ْبقَى أ َحدٌ ِإ ََّل خ‬,‫ير‬
‫َاف‬ ِ ‫ش ِع‬ َّ ‫ش ُهوقَ ْال َب ْغلَ ِة ِإلَى ال‬ُ ‫ار‬ ُ َّ‫الن‬
Artinya: “Ada seorang laki-laki yang diseret ke dalam neraka. Namun, nereka malah menjauhkan
diri dan bagian-bagiannya menciut satu sama lain. Allah Yang Maha-Rahman bertanya kepada
neraka, ‘Apa yang terjadi padamu?’ Nereka menjawab, ‘Laki-laki itu selalu memohon
perlindungan (pada-Mu) agar selamat dariku.’ Kemudian, Allah berfirman kepada para malaikat,
‘Bebaskanlah hamba-Ku itu.’ Selanjutnya, ada lagi laki-laki yang tengah diseret ke neraka. Saat
diseret, dia berkata, ‘Ya Tuhanku, bukankah ini prasangka (baik) pada-Mu.’ Allah lalu bertanya,
‘Apa prasangka baikmu?’ Dia menjawab, ‘Rahmat-Mu akan meliputiku.’ Maka Allah kembali
berfirman kepada para malaikat, ‘Bebaskanlah hamba-Ku.’ Terakhir, ada lagi laki-laki yang
diseret ke dalam neraka, tapi nereka malah berteriak melengking kepadanya tak beda dengan
seperti tarikan bigal saat melihat gandum, lalu meringkik dengan keras tatkala semua orang di
sana ketakutan.”

Hadits di atas mengabarkan kepada kita tentang keadaan tiga orang laki-laki yang diseret ke dalam
neraka pada hari Kiamat. Namun, yang dua orang berhasil selamat. Yang pertama selamat karena
selalu memohon perlindungan kepada Allah. Yang kedua selamat karena prasangka baiknya kepada
Allah. Dan yang ketiga celaka karena dibinasakan oleh dosa dan kemaksiatannya sendiri.

Saat laki-laki pertama diseret, neraka justru menjauhkan diri dan menciut. Maka Allah bertanya
kepada neraka mengapa ia menjauhkan diri dan menciut dari laki-laki itu. Tentu, Allah maha tahu
tentang alasannya. Maka neraka menjawab, “Karena dia senantiasa memohon perlindungan pada-
Mu dariku.”

Melihat keadaan itu, Allah berfirman kepada para malaikat, “Bebaskan saja hamba-Ku itu.”
Akhirnya laki-laki yang pertama selamat dari neraka.

Kemudian laki-laki yang kedua saat diseret para malaikat ke dalam neraka, berdoa, “Ya Tuhanku,
bukankah ini prasangka baik pada-Mu?” Maka Allah menjawab, “Apa prasangkia baikmu?” Si laki-
laki menjawab, “Rahmat-Mu akan meliputiku.”

Mendengar demikian, Allah berfirman lagi kepada para malaikat, “Lepaskanlah hamba-Ku.”
Sungguh hamba itu telah ditunjukkan kepada jawaban yang baik. Sehingga berkat jawaban dan
prasangka baiknya kepada Allah, dia diselamatkan dan selamat dari neraka.

Sementara pada saat diseret malaikat, laki-laki yang ketiga tidak melakukan seperti yang dilakukan
dua orang laki-laki lainnya. Begitu melihat laki-laki itu didekatkan kepadanya, neraka malah
melengking dan meringkik tak ubahnya teriakan seekor keledai saat melihat pakan, sampai-sampai
teriakan dan ringkikannya nyaris mencopotkan jantung siapa pun yang mendengarnya. Kondisi itu
seperti yang telah dibenarkan dalam Al-Qur'an: "Apabila neraka itu melihat mereka dari tempat
yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya," (QS al-Furqan [25]: 12).

Baca juga:
● Dua Kisah Calon Ahli Neraka yang Masuk Surga
● Kisah Orang Tekun Ibadah yang Masuk Neraka

Dari kisah hadits di atas, dapat ditarik beberapa beberapa pesan dan perlajaran.

Pertama, orang-orang mukmin yang bermaksiat akan dijebloskan ke dalam neraka. Namun,
sebagian dari mereka ada yang selamat dan tidak jadi dimasukkan ke dalamnya. Contohnya seperti
kedua laki-laki yang dikisahkan di atas.

Kedua, memohon perlindungan dan pertolongan kepada Allah sangat berguna di dunia dan di
akhirat. Allah akan melindungi dan menjaga orang yang senantiasa memohon perlindungan-Nya.

Ketiga, berbaik sangka kepada Allah termasuk perkara yang akan menyelamatkan seorang hamba
dari kesengsaraan dan kebinasaan, terutama pada saat-saat yang genting ketika ia tak lagi punya
pilihan kecuali berbaik sangka pada-Nya, seperti pada saat kematian dan hari Kiamat.

Keempat, nash hadits di atas mengindikasikan bahwa neraka senantiasa melihat dan memperhatikan
sedari jauh para penghuni yang datang kepadanya. Neraka juga memiliki lisan untuk bicara.
Bahkan, neraka juga bisa geram dan sangat menantikan para penghuninya.

Dalam Sunan al-Tirmidzi dengan sanad sahih dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “Pada hari Kiamat leher neraka akan keluar. Ia memiliki dua mata yang bisa melihat,
dua telinga yang bisa mendengar, dan lisan yang bisa bicara. Lisan itu berkata, 'Aku dipercaya
menghadapi tiga golongan: penguasa semena-mena dan menentang, orang yang berdoa bersama
tuhan lain (muyrik), dan orang yang suka menggambar (patung)',” (HR al-Tirmidzi).

Naudzu billah. Marilah kita berlindung kepada Allah dari siksa neraka yang amat pedih. Wallahu
a’lam.

Ustadz M. Tatam Wijaya, Alumni PP Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh


Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.
Dua Kisah Calon Ahli Neraka yang Masuk Surga

Sabtu 10 Desember 2016 15:4 WIB


Share:

Imam al-Ghazali bertutur tentang dua kisah mengenai harapan akan ampunan ilahi dalam kitab
Ihya. Izinkan saya kisahkan ulang di sini.

Yahya bin Aktsam yang sudah wafat hadir dalam mimpi sahabatnya. Ditanyakan bagaimana
keadaannya. Yahya berkata: “Tuhan menyebutkan semua dosaku“.

Yahya ketakutan dan berkata: “Bukankah ada riwayat bahwa Engkau seperti dugaan hambaMu?
Dan aku berbaik sangka Engkau tak akan menghukumku“.

Yahya bacakan sanad riwayat tersebut di depan Tuhan. Tuhan membenarkan ucapannya. Dan
karena berbaik sangka padaNya itulah maka Yahya diampuni.

Ana ‘inda zhanni abdi bi (Aku sebagaimana persangkaan hambaKu saja). Marilah kita
berprasangka baik bahwa Allah akan ampuni dosa-dosa kita. Sebesar apapun dosa kita,
berbaiksangkalah Allah akan ampuni. Jangan putus asa dari rahmat dan kasih sayangNya.

Kisah kedua yang dituturkan Imam al-Ghazali tentang harapan akan ampunan ilahi. Ada orang dari
Bani Israil yang dimasukkan neraka selama 1000 tahun

Dia terus menjerit memanggil Tuhan. Lantas Jibril diperintahkan membawanya kepada Allah. Allah
bertanya: “Bagaimana tempatmu?“. “Jelek“, jawabnya.

Tuhan menyuruh dia kembali masuk neraka. Dia berjalan keluar dan tiba-tiba membalik badannya
kembali kepada Tuhan. Lalu ditanya, “Kenapa balik badan?“.

Dia menjawab, “Karena aku benar-benar berharap Engkau tak kembalikan aku ke neraka setelah
sejenak aku dikeluarkan“.

Tuhan lalu perintahkan dia masuk surga karena ternyata dia masih punya harapan akan rahmat ilahi.
Subhanallah.

Imam al-Ghazali mengajak kita utk memohon keselamatan lewat ampunan dan kasih sayang Allah.
Mereka yang penuh dosa namun masih berharap padaNya akan dipeluk oleh kasih sayangNya.

Para ustadz, teruslah menebar harapan akan ampunan ilahi. Jangan tutup pintu surga saat kami
masih terus berprasangka baik padaNya

Para ulama, jangan renggut harapan kami akan ampunanNya. Kami pernah berlari
meninggalkanNya tapi kami masih bisa membalik badan kepadaNya

Para habib, jangan pandang kami seperti manusia hina. Kalaupun kami pantas masuk neraka, kami
tetap berharap dan berprasangka baik kepadaNya

Mari kita tutup dengan doa: Allahumma innaka ‘afuwun karim tuhibbul ‘afwa fa’fu’anna Ya Karim

Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior
Monash Law School

Sumber: Ihya Ulumiddin karya Imam al-Ghazali pada pembahasan al-Khauf wa al-Raja', juz 4,
145-146.
Kisah Orang Tekun Ibadah yang Masuk Neraka
Selasa 5 Januari 2016 11:15 WIB
Share:

Alkisah, ada dua orang bersaudara dari kalangan Bani Israil. Yang satu sering berbuat dosa,
sementara yang lain sebaliknya: sangat tekun beribadah. Yang terakhir disebut ini rupanya tak
henti-hentinya menyaksikan saudaranya itu melakukan dosa hingga mulutnya tak betah untuk tidak
menegur.
<>
"Berhentilah!" sergahnya.

Teguran seolah hanya masuk melalui telinga kanan dan keluar lagi lewat telinga kiri. Perbuatan
dosa berlanjut dan sekali lagi tak luput dari mata saudaranya yang rajin beribadah. "Berhentilah!"
Sergahnya kembali.

Si pendosa lantas berucap, "Tinggalkan aku bersama Tuhanku. Apakah kau diutus untuk
mengawasiku?"

Saudara yang ahli ibadah pun menimpali, "Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu. Allah
tidak akan memasukkanmu ke surga."

Cerita ini tertuang dalam sebuah Hadits shahih yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad. Di
ujung, Hadits tersebut melanjutkan, tatkala keduanya meninggal dunia, keduanya pun dikumpulkan
di hadapan Allah subhanahu wata'ala.

Kepada yang sungguh-sungguh beribadah, Allah mengatakan, "Apakah kau telah mengetahui
tentang-Ku? Apakah kau sudah memiliki kemampuan atas apa yang ada dalam genggaman-Ku?"

Drama keduanya pun berlanjut dengan akhir yang mengejutkan.

"Pergi dan masuklah ke surga dengan rahmat-Ku," kata Allah kepada si pendosa. Sementara kepada
ahli ibadah, Allah mengatakan, "(Wahai malaikat) giringlah ia menuju neraka."

Kisah di atas menyiratkan pesan kepada kita untuk tidak merasa paling benar untuk hal-hal yang
sesungguhnya menjadi hak prerogatif Allah. Tentu beribadah dan meyakini kebenaran adalah hal
yang utama. Tapi menjadi keliru tatkala sikap tersebut dihinggapi takabur dengan menghakimi
pihak lain, apakah ia bahagia atau celaka di akhirat kelak. Sebuah kata bijak menyebutkan,
“Perbuatan dosa yang membuatmu menyesal jauh lebih baik ketimbang beribadah yang disertai rasa
ujub.”

Tentang etika dakwah, Islam pun mengajarkan bahwa tugas seorang mubaligh sebatas
menyampaikan, bukan mengislamkan apalagi menjanjikan kenikmatan surgawi.

Vonis terhadap orang ini-itu sebagai golongan kafir atau bukan, masuk neraka atau surga, sangat
tidak dianjurkan karena melangkahi Rabb, penguasa seluruh ciptaan. Islam menekankan umatnya
muhasabah atau koreksi diri sendiri daripada mencari kesalahan pribadi orang lain yang belum
tentu lebih buruk di hadapan Tuhan. (Mahbib)
Asal Mula Gelar 'Raja Para Wali' untuk Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Jumat 30 Agustus 2019 5:0 WIB


Share:

Syekh Abdul Qadir Jailani (Ilustrasi: NU Online)


Kitab Al-Fawaid al-Mukhtarah (Yaman: Dar al-Ilmi wa ad-Da`wah, 2018) karya Habib Ali Hasan
Baharun merupakan bunga rampai dari perkataan-perkataan gurunya, yaitu Habib Zain bin Ibrahim
bin Smith. Kitab tersebut berisi tentang wejangan-wejangan para ulama, wali, habaib, dan termasuk
kisah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam perjalanannya memperoleh gelar sulthanul auliya (raja
dari seluruh para wali).

Di waktu menimba ilmu, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berteman dengan dua orang yang bisa
dibilang cukup cerdas dan pandai yaitu Ibnu Saqa dan Ibnu Abi `Asrun. Pertemanan itu berlanjut
hingga mereka bertiga ingin mengunjungi seorang wali berpangkat wali al-ghouts, rumah wali
tersebut cukup jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Mungkin lebih tepatnya bisa dikatakan
pelosok banget. Tapi, keinginan mereka untuk bertemu sang wali tidak terhalang walau jarak yang
demikian jauh dan sudah barang tentu kunjungan mereka tak lepas dari maksud dan tujuan.

Dalam perjalanan, mereka saling bertanya satu sama lain terkait tujuan dan niat masing-masing.
Dengan polosnya Ibnu Abi `Usrun memulai pertanyaan kepada Ibnu Saqa.

“Hei Saqa, kamu mau ngapain bertemu wali itu?”

“Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan yang begitu sulit, hingga ia bingung dan tidak mampu
untuk menjawabnya, ha.. ha.. Aku ini kan orang cerdas, jadi, sudah sepatutnya menguji kedalaman
ilmu seorang wali,” jawabnya.

Tak menunggu lama Ibnu Abi `Asrun pun mengatakan maksudnya.


“Kalau aku ingin bertanya tentang sesuatu yang aku yakin dia tidak mampu untuk menjawabnya,”
tuturnya.

Pada hakikatnya tujuan dari keduanya sama yakni ingin menguji ketinggian ilmu dari seorang wali.
Mungkin karena Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tidak segera mengutarakan niatnya, akhirnya mereka
berdua bertanya.

“Qadir, kamu mau mengajukan pertanyaan seperti kami atau ada hal lain?”

“Saya tidak mau bertanya apa-apa?” jawabnya.

Lalu mereka pun bertanya lagi.

“Lho, terus kamu ini mau apa? Hanya mau mengikuti kami?”

“Saya itu gak punya pertanyaan yang mau diajukan. Saya hanya ingin sowan saja dan mengharap
berkah darinya. Itu saja cukup kok, karena orang seperti ini biasanya hanya disibukkan dengan
kekasihnya yaitu Allah SWT,” jelas Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

Dari dialog mereka, kita sudah bisa melihat sifat dan sikap mereka terhadap kekasih Allah SWT.
Kesombongan dan rendah diri manusia, juga bisa diukur dengan sebuah perkataan. Kesombongan
terhadap orang lain terjadi ketika kita memposisikan diri kita lebih tinggi atau lebih hebat daripada
orang lain. Sementara, orang yang rendah hati tetap memposisikan dirinya sebagai penerima
anugrah ilahi yang tidak sempurna dan lemah. Dia merasa memperoleh segala sesuatunya karena
karunia Allah bukan karena kegagahan dan kehebatannya.

Sesampainya di kediaman wali al-ghouts, mereka mengetuk pintu rumahnya. Tapi, sang wali tak
kunjung membuka pintu, malahan ia memperlambat jalannya. Kemudian, wali tersebut keluar
dalam keadaan marah seraya bertanya.

“Siapa di antara kalian yang bernama Ibnu Saqa?”

“Saya, wahai Syekh,” jawab Ibnu Saqa.

Tak banyak bicara, wali itu pun langsung menebak pertanyaan Ibnu Saqa dan langsung memberikan
jawabannya secara detail, begitu pula dengan pertanyaan dan jawaban Ibnu Abi `Asrun dan
langsung mengusir mereka berdua dari hadapannya. Sebelum mereka berdua beranjak dari
kediamannya, wali itu meng-kasyaf (membaca lewat batin) mereka berdua dengan karamahnya.

“Hai Ibnu Saqa, dalam pandangan batinku, aku melihat ada api kekufuran yang menyala dalam
tulang rusukmu. Dan kamu Ibnu Abi `Asrun, sesungguhnya aku melihat dunia berjatuhan menimpa
tubuhmu.”

Sampai pada giliran Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, wali al-ghouts hanya memandang sekujur
tubuhnya, dan tak lama kemudian, ia pun berkata.

“Wahai anakku, Abdul Qadir, aku tahu tujuan kamu ke sini hanya ingin berkah dariku, dan
insyaallah tujuan baikmu akan tercapai.”

Sebelum menyuruh pergi Abdul Qadir, ia berkata, “Aku melihat kamu berkata padaku, ‘kakiku ini
berada di leher seluruh para wali di dunia ini’, sekarang pergilah anakku!”

Selang beberapa hari dari kejadian aneh itu, Ibnu Saqa dipanggil oleh raja di negerinya dan
diperintahkan untuk pergi menemui ulama Nasrani agar ia berdebat dengan para ulama pentolan-
pentolan Nasrani. Dalam perjalanan menuju ulama Nasrani, ia bertemu dengan seorang gadis cantik
keturunan Nasrani dan jatuh cinta kepadanya. Namun, hubungan cinta mereka berdua tidak direstui.
Tanpa pikir panjang akhirnya dia menemui ayahnya dan menyampakan bahwa dia sungguh
mencintainya dan siap berkorban apa pun.
Akhirnya terbukti perkataan wali al-ghouts bahwa ada api yang menyala dalam tulang rusuknya dan
benar, ia telah menggadaikan agamanya dengan agama Nasrani.

Sedangkan Ibnu Abi `Asrun, diberi jabatan oleh raja di negerinya untuk mengurusi harta wakaf dan
sedekah dan jabatan itu datang terus menerus dari seluruh penjuru kota tersebut. Kemudian dia
sadar bahwa ini merupakan doa dari wali al-ghouts.

Sementara Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mendapatkan maqam tertinggi dari Allah SWT berkat
sikap rendah dirinya kepada seorang wali dan beliau diangkat menjadi raja dari seluruh para wali di
muka bumi.

Pada saat mengajar muridnya, dia pun berkata seperti apa yang dikatakan wali al-ghouts, “kakiku
ini berada di atas lehernya seluruh para wali,” dan perkataannya didengar oleh seluruh wali di
penjuru dunia, lalu mereka berikrar “sami`na wa atha`na.”

Ada sedikit hikmah yang bisa kita ambil pelajaran dari kejadian ini, bahwa siapa pun kita tidaklah
pantas mengedepankan kelebihan karena di atas langit masih ada langit. Sikap rendah diri haruslah
menjadi prioritas utama setiap manusia, mengingat ilmu tidak lebih diutamakan daripada akhlak.
Sebagaimana perkataan Sayyid Muhammad Alwi Al- Maliki, “Al-Adab qabla al-`Ilmi (adab lebih
didahulukan daripada ilmu).” Wallahu a’lamu bish-shawab.

Hilmi Ridho, santri Ma`had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi`iyah Sukorejo
Jl. KHR. Syamsul Arifin, Sukorejo, Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur Email:
hilmikamila241@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai