Anda di halaman 1dari 3

Identitas Diri, (Agama,Suku Dan Warga Dunia)

Dalam Memaknai Keragaman


Oleh : Riyan Betra Delza

Sebagai warga negara dalam sebuah bangsa yang besar yang dikarunia oleh nikmat
suku, bahasa, dan agama tentunya hal ini membuat kita bersyukur dengan adanya
anugerah tersebut. Tidak banyak warga bangsa lain memiliki anugerah yang begitu
complete seperti ini. Masalah bahasa saja, kita mempunyai 742 jenis bahasa dan
mempunyai 1.340 suku dan memiliki 300 kelompok etnis (sumber data sensus BPS 2015)
.

Dari berbagai bentuk keragaman tersebut tentunya ada banyak peran dan tanggung
jawab yang disandang oleh bangsa Indonesia, disatu sisi ia adalah bagian dari pemeluk
suatu kepercayaan (agama), disatu sisi ia juga bagian dari suku tertentu, dan disisi lain ia
juga sebagai warga negara yang berpijak pada idelogi bangsa, pancasila dan UUD 1945
dan diranah yang lebih makro ia juga bagian dari warga dunia.

Maka tidak salah kiranya komentar Samuel Hutington pada abad ke 20, ia mengatakan
bahwa Indonesia adalah negara yang berpotensi paling besar hancur setelah Uni soviet
dan yogoslavia. Demikan juga apa yang di sampaikan oleh Antropolog Cliford Gertz , ia
mengatakan jika Indonesia tidak berpandai-pandai memenajemen keberagaman etnik,
budaya, solidaritas etnik, maka Indonesia akan pecah menjadi negara-negara kecil.

Oleh karena itu penting rasanya memperkuat identitas diri kita dengan cara benar-benar
menempatkan diri ditengah panasnya suhu keragaman ini. Pertama karena identitas diri
kita sebgai pemeluk agama tentunya persoalan keagamaan di selesaikan diranah-ranah
privat, dan masing-masing pemeluk agama mesti sadar betul dengan keadaan ini. Salah
satunya benar-benar menghormati dengan mempertajam sifat toleransi, dalam arti kata,
hal-hal yang bersangkutan dengan ajaran keagamaan yang mempunyai hak atas itulah
yang berhak menyelesaikan ketika ada pertikaian.

Salah satu faktor utama konflik keagamaan adalah adanya paradigma keberagamaan
masyarakat yang masih ekslusif. Pemahaman keberagamaan ini membentuk pribadi
yang antipati terhadap pemeluk agama lainnya. Pribadi yang tertutup dan menutup
ruang dialog dengan pemeluk agama lainnya. Pribadi yang selalu merasa hanya agama
dan alirannya saja yang paling benar sedangkan agama dan aliran keagamaan lainnya
adalah salah dan bahkan dianggap sesat. Karena itu, perlu dibangun pemahaman
keberagamaan yang lebih inklusifpluralis, multikultural, humanis, dialogis-persuasif,
kontekstual, substantive.

Tidak boleh terprovokasi dengan isu yang terkontaminasi oleh kepentingan-


kepentiingan praktis. Jikapun ada mesti hal itu di lakukan dengan cara-cara yang elok
tetapi tetap dalam bungkusan ranah privat misal, persoalan muslim diselesaikan di
ranahnya muslim, nasrani, hindu, budha juga seperti itu. Tidak boleh mencampuri hak-
hak beragama baik itu dalam konteks dakwah, atau ajaran bagii setiap pemelauk agama,
kecuali hal-hal yang dibahas pada forum akademis.

Kedua identitas sebagai bagian dari anggota suku tertentu, Terbentuknya komunitas
bernama masyarakat adalah implikasi logis dari realisasi kemanusiaan dengan fitrahnya
sebagai homo socious (makhluk bermasyarakat). Hubungan antar individu dengan
keinginan dan tujuan yang sama pada akhirnya membentuk sebuah sistem sosial yang
dinamakan masyarakat. Dalam pandangan (Koentjaraningrat, 1990, p. 138), masyarakat
adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat
tertentu yang bersifat kolektif dimana manusia itu bergaul dan berinteraksi.
Dalam keadaan itulah di Indonesia penting kiranya kita mengingat kembali dari sejuknya
semboyan “bhineka tunggal Ika” artinya apa, persolan budaya (suku) kita selesesaikan
dengan semangat nasional. Walaupun kita berbeda suku tapi seyogyanya kita adalah
bagian dari sebuah bangsa yang mengikraran persatuannya. mengingat kenyataan
bahwa dengan semangat kebhinnekaanlah, negara ini hanya bisa bertahan dalam
persatuan.

Penting rasanya menghormati kemandirian daerah dengan keleluasaan menjalankan


kegiatan kesukuannya tanpa ada rasa kecemburuan yang mendalam dengan selalu
mengedapankan rasa solidaritas.

Ketiga identitas sebagai warga dunia, sebagai warga negara dari sebuah bangsa, kita
juga merupakan warga dunia. Jika kita ingat terbentuknya NKRI ini tidak terlepas dari
bantuan dari saudara kita yang berada di negara-negara lain. Ketika ada persoalan yang
menyangkut kemanusiaan, lintas negara kita harus memberikan bantuan semampu yang
kita bisa. Sebagai wujud dari bentuk solidaritas sekaligus identitas diri. Dalam UUD 1945
juga di tulis bahwa “penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan prikemanusiaan dan prikeadilan” hal ini kembali mengingatkan kita bahwa selain
tanggung jawab nasional kita sebagai warga bangsa Indonesia juga memilki tanggung
jawab internasional, untuk mewujudkan peradaban yang adil, aman, tentram dan
sejahtera.

Semoga dengan mengingat kembali identitas diri, tanggung jawab social kita bisa
menciptakan sebuah peradaban global yang BALDATUN THAYYIBATUN WA RABBUN
GHAFUR

Anda mungkin juga menyukai