Anda di halaman 1dari 32

PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN HIV/AIDS

KASUS KEPATUHAN ARV PADA NY. S


DI RUANG CENDANA RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

Fasilitator : Prof. Dr. Nursalam, M. Nurs (Hons)

Oleh:
Kelompok 2

Rahmatul Fitriyah 131814153001


Haris Widodo 131814153004
Sholihin 131814153043
Gabriel Wanda Sinawang 131814153043
Nisa Dewanti 131814153045
Supia Ningsih 131814153051
Totok Indarto 131814153052
Masita Widiyani 131814153053

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2019

i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan Praktik Klinik HIV-
AIDS dengan judul “Kepatuhan ARV pada Pasien HIV/AIDS” sebagai tugas mata
kuliah keperawatan HIV/AIDS pada Program Studi Magister Keperawatan.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Nursalam, M. Nurs (Hons) sebagai
fasilitator dan pembimbing dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari bahwa
makalah yang kami buat masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan makalah
ini menjadi lebih baik.
Demikian laporan ini kami buat, semoga dapat memberikan manfaat dan
menambah pengetahuan.

Surabaya, 8 November 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Tujuan........................................................................................................... 2
1.2.1 Tujuan umum ........................................................................................ 2
1.2.2 Tujuan khusus ....................................................................................... 2
1.3 Manfaat......................................................................................................... 2
1.3.3 Manfaat teoritis ..................................................................................... 2
1.3.2 Manfaat praktis ..................................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4
2.1 Konsep HIV AIDS ....................................................................................... 4
2.1.1 Definisi.................................................................................................. 4
2.1.2 Sistem imun normal .............................................................................. 5
2.1.3 Virus HIV ............................................................................................. 5
2.1.4 Perjalanan penyakit ............................................................................... 6
2.1.5 Tes diagnostic ....................................................................................... 8
2.1.6 Diagnosis HIV .................................................................................... 10
2.1.7 Intervensi ............................................................................................ 10
2.2 Konsep ARV ............................................................................................... 11
2.2.1 Jenis obat ARV ................................................................................... 12
2.2.2 Alur pemberian ART .......................................................................... 14
2.2.3 Waktu memulai ART .......................................................................... 15
2.2.4 Pemilihan regimen terapi .................................................................... 16
2.2.5 ART untuk pencegahan pasca pajanan ............................................... 17
2. 3 Konsep Aderence (Kepatuhan) ................................................................ 22
BAB 3 KASUS DAN PEMBAHASAN .............................................................. 24
3. 1 Kasus ........................................................................................................... 24
3. 2 Pembahasan ............................................................................................... 25
3.2.1 Idetifikasi masalah .............................................................................. 25
3.2.2 Pengumpulan data ............................................................................... 25
3.2.3 Identifikasi alternative pilihan ............................................................ 26

iii
3.2.3 Rencana tindakan ................................................................................ 26
3.2.4 Implementasi ....................................................................................... 26
3.2.5 Evaluasi ............................................................................................... 26
BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 27
4.1 Kesimpulan ................................................................................................. 27
4.2 Saran ........................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 28

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Program penanggulangan AIDS di Indonesia, menuju pada getting 3 zeroes,

yaitu zero new infection, zero AIDS-related death dan zero stigma and

discrimination. Untuk mempercepat tujuan tercapainya getting 3 zeroes, maka

dikembangkan layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) dengan

melibatkan peran aktif komunitas dengan pendekatan strategi pemberian obat

ARV/Strategic Use Of Antiretroviral (SUFA) sebagai pencegahan dan

pengobatan infeksi HIV. Namun kepatuhan adalah kunci utama terlaksananya

program tersebut.

Prevalensi kasus HIV menurut WHO (2015) menunjukkan, jumlah orang

dengan HIV berjumlah 17.325 jiwa dan AIDS tercatat berjumlah 1.238 jiwa. Setiap

hari sekitar 6.300 orang terinveksi HIV, 700 orang pada anak-anak berusia dibawah

15 tahun, sekitar 5.500 infeksi pada orang remaja atau dewasa muda berusia 15

tahun keatas, yaitu 47% wanita, 39% remaja usia 15-24 tahun. Tercatat jumlah

penderita HIV di Jawa Timur mencapai 43.399 orang sejak 1987 hingga Juni 2018

kemarin. Jumlah ini adalah tertinggi kedua, dimana penderita HIV terbanyak adalah

dari DKI Jakarta yakni 55.099 orang. Data ini diperoleh dari Kementerian

Kesehatan RI (2018).

Kepatuhan Penggunaan ARV (antiretroviral) merupakan salah satu faktor

yang dapat memperpanjang umur harapan hidup ODHA (orang dengan HIV AIDS)

secara bermakna. ARV bekerja melawan infeksi dengan cara memperlambat

1
reproduksi HIV dalam tubuh. Faktor faktor pendukung kepatuhan minum ARV

yang berasal dari dalam diri sendiri yaitu motivasi untuk hidup, keinginan

sembuh/sehat, menganggap obat sebagai vitamin dan keyakinan terhadap agama.

Selain itu faktor ketersediaan obat ARV dan dukungan sosial juga mendukung

kepatuhan ODHA. Faktor dukungan sosial yaitu dukungan keluarga, rasa tanggung

jawab dan kasih sayang terhadap anak, keinginan menikah, dukungan teman-teman

di KDS (Kelompok Dukungan Sebaya), LSM dan dari tokoh agama serta hubungan

baik dengan tenaga kesehatan (Yuniar, Handayani, & Aryastami, 2013)

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan umum

Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan ARV

1.2.2 Tujuan khusus

1. Menjelaskan konsep hiv

2. Menjelaskan konsep arv

3. Menjelaskan konsep kepatuhan

1.3 Manfaat

1.3.3 Manfaat teoritis

Memberikan informasi secara ilmiah tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

kepatuhan pengobatan pada pasien HIV/AIDS sehingga dapat dijadikan rujukan

dalam kontribusi pengembangan ilmu keperawatan HIV/AIDS.

2
1.3.2 Manfaat praktis

1. Perawat

Hasil diskusi makalah dapat digunakan menjadi salah satu sumber dalam

memberikan intervensi keperawatan secara mandiri dengan menjunjung tinggi hak-

hak pasien HIV/AIDS.

2. Instansi terkait

Hasil diskusi makalah dapat menjadi usulan dalam melakukan tindakan

asuhan keperawatan yang berpedeoman pada aspek etik pada pasien HIV/AIDS.

3. Pasien HIV/AIDS

Hasil diskusi makalah dapat menjadi salah satu upaya

meningkatkan.mempertahankan kepatuhan pemberian obat untuk mencegah

perburukan kondisi dan atau infeksi oportunistik

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep HIV AIDS

2.1.1 Definisi

HIV merupakan kepanjangan dari Human Immunodeficiency Virus.

Maknanya virus ini hanya menginfeksi manusia, virus dapat mereproduksi diri

sendiri didalam sel dan dapat menyebabkan kekebalan tubuh manusia turun

sehingga gagal melawan infeksi (Nursalam, Kurniawati, Misutarno, & Solikhah,

2018). HIV dapat menyebabkan Acqiuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS).

Acqiuired berarti ditularkan dari orang ke orang; immune berarti merusak sistem

kekebalan manusia (bagian tubuh manusia yang berfungsi mempertahankan diri

dari benda asing, bakteri, dan virus); deficiency berarti menurun atau berkurang ;

sedangkan syndrome berarti orang dengan AIDS mengalami berbagai infeksi

oportunistik dan penyakit lainnya (Nursalam, Kurniawati, Misutarno, & Solikhah,

2018).

Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam keluarga lentivirus.

Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu

untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang.

Seperti retrovirus yang lain, HIV menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang

panjang (klinik laten), dan utamanya menyebabkan munculnya tanda dan gejala

AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan

menghancurkannya. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan

limfosit untuk mereflikasi diri. Dalam proses tersebut, virus tersebut

4
menghancurkan CD4+ dan limfosit (Nursalam, Kurniawati, Misutarno, & Solikhah,

2018)

2.1.2 Sistem imun normal

Sistem imun melindungi tubuh dengan mengenali bakteri atau virus yang

masuk kedalam tubuh, dan beraksi terhadapnya. Ketika sistem imun melemah atau

rusak oleh virus seperti HIV, tubuh akan lebih mudah terkena infeksi oportunistik.

Sistem imun terdiri atas organ dan jaringan limfoid, termasuk didalamnya sumsum

tulang, timus, nodus limfa, limfa, tonsil, adenoid, apendiks, darah, dan pembuluh

limfe. Seluruh komponen dari sistem imun tersebut adalah penting dalam produksi

dan perkembangan dari limfosit atau sel darah putih. Limfosit B dan T diproduksi

oleh sel utama sumsum tulang. Sel B tetap berada di sumsum tulang untuk

melengkapi proses maturasi, sedangkan limfosit T berjalan ke kelenjar timus untuk

melengkapi proses maturasi. Di kelenjar timus inilah limfosit T menjadi bersifat

imunokompeten, multipel, dan mampu berdiferensiasi (Nursalam, Kurniawati,

Misutarno, & Solikhah, 2018).

2.1.3 Virus HIV

HIV dapat hidup dalam cairan tubuh manusia, terutama cairan darah, cairan

semen, cairan vagina, dan air susu ibu. Virus HIV terutama menarget sel T-helper

CD4+, sel dendrit (bergantung pada banyaknya reseptor kemokin yang

diekspresikan oleh sel makrofag) mengekspresikan sedikit CD4, namun juga

mengekspresikan proteoglikan heparin sulfat dalam jumlah banyak dan molekul

lainyang berikatan dengan gp 120 dan mengabsorpsi HIV), sel Tc-sitotoksik CD8+,

5
sel timus (secara simultan CD4 dan CD8), sel NK (CD4+, CCR5+), sel neuron

berasal dari monosit (makrofag dan sel mikroglia) (McCance dan Huether, 2006).

Pada tahap awal infeksi, virus HIV menginfeksi permukaan mukosa dan

selanjutnya menyebar ke jaringan lain. Infeksi erat kaitannya dengan kehadiran

reseptor CD4 atau co-reseptor kemokin pada jaringan penderita , terutama sel T dan

makrofag. Sel dendrit dan mukosa sel T diduga menyebarkan infeksi ke organ linfe

perifer (terutama sel dendrit folikel di nodus limfe, yang menginfeksi sel T). Infeksi

juga melibatkan timus dan sumsum tulang, termasuk sumsum tulang sel stroma. Sel

di sistem syaraf pusat berperan sebagai reservoir yang mana HIV terlindungi dari

obat ARV. Virus juga ditemukan di sel T dan makrofag di semen dan di epitel ginjal

(McCance dan Huether, 2006), (Nursalam, Kurniawati, Misutarno, & Solikhah,

2018).

Virus HIV menular melalui 4 cara penularan, yaitu : hubungan seksual yang

tidak aman dengan penderita HIV/AIDS, penularan secara vertikal, melalui alat

kesehatan terkontaminasi, serta melalui darah dan transplantasi organ (Nursalam,

Kurniawati, Misutarno, & Solikhah, 2018).

2.1.4 Perjalanan penyakit

Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS, sejalan

dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas selular dan

menunjukkan gambaran penyakit yang kronis. Penurunan imunitas biasanya diikuti

adanya peningkatan resiko dan derajat keparahan infeksi opportunistic serta

penyakit keganasan (Kementrian kesehatan Republik Indonesia, 2003). Dari semua

orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang menjadi AIDS pada tiga tahun

6
pertama, 50% menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan hampir 100% pasien HIV

menunjukkan gejala AIDS setelah 13 tahun (Nursalam, Kurniawati, Misutarno, &

Solikhah, 2018).

Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkoba. Lamanya

penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan

tuberkulosis. Infeksi oleh kuman lain akan membuat HIV membelah lebih cepat.

Selain itu , dapat mengakibatkan reaktivasi virus didalam limfosit T sehingga

perjalan penyakit bisa lebih progresif (Nursalam, Kurniawati, Misutarno, &

Solikhah, 2018). World Health Organization (2017) membagi stadium HIV menjadi

empat. Pembagian ini didasarkan pada gejala klinis. Stadium Klinik HIV meliputi

: stadium 1, stadium 2, stadium 3, dam stadium 4 (Nursalam, Kurniawati,

Misutarno, & Solikhah, 2018).

Tabel 2.1 Stadium klinis HIV

Stadium BB Gejala
Stadium 1 Tidak ada 1. Tidak ada gejala atau hanya sedikit
Asimtomatik penurunan 2. Persistent generalized
berat badan lymphadenopathy (PGL)
3. Kelenjar multipel berukuran kecil
tanpa rasa nyeri
Stadium 2 Penurunan 1. Luka sekitar bibir (angular cheilitis)
Sakit ringan berat badan 2. Dermatitis seboroik : lesi kulit bersisik
5-10% pada batas antara wajah dan rambut
serta sisi hidung
3. Herpes zoster dalam lima tahun
terakhir
4. ISPA berulang, misalnya sinusitis atau
otitis
5. Ulkus pada mulut berulang
6. Pruritic papular eruption : lesi kulit
yang gatal pada lengan dan tungkai

Stadium BB Gejala

7
Stadium 3 Penurunan 1. Kandidiasis mulut: bercak putih yang
Sakit sedang berat badan menutupi daerah didalam mulut
>10% 2. Oral hairy leukoplakia: garis vertikal
putih disamping lidah, tidak nyeri,
tidak hilang jika dikerok
3. TB paru
4. Lebih dari 1 bulan: diare kadang-
kadang intermiten, demam tanpa
sebab yang jelas
5. Infeksi bakteri yang berat :
pneumonia, piomiositis
6. Ginggivitis atau periodontitis
7. Hb < 8, leokusit <500, trombosit <
50.000
Stadium 4 HIV wasting 1. Candidiasis esopagus : nyeri hebat
Sakit berat syndrome saat menelan
(AIDS) 2. Herpes simplek lebih dari satu bulan “
luka lebar dan nyeri kronis di genetalia
dan atau anus
3. Limfoma
4. Sarkoma kaposi: lesi berwarna gelap
(ungu) di kulit dan atau mulut, mata,
paru, usus sering disertai edema.
5. Ca serviks
6. PCP
7. Retinitis CMV
8. TB ekstra paru
9. Meningitis kriptokokal: meningitis
dengan atau tanpa kaku kuduk
10. Abses otak toksoplasmosis
11. HIV wasting syndrome: sangat kusus
disertai demam kronis dan atau diare
kronis
12. Ensefalopati HIV: gangguan
neurologis yang tidak disebabkan oleh
faktor lain, seringkali membaik
dengan pengobatan ART

2.1.5 Tes diagnostic

Human immunodeficiency virus (HIV) ditemukan dalam cairan tubuh

terutam pada darah, cairan sperma, cairan vagina dan ASI. Penyebaran infeksi

sudah bisa terjadi sejak penderita belum menampakkan gejala klinis (Nursalam,

8
Kurniawati, Misutarno, & Solikhah, 2018). Beberapa tes untuk mendiagnosis HIV

yang digunakan di Indonesia meliputi tes serologi dan tes virologi.

1. Tes Serologi HIV

Tes serologi terdiri dari atas tes cepat (rapid tes), tes enzyme immunoassay,

serta tes western bolt (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014). Tes

cepat dapat mendeteksi antibodi terhadap HIV-1 maupun HIV-2 dalam waktu

yang relatif cepat (<20 menit) (Nursalam, Kurniawati, Misutarno, & Solikhah,

2018).

Tes enzyme immunoassay yang lazim dilakukan adalah ELISA. ELISA

dapat mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi

tidak selalu spesifik, kare penyakit lain bisa juga menunjukkan hasil positif.

Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan false positive, antara lain adalah

penyakit autoimun, infeksi virus, atau keganasan hematologi. Kehamilan juga

bisa menyebabkan false positive (Nursalam, Kurniawati, Misutarno, &

Solikhah, 2018).

Tes Westen Bolt merupakan tes antibodi untuk konfirmasi HIV pada kasus

yang sulit. Western Bolt merupakan elektroforesis gel poliakrilamid yang

digunakan untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika

tidak ada rantai protein yang ditemukan, berarti hasil tes negatif. Sementara

bila hampir atau semua rantai protein ditemukan, berarti wester bolt positif.

Tes Wester bolt mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita

HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulang lagi setelah dua minggu

dengan sampel yang sama. Jika tes Western Bolt tetap tidak bisa disimpulkan,

9
maka tes Western Bolt harus diulang lagi setelah enam bulan. Jika tes tetap

negatif maka pasien dianggap HIV negatif (Nursalam, Kurniawati, Misutarno,

& Solikhah, 2018).

2. Tes Viroligi HIV

Tes virologi dilakukan menggunkan teknik polymerase Chain Reaction (PCR). Tes

ini direkomendasikan untuk mendiagnosis HIV pada anak berusia kurang dari 18

bulan, meliputi: HIV DNA kualitatif dari darah lengkap atau Dried Blood Spot

(DBS) dan HIV RNA kuantitatif menggunakan sampel plasma darah (Nursalam,

Kurniawati, Misutarno, & Solikhah, 2018)

2.1.6 Diagnosis HIV

Diagnosis HIV pada orang dewasa mengikuti prinsip-prinsip khusus. Baik

diagnosis klinik maupun laboratorium dikembangkan untuk menentukan diagnosis

negatif atau positif. Tanda dan gejala pada infeksi HIV awal bisa sangat tidak

spesifik dan menyerupai infeksi lain yaitu: letargi, malaise, sakit tenggorokan,

mialgia (nyeri otot), demam, dan berkeringat. Pasien mungkin mengalami beberapa

geja, tetapi tidak mengalami keseluruhan gejala tersebut diatas. Pada stadium awal,

pemeriksaan laboratorium merupakan cara terbaik untuk mengetahui apakah pasien

terinfeksi HIV atau tidak (Nursalam, Kurniawati, Misutarno, & Solikhah, 2018)

2.1.7 Intervensi

Pelayanan berkesinambungan dan terintegrasi selama pra dan pasca tes

memberdayakan penderita HIV untuk membuat keputusan tentang perawatan serta

terapi pilihan, yang bisa memengaruhi penularan penyakit maupun status

kesehatannya (Nursalam, Kurniawati, Misutarno, & Solikhah, 2018).

10
2.2 Konsep ARV

ARV bias diberikan pada pasien untuk menghentikan aktivitas virus,

memulihkan system imun dan mengurangi terjadinya infeksi oportunistik,

memperbaiki kualitas hidup, serta menurunkan kecacatan. ARV tidak

menyembuhkan pasien HIV, namun bias memperbaiki kualitas hidup dan

memperpanjang usia harapan hidup penderita HIV/AIDS. Obat ARV terdiri atas

beberapa golongan seperti nukleosida reverse transcriptase inhibitor, nucleotide

reverse transcriptase inhibitor, non-nucleotide reverse transcriptase inhibitor, dan

inhibitor protease. (Nursalam, Kurniawati, Misutarno, & Solikhah, 2018).

Terapi pemberian ARV biasa disingkat ART. Ada beberapa syarat yang harus

dipenuhi oleh penderita untuk memulai anti-retroviral theraphy (ART). Adapun

syarat yang harus dipenuhi adalah :

1. Infeksi HIV telah dikonfirmasi dengan hasil tes positif yang tercatat

2. Memiliki indikasi medis dan tidak memulai ART jika tidak memenuhi indikasi

klinis

3. Mengulangi pemeriksaan CD4 dalam empat bulan jika memungkinkan

4. Pasien yang memenuhi kriteria dapat memulai pelayanan kesehatan

5. Jika infeksi oportunistik telah diobati dan sudah stabil, maka pasien telah siap

pengobatan ART

6. Adanya tim medis AIDS yang mampu memberikan perawatan kronis dan

menjamin persediaan obat yang cukup.

Terapi pemberian ARV adalah sebagai berikut :

1. Menghentikan replikasi virus HIV

11
2. Memulihkan system imun dan mengurangi terjadinya infeksi oportunistik

3. Memperbaiki kualitas hidup

4. Menurunkan morbiditas dan mortalitas karena infeksi HIV

(Nursalam, Kurniawati, Misutarno, & Solikhah, 2018)

2.2.1 Jenis obat ARV

1 Nucleoside reverse trancriptase inhibitor (NRTI) untuk menghambat proses

perubahan RNA virus menjadi DNA contoh zidovudine, lamivudine, stavudine

dsb.

2 Nucleotide reverse trancriptase inhibitor (NrRTI) contoh tenofovir (TDF)

3 Non-Nucleoside reverse trancriptase inhibitor (NNRTI) bekerja dengan

menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA dengan cara mengikat

reverse transcriptase sehingga tidak berfungsi. Contoh nevirapine, delavirdine,

efavirenz

4 Protease inhibitor (PI) berfungsi untuk menghalangi kerja enzim protease yang

berfungsi memotong DNA yang dibentuk oleh virus dengan ukuran yang benar

untuk memproduksi virus baru. Contoh indinavir (IDV), nelvinavir (NFV),

squinavir (SQV), ritonavir (RTV), amprenavir (APV), laponavir/ritonavir

(LPV/r).

5 Fusion inhibitor, obat yang termasuk golongan ini adalah enfuvirtide (T-20).

Tabel 2.1 Beberapa contoh ARV, kemungkinan efek samping dan petunjuk

penggunaannya

12
Jeni Berapa
Nama Kemungkinan Petunjuk Dengan/tanpa
s kali/hari
obat efek samping penggunaan obat makanan
obat
AZT RTI Mual muntah, Mulai dengan 2-3 Diminum
sakit kepala,
dosis kecil lalu kali/hari sebelum
susah tidur,
dinaikkan selama makan, bila
nyeri otot, dua minggu, mual minum
jangan minum sesudah
obat larut malam. makan.
ddc RTI Luka dimulut, Tidakada 3 Dapat
kelainan saraf kali/hari diminum
tepi, radang dengan /
pankreas tanpa
makanan.
ddi RTI Diare, radang Harus diminum 2 Harus
pankreas sewaktu perut kali/hari diminum
kosong sewaktu
perut kosong
d4t RTI Sakit kepala, Tidakada 2 Dapat
diare, panas kali/hari diminum
dengan/tanpa
makanan
3TC RTI Sakit kepala, Tidakada 2 Dapat
lesu, sulit tidur, kali/hari diminum
neutropenia dengan/tanpa
makanan
Nevirapi NN Kelainan hati, Bercak merah 2 Paling baik
ne RTI bercak merah dapat diobati kali/hari diminum
pada kulit dengan waktu
antihistamin makan.
Ritonovir PI Mual, diare, 2 kali/hari 2 Harus
lemah, muntah, kali/hari diminum
gangguan sewaktu
pengecapan, makan,
kurang nafsu terutama
makan, mati makanan
rasa, atau geli tinggi protein
sekita rmulut dan lemak
Delavirdi NN Lesu, mual, Bercak merah 3 Harus
ne RTI diare, kelainan dapat diobati kali/hari diminum
hati, bercak dengan sewaktu
merah pada antihistamin perut kosong.
kulit, panas dengan
pengawasan
dokter. Hindari

13
Jeni Berapa
Nama Kemungkinan Petunjuk Dengan/tanpa
s kali/hari
obat efek samping penggunaan obat makanan
obat
makanan
berlemak.
Saquinivi PI Diare, mual Pertimbangkan 2-3 Harus
r obat lain bila kali/hari diminum
diare, jangan sewaktu
minum makan,
antihistamin terutama
kecuali dengan makanan
pengawasan tinggi protein
dokter. dan lemak.
Indinavir PI Mual, kelainan Jangan makan 3 Harus
hati, batu ginjal. satu jam sebelum kali/hari diminum
dan dua jam sewaktu
sesudah minum perut kosong
obat. Banyak
minum air
sepanjang hari
untuk mencegah
batu ginjal.
Jangan minum
antihistamin
kecuali dengan
pengawasan
dokter

2.2.2 Alur pemberian ART

ART perlu diberikan seumur hidup karena itu pemberian ART perlu

mengikuti beberapa langkah seperti yang dijelaskan pada gambar.

14
HIV + dan bergejala simtomatis menentukan
stadium klinik HIV CD$ (atau total limfosit )
dan apakah memenuhi syarat ART

Memenuhi syarat untuk ART Belum memenuhi syarat untuk ART

1. Pengobatan infeksi oportunistik sampai


stabil, rujuk ke RS daerah jika diperlukan 1. Profilaksis sesuai indikasi
2. Persiapan untuk patuh (sedikitnya dua kali 2. Monitoring klinik dan mengulang
kunjungan) penentuan stadium
3. Pendidikan kesehatan dan dukungan 3. Pemberian ART ketika sudah siap
4. Kunjungan rumah jika memungkinkan 4. Memberikan dukungan dan Pendidikan
5. Menyiapkan pendamping, misalnya teman, kesehatan di klinik dan masyarakat
kelompok sebaya, PMO 5. Upaya pencegahan

1. Pengobatan infeksi oportunistik


2. Pasien dan pendamping siap untuk
mematuhi pengobatan ART (pertemuan
timk linik)

1. Memulai terapi ARV


2. Pasien tanpa komplikasi di bawah
pengawasan dokter
3. Lain-lain oleh dokter

1. Jadwal control
2. Pemantauan
3. Dukungan kepatuhan dan psikososial

Gambar 2.1 Alur pemberian ART (Nursalam, Kurniawati, Misutarno, & Solikhah,
2018)

2.2.3 Waktu memulai ART

Semakin cepat pengobatan dimulai, semakin baik hasilnya. Obat akan bekerja

dengan baik bila system kekebalan juga bekerja dengan baik melawan virus.

15
Namun demikian, waktu memulai terapi ART harus dipertimbangkan dengan

seksama karena ART diberikan dalam jangka Panjang. Syarat memulai pengobatan

ART :

1. Infeksi HIV telah dikonfirmas idengan hasil positif yang tercatat

2. Memiliki indikasi medis. Ulangi pemeriksaan CD4 dalam empat bulan jika

memungkinkan

3. Pasien yang memenuhi kriteria dalam memulai di pelayanan kesehatan

4. Infeksi oportunistik telah diobati dan sudah stabil

5. Pasien telah siap untuk pengobatan ART

6. Adanya tim medis AIDS yang mampu memberikan perawatan kronis

7. Persediaan obat yang cukup

(Nursalam, Kurniawati, Misutarno, & Solikhah, 2018)

2.2.4 Pemilihan regimen terapi

ARV harus diberikan dalam bentuk kombinasi tiga jenis obat, yakni

ketiganya harus terserap dan berada dalam dosis terapeutik dalam darah. Manfaat

penggunaan obat-obatan dalam bentuk kombinasi adalah sebagai berikut:

1. Memperoleh khasiat yang lebih lama untuk memperkecil kemungkinan

terjadinya resistensi

2. Meninkatkan efektivitas dan lebih menekan aktivitas virus

3. ART kombinasi lebih efektif karena mempunyai khasiat ART yang lebih tinggi

dan menurunkan viral load lebih tinggi dibanding penggunaan satu jenis obat

saja

16
Kombinasi ART ini dikena dengan Highly Active Antiretroviral Therapy

(HAART) atau disingkat antiretroviral therapy (ART). Karakteristik HAART yang

baik antara lain sebagai berikut:

1. Poten, harus menurunkan viral load mencapai level takterdeteksi dalam 3-4

bulanterapi

2. Regimen dapat dipatuhi secara optimal

3. Sederhana

4. Efek samping yang dapat ditoleransi

5. Pilihan yang sesuai dengan terapi masa depan

6. Dapat diterima dan bertahan lama

7. Komitmen pasien untuk terapi seumur hidup

(Nursalam, Kurniawati, Misutarno, & Solikhah, 2018)

2.2.5 ART untuk pencegahan pasca pajanan

1 ART untuk pencegahan pasca pajanan (PPP)

Pencegahan pasca pajanan merupakan pemberian ARV dalam waktu singkat

untuk mengurangi kemungkinan didapatnya infeksi HIV setelah terpapar ketika

bekerja atau setelah kekerasan seksual. PPP sebaiknya ditawarkan pada kedua

kelompok pajanan tersebut dan diberikan sesegera mungkin dalam waktu 72 jam

setelah paparan. Penilaian kebutuhan PPP harus berdasarkan status HIV sumber

paparan jika memungkinkan, dan pertimbangan prevalensi dan epidemiologi HIV

di tempat tersebut. PPP tidak diberikan jika orang yang beresiko terpapar

sebenarnya HIV posistif atau sumber paparannya negatif. Lamanya pemberian PPP

HIV adalah 28-30 hari. Pilihan obat PPP harus didasarkan pada panduan ARV lini

17
pertama yang digunakan, juga mempertimbangkan kemungkinan resistensi ARV

pada sumber paparan. Oleh karena itu sebelum pemberian PPP sebaiknya diketahui

jenis dan riwayat ARV sumber paparan, termasuk kepatuhannya. Regimen terap

iuntuk PPP adalah sebagai berikut (Nursalam, Kurniawati, Misutarno, & Solikhah,

2018).

Tabel 2.2 Panduan Regimen Terapi Untuk Pencegahan Pasca Pajanan

Orang yang terpajan Panduan ARV


Remaja dan dewasa Pilihan TDF + 3TC + LPV/r
Alternatif TDF + 3TC + EFV
AZT + 3TC + LPV/r
Anak (<10 th) Pilihan AZT + 3TC + LPV/r
Alternatif TDF + 3TC + LPV/r
Dapat menggunakan
EFV/NVP untuk NNRTI

2 ART lini pertama

ART lini pertama diperuntukkan bagi ODHA yang belum pernah mendapatkan

terapi ARV sebelumnya. Berikut adalah panduan ART lini pertama (Nursalam,

Kurniawati, Misutarno, & Solikhah, 2018).

Tabel 2.3 Panduan ART Lini Pertama Menurut Permenkes No 87 Tahun2014


tentang Pedoman Pengobatan Anriretroviral
Usia Panduan Kombinasi ARV Keterangan
Anak ≥5 Panduan TDF + 3TC ( atau FTC) + EFV Jangan memulai TDF jika creatinine
tahun, pilihan dalam bentuk KDT (kombinasi clearance test (CCT) hitung< 50 ml
dewasa, dalam tiga dosis tetap) menit atau diabetes lama/ hipertensi
ibu hamil tidak terkontrol KDT = TDF + 3TC +
dan EFV
mnyususi, Panduan AZT + 3 TC + EFV (NVP) Jangan memulai AZT jika Hb<10 g
ODHA alternatif TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
koinfeksi
hepatitis
B, ODHA
dengan TB
Zidovudine (AZT) Merupakan pilihan utama

18
Usia Panduan Kombinasi ARV Keterangan
Anak< 5 Pilihan Stavudine (d4T) Dipertimbangkan bila Hb<7,5 g/dl,
tahun NRTI ke- karena risiko jangka Panjang d$T,
1 maka setelah pemakaian 6-12 bulan
(jika hb>10 g/dl) diubah ke AZT.
Bilaada efek anemia kembali 4dT
Tenofovir (TDF) Dapat digunakan untuk anak usia> 2
tahun. Waspada ESO berupa
osteoporosis yang menganggu
pertumbuhan
Pilihan Lamivudine (3TC)
NRTI ke
-2
Pilihan Nevirapine (NVP)
NNRTI Efavirenz (EFV) Dapat diberikan pada anak usia ≥ 3
tahun, atau BB ≥ 10 kg.
Merupakan terap ipilihan pada anak
TB
Jangan digunakan jika ada gangguan
psikiatri berat
Jika BB memungkinkan, sebaiknya
menggunakan KDT

3 ART lini pertama untuk anak dengan terapi tuberkulosis

Anak penderita HIV yang mendapatkan terapi TB perlu pertimbangan terapi

khusus, seperti terlihat pada tabel (Nursalam, Kurniawati, Misutarno, & Solikhah,

2018).

Tabel 2.4 regimen ART untuk anak dan remaja dengan HIV yang mendapatkan
terapi TB
Panduan ART linipertamauntukanak dan remajadenganterapi TB
< 3 tahun Tripel NRTI (AZT + 3TC + ABC)
≥ 3 tahun Dua NRTI + EFV atauTripel NRTI (AZT + 3TC +
ABC)
Panduan terapi untuk memulai terapi Tb pada anak dan infant yang mendapat ART
Anak mendapat regimen < 3 tahun Lanjutkan NVP, pastikandosisnya 200 mg/m3
terapi standar berbasis NNRT atau
( dua NRTI + EFV atau NVP) tripelNRTI (AZT + 3TC + ABC)
≥ 3 tahun Jikaanakmendapatkan EFV, lanjutkan regimen
yang sama
Jikaanakmendapatkan NVP, substitusidengan
EFV, atau
tripel NRTI (AZT + 3TC + ABC)
Anak mendapat regimen < 3 tahun Tripel NRTI (AZT + 3TC + ABC) atau lanjutkan
terapi standar berbasis PI ( dua LPV/r, tambahkan RTV untuk mencapai dosis
NRTI + LPV/r) terapi penuh

19
≥ 3 tahun Jika tidak ada riwayat gagal pengobatan
denganNNRTI :
Substitusi dengan EFV atau tripel NRTI (AZT +
3TC + ABC) atau lanjutkan LPV/r, tambahkan
RTV untuk mencapai dosis terapi penuh.
Jika ada riwayat gagal pengobatan NNRTI :
tripel NRTI (AZT + 3TC + ABC) atau, tambahkan
RTV untuk mencapai dosis terapi penuh,
pertimbangkan konsultasi dengan ahli
untukmengganti ART lini kedua

4 Art lini kedua

ARV lini kedua pada dewasa dan anak diberikan pada pasien yang gagal terapi

; diagnosis gagal terapi ditetapkan berdasarkan criteria klinis, imunologis, dan

virologi. Resistensi silang dalam kelas ARV yang sama terjadi pada mereka yang

mengalami kegagalan terapi. Resistensi terjadi ketika HIV berproliferasi meskipun

dalam terapi ARV (Nursalam, Kurniawati, Misutarno, & Solikhah, 2018).

Prinsip pemilihan panduan ARV lini kedua adalah pilih kelas obat sebanyak

mungkin, dan bila kelas obat yang sama akan dipilih maka pilihlah obat yang sama

sekali belum dipakai sebelumnya (Nursalam, Kurniawati, Misutarno, & Solikhah,

2018).

Tabel 2.5 panduan ARV lini kedua pada remaja dan dewasa

Populasi target Panduan ARV yang Panduan lini kedua pilihan


digunakan pada lini pertama
Dewasa dan remaja (≥ 10 Berbasis AZT atau d4T TDF + 3TC (atau FTC) +
tahun) LPV/r
Berbasis TDF AZT + 3TC + LPV/r
HIV dan koinfeksi TB Berbasis AZT atau d4T TDF + 3TC (atau FTC) +
LPV/r dosisg anda *
Berbasis TDF AZT + 3 TC + LPV/r
dosisganda *
HIV dan HBV koinfeksi Berbasis TDF AZT + TDF + 3TC (atau FTC)
+ LPV/r

20
Keterangan:

Dosis ganda = Rifampisin sebaiknya tidak digunakan pada pemakaian LPV/r.

panduan OAT yang dianjurkan adalah 2SHZE, selanjutnya dengan 4HE dengan

evaluasi rutin kelainan mata. Namun, pada infeksi meningitis TB yang perlu tetap

menggunakan rifampisisn, maka LPV/r dapat digunakan dengan dosis ganda LPV/r

800 mg/200 mg 2 x sehari atau 2 x 2 tablet.

Tabel 2.6 panduan ART lini kedua pada anak

Linipertama Linikedua
AZT (atau d4T) + 3 TC + NVP (atau EFV) ABC (atau TDP) + 3TC(atau FTC) +
LPV/r
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP (atau EFV) AZT + 3 TC + LPV/r
ABC + 3TC + NVP ( EFV)

Keterangan : TDF hanyadapatdigunakan pada anakusia diatas dua tahun.

5 ART lini ketiga

ART lini ketiga merupakan terapi penyelamatan jika ART lini kedua

dinyatakan gagal. Kriteria yang digunakan untuk penentuan kegagalan terapi lini

kedua harus menggunakan criteria virologis (pemeriksaan HIV RNA). Penentuan

kegagalan terapi lini kedua harus dilakukan saat ODHA menggunakan ART lini

kedua minimal enam bulan dalam keadaan kepatuhan yang baik. Tesresistensi

genotyping diwajibkan sebelum pindah kelini ketiga (Nursalam, Kurniawati,

Misutarno, & Solikhah, 2018).

21
Tabel 2.7 ART lini ketiga pada dewasa dan anak

Rekomendasi panduan ART lini ketiga


Dewasa ETR + RAL + DRV/r
Anak ETR + RAL + DRV/r

Catatan : ARV lini ketiga belum disediakan program nasional

2. 3 Konsep Aderence (Kepatuhan)

Kepatuhan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku

pasien dalam minum obat secara benartentang dosis, frekuensi, dan waktunya,

sedangkan complience adalah pasien mengerjakan apa yang telah diterangkan oleh

dokter/apotekernya. Kepatuhan ini amat penting dalam pelaksanaan ART, karena

bila obat tidak mencapai konsentrasi optimal dalam darah maka akan

memungkinkan berkembangnya resistensi. Meminum dosis obat tepat waktu dan

meminumnya secara benar (misalnya bersama makanan vs lambung kosong) adalah

penting untuk mencegah terjadinya resistensi. Derajat kepatuhan sangat berkolerasi

dengan keberhasilan dalam mempertahankan supresi virus (Nursalam, Kurniawati,

Misutarno, & Solikhah, 2018).

Terdapat korelasi positif antara kepatuhan dengan keberhasilan, dan HAART

sangat efektif bila diminum sesuai aturan. Hal ini berkaitan dengan resistensi obat

dan menekan virus HIV. Semua obat antiretroviral diberikan dalam bentuk

kombinasi, disamping meningkatkan efektifitas juga penting dalam mencegah

resistensi. Kepatuhan terhadap aturan pemakain obat juga sangat membantu

mencegah terjadinya resistensi. Virus yang resisten terhadap obat akan berkembang

22
cepat dan berdampak pada bertambah buruknya perjalanan penyakit (Nursalam,

Kurniawati, Misutarno, & Solikhah, 2018).

Beberapa kiat penting untuk mengingat minum obat yaitu meminum obat

pada waktu yang sama setiap hari, harus selalu tersedia obat dimanapun biasanya

penderita berada, misalnya dikantor, dirumah, dan ditempat lain., membawa obat

kemanapun pergi (dikantong, tas, dan lain-lain asal tidak memerlukan lemari es),

menggunakan peralatan (jam, HP yang berisi alarm yang bisa diatur agar berbunyi

setiap waktunya minum obat) untuk mengingatkan waktu saatnya minum obat

(conn dan Ruppar, 2017).

Perawat memiliki peran penting dalam peningkatan kepatuhan pasien.

Penelitian yang melibatkan 221 responden di UK menunjukkan bahwa pasien yang

berada di grup perlakuan (mendapat intervensi dari perawat berupa adherence

improving self-management startegy-AIMS) memiliki viral load 1.26 kali lebih

tinggi (95 % CI 1,04-1,52) dan intervensi ini juga terbukti lebih hemat biaya (de

Bruin dkk, 2017)

Selain interaksi dengan perawat, sebuah sistematik review menunjukkan

bahwa kepatuhan pasien terhadap pengobatan merupakan interaksi sosial antara

identitas pasien dan obat, dimediasi oleh interaksi dengan keluarga, teman,tenaga

kesehatan, media, dan obat itu sendiri (Rathbone dkk, 2017)

23
BAB 3
KASUS DAN PEMBAHASAN

3. 1 Kasus
Ny. S usia 45 tahun MRS di ruang Cendana sejak tanggal 1 November 2019

dengan diagnose AIDS on ARV (tidak teratur) + CAP + Vomiting + Dehidrasi

Sedang + Anemia (HB 8,6). Pasien datang sendiri dengan keluhan sesak nafas

selama 1 minggu, batuk dahak selama 3 hari, mual dan muntah saat makanan, BAB

hitam, BAK normal, dan muncul benjolan di leher kanan kurang lebih 1 minggu.

Pasien riwayat HIV selama 5 tahun, rutin kontrol 1 bulan sekali di Poli UPIPI

RSUD Dr. Soetomo, namun pasien mengungkapkan tidak rutin minum ARV

dengan alasan lupa. Pasien mendapatkan terapi ARV 2x sehari. Pasien bisa lebih

dari 3 kali lupa minum obat dalam waktu 1 bulan. Menurut keterangan pasien,

perawat disini sudah sering mengedukasi pasien untuk minum obat secara teratur.

Tidak ada keluarga yang mengingatkan pasien untuk minum obat secara teratur

selama dirumah. Pasien hanya tinggal dirumah bersama anak kedua pasien yang

berusia 9 tahun dan anak ketiga pasien yang berusia 5 tahun, sedangkan anak

pertama pasien berusia 13 tahun sedang bekerja di Bali dan suami pasien sudah

meninggal 1 tahun yang lalu dengan HIV. Pasien menikah dua kali, dengan suami

pertama pasien bercerai dan suami kedua pasien meninggal dengan HIV. Dari

pemeriksaan fisik pada tanggal 5 November 2019 diapatkan Tekanan darah

110/70mmHg, Nadi 80x/menit, Respiratory rate 20x/menit, Suhu 37ºC, Sp02 98%,

KU cukup, dan pasien rencana pulang hari ini. Pasien mendapatkan terapi infus

Asering 14 tpm, Tranfusi PRC 1-2 ml/kgBB/jam.

24
Menurut keterangan perawat ruangan, perawat sudah mengedukasi pasien

untuk tertur minum obat. Dan menurut keterangan perawat Poli UPIPI, setiap

pasien yang kontrol akan diedukasi ulang untuk mengingatkan pasien untuk teratur

minum obat. Setiap pasien yang kontrol di Poli UPIPI akan ditanyakan sisa obat di

pasien, apabila tidak sesuai jumlahnya, penilaian adherence pasien selama rutin

kontrol tepat waktu akan tetap dinilai 1, karena penilaian adherence di Poli UPIPI

hanya berdasarkan kepatuhan datang untuk kontrol, bukan kepatuhan minum obat

selama dirumah.

3. 2 Pembahasan

3.2.1 Idetifikasi masalah

Pada kasus Ny. S, perawat dapt mengidentifikasi situasi/masalah dan

mneganalisis situasi. Ny. S memiliki kepatuhan dalam kontrol mengambil obat

namun Ny. S tidak memiliki kepatuhan dalam mengkonsumsi obatnya. Hal ini

dibuktikan dengan adanya penilaian adherence pasien 1 yang menandakan pasien

rutin kontrol, namun pada penghitungan sisa obat pasien ini tidak sesuai yang

menandakan adanya ketidak patuhan dalam mengkonsumsi obatnya. Saat dikaji

pasien juga mnegungkapkan sering lupa minum obat.

3.2.2 Pengumpulan data

Berdasarkan kasus pada Ny. S, kasus yang terjadi adalah ketidakpatuhan

pasien dalam menjalani terapi pengobatan HIV, yang terjadi pada pasien adalah

ketidak patuhan dalam mnegkonsumsi obat secara rutin.

25
3.2.3 Identifikasi alternative pilihan

1. Memberikan penjelasan (health education) kembali kepada pasien tentang

proses penyakit dan pengobatan yang harus dijalani

2. Berkoordinasi dengan pasien untuk mencari seseorang yang dapat menjadi

kontrol minum obat pasien selama pasien berada di rumah

3.2.3 Rencana tindakan

Perawat memilih alternative untuk berkoordinasi dengan pasien untuk mnecari

seseorang yang dapat dijadikan kontrol minum obat pasien

3.2.4 Implementasi

Perawat telah mencoba melakukan pendekatan kepada pasien untuk menggali

seseorang yang direncanakan sebagai pengawas minum obat bagi pasien.

3.2.5 Evaluasi

Ny. S mencoba terbuka kepada keluarganya yang dapat ia percaya yang kelak

akan ditujuk sebagai pengawas minum obat. Kondisi Ny. S semakin membaik dan

Ny. S dapat KRS

26
BAB 4

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Permasalahan yang masih menjadi tantangan gabi penderita HIV salah

satunya adalah kepatuhan dalam mengkonsumsi obat ARV. Kepatuhan dalam

kedatangan kontrol masih ditemukan, namun dalam kondisi pasien yang rutin

kontrol ternyata juga terdapat permasalahan dalam kepatuhan minum obat.perawat

pasein HIV sangat dibutuhkan kerjasama dari pasien maupun seseorang yang dapat

bertanggung jawab terhadap kondisi pasien. Perawat perlu melakukan kerjasama

yang terus-menerus antara pasien dan penanggung jawab pasien untuk mencapai

pengobatan yang tepat.

4.2 Saran

Pengobatan yang baik dan tepat bagi penderita HIV merupakan bagian dalam

peningkatan kualitas hidup pasien HIV, sehingga perlu dilakukan penguatan dalam

kerjasama antara pasien, tenaga medis dan keluarga dalam proses pengobatan

pasien dengan HIV.

27
DAFTAR PUSTAKA

Nursalam, Kurniawati, N. D., Misutarno, & Solikhah, F. K. (2018). Asuhan


Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika

28

Anda mungkin juga menyukai