Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Buya Hamka


Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka,
yakni singkatan namanya, (lahir di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera
Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah
sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik. Ia dinyatakan sebagai
Pahlawan Nasional Indonesia setelah dikeluarkannya Keppres No. 113/TK/Tahun 2011 pada
tanggal 9 November 2011.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama di Padang Panjang pada tahun 1927.
Kemudian ia mendirikan cabang Muhammadiyah di Padang Panjang dan mengetuai cabang
Muhammadiyah tersebut pada tahun 19281.
tahun 1931, ia diundang ke Bengkalis untuk kembali mendirikan cabang
Muhammadiyah. Dari sana ia melanjutkan perjalanan ke Bagansiapiapi, Labuhan Bilik,
Medan, dan Tebing Tinggi, sebagai mubaligh Muhammadiyah. Pada tahun 1932 ia dipercayai
oleh pimpinan Muhammadiyah sebagai mubaligh ke Makassar, Sulawesi Selatan. Ketika di
Makassar, sambil melaksanakan tugasnya sebagai seorang mubaligh Muhammadiyah, ia
memanfaatkan masa baktinya dengan sebaik-baiknya, terutama dalam mengembangkan lebih
jauh minat sejarahnya. Ia mencoba melacak beberapa manuskrip sejarawan muslim lokal.
Bahkan ia menjadi peneliti pribumi pertama yang mengungkap secara luas riwayat ulama besar
Sulawesi Selatan, Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari. Bukan itu saja, ketika di Makassar
ia juga mencoba menerbitkan majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan. Majalah
tersebut diberi nama “al-Mahdi”.
Pada tahun 1934, Hamka meninggalkan Makassar dan kembali ke Padang Panjang,
kemudian berangkat ke Medan. Di Medan bersama M. Yunan Nasution ia mendapat tawaran
dari Haji Asbiran Ya’kub, dan Mohammad Rasami (mantan sekretaris Muhammadiyah
Bengkalis) untuk memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat. Melalui rubrik Tasawuf
modern, tulisannya telah mengikat hati para pembacanya, baik masyarakat awam maupun

1
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam.Yogjakarta,
Ar-Ruzz Media

1
kaum intelektual, untuk senantiasa menantikan dan membaca setiap terbitan Pedoman
Masyarakat.2
Pemikiran cerdas yang dituangkannya di Pedoman Masyarakat merupakan alat yang sangat
banyak menjadi tali penghubung antara dirinya dengan kaum intelektual lainnya, seperti Natsir,
Hatta, Agus Salim, dan Muhammad Isa Anshary. Pada tahun 1945 Hamka kembali ke Padang
Panjang. Sesampainya di Padang Panjang, ia dipercayakan untuk memimpin Kulliyatul
Muballighin dan menyalurkan kemampuan jurnalistiknya dengan menghasilkan beberapa
karya tulis. Di antaranya: Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi
Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan Dari Lembah Cita-Cita.
Pada tahun 1949, Hamka memutuskan untuk meninggalkan Padang Panjang menuju
Jakarta. Di Jakarta, ia menekuni dunia jurnalistik dengan menjadi koresponden majalah
Pemandangan dan Harian Merdeka. Ia kemudian mengarang karya otobiografinya, Kenang-
Kenangan Hidup pada tahun 1950. Di samping itu, ia juga aktif di kancah politik melalui
Masyumi.
Pada tahun 1950, setalah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya, Hamka melakukan
kunjungan ke beberapa negara Arab. Di sana, ia dapat bertemu langsung dengan Thaha Husein
dan Fikri Abadah. Sepulangnya dari kunjungan tersebut, ia mengarang beberapa buku roman.
Di antaranya Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai
politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya
penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan
di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional,
Indonesia.
Pada tahun 1955 Hamka beliau masuk Konstituante melalui partai Masyumi dan menjadi
pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum. Pada masa inilah pemikiran Hamka sering
bergesekan dengan mainstream politik ketika itu. Misalnya, ketika partai-partai beraliran
nasionalis dan komunis menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Dalam pidatonya di
Konstituante, Hamka menyarankan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kalimat
tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknyan sesuai yang termaktub dalam
Piagam Jakarta. Namun, pemikiran Hamka ditentang keras oleh sebagian besar anggota
Konstituante, termasuk Presiden Sukarno. Perjalanan politiknya bisa dikatakan berakhir ketika

2
Al-Ghanimi al-Taftzani, Abu al-Wafa’. 1985. Sufi dari Zaman ke Zaman. Bandung: Pustaka

2
Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno pada 1959. Masyumi kemudian
diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960.3
Meski begitu, Hamka tidak pernah menaruh dendam terhadap Sukarno. Ketika Sukarno
wafat, justru Hamka yang menjadi imam salatnya. Banyak suara-suara dari rekan sejawat yang
mempertanyakan sikap Hamka. “Ada yang mengatakan Sukarno itu komunis, sehingga tak
perlu disalatkan, namun Hamka tidak peduli. Bagi Hamka, apa yang dilakukannya atas dasar
hubungan persahabatan. Apalagi, di mata Hamka, Sukarno adalah seorang muslim.
Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Soekarno karena
dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakan, beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang
merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai
anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji
Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.
Pada tahun 1978, Hamka lagi-lagi berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya
adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut
ketentuan libur selama puasa Ramadan, yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan. Idealisme
Hamka kembali diuji ketika tahun 1980 Menteri Agama Alamsyah Ratuprawiranegara
meminta MUI mencabut fatwa yang melarang perayaan Natal bersama. Sebagai Ketua MUI,
Hamka langsung menolak keinginan itu. Sikap keras Hamka kemudian ditanggapi Alamsyah
dengan rencana pengunduran diri dari jabatannya. Mendengar niat itu, Hamka lantas meminta
Alamsyah untuk mengurungkannya. Pada saat itu pula Hamka memutuskan mundur sebagai
Ketua MUI.
Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas
al-Azhar, Cairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa
Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari
Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas
Prof. Dr. Moestopo.
Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun dan dikebumikan di Tanah
Kusir, Jakarta Selatan. Jasanya bukan hanya diterima sebagai seorang tokoh ulama dan
sastrawan di negara kelahirannya, bahkan di Malaysia dan Singapura.

3
Hamka. 1974. Kenang-kenangan Hidup. Jakarta: Bulan Bintang

3
B. Karya karya Hamka
Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab. (2) Pembela Islam (Tarikh Saidina
Abu Bakar Shiddiq),1929. (3) Adat Minangkabau dan agama Islam (1929). (4)Ringkasan
tarikh Ummat Islam (1929). (5) Hikmat Isra' dan Mikraj. (6) Arkanul Islam (1932) di Makassar.
(7) Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934. (8) Di Bawah Lindungan Ka'bah
(1936) Pedoman Masyarakat,Balai Pustaka. (9) Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937),
Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka. (10) Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman
Masyarakat, Balai Pustaka. (11) Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku
Syarkawi. (12) Tashawwuf Modern 1939. (13) Majallah 'SEMANGAT ISLAM' (Zaman
Jepang 1943). (14) Majallah 'MENARA' (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946.
(15) Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946. (16) Dibantingkan ombak
masyarakat,1946. (17) Didalam Lembah cita-cita,1946. (18) Sesudah naskah Renville,1947.
(19) Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi,Sedang Konperansi Meja Bundar. (20)
Ayahku,1950 di Jakarta.

C. Pemikiran Tasawuf Hamka

Di dalam literatur Hamka, ia tidak menggunakan istilah Tazkiyatun Nafs sebagaimana


yang sering dipakai sebagian ulama untuk merujuk kepada model penyucian jiwa di dalam
Islam. Akan tetapi, jika dilihat dari misi dan definisi yang disebutkan Hamka melalui istilah
tasawuf , maka kita akan menemukan kesamaan maksud. Dalam mendefinisikan istilah tasawuf
Hamka menyebutnya sebagai ‘ilmu’. Artinya, Hamka menilai bahwa tasawuf adalah sebuah
disiplin ilmu yang telah mapan di dalam kajian Islam.
Dalam buku Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Hamka menjelaskan bahwa
tasawuf adalah Shifâ’ul Qalbi, artinya membersihkan hati, pembersihan budi pekerti dari
perangai-perangai yang tercela, lalu memperhias diri dengan perangai yang terpuji.” Dalam
bukunya yang lain Tasawuf Modern, tasawuf adalah membersihkan jiwa, mendidik dan
mempertinggi derajat budi, menekan segala kelobaan dan kerakusan, memerangi sahwat yang
terlebih dari keperluan untuk keperluan diri”. Sedangkan dalam buku Tasawuf dari Abad ke
Abad, Hamka mendefinisikan tasawuf sebagai, “Orang yang membersihkan jiwa dari pengaruh
benda dan alam, supaya dia mudah menuju Tuhan”.
Dari definisi yang dijelaskan Hamka di atas dapatlah kita melihat kesamaan misi antara
Tazkiyatun Nafs dan tasawuf, di mana keduanya menginginkan sebuah upaya yang satu, yaitu
pembersihan diri atau jiwa seseorang dari perangai buruk dan dosa yang di anggap buruk oleh

4
syari’at Islam. Oleh sebab itulah, paparan di atas sejalan dengan apa yang dijelaskan Hamka
ketika menafsirkan QS. Asy-Syams: 9-10 dalam Tafsir al Azhar: 9-10,“Sungguh beruntung
orang yang mensucikan (jiwa itu). Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya”. Menurutnya,
penyakit yang paling berbahaya bagi jiwa ialah mempersekutukan Allah dengan yang lainnya.
Termasuk juga mendustakan kebenaran yang dibawa oleh Rasul, atau memiliki sifat hasud,
dengki kepada sesama manusia, benci, dendam, sombong, angkuh dan lain-lain. Maka
seseorang yang beriman hendaknya mengusahakan pembersihan jiwa dari luar dan dalam, dan
janganlah mengotorinya. Sebab menurut Hamka, kekotoran itulah yang justeru akan membuka
segala pintu kepada berbagai kejahatan besar.4
Meskipun Hamka menggunakan istilah tasawuf, akan tetapi tasawuf yang dikemukakan
Hamka bukanlah tasawuf sebagaimana yang difahami kebanyakan orang. Tasawuf yang
dikembangkan Hamka adalah tasawuf yang memiliki basis pada koridor syari’at agama
(Tasawwûf Masyrû’). Oleh sebab itulah, di dalam penilaian Hamka, tasawuf tidaklah memiliki
sumber lain melainkan bersumberkan murni dari Islam. Dirinya sangat menekankan keharusan
setiap individu untuk melakukan pelaksanaan tasawuf agar tercapai budi pekerti yang baik.
Hamka mendasarkan konsep tasawufnya ini pada kerangka agama dibawah pondasi
aqîdah yang bersih dari praktek-praktek kesyirikan, dan amalan-amalan lain yang bertentangan
dengan syari’at. Sebab bagaimanapun juga Hamka benar-benar menyadari bahwa tasawuf yang
telah menjadi ilmu tersendiri ini , pada perjalanannya mendapatkan pencemaran dari
pandangan hidup lain dan tak jarang bagi para pelakunya terjerumus pada praktek-praktek yang
tidak di syari’atkan oleh Islam. Hamka mengatakan, “Karena kita tidak dapat memungkiri
bahwa ajaran asli itu (tasawuf) di jaman akhir sudah banyak dicampuri, kalau tidak boleh
dikatakan dikotori oleh pengaruh yang lain itu.” Dalam bukunya yang lain Dari
Perbendaharaan Lama, Hamka juga menyebutkan keadaan ilmu tasawuf yang diterima oleh
sebagian besar muslim di negeri ini telah mendapat percampuran dengan hikayat, dongeng-
dongeng, serta pemahaman dan keyakinan-keyakinan lain, terutama dari agama nenek
moyangnya yaitu Hindu.5
Dalam proses menuju ma’rifat sebagai puncak kebahagiaan para pelaku tasawuf
(kedekatan yang intens kepada Allah), di mana tasawuf menjembatani hal itu, maka Hamka
menjelaskan bahwa secara umum ilmu tasawuf menawarkan trilogi konsep sebagai pencapaian
kearah itu di antaranya takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli, yaitu sebuah usaha pembebasan

4
Mustofa. 1997. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia

5
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2009), h:103-104

5
diri dari sifat-sifat tercela, sementara tahalli, sebagai usaha untuk mengisi dan berhias diri
dengan sikap-sikap terpuji, dan tajalli merupakan penghayatan rasa ketuhanan atau dalam
istilah Hamka, “Kelihatan Allah di dalam hati. Bukan di mata, tapi terasa di hati, bahwa Dia
ada.
Untuk menimbulkan persepsi yang berbeda di kalangan khalayak ramai tentang
tasawuf, Hamka kemudian memunculkan istilah tasawuf modern. Penggunaan istilah tasawuf
yang diimbuhi dengan kata ‘modern’ sebenarnya merupakan suatu terobosan yang rentan
kritik. Hal itu mengingat ketokohan Hamka yang lahir dari pergerakan kaum modernis yang
berafiliasi dalam gerakan Muhammadiyah, dimana dalam faham keagamaannya organisasi ini
menentang praktek-praktek tasawuf pada umumnya. Oleh karenanya, Muhammad Damimi
dalam bukunya Tasawuf Positif mencoba mendudukan kepentingan Hamka dalam
mengetengahkan konsep tasawuf modernnya, bahwa istilah ‘tasawuf modern’ merupakan
lawan terhadap istilah ‘tasawuf tradisional’.
Di mana tasawuf yang ditawarkan Hamka berdasar pada prinsip tauhid, bukan
pencarian pengalaman mukasyafah. Jalan tasawufnya dibangun lewat sikap zuhûd yang dapat
dirasakan melalui peribadatan resmi. Keberadaan tasawuf yang fahami oleh Hamka adalah
semata-mata hendak menegakkan prilaku dan budi manusia yang sesuai dengan karakter Islam
yang seimbang atau menurut bahasa Hamka, i’tidal. Untuk itulah, manusia dalam prosesnya
mesti mengusahakan benar-benar ke arah terbentuknya budi pekerti yang baik, terhindar dari
kejahatan dan penyakit jiwa atau penyakit batin. Hamka menegaskan, “Budi pekerti jahat
adalah penyakit jiwa, penyakit batin, penyakit hati. Penyakit ini lebih berbahaya dari penyakit
jasmani. Orang yang ditimpa penyakit jiwa akan kehilangan makna hidup yang hakiki, hidup
yang abadi. Ia lebih berbahaya dari penyakit badan.
Dokter mengobati penyakit jasmani menurut syarat-syarat kesehatan. Sakit itu hanya
kehilangan hidup yang fana. Oleh sebab itu hendaklah dia utamakan menjaga penyakit yang
hendak menimpa jiwa, penyakit yang akan menghilangkan hidup yang kekal itu”. Hamka
menambahkan, ”Adapun jalan tasawuf ialah merenung ke dalam diri sendiri. Membersihkan
diri dan melatihnya dengan berbagai macam latihan (riyâdhah al-nafs), sehingga kian lama kian
terbukalah selubung diri dan timbullah cahaya yang gemilang”. Maka menurutnya kehidupan
bertasawuf tidaklah seperti yang digambarkan oleh para sufi pada umumnya, hingga
melemahan gerak manusia. Dalam membangun hidup bertasawuf, Hamka melandasinya

6
dengan kekuatan Aqidah. Sebab dengan kekuatan inilah, perjalanan tasawuf akan terhindar dari
bentuk-bentuk kemusyrikan yang sering kali terjadi pada seorang sufi.6

D. Karya Tulisan Hamka Serta Isi Nya

1. Di Bawah Lindungan Ka’bah

Judul : Di Bawah Lindungan Kaabah

Pengarang : Prof Dr. Hamka

Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bh

Genre : NovelMukasurat :84 halaman

Cetakan Ketiga : 2006

Hamka lahir pada 17 Februari 1908 di Meninjau, Sumatera Barat dan meninggal dunia
pada 24 Julai 1981 di Jakarta. Nama sebenar Hamka ialah Haji Abdul Malik bin Karim bin
Amrullah. Beliau merupakan salah seorang tokoh pendakwah yang disegani di rantau
Nusantara, juga seorang yang bijak dan mahir dalam bidang kesusasteraan, penulisan kreatif
dan prolifik, seorang pujangga dan ahli falsafah Islam.
Baru sekarang adinda beroleh berita di mana Abang sekarang. Telah hampir dua tahun
hilang saja dari mata, laksana seekor burung yang terlepas dari sangkarnya sepeninggal yang
empunya pergi. Kadang-kadang adinda sesali diri sendiri, agaknya adinda telah bersalah besar,
sehingga Kakanda pergi dengan tak memberi tahu lebih dahulu.
Hanya kepada surat Abang itu, surat yang hanya sekali itu dinda terima selama hidup,
adinda tumpahkan air mata, kerana hanya menumpahkan air mata itulah kepandaian yang
paling perhabisan bagi orang perempuan. Tetapi surat itu bisu, meskipun ia telah lapuk dalam
lipatan dan telah layu kerana kerap dibaca, rahsia itu tidak juga dapat dibukanya. Sekarang
Abang, badan adinda sakit-sakit, ajal entah berlaku pagi hari, entah besok petang, gerak Allah
siapa tahu. Besarlah pengharapan bertemu.7

6
Solihin, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), 276 .
7
Samsul Nizar, Seabad Buya Hamka (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 47.

7
2. Di Dalam Lembah Kehidupan

Judul : Di Dalam Lembah Kehidupan


Pengarang : Prof Dr. Hamka
Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd
Genre : Kumpulan Cerpen
Mukasurat :207 halaman
Cetakan Pertama : 2006
ISBN : 9839422758

Sesungguhnya kumpulan gubahan yang saya beri nama “Di Dalam Lembah
Kehidupan” ini adalah kumpulan airmata, kesedihan dari rintihan yang diderita oleh
segolongan manusia di atas dunia ini. Airmata mereka itu sudah mengalir ke tanah dan hilang
lenyap dalam pasir. Seorang pun tidak peduli akan hal itu. Bagaimana orang akan peduli,
padahal orang sedang dibayangi kesenangan dan kemewahan?

Moga-moga hikayat-hikayat pendek ini terbaca juga oleh orang yang senang hidupnya.
Moga-moga mereka insaf, bahawa di sebalik tabirnya adalah orang yang susah dan sulit
keadaannya; bahawa tidak sedikit makhluk yang kecewa dan melarat, yang sudah patgah
sayapnya sebelum terbang, terkulai dan jatuh, sehingga tidak dapat berbangkit lagi.Bagi orang
yang melarat itu pun mudah-mudahan cerita ini berfaedah pula. Agak kurang duka hatinya
apabila diketahuinya, bahawasanya ada juga orang lain yang senasib dengan

7. Islam & Adat Minangkabau

Judul : Islam & Adat Minangkabau


Pengarang : Prof Dr. Hamka
Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd
Genre : Esei
Mukasurat :356 halaman

8
Cetakan Pertama : 2006
ISBN : 9839422774

Pada hakikatnya di Minangkabau orang laki-laki amat sengsara. Dia tidak mempunyai
tempat tinggal yang tetap. Hanya sebentar sahaja dia tinggal di dalam rumah ibunya, iaitu
sampai umur 6 tahun. Selepas itu, dia sudah mesti tidur di surau bersama-sama temannya
sambil belajar mengaji Al-Quran. Malu benar bagi anak Minangkabau tidur di rumah apabila
sudah pandai melangkah ke surau. Setelah patut beristeri, dia menjadi semenda ke rumah
isterinya, dan dia tidak ada kuasa di dalam rumah itu. Kalau dia bercerai dari sana, dialah yang
mesti membawa bungkusannya dan berangkat.
Ketika buku ini mulai tersiar nescaya pihak nenek-mamak yang berfaham kolot dengan
serta-merta menyatakan kemarahannya, malahan ada pula bermaksud hendak menculik penulis
kerana dipandang hendak meruntuh adat. Bahkan ada yang menuduh bahawa penulis adalah
kakitangan “Nica” (penjajah), iaitu tuduhan yang mudah saja dilemparkan kepada setiap orang
yang disenangi pada masa itu.

Judul : Kesepaduan Iman & Amal Salih


Pengarang : Prof Dr. Hamka
Penerbit : Pustaka Dini Sdn Bhd
Genre : Esei
Mukasurat :198 halaman
Cetakan Pertama : 2003
ISBN : 9839422537

Hubungan di antara Iman dengan amal, adalah hubungan antara budi dan perangai.
Kalau kita percaya kepad aAllah tentu kita cinta kepada-Nya, tentu kita sudi berkorban
menuruti apa yang terpakai dalam alam ini, adalah cinta palsu. Apatah lagi terhadap Allah,
nescaya iman palsu, Islam palsu.Memperakui diri seorang Islam padahal tidak mengerjakan
solat lima waktu, cubalah fikirkan, betulkah pengakuan itu? Mendakwa diri seorang Islam,
padahal enggan mengeluarkan zakat? Sebab apa? Apakah lantaran merasa bahawa harta itu
bukan pemberian Tuhan? Mengakui diri seorang Islam, padahal enggan melakukan puasa
Ramadhan.
Apakah sebabnya? Bukankah ini lantaran pengakuan itu belum bulat? Lain di mulut
lain pula di hati?Anda hendak berjuang, menegakkan cita-cita Islam, dalam masyarakat, dalam

9
negara, ekonomi, politik dan sebagainya, padahal solat lima waktu anda tinggalkan. Hal ini
petanda rumah yang hendak anda bina itu, anda tegakkan di atas tiang yang lapuk. Atau anda
mendirikan rumah tidak memakai tiang. Maka selamanya rumah itu tidak akan tegak. Rumah
baru berdiri, apabila dimulai dari sendirinya.

E. Analisis Terhadap Pemikiran Hamka

Ketika banyak manusia yang menyanjung kemajuan hidup di zaman baru –modern-
secara berlebihan, dan ikut terbawa dalam pola kehidupan yang tinggi dalam pemenuhan
kepuasaan badan. Serta gaya hidup yang bersendikan pada kepentingan kebendaan -materialis-
yang menjadi kebanggan, adalah salah satu realitas yang digambarkan oleh Hamka pada fase
baru perkembangan zaman dan kebudayaan modern diberbagai belahan wilayah bangsa.
Bom atom adalah puntjak daripada hidup kebendaan jang tengah mempengaruhi alam
manusia di zaman ini. Kemadjuan, peradaban, kebudajaan dan segenap segi hidup di zaman
sekarang telah dipengaruhi oleh kebendaan belaka. Kehidupan orang seorang, bahkan
kehidupan seluruh masjarakat telah dimasuki oleh pengaruh kebendaan.(
Hamka, Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad, Djakarta: Pustaka Islam, 1953, hlm. 10)
Hamka sebagai salah satu tokoh masyarakat dan agama, yang hidup dan berinteraksi
langsung bersama masyarakat di pusat ibukota, telah melihat realitas modernisme yang juga
telah merasuki kehidupan masyarakat sejak di awal kemerdekaan Indonesia. Meskipun diakui
bahwa modernisme ini telah memberikan kemudahan untuk menunjang kebutuhan dan
kemajuan hidup manusia. Namun tata kehidupan yang kompetitif, berjalan begitu cepatnya
dengan nilai-nilai kebebasan yang terbuka. Sehingga membawa manusia pada persaingan
dalam mengejar syahwat dunia secara eksploitatif dan membabi buta. Ada unsur penting yang
terkadang tidak diindahkan dari nilai moral dan hubungan diri manusia, sehingga membuat
mereka selalu merasa kurang, dan mengalami kejenuhan serta kekosongan jiwa.
Sekarang ternjata bahwa memperturutkan hidup kebendaan sadja telah menimbulkan
kedjemuan besar. Njata bahwasanja puntjak keindahan bukanlah terletak pada barang, pada lux
dan elite, pada rumah bagus dan ketjepatan perhubungan belaka. Pada kemudahan-kemudahan
hidup dan kepuasan nafsu kelamin. Sekarang mulai timbul sanggahan kepada kehidupan
kebendaan jang demikian. (Hamka, Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad, Djakarta:
Pustaka Islam, 1953, hlm. 11)8

8
http://www.insandesainstitute.web.id/2019/04/tasawuf-hamka-mengembalikan-kebahagiaan.html

10
Pada 1983, Gus Dur pernah menulis esai yang cukup panjang sebagai pengantar untuk
kumpulan tulisan (antologi) tentang Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Bukan
semata-mata perkara ketebalan jumlah lembar, yang dalam edisi cetak mencapai 16 halaman,
apa yang digubah Gus Dur itu bagi saya sangat mengesankan.

Tulisan tersebut, oleh Gus Dur diberi judul Benarkah hamka Seorang Besar? dan
menjadi hidangan pembuka, menyertai artikel-artikel lain kala itu, yang ditulis oleh para tokoh
kondang, seperti Mukti Ali, Harmoko, A. Syaikhu, Adnan Buyung Nasution, Djohan Effendi,
dan masih banyak lagi.
Membaca tulisan Gus Dur ini, saya banyak belajar dan menyerap informasi berharga.
Di antaranya tentang seni dan strategi kritik, menulis tentang seseorang. Hamka yang namanya
harum dan bersinar memperoleh pujian sebagai sastrawan, budayawan, ilmuwan, ahli ilmu-
ilmu agama Islam, ulama, mubalig, politisi, penganjur asimilasi etnis, pembimbing orang yang
ingin memeluk agama Islam, pendidik, dan pemimpin, namun di hadapan Gus Dur justru
dijungkirbalik, remuk redam, hancur lebur.
Gus Dur mencincang predikat mulia hamka layaknya tukang jagal menyayat daging
sembelihan. Meski kadang, Gus Dur mengapresiasi hamka setinggi langit, tapi di saat
bersamaan, ia menjatuhkannya hingga terkapar. Diangkat lagi, dijatuhkan lagi. Begitu
seterusnya hingga akhir tulisan.

‘’Gus Dur memberi tips jitu dalam menulis tentang seseorang, dan ini sering saya ingat.’’
Untuk menulis tentang seseorang, terlebih dulu harus meletakkan pandangan kita
sendiri terhadap orang itu. Harus tahu siapa diri kita, sebelum mencoba mengerti orang lain.
Dengan demikian, secara sengaja kita memasukkan unsur subjektivitas ke dalam kerja kita,
walaupun bukan subjektivitas yang timbul dari hubungan pribadi dengan orang yang kita tulis
(personalized subjectivity). Titik tolak kita bukanlah bagaimana kita berpapasan terhadapnya,
melainkan dari titik mana kita akan melihat dirinya, lingkungannya, dan peranan yang
dilakukannya dalam lingkungan tersebut”, tulis Gus Dur.9
Abdurrahman Wahid, seorang tokoh NU, bahkan mengakui penguasaan Hamka
terhadap keilmuan Islam ini. Dalam sebuah komentarnya, Abdurrahman Wahid menulis:
“Pengetahuannya tentang Islam sudah bulat dan utuh tinggal terserah Buya Hamka
sendiri akan diapakan. Ilmu-ilmu agama klasik, keempat belas mata pelajaran yang dirumuskan

9
https://alif.id/read/ali-usman/menyimak-kritik-sastra-gus-dur-kepada-hamka-b221763p/

11
oleh as-Suyuthi dalam Itmâm al-Dirâyah-nya, seluruhnya dipelajari Buya Hamka di bawah
bimbingan ayahnya. Dengan demikian, pengetahuan agamanya bersifat menyeluruh, baik
menyangkut “materi inti” berupa ajaran-ajaran agama itu sendiri dalam berbagai
pembidangannya, tetapi juga metode yang digunakan untuk memahami ke semua materi itu
dan menyusunnya ke dalam sebuah disiplin tunggal. Ditambah oleh perhatiannya yang besar
kepada sejarah bangsa-bangsa Muslim dan keasyikannya kepada ungkapan-ungkapan [dan
kutipan] sastra Arab klasik, apa yang disajikannya dalam masalah-masalah keagamaan
umumnya terasa sangat menawan.
Ditambah pula oleh orientasi pemikirannya yang bersifat tanggap kepada kebutuhan
masyarakat akan perubahan, sajian (discourse) yang dikemukakannya terasa “menghanyutkan”
bagi banyak orang, tidak terkecuali mereka yang mengetahui secara pasti kekurangan Buya
Hamka di bidang-bidang lain.”10
Menurut Jassin, buku-buku keagamaan Hamka mempunyai gaya sastera, menarik dan
akan digemari orang. Bahkan Jassin dalam bukunya, Kesusteraan Indonesia Modern Dalam
Kritik dan Essay, menyebut Hamka sebagai salah seorang pengarang Islam Indonesia yang
terhitung indah buah penanya. Dalam roman “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, menurut Jassin
banyak diselipkan pikiran-pikiran yang tinggi, ajaran ke-Islaman dan sindiran-sindiran atas
adat istiadat masyarakat, yang dalam pandangan Hamka berlawanan sekali dengan agama
Islam.11
Menurut Abdurrahman Wahid, salah satu sumbangan terbesar Hamka di luar Tafsir Al-
Azhar adalah “berhasil mendudukkan kembali beberapa aspek ilmiah yang tadinya hilang dari
perhatian sebagian kelompok Muslim dalam pengetahuan tentang agama mereka, yaitu tentang
tasawuf. Sebagai obyek kajian ilmiah, tasawuf pernah menjadi momok bagi kalangan
pembaruan diperempat pertama abad XX, sebagian besar karena penolakan mereka atas
praktek-praktek kaum tarekat penganut tasawuf, yang salah dan bahkan bertentangan dengan
ajaran agama dalam pandangan mereka.12
Di sinilah, tegas Abdurrahman Wahid, kehadiran Buya Hamka lewat Tasawuf Modern-
nya memberi legitimasi kepada kecenderungan yang memang sebenarnya sudah ada, tetapi

10
Abdurrahman Wahid, “Benarkah Buya Hamka seorang Besar? Sebuah Pengantar”, dalam Nasir Tamara,
Buntaran Sanusi dan Vincent Djauhari (penyunting), Hamka di mata Umat (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), h.
30.
11
Team Wartawan Panjimas, Perjalanan Terakhir Buya Hamka (Jakarta: Panjimas, 1982), h. 103.
12
Ibid.

12
masih tersembunyi oleh semangat “memperbarui” yang mewarnai sikap para pengikut gerakan
Muhammadiyah pada masa-masa permulaan pertumbuhannya.

Menurut Nurcholish Madjid, Buya Hamka banyak sekali dipengaruhi oleh al-Ghazâlî,
terutama Ihyâ `Ulûm al-Dîn.13 Dalam sebuah wawancaranya dengan M. Nasruddin Anshory
Ch, dari majalah Horison edisi No. 4, 23 April 1989, Nurcholish Madjid berkomentar tentang
Hamka:14
Meskipun sebagai orang Muhammadiyah, beliau itu banyak mengambil prinsip-prinsip
dasar dari keyakinan keagamaannya orang seperti Ibn Taymîyah, tetapi dia, seperti tercermin
dalam buku-bukunya itu, sangat banyak dipengaruhi oleh al-Ghazâlî. Dan memang Buya
Hamka adalah orang yang punya akses, karena ada kemampuan untuk membaca. Sehingga
wajar kalau dia menjadi kaya dalam pemikiran sufi ini. Saya kira tidak banyak orang seperti
Buya Hamka itu, di mana di satu pihak begitu modernis dan reformis, tapi di pihak lain dia
juga menerima dan mengembangkan sufi. Maka dia juga menulis buku Tasawuf Modern.
Dalam Tasawuf Modern itu, Buya Hamka bermaksud menonjolkan segi-segi kesufian dari
ibadah Islam, tanpa menjadi pengikut gerakan tarekat. Jadi bertasawuf dalam artinya yang
murni.15

13
Dalam kata sambutannya untuk terjemahan Ihyâ `Ulûm al-Dîn oleh Ismail Yakub, Hamka mengakui, ،°Di
zaman modern ini, saya sendiri amat banyak mengambil buah renungan Ghazâlî untuk buku saya Tasauf
Moderen،± (Lih. Ihya’ Al-Ghazali, Jil. I, penerj. Prof. Tk. H. Ismail Yakub, SH, MA [Jakarta: CV. Faizan, cet.
XIV, 1994], h. 17]
14
https://sulaiman2010.wordpress.com/2010/05/29/hamka-biografi-dan-orientasi-tasawuf/
15
Wawancara ini telah dibuat dalam Dr. Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam
Wacana Sosial Politik Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 319-320).

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, yakni
singkatan namanya, lahir di desa kampung Molek, Manijau, Sumatra Barat, 17 Februari 1908.
Ia adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama dan aktivis politik. Hamka meninggal dunia
pada 24 juli 1981.Hamka bukanlah seorang yang telah mengalami perjalanan ruhani, namun ia
dapat menerima dan mengamalkan tasawuf sebagai jalan untuk mendekatkan diri pada Allah,
selama ajarannya masih dalam koridor keIslaman yang berdasar pada al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kemudian ia pun mengkontekstualisasi dan menginterpretasikannya kembali hingga lebih
mudah diterima oleh masyarakat modern.

Hamka dalam beberapa kitab tasawuf yang dikarangnya mengakui bahwa tasawuf
banyak dirusak orang dalam bentuk bid’ah dan sebagainya maka beliau menghimbau agar
tasawuf baik isi dan prakteknya kembali pada al-Qur’an dan al-Hadits (sunnah Rasulullah).
Dengan demikian, sebenarnya positif dan negatif tasawuf Hamka adalah sangat bergantung
bagaimana ia dipraktikkan.

Menurut Abdurrahman Wahid, salah satu sumbangan terbesar Hamka di luar Tafsir Al-
Azhar adalah “berhasil mendudukkan kembali beberapa aspek ilmiah yang tadinya hilang dari
perhatian sebagian kelompok Muslim dalam pengetahuan tentang agama mereka, yaitu tentang
tasawuf. Sebagai obyek kajian ilmiah, tasawuf pernah menjadi momok bagi kalangan
pembaruan diperempat pertama abad XX, sebagian besar karena penolakan mereka atas
praktek-praktek kaum tarekat penganut tasawuf, yang salah dan bahkan bertentangan dengan
ajaran agama dalam pandangan mereka.
Di sinilah, tegas Abdurrahman Wahid, kehadiran Buya Hamka lewat Tasawuf Modern-
nya memberi legitimasi kepada kecenderungan yang memang sebenarnya sudah ada, tetapi
masih tersembunyi oleh semangat “memperbarui” yang mewarnai sikap para pengikut gerakan
Muhammadiyah pada masa-masa permulaan pertumbuhannya.

14
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghanimi al-Taftzani, Abu al-Wafa’. 1985. Sufi dari Zaman ke Zaman. Bandung: Pustaka
Damami, Mohammad. 2000. Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka .Yogjakarta:
Fajar Pustaka Baru.
Hamka, 1974. Kenang-kenangan H. Jakaridupta: Bulan Bintang
Mustofa. 1997. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2009), h:103-104.
Abdullah Hasan, Tokoh-Tokoh Masyhur Dunia Islam, (Surabaya: Jawara Surabaya, 2004),
301.
Samsul Nizar, Seabad Buya Hamka (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 47.
Solihin, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), 276.

https://alif.id/read/ali-usman/menyimak-kritik-sastra-gus-dur-kepada-hamka-b221763p/

http://www.insandesainstitute.web.id/2019/04/tasawuf-hamka-mengembalikan-
kebahagiaan.html

Abdurrahman Wahid, “Benarkah Buya Hamka seorang Besar? Sebuah Pengantar”, dalam
Nasir Tamara, Buntaran Sanusi dan Vincent Djauhari (penyunting), Hamka di mata
Umat (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), h. 30.
Team Wartawan Panjimas, Perjalanan Terakhir Buya Hamka (Jakarta: Panjimas, 1982), h.
103.
Dalam kata sambutannya untuk terjemahan Ihyâ `Ulûm al-Dîn oleh Ismail Yakub, Hamka
mengakui, ،°Di zaman modern ini, saya sendiri amat banyak mengambil buah renungan
Ghazâlî untuk buku saya Tasauf Moderen،± (Lih. Ihya’ Al-Ghazali, Jil. I, penerj. Prof. Tk. H.
Ismail Yakub, SH, MA [Jakarta: CV. Faizan, cet. XIV, 1994], h. 17]

https://sulaiman2010.wordpress.com/2010/05/29/hamka-biografi-dan-orientasi-tasawuf/

Wawancara ini telah dibuat dalam Dr. Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi
Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 319-
320).

15

Anda mungkin juga menyukai