2. Penting untuk mengidentifikasi pasien di mana terjadinya henti napas dan jantung
menandakan kondisi terminal penyakit pasien dan di mana usaha RJP tidak akan
membuahkan hasil (sia-sia).
3. Dalam menetapkan kebijakan DNR, penting untuk diketahui bahwa kebijakan ini harus
dipatuhi dan diikuti oleh seluruh tenaga kesehatan profesional di tingkat primer, rumah sakit,
dan petugas / tim transfer intra- dan antar-rumah sakit.
4. Hak pasien untuk menolak RJP harus dihargai. Hal ini mungkin dikarenakan pasien
berpendapat bahwa dengan melakukan usaha RJP hanya akan memperpanjang kualitas hidup
yang buruk.
5. Kebijakan ini hanya berkaitan dengan usaha RJP, bukan dengan penundaan atau pembatalan
pemberian tatalaksana lainnya, seperti terapi antibiotic, nutrisi parenteral, dan sebagainya.1
LATAR BELAKANG1
1. Angka kelangsungan hidup pasien dewasa (survival rates) yang dilakukan RJP dan pulang
dari rumah sakit sekitar 5 – 20 %, dan telah terbukti bahwa usaha RJP akan lebih baik jika:
a. Akses ke Tim Resusitasi / Unit Gawat Darurat dilakukan lebih awal (segera)
b. Pemberian bantuan hidup dasar lebih awal
c. Pemberian bantuan hidup lanjut lebih awal
2. Beberapa pasien memiliki angka kelangsungan hidup yang sangat rendah (< 1-2%), misalnya
pada pasien dengan infeksi berat, tekanan darah rendah dalam jangka waktu lama, gagal ginjal
/ jantung yang berat, atau keganasan dengan penyebaran luas (metastasis).
3. Angka kelangsungan hidup pasien anak yang mengalami henti jantung / napas di rumah sakit
adalah rendah. Namun jika ditangani dengan tepat dan segera, memiliki angka keberhasilan
sebesar 70%.
4. Angka kelangsungan hidup pasien anak yang mengalami henti jantung / napas di luar rumah
sakit masih di bawah 10%. Pada umumnya, anak-anak yang berhasil bertahan hidup dan
pulang dari rumah sakit mengalami defisit neurologi.
TUJUAN1
1. Untuk memastikan bahwa pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan Do Not
Resuscitate (DNR) tidak disalahartikan / misinterpretasi.
2. Untuk memastikan terjadinya komunikasi dan pencatatan yang jelas dan terstandarisasi
mengenai pengambilan keputusan DNR.
DEFINISI
1. Henti jantung: adalah suatu kondisi di mana terjadi kegagalan jantung secara mendadak
untuk mempertahankan sirkulasi yang adekuat.
a. Hal ini dapat disebabkan oleh fibrilasi ventrikel, asistol, atau pulseless electrical
activity (PEA).
b. Untuk memperoleh RJP yang efektif, resusitasi harus dimulai sesegera mungkin (< 3
menit setelah kejadian henti jantung).
c. Jika pasien ditemukan tidak bernapas, tidak adanya denyut nadi, dan pupil dilatasi
maksimal; hal ini bukanlah kejadian henti jantung dan tidak perlu dilakukan tindakan
resusitasi.2
4. Fase / kondisi terminal penyakit: adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh cedera atau
penyakit, yang menurut perkiraan dokter atau tenaga medis lainnya tidak dapat disembuhkan
dan bersifat ireversibel, dan pada akhirnya akan menyebabkan kematian dalam rentang waktu
yang singkat, dan di mana pengaplikasian terapi untuk memperpanjang / mempertahankan
hidup hanya akan berefek dalam memperlama proses penderitaan / sekarat pasien.
5. Pelayanan paliatif: adalah pemberian dukungan emosional dan fisik untuk mengurangi nyeri
/ penderitaan pasien. Hal ini termasuk: pemberian nutrisi, hidrasi, dan kenyamanan, kecuali
terdapat instruksi spesifik untuk menunda pemberian nutrisi / hidrasi.6
TANGGUNG JAWAB1
1. Chief Executive Officer dan Dewan Direksi: bertanggungjawab untuk memastikan
implementasi Kebijakan Do Not Resuscitate (DNR). Fungsi ini didelegasikan kepada Manajer
Pelayanan Medis
2. Manajer Pelayanan Medis: memastikan setiap staf / petugas mengetahui dan mematuhi
kebijakan ini, serta memastikan dilakukannya audit kebijakan DNR.
3. Staf / Petugas Rumah Sakit: semua staf yang terlibat dalam pengambilan keputusan
tindakan DNR dan resusitasi memahami dan menerapkan kebijakan ini. Penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi selama proses ini berlangsung harus dilaporkan pada berkas /
formulir insidens sesuai dengan algoritma yang berlaku.
PRINSIP
1. Harus tetap ada anggapan untuk selalu melakukan resusitasi kecuali telah dibuat keputusan
secara lisan dan tertulis untuk tidak melakukan resusitasi (DNR).
2. Keputusan tindakan DNR ini harus dicatat di rekam medis pasien.1
3. Komunikasi yang baik sangatlah penting.
4. Dokter harus berdiskusi dengan pasien yang memiliki kemungkinan henti napas / jantung
mengenai tindakan apa yang pasien ingin tim medis lakukan jika hal ini terjadi.
5. Pasien harus diberikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai kondisi dan penyakit
pasien, prosedur RJP dan hasil yang mungkin terjadi.2
6. Tanggung jawab dalam mengambil keputusan DNR terletak pada konsultan / dokter umum
yang bertanggungjawab atas pasien.1 Jika terdapat keraguan dalam mengambil keputusan,
dapat meminta saran dari dokter senior.2
6. Berikut adalah beberapa kondisi di mana tidak perlu dilakukan diskusi dengan pasien:
a. Jika resusitasi dianggap tidak ada gunanya / sia-sia
b. Diskusi berpengaruh buruk terhadap kesehatan pasien, misalnya pasien menjadi
depresi.
c. Pasien yang kompeten secara mental menyatakan bahwa mereka tidak ingin
mendiskusikan hal tersebut
d. Pasien mengalami deteriorasi, misalnya pasien berada dalam fase sekarat / terminal
dari penyakitnya.2
e. Pasien dinilai tidak memiliki kapasitas yang adekuat untuk mengambil keputusan
(lihat lampiran 1)1
5. Rekomendasi:
a. Pasien dengan keputusan DNR yang mungkin memerlukan prosedur pembedahan
harus dikonsultasikan kepada tim bedah dan anestesiologis.
b. Lakukan peninjauan ulang keputusan DNR oleh anestesiologis dan dokter bedah
dengan pasien, wali, keluarga, atau dokter penanggungjawab pasien (jika
diindikasikan) sebelum melakukan prosedur anestesi dan pembedahan.
c. Tujuan peninjauan ulang ini adalah untuk memperoleh kesepakatan mengenai
penanganan apa saja yang akan boleh dilakukan selama prosedur anestesi dan
pembedahan.
d. Terdapat 3 pilihan dalam meninjau ulang keputusan DNR, yaitu:
i. Pilihan pertama: keputusan DNR dibatalkan selama menjalani anestesi dan
pembedahan, dan ditinjau ulang kembali saat pasien keluar dari ruang
pemulihan. Saat menjalani pembedahan dan anestesi, lakukan RJP jika
terdapat henti jantung / napas.
iii. Pilihan ketiga: keputusan DNR tetap berlaku (tidak ada perubahan).
Pada beberapa kasus, pilihan ini tidak sesuai dengan pemberian
anestesi umum dalam pembedahan.
Pasien dapat menjalani prosedur pembedahan minor dengan tetap
mempertahankan keputusan DNR-nya.
Anestesiologis harus berdiskusi dan membuat kesepakatan dengan
psien / wali sah mengenai intervensi apa saja yang diperbolehkan,
seperti: kanulasi intravena, pemberian cairan intravena, sedasi,
analgesik, monitor, obat vasopressor, obat anti-aritmia, oksigenasi,
atau intervensi lainnya.
g. Secara hukum, yang berwenang untuk membuat keputusan DNR ini adalah:
i. Pasien dewasa yang kompeten secara mental
ii. Wali sah pasien (jika pasien tidak kompeten secara mental)
iii. Dokter penanggungjawab pasien, yang bertindak dengan mempertimbangkan
tindakan terbaik untuk pasien (jika belum ada keputusan DNR dini / awal
yang telah dibuat oleh pasien / wali sahnya).
h. Jika setelah diskusi, masih belum terdapat kesepakatan mengenai pilihan DNR mana
yang akan digunakan, pemegang keputusan tetaplah diberikan ke pasien/ wali sahnya.
i. Jika terdapat keraguan atau ketidakjelasan mengenai siapa yang berwenang untuk
membuat keputusan DNR, atau terdapat keraguan mengenai validitas suatu keputusan
DNR dini / awal, atau terdapat keraguan mengenai tindakan apa yang terbaik untuk
pasien; segeralah mencari saran kepada komisi etik atau lembaga hukum setempat.
j. Dalam kondisi gawat darurat, dokter harus membuat keputusan yang menurutnya
terbaik untuk pasien dengan menggunakan semua informasi yang tersedia.
k. Pilihan keputusan DNR ini harus diaplikasikan selama pasien berada di kamar operasi
dan ruang pemulihan.
l. Keputusan DNR ini haruslah ditinjau ulang saat pasien kembali ke ruang rawat inap.
6. Beberapa kondisi medis yang membutuhkan anestesi untuk intervensi operatif pada pasien
dengan keputusan DNR adalah:
a. Alat bantu asupan nutrisi (misalnya: feeding tube)
b. Pembedahan segera untuk kondisi yang tidak berhubungan dengan penyakit kronis
pasien (misalnya: apendisitis akut)
c. Pembedahan segera untuk kondisi yang berhubungan edngan penyakit kronis pasien
tetapi tidak dianggap sebagai suatu bagian dari proses terminal penyakitnya (misalnya:
ileus obstruktif)
d. Prosedur untuk mengurangi nyeri (misalnya: operasi fraktur kolum femur)
e. Prosedur untuk menyediakan akses vaskular.
8. Fase pre-operatif:
a. Lakukan diskusi antara pasien / wali sah, keluarga, anestesiologis, dokter bedah,
dokter penanggungjawab pasien, dan perawat.
b. Lakukan asesmen mengenai:
i. Kondisi medis pasien, termasuk status mental dan kompetensi pasien
ii. Intervensi pembedahan yang diperlukan
iii. Riwayat keputusan DNR sebelumnya, termasuk:
Durasi / batas waktu berlakunya keputusan tersebut
Siapa yang bertanggungjawab menetapkan keputusan tersebut
Alasan keputusan tersebut dibuat
iv. Keputusan pertama yang dibuat adalah mengenai apakah pasien ini perlu
menjalani anestesi dan pembedahan (pertimbangkan dari sudut pandang
pasien, keluarga, dokter bedah, dan anestesiologis).
v. Jika pembedahan dianggap perlu, tentukan batasan-batasan tindakan resusitasi
apa saja yang dapat dilakukan di fase peri-operatif , lakukan komunikasi yang
efektif, detail, dan terbuka dengan pasien, keluarga, dan atau wali sah pasien.
vi. Jika keputusan DNR telah dibuat dan disepakati, harus dicatat di rekam medis
pasien, ditandatangani oleh pihak-pihak yang terlibat, dan cantumkan tanggal
keputusan dibuat.
vii. Lakukan prosedur pembedahan segera setelah keputusan dibuat dan kondisi
medis pasien memungkinkan untuk menjalani pembedahan.
9. Fase intra-operatif
a. Keputusan DNR diaplikasikan selama pasien berada di kamar operasi.
b. Jika dilakukan pemberian premedikasi, haruslah sangat hati-hati untuk menghindari
terjadinya perubahan status fisiologis pasien sebelum di-transfer ke kamar operasi.
c. Semua petugas kamar operasi harus mengetahui mengenai pilihan keputusan DNR
yang diambil.
d. Dokter bedah dan anestesiologis yang terlibat dalam konsultasi pre-operatif harus
hadir selama prosedur berlangsung.
8. Re-asesmen wajib terhadap keputusan DNR sebelum menjalani prosedur anestesi dan
pembedahan
a. Pasien dengan instruksi DNR biasanya sering menjalani prosedur anestesi dan
pembedahan, terutama prosedur dengan tujuan memfasilitasi perawatan atau
mengurangi nyeri.
b. Etiologi dan kejadian henti jantung selama anestesi berbeda secara signifikan dengan
situasi di luar ruang operasi sehingga perlu dilakukan re-evaluasi mengenai instruksi
DNR.
c. Faktanya, angka keberhasilan resusitasi lebih tinggi di dalam kamar operasi / selama
anestesi berlangsung.
d. Pada beberapa kasus, pasien atau orang tua menginginkan adanya pembatasan usaha
resusitasi yang digunakan sepanjang periode peri-operatif.
e. Pemberian anestesi sendiri melibatkan beberapa prosedur yang dapat dianggap
sebagai salah satu bagian dari usaha resusitasi, misalnya pemasangan kateter
intravena, pemberian cairan dan obat-obatan intravena, dan manajemen jalan napas
dan ventilasi pasien.
f. Anestesiologis harus berdiskusi dengan pasien dan atau orang tua, menilai ulang status
DNR sebelum dilakukan prosedur pembedahan, dan mengkomunikasikan hasil
diskusi ini kepada seluruh petugas rumah sakit yang terlibat dengan perawatan pasien
selama periode intra-operatif dan pasca-operatif.
DOKUMENTASI1
1. Keputusan untuk tidak melakukan RJP harus dicatat di rekam medis pasien dan di formulir
Do Not Resuscitate (DNR) (lihat Lampiran 3). Formulir DNR harus diisi dengan lengkap
dan disimpan di rekam medis pasien.
2. Alasan diputuskannya tindakan DNR dan orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan
harus dicatat di rekam medis pasien dan formulir DNR. Keputusan harus dikomunikasikan
kepada semua orang yang terlibat dalam aspek perawatan pasien, termasuk dokter gigi,
podiatrist, dan sebagainya.
3. Keputusan DNR harus diberitahukan saat pergantian petugas / pengoperan pasien ke petugas /
unit lainnya.
4. Di rekam medis, harus dicatat juga mengenai hasil diskusi dengan pasien dan keluarga
mengenai keputusan untuk tidak melakukan resusitasi.
5. Dokumentasi dan komunikasi yang efektif akan memastikan bahwa petugas / unit lain
mengetahui instruksi DNR ini (jika pasien ditransfer ke unit lain).
6. Petugas ambulans yang terlibat dalam transfer juga harus mengetahui akan instruksi DNR ini.
5. Definisi:
a. Formulir Instruksi DNR di Luar Rumah Sakit yang valid: formulir tertulis yang
dinyatakan valid jika terisi lengkap dan ditandatangani oleh pasien / wali sahnya dan
dokter penanggungjawab pasien. Fotokopi yang dilegalisir dianggap sah dan berlaku.
(lihat lampiran 4)
b. Gelang DNR: adalah gelang pengenal yang berarti bahwa pemakainya memiliki
instruksi DNR yang valid. Gelang ini harus telah disetujui oleh pemerintah setempat,
resmi, mudah dikenali, dan khusus / khas; dipakai di pergelangan tangan atau kaki.
Gelang ini harus dikenali oleh Tim Kegawatdaruratan Medis dan petugas kesehatan
lainnya.
6. Panduan:
a. Tim Kegawatdaruratan Medis akan melakukan usaha RJP pada semua pasien yang
ditemukan henti napas/jantung kecuali jika pasien tersebut memiliki instruksi DNR
yang valid.
b. Jika pasien dengan henti jantung / napas memiliki instruksi DNR, tim
kegawatdaruratan medis harus:
i. Melakukan asesmen mengenai tidak adanya pernapasan dan atau denyut
jantung
ii. Jika petugas tiba di tempat kejadian tanpa mobil rawat intensif (MICU), ikuti
protokol setempat
iii. Untuk petugas MICU, kontak / hubungi dokter penanggungjawab pasien
(yang menandatangani DNR) untuk mengkonfirmasi validitas instruksi DNR-
di luar rumah sakit, beritahukan kondisi pasien.
c. Jika pasien dengan instruksi DNR yang valid tidak berada dalam kondisi henti
jantung / napas, tim kegawatdaruratan medis harus:
i. Melakukan asesmen pasien
ii. Menyediakan semua tatalaksana yang sesuai
iii. Menyediakan transportasi ke rumah sakit, jika diperlukan
iv. Menghargai dan mematuhi instruksi DNR jika terjadi henti napas / jantung
pada pasien selama transfer.
v. Memberikan salinan instruksi DNR ke rumah sakit penerima, jika tersedia.
d. Saat memutuskan untuk membuat instruksi DNR, dokter tidak boleh mempengaruhi
keinginan pasien / wali sahnya.
e. Instruksi DNR dapat dibatalkan kapanpun oleh pasien dengan merusak / menyobek
formulir dan gelang DNR, atau dengan menyatakan secara lisan.9
7. Pada pasien di panti jompo: perawat pasien diperbolehkan untuk menulis instruksi DNR
dan ‘penolakan untuk dirawat di rumah sakit’ (Do Not Hospitalized), berdasarkan hasil
konsultasi dengan dokter.
a. Prosedur Dasar
i. Memperoleh izin persetujuan tertulis (informed consent) dari pasien / wali
sahnya.
ii. Melengkapi ‘formulir instruksi DNR di luar rumah sakit’. Berikan salinan di
rekam medis pasien. Berikan bebrapa salinan kepada pasien dan atau keluarga
/ pengasuh di luar rumah sakit / panti jompo.
iii. Informasikan kepada pasien dan atau pengasuh mengenai penggunaan
formulir DNR ini dan anjurkan agar formulir ini diletakkan di tempat-tempat
yang mudah terlihat di rumah (misalnya: papan harian pasien, senderan
ranjang, pintu kamar tidur, atau kulkas).
iv. Pasien boleh menggunakan gelang DNR (tidak wajib). Gelang ini harus
dianggap valid dan mengindikasikan bahwa pasien memiliki instruksi DNR di
luar rumah sakit. Dokter harus menginformasikan kepada pasien / wali sahnya
mengenai ketersediaan gelang DNR sebagai sarana tambahan untuk
memberitahu Tim Kegawatdaruratan Medis.
v. Lakukan peninjauan ulang terhadap status DNR secara periodikn dengan
pasien / wali sahnya, lakukan revisi terhadap rencana penanganan pasien (jika
diperlukan), dan catatlah di rekam medis pasien. Jika instruksi DNR ini
dibatalkan, berikan instruksi untuk menghancurkan / menyobek formulir DNR
dan melepas gelang DNR.
8. Dokumentasi
a. Catat semua informasi pasien dan asesmen pasien
b. Catat instruksi DNR pasien yang telah divalidasi. Lampirkan salinan formulir NDR di
luar rumah sakit.
c. Ikuti protokol kegawatdaruratan medis setempat9
PELATIHAN1
1. Manajer Pelayanan Medis bertanggungjawab untuk mengidentifikasi pelatihan-pelatihan apa
saja yang diperlukan untuk mengimplementasikan kebijakan ini.
2. Persyaratan pelatihan yang harus dimiliki oleh personel rumah sakit harus didiskusikan
sebagai bagian dari proses Peninjauan Ulang Performa Kerja Rumah Sakit (Performance
Development Review) dan keputusan mengenai pelatihan-pelatihan yang diperlukan harus
dituliskan dalam Rencana Pengembangan Performa Kerja Rumah Personel Rumah Sakit
(Personal Development Plan).
1. Pasien memiliki gangguan fungsi kognitif / mental yang membuatnya tidak dapat mengambil
keputusan untuk dirinya sendiri.
2. Pasien tidak dapat mengerti mengenai informasi yang relevan dengan pengambilan keputusan,
yang diberikan oleh dokter / petugas medis lainnya.
3. Pasien memiliki gangguan dalam hal mengingat informasi yang baru diberikan.
4. Pasien tidak dapat mengolah atau mempertimbangkan informasi tersebut sebagai bagian dari
proses pengambilan keputusan.
5. Pasien tidak dapat mengkomunikasikan keputusannya, baik dengan berbicara, bahasa tubuh,
atau cara lainnya.
LAMPIRAN 2
tidak
Apakah pasien Tidak perlu menginisiasi diskusi tentang RJP dengan pasien
kemungkinan akan atau keluarganya.
mengalami henti jantung Diskusi dilakukan jika pasien meminta / menginginkannya.
/ napas?
ya
Jika telah diputuskan tindakan DNR secara medis,
tidak informasikanlah kepada pasien (jika memungkinkan).
Apakah ada Pada pasien yang tidak kompeten secara mental; beritahukanlah
kemungkinan secara mengenai keputusan DNR ini berikut alasannya kepada
realistis bahwa RJP dapat pengacara pribadi / wali yang telah ditunjuk pasien.
berhasil?
Dapat meminta pendapat dokter lain (second opinion), jika
diperlukan.
ya
tidak
Apakah potensi risiko dan ya Jika terdapat kemungkinan yang sangat kecil akan tingkat
beban RJP dianggap lebih keberhasilan RJP, dan terdapat pertanyaan apakah risikonya
besar daripada keuntungan lebih besar daripada keuntungan dilakukan RJP; keterlibatan
yang didapat? pasien atau walinya (jika pasien tidak kompeten) dalam
membuat keputusan merupakan hal yang krusial .
Pada pasien anak / remaja, orang tua harus dilibatkan dalam
tidak diskusi ini (jika memungkinkan).
Pada pasien dewasa yang kompeten secara mental,
RJP harus dilakukan pertimbangkanlah pendapat / pandangan pasien terhadap
kecuali pasien (kompeten keputusan DNR ini.
secara mental) menolak
tindakan RJP
Keputusan tindakan RJP ini adalah hal yang sensitif dan kompleks, sehingga harus dilakukan oleh personel
medis yang kompeten dan berpengalaman, dan dilakukan dokumentasi dengan jelas dan lengkap.
Keputusan harus ditinjau ulang secara teratur dan rutin, minimal setiap 7 hari sekali dan tiap kali terdapat
perubahan kondisi.
Jika terdapat keraguan/ ketidakpastian, mintalah saran dari dokter senior.
LAMPIRAN 3
DIAGNOSIS :
Kondisi pasien mengindikasikan bahwa resusitasi tidak mungkin efektif atau berhasil.
Permintaan ini ditujukan untuk usaha resusitasi pada kondisi terjadinya henti jantung / napas pada:
__________________________(Nama Pasien), dan telah diinstruksikan oleh dokter yang bertandatangan di bawah ini. Instruksi
ini sesuai dengan keinginan pasien dan telah diputuskan dan didokumentasikan oleh dokter (yang bertandatangan di bawah ini)
bahwa usaha resusitasi pada pasien ini dianggap tidak sesuai secara medis.
Instruksi DNR ini harus dihormati oleh seluruh Tim Kegawatdaruratan Medis, Pemberi Pertolongan Pertama, dan petugas
kesehatan lainnya yang berhubungan dengan pasien dalam situasi kegawatdaruratan medis.
Tanggal : ___________________________________________________________________
DOKUMEN INI HARUS DITUNJUKKAN DAN TERSEDIA SETIAP SAAT UNTUK TIM KEGAWATDARURATAN
MEDIS
INSTRUKSI UNTUK PEMBERI PERTOLONGAN PERTAMA /
TIM KEGAWATDARURATAN MEDIS
1. Lakukan asesmen pada pasien mengenai tidak adanya pernapasan dan atau denyut jantung
2. Jika pasien tidak berada dalam kondisi henti jantung dan atau napas, sediakan semua perawatan yang
dibutuhkan, termasuk transportasi, jika diperlukan.
3. Jika pasien berada dalam kondisi henti jantung dan atau napas, jangan melakukan RJP dan usaha
resusitasi lainnya.
5. Dokumentasikan semua informasi di lembar asesmen dan lamprikan salinan Instruksi DNR di Luar
Rumah Sakit ini.
6. Hanya individu (pasien, wali sah, atau dokter) yang menadatangani formulir ini yang dapat
membatalkan instruksi ini setiap saat.
7. Salinan dokumen ini adalah sah dan harus dihormati setiap saat.
LAMPIRAN 5
1. Gelang DNR merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi pasien yang memiliki
instruksi DNR yang valid dan berada di luar rumah sakit.
2. gelang ini harus dihargai dan ditaati oleh tim kegawatdaruratan medis dengan atau tanpa
adanya formulir instruksi DNR tertulis.
3. Gelang ini harus:
a. dipakai di pergelangan tangan / kaki pasien
b. Bertuliskan:
i. nama pasien
ii. nama dan nomor telepon dokter
iii. tanggal pembuatan instruksi DNR dan masa berlakunya (jika ada)
c. Tidak rusak / sobek
4. Pasien / wali sahnya dapat meminta gelang DNR ini dari rumah sakit tempat pasien berobat
dengan membawa formulir DNR tertulis yang didapat dari dokter.
5. Rumah sakit akan menyimpan salinan formulir instruksi DNR.
6. Rumah sakit akan bertanggungjawab dalam:
a. Memberikan gelang DNR kepada pasien, berdasarkan formulir tertulis DNR yang ada
b. Melengkapi tulisan di gelang DNR, meliputi: nama pasien, nama dokter, dan tanggal
pembuatan instruksi DNR
c. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai tujuan dan maksud dari
instruksi DNR ini. menekankan bahwa instruksi DNR ini hanya berlaku untuk usaha
RJP, penanganan lainnya tetap dilakukan
7. Instruksi DNR dapat dibatalkan dengan cara:
a. Melepas gelang DNR
b. Menyatakan secara lisan mengenai pembatalan instruksi DNR
c. Menghancurkan / menyobek instruksi tertulis DNR
8. Pembatalan DNR ini harus dilaporkan kepada dokter pembuat formulir dan rumah sakit
tempat pasien berobat sehingga dapat dicatat ke rekam medis pasien.
REFERENSI