Anda di halaman 1dari 10

.OPEN ACCESS.

Jurnal Pengembangan Kota (2015)


TINGKAT KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP Volume 3 No. 2 (90–99)
BENCANA BANJIR DI PERUMNAS TLOGOSARI, KOTA Tersedia online di:
http://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jpk
SEMARANG

Rizsa Putri Danianti* dan Sariffuddin


Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota,
Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang
*
Email: rizsa.putri15@pwk.undip.ac.id

Abstrak

Perumnas Tlogosari merupakan salah satu perumahan skala besar di Kota Semarang yang terdampak persoalan ekologi
kota, yaitu banjir. Persoalan ekologi ini terjadi bersamaan dengan peningkatan pertumbuhan penduduk sekitar 1,4%
pertahunnya, yang menjadikan pertumbuhan Kota Semarang mengarah pada kondisi rentan. Oleh sebab itu sangat
perlu untuk mewujudkan Kota Semarang sebagai kota tangguh dengan melakukan penilaian tingkat kerentanan, karena
hasil dari penilaian kerentanan tersebut dapat menjadi tolak ukur pencapaian sebuah kota tangguh. Penelitian ini
dilakukan untuk menilai tingkat kerentanan masyarakat di Perumnas Tlogosari dalam menghadapi banjir pada saat siang
dan malam. Penilaian kerentanan ini dibedakan berdasarkan waktu, karena ada perbedaan jumlah masyarakat yang
berada di rumah pada saat siang dan malam. Penilaian kerentanan dilakukan menggunakan metode kuantitatif dengan
teknik analisis skoring pembobotan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kerentanan siang masyarakat lebih
tinggi, dibandingkan kerentanan malam. Hal ini dibuktikan dengan penurunan jumlah masyarakat di kuadran 3 dan 5
pada saat malam, diikuti dengan kenaikan jumlah masyarakat di kuadran 1 dan 2 sebesar 2-3%. Banyaknya masyarakat
yang berada di kuadran 1, 2 dan 3 mengartikan bahwa masyarakat berada pada selang toleransi dari kemampuan
mereka dalam menghadapi banjir. Oleh karena itu, masing-masing rumah tangga telah berketahanan dalam
menghadapi banjir.

Kata Kunci: Banjir, Tingkat kerentanan

1. PENDAHULUAN Tahun 2008, World Bank (2012) melaporkan bahwa


setengah dari penduduk dunia tinggal di daerah
Tiga tantangan besar perencanaan kota dewasa ini perkotaan, dua pertiganya berada di negara-negara
adalah permasalahan ekologi, pesatnya berpendapatan menengah dan rendah. Banyaknya
perkembangan teknologi informasi dan jumlah penduduk perkotaan tersebut diperkirakan
transformasi sosial masyarakat (Abdoullaev, 2011). akan meningkat 60% pada tahun 2030, dan 70%
Dari ketiga tantangan itu, persoalan ekologi kota pada tahun 2050 sehingga diproyeksikan akan
merupakan permasalahan yang saat ini menjadi mencapai 6,2 miliyar atau dua kali lipat dari
fokus perhatian para perencana. Adanya proyeksi jumlah penduduk pedesaan (World Bank,
permasalahan ekologi berupa perubahan iklim dan 2012). Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia,
bencana dapat mengancam keberlanjutan kota, seperti yang dilaporkan oleh Dinas Pekerjaan
yang diperkirakan akan terus berkembang Umum pada tahun 2012 dalam Mulyana, dkk.
mengikuti pertumbuhan penduduknya. (2013) yang memperkirakan pertambahan jumlah
penduduk di Kawasan Strategis Nasional (KSN)
Kedung Sepur sekitar 1,4% setiap tahunnya.
Diperkirakan pada tahun 2030, populasi masyarakat
ISSN 2337-7062 © 2015
Kedung Sepur mencapai 7.156.000 jiwa, dan 36%
This is an open access article under the CC-BY-NC-ND license
penduduknya akan tinggal di Kota Semarang.
(http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/). – lihat
Menjadi persoalan dikemudian hari, yaitu pesatnya
halaman depan © 2015
pertumbuhan penduduk ternyata bersamaan
dengan persoalan ekologi kota. Sehingga,
Diterima 10 Juli 2015, disetujui 2 Agustus 2015
diperkirakan bahwa pertumbuhan kota yang
ditandai oleh pertambahan penduduk mengarah berpotongan konsep. Sedangkan Manyena dalam
pada kondisi yang rentan, begitupula di Kota Usamah, dkk. (2014), berpendapat bahwa
Semarang. kerentanan dan ketahanan mirip dua sisi mata uang
Persoalan ekologi di Kota Semarang menghasilkan yang sama. Berdasarkan pernyataan Cutter dan
banyak upaya untuk mempelajari dan Manyena di atas, menunjukkan bahwa penilaian
menyelesaikannya melalui penelitian yang tingkat kerentanan kota menjadi penting karena
dilakukan oleh Marfai dan King (2008), Dewi (2007), dapat menjadi tolak ukur pencapaian kota tangguh.
Sariffuddin dan Wijaya (2014) dan yang terbaru
dilakukan oleh Suripin, Helmi, dan Suhardjono Penelitian mengenai tingkat kerentanan
(2015). Marfai dan King (2008) menjelaskan bahwa sebelumnya telah dilakukan oleh Mulyana, dkk.
Kota Semarang sebagai kota yang berbatasan (2013) dalam upaya mewujudkan Kota Semarang
dengan laut mengalami tiga jenis banjir yang sebagai kota tangguh, yang dilihat dari bencana
berbeda, yaitu banjir lokal, banjir kiriman, serta banjir dan tanah longsor. Penelitian tersebut
banjir rob. Dari sudut pandang sosial ekonomi, Dewi mengelompokkan beberapa desa di Kota Semarang
(2007) menjelaskan bahwa perilaku masyarakat ke dalam kelompok kerentanan rendah hingga
terhadap banjir dipengaruhi oleh beberapa faktor tinggi. Berdasarkan hasilnya, penilaian kerentanan
seperti besaran banjir (luas banjir, ketinggian banjir yang dilakukan oleh Mulyana, dkk. (2013)
serta durasi banjir) dan kapasitas mereka, dalam hal merupakan penilaian kerentanan secara
ini kapasitas ekonomi untuk mengatasi dampaknya. keruangan. Pada dasarnya, penilaian kerentanan
Disamping itu, Dewi (2007) juga berpendapat dapat dibedakan secara keruangan maupun
bahwa informasi tentang kearifan lokal masyarakat komunitas/individu. Berkaitan dengan sistem yang
sangat penting dan berguna bagi perencana dan terkena dampak terbesar akibat bencana adalah
pengambil kebijakan untuk merumuskan bentuk masyarakat, maka perlu dilakukan upaya-upaya
adaptasi yang tepat dan layak diterapkan. untuk meningkatkan kesadaran dan kapasitas
Sedangkan Sariffuddin dan Wijaya (2014) masyarakat dalam mengantisipasi bencana yang
berpendapat bahwa permasalahan kerentanan terjadi di wilayahnya, sehingga resiko bencana
sangat berkaitan dengan persoalan ekonomi. dapat dikurangi, dicegah atau bahkan dihilangkan
Berbeda halnya dengan Suripin, dkk. (2015) yang (Kementerian Pekerjaan Umum). Oleh karena itu,
menganalisis berdasarkan sudut pandang hidrologi penilaian kerentanan secara komunitas/individu
yang menyimpulkan bahwa area genangan banjir di dilakukan pada penelitian ini untuk mengetahui
Kota Semarang akan meningkat sekitar 8-30% tingkat kerentanan masyarakat di Perumnas
akibat meningkatnya suhu udara dan adanya Tlogosari sehingga masyarakat dapat berketahanan
perubahan pada karakteristik hujan (curah hujan dalam menghadapi bahaya maupun bencana.
harian dan intensitas hujan). Seseorang atau komunitas yang berketahanan
terhadap bahaya, lebih berpotensi untuk
Kompleksnya persoalan ekologi kota, malahirkan menangkis bahaya menjadi bencana. Apabila
banyak peneliti yang menghubungkan ketahanan bencana sudah terjadi, maka mereka dapat dengan
dengan kerentanan. Ketahanan merupakan mudah bangkit dari bencana, dan bahaya yang
kapasitas individu, masyarakat atau lembaga untuk terjadi tidak menjadi ancaman yang berarti (Ghafur,
menanggapi pergeseran iklim secara dinamis dan Noorkamilah, & Gazali, 2012).
efektif hingga pada tingkatan yang dapat diterima.
Hal ini mencakup kemampuan untuk menolak atau Penilaian tingkat kerentanan tidak hanya dibedakan
menahan dampak, serta kemampuan untuk berdasarkan objek yang dinilai, namun juga dapat
memulihkan atau mengatur kembali sistem agar dibedakan berdasarkan waktu. Wood, Good, dan
dapat berkembang dengan lebih baik (Brown, Goodwin (2002) mengungkapkan bahwa tipe
Dayal, & Del Rio, 2012). Sedangkan kerentanan masyarakat yang terkena dampak bencana pada
adalah derajat kemampuan suatu sistem atau saat siang dan malam berbeda, karena ada
bagian dari sistem untuk dapat bereaksi dengan perbedaan jumlah masyarakat yang berada di
peristiwa yang berbahaya (Usamah, Handmer, rumah. Pada saat siang, ibu rumah tangga, anak-
Mitchell, & Ahmed, 2014). Sebagian besar peneliti anak dan lansia yang berada di rumah memiliki
melihat katahanan sebagai kebalikan dari tingkat kerentanan yang lebih tinggi. Seperti yang
kerentanan, seperti yang diungkapkan Cutter dalam diungkapkan oleh Ghafur, dkk. (2012) bahwa
Usamah, dkk. (2014) menjelaskan bahwa perempuan cenderung lebih rentan terhadap
ketahanan adalah faktor kerentanan dan mereka bencana dan seringkali diabaikan dalam

R. P. Danianti, Sariffuddin/ JPK Vol. 3 No. 2 (2015) 90 – 99 91


penanganan bencana dibandingkan dengan laki- lebih rendah saja. Banjir juga merupakan
laki. Hal tersebut menjadi dasar bahwa penilaian gelombang banjir yang berjalan kearah hilir sistem
tingkat kerentanan masyarakat di Perumnas sungai yang berinteraksi dengan kenaikan muka air
Tlogosari dapat dibedakan menjadi penilaian dimuara akibat badai.
kerentanan siang dan malam.
Marfai dan King (2008) menjelaskan bahwa Kota
Menurut IPCC (2001), komponen pembentuk
Semarang sebagai kota yang berbatasan langsung
kerentanan terdiri dari tiga faktor utama, yaitu
dengan laut, menghadapi tiga jenis banjir yang
keterpaparan (exposure), sensitivitas (sensitivity)
dan kemampuan adaptasi (adaptive capacity). berbeda yaitu banjir lokal, banjir kiriman dan banjir
Keterpaparan menunjukkan derajat atau besarnya rob. Masing-masing pengertian dari ketiga jenis
peluang suatu sistem untuk kontak dengan banjir tersebut adalah: (1) Banjir lokal merupakan
gangguan. Sensitivitas adalah kondisi internal suatu banjir yang terjadi karena minimnya jumlah dan
sistem yang menunjukkan tingkat kerawanannya kualitas sistem drainase di daerah permukiman
terhadap gangguan, sedangkan kapasitas adaptasi terutama di kawasan dataran rendah dan pesisir
adalah potensi atau kemampuan sistem, wilayah Kota Semarang; (2) Banjir kiriman adalah aliran
atau masyarakat untuk beradaptasi dengan efek banjir yang datang dari arah hulu, akibat hujan
atau dampak yang timbul dari bencana. dengan intensitas tinggi sehingga menimbulkan
aliran yang melebihi kapasitas sungai, dan
Perumnas Tlogosari merupakan salah satu menggenangi kawasan yang berada di hilir sungai
permukiman di Kota Semarang yang terdampak (Wismarini & Ningsih, 2010); dan (3) Banjir rob
oleh masalah ekologi, yaitu banjir yang terjadi adalah banjir yang terjadi akibat aliran langsung air
disetiap tahunnya. Penilaian tingkat kerentanan pasang dan/atau aliran balik dari saluran drainase
masyarakat di Perumnas Tlogosari dilakukan untuk akibat terhambat oleh air pasang (Wismarini &
mengetahui tindakan adaptasi yang tepat, sehingga Ningsih, 2010).
resiko yang diterima dapat berkurang. Luas
perumahan ini sebesar ±170,746 Ha dan meliputi Kerentanan
dua kelurahan yaitu Kelurahan Tlogosari Kulon dan Kerentanan merupakan suatu kondisi masyarakat
Kelurahan Muktiharjo Kidul. Banjir yang terjadi, yang mengarah atau menyebabkan
membawa dampak yang merugikan bagi ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman
masyarakat baik dampak fisik, sosial, ekonomi bahaya (BAKORNAS PB, 2007). Menurut IPCC
maupun lingkungan. Untuk lokasi wilayah studi (2001), komponen pembentuk kerentanan terdiri
penelitian, dapat dilihat pada gambar 1. dari tiga faktor, yaitu tingkat keterpaparan
(exposure), tingkat sensitivitas (sensitivity) dan
Bencana Perkotaan dan Kerentanan kemampuan adaptasi (adaptive capacity).
Banjir merupakan salah satu permasalahan umum Penjelasan dari masing-masing faktor kerentanan
yang sering melanda di kawasan perkotaan. adalah:
Permasalahan banjir di perkotaan menjadi
tantangan yang serius, karena dengan kepadatan Tingkat Keterpaparan (Exposure) menunjukkan
penduduk yang tinggi dan aset yang lebih besar derajat atau besarnya peluang suatu sistem untuk
berada di kawasan perkotaan, maka kerugian yang kontak dengan gangguan (Adger dan Kasperson,
ditimbulkan juga besar (World Bank, 2012). Banjir dalam Boer, dkk. (2013)). Menurut Boer, dkk. (2013)
adalah suatu keadaan dimana aliran air yang tidak tingkat keterpaparan dapat diidentifikasi melalui
tertampung oleh palung sungai (PIBA, 2014). data tentang topografi dan kemiringan untuk
Namun, menurut BAKORNAS PB (2007) pengertian menggambarkan kondisi eksisting, atau besar
banjir dapat dibedakan menjadi dua macam, peluang fasilitas infrastruktur, permukiman dan
sehingga pengertian banjir tidak hanya sebatas sumber kehidupan dari lokasi bencana seperti garis
aliran air sungai yang tingginya melebihi muka air pantai (rob), tebing (longsor) dan cekungan (banjir).
sungai, sehingga tidak tertampung oleh palung dan Penggunaan data geospasial untuk mengukur nilai
menyebabkan adanya genangan disisi sungai yang indikator keterpaparan sangat penting.

92 R. P. Danianti, Sariffuddin/ JPK Vol. 3 No. 2 (2015) 90 – 99


Gambar 1. Lokasi wilayah studi perumnas tlogosari

Tingkat Sensitivitas (Sensitivity) adalah kondisi kuantitatif. Penelitian kuantitatif memusatkan pada
internal suatu sistem yang menunjukkan tingkat gejala-gejala yang mempunyai karakteristik
kerawanannya terhadap gangguan (IPCC, 2001). tertentu di dalam kehidupan manusia yang disebut
Contoh data untuk mengidentifikasi tingkat variabel. Variabel yang digunakan untuk menilai
sensitivitas adalah akses masyarakat terhadap air tingkat kerentanan dikelompokkan berdasarkan
bersih, serta laju produksi sampah dan kemampuan aspek fisik, aspek sosial dan aspek ekonomi di setiap
pengelolaannya (Boer, dkk., 2013). komponen pembentuknya. Pada komponen tingkat
keterpaparan variabelnya terdiri dari kondisi
Kapasitas Adaptasi (Adaptive Capacity) adalah
jaringan jalan, kondisi jaringan drainase,
potensi atau kemampuan sistem, wilayah atau
keberadaan ruang terbuka, keberadaan lembaga
masyarakat untuk beradaptasi dengan efek atau
dampak yang timbul dari perubahan iklim (IPCC, kemasyarakatan, serta jumlah keluarga miskin.
2001). Boer, dkk. (2013) berpendapat bahwa Untuk tingkat sensitivitas memiliki variabel yang
tingkat pendapatan per kapita serta keberadaan terdiri dari koefisien dasar bangunan (KDB), sarana
dan kekuatan kelembagaan masyarakat, dapat pengelolaan sampah, ketersediaan sumber air
menjadi indikator yang lebih efektif dalam bersih, jumlah anggota keluarga (siang dan malam),
menunjukkan kemampuan adaptasi suatu sistem. jumlah anggota keluarga perempuan (siang dan
malam), jumlah anggota keluarga berusia tua dan
2. METODE PENELITIAN balita (siang dan malam), status pekerjaan, serta
jumlah anggota keluarga yang produktif. Sedangkan
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini variabel pada kapasitas adaptasi terdiri dari
adalah pendekatan deduktif dengan metode keberadaan teknologi lokal, pengetahuan

R. P. Danianti, Sariffuddin/ JPK Vol. 3 No. 2 (2015) 90 – 99 93


masyarakat terhadap bencana, dan kesejahteraan adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat
penduduk. (Sariffuddin & Wijaya, 2014).

Teknik pengumpulan data terbagi menjadi dua yaitu Hasil perkalian antara skor dan bobot pada variabel
data primer dan data sekunder. Pada penelitian ini tingkat keterpaparan dan tingkat sensitivitas
teknik sampling yang digunakan adalah merupakan Indeks Keterpaparan dan Sensitivitas
proportional random sampling atau pengambilan (IKS), sedangkan hasil perkalian antara skor dan
sampel dari setiap wilayah yang ditentukan dengan bobot pada variabel kapasitas adaptasi merupakan
jumlah yang seimbang pada masing-masing Indeks Kapasitas Adaptif (IKA). IKS dan IKA yang
wilayah. Hasil dari teknik sampling ini terpilih 122 KK didapatkan (lihat gambar 2), akan dikelompokkan
yang menjadi responden, dengan kriteria menggunakan matrik tipologi kerentanan seperti
responden merupakan masyarakat yang berusia pada gambar 3, sehingga didapatkan Indeks
produktif. Untuk jumlah responden pada setiap RT Kerentanan masyarakat di Perumnas Tlogosari.
yang terpilih, dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini. Tipologi kerentanan yang dihasilkan, akan
dibedakan menjadi tipologi kerentanan pada saat
Tabel 1 siang dan malam. Hal ini dilakukan karena
Jumlah sampel per RT karakteristik masyarakat pada saat siang dan malam
RW/RT Jumlah KK / RT Jumlah Sampel berbeda, terutama pada jumlah anggota keluarga,
RW 08/RT 03 44 9 jumlah anggota keluarga perempuan serta jumlah
RW 08/RT 06 46 10 anggota keluarga berusia tua dan balita yang
RW 10/RT 03 31 6
berada di rumah.
RW 10/RT 04 32 7
RW 11/RT 02 37 8
RW 11/RT 04 46 10
RW 21/RT 02 28 6
RW 21/RT 07 40 8
RW 03/RT 08 43 9
RW 03/RT 10 25 5
RW 05/RT 02 39 8
RW 05/RT 08 20 4
RW 07/RT 05 37 8
RW 07/RT 06 33 7
RW 19/RT 06 38 8
RW 19/RT 08 44 9
JUMLAH 583 122
Gambar 2. Konsep indek kerentanan (Sumber:
Teknik analisis yang digunakan adalah skoring Boer (2012))
pembobotan. Variabel kerentanan terpilih, akan
diukur dengan memberikan skor menggunakan
skala likert. Skor dikelompokkan menjadi lima
kategori, dengan nilai -2 hingga 2. Setelah dilakukan
skoring, maka tiap-tiap varibel kerentanan akan
diberi bobot. Untuk variabel komponen
keterpaparan dan sensitivitas, bobot diberikan
dengan mempertimbangkan dampak yang
dihasilkan, dimana dampak yang mempengaruhi
keselamatan jiwa manusia memiliki bobot lebih
tinggi dibandingkan dampak yang mempengaruhi
materi atau harta benda (Ristianto, 2011).
Sedangkan variabel pada komponen kapasitas
adaptasi, faktor ekonomi memiliki bobot yang lebih
tinggi karena faktor ekonomi merupakan faktor
Gambar 3. Tipologi kerentanan (Sumber: Boer
yang paling dominan dalam mempengaruhi bentuk (2012))

94 R. P. Danianti, Sariffuddin/ JPK Vol. 3 No. 2 (2015) 90 – 99


Keterangan:
Indek 5 : Sangat Rentan;
Indek 4 : Rentan;
Indek 3 : Agak Rentan;
Indek 2 : Kurang Rentan; dan
Indek 1 : Tidak Rentan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Matrik tipologi kerentanan masyarakat di Perumnas


Tlogosari menunjukkan bahwa kerentanan siang
dan kerentanan malam memiliki perbedaan. Pada
saat siang hari, masyarakat memiliki tingkat
kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan pada
saat malam. Hal ini ditandai dengan peningkatan
jumlah masyarakat yang berada di kuadran 1 dan 2 Gambar 5. Tipologi Kerentanan siang Masyarakat di
pada saat malam, dan diikuti oleh penurunan Perumnas Tlogosari
jumlah masyarakat yang berada di kuadran 3 dan 5.
Prosentase penurunan dan peningkatan jumlah
masyarakat tersebut sebesar 2-3%.

Sebagian besar masyarakat berada di kuadaran 2


yang mengartikan bahwa masyarakat kurang rentan
dalam menghadapi banjir yang terjadi. Prosentase
masyarakat yang berada di kuadran 2 pada saat
siang sebesar 44%, sedangkan pada saat malam
sebesar 46%. Untuk jumlah masyarakat yang
terkecil, berada di kuadran 5 yang mengartikan
bahwa masyarakat sangat rentan dalam
menghadapi banjir. Prosentase masyarakat yang
berada di kuadran 5 pada saat siang sebesar 2%,
sedangkan pada saat malam tidak ada masyarakat
yang berada di kuadran tersebut. Penjelasan lebih
lanjut tentang jumlah masyarakat yang berada di
masing-masing kuadran kerentanan siang dan Gambar 6. Tipologi Kerentanan Malam Masyarakat
malam, dapat dilihat pada gambar 4 berikut ini. di Perumnas Tlogosari

Kerentanan Siang Kerentanan Malam Gambar 5 dan gambar 6 di atas menunjukkan


tipologi kerentanan masyarakat di waktu siang dan
2% malam. Apabila dilihat secara keseluruhan,
1
17%
1 masyarakat yang berada pada kuadran 1, 2 dan 3
2
37% 34%
20% 2
lebih banyak dibandingkan dengan yang berada
3

4
3
pada kuadran 5. Masyarakat yang berada diketiga
44% 46% 4
5
kuadran tersebut merupakan masyarakat yang
5
belum rentan atau masyarakat masih berada pada
selang toleransi kemampuan mereka untuk
menghadapi banjir yang terjadi. Apabila tidak
Gambar 4. Prosentase masyarakat pada masing- dilakukan intervensi dengan melakukan bentuk
masing kuadran adaptasi yang tepat, maka masyarakat yang berada

R. P. Danianti, Sariffuddin/ JPK Vol. 3 No. 2 (2015) 90 – 99 95


di kuadran 1, 2, dan 3 dapat berubah menjadi Tabel 2
masyarakat yang rentan bahkan sangat rentan. Kondisi Jaringan Drainase di Perumnas Tlogosari
Terdapat beberapa variabel yang memiliki hasil
perkalian skoring dengan bobot paling tinggi pada Kondisi Jaringan
Keterangan
kerentanan siang dan malam masyarakat. Pada Drainase
Kondisi jaringan drainase di
komponen keterpaparan, variabel yang
RW 08 sempit dan dangkal.
mempengaruhi kerentanan siang dan malam, yaitu Apabila debit aliran air
kondisi jaringan drainase. Kondisi jaringan drainase besar, maka drainase
memiliki skor dan bobot yang cukup tinggi, tersebut tidak dapat
mengingat bahwa banjir yang terjadi merupakan menampungnya.
banjir lokal yang diakibatkan karena kualitas dan Jaringan drainase yang ada
kuantitas drainase, baik drainase primer (Sungai di RW 10 merupakan
drainase tertutup yang
Tenggang) maupun drainase lingkungan yang memiliki kondisi cukup baik.
buruk.

Pada komponen sensitivitas, variabel yang memiliki Jaringan drainase yang ada
hasil perkalian skor dan bobot tertinggi berbeda di RW 11, kurang lancar
pada kerentanan siang dan malam. Pada dalam mengalirkan air
karena banyaknya
kerentanan siang, variabel yang hasil perkalian skor
tumpukan sampah yang
dan bobotnya tinggi adalah jumlah anggota menyumbat.
keluarga yang berada di rumah pada saat siang hari. RW 21 memiliki
Sedangkan pada kerentanan malam, adalah permasalahan teknis dan
koefisien dasar bangunan (KDB). Untuk kapasitas sistem pada jaringan
adaptasi masyarakat, variabel yang paling drainase. Permasalahan
teknis terlihat dari saluran
berpengaruh pada kerentanan siang dan malam,
yang sempit, dangkal, dan
yaitu kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan Permasalahan Sistem terdapat sampah yang
masyarakat Perumnas Tlogosari tinggi, karena menyumbat. Sedangkan
termasuk ke dalam golongan menengah ke atas dan permasalahan sistem
setiap bulannya masyarakat dapat menyisakan terlihat dari jaringan
pendapatan yang dihasilkan untuk kebutuhan yang drainase yang hanya ada di
tidak terduga. Penjelasan lebih lanjut tentang satu sisi ruas jalan saja.
masing-masing variabel yang paling berpengaruh Permasalahan Teknis
terhadap tingkat keterpaparan, sensitivitas dan Jaringan drainase di RW 03
kapasitas adaptasi adalah sebagai berikut: memiliki permasalahan dari
segi teknis, dimana saluran
Kondisi Jaringan Drainase di Perumnas Tlogosari drainase tersebut tidak
belum optimal, hal ini ditandai dengan adanya lancar mengalirkan air
karena tersumbat oleh
permasalahan dari segi teknis maupun sistem. sampah.
Permasalahan teknis pada jaringan drainase
RW 05 memiliki
meliputi kondisi drainase yang sempit, dangkal dan permasalahan drainase dari
tidak lancar mengalirkan air akibat banyaknya segi teknis maupun sistem.
sampah yang menyumbat. Untuk permasalahan Permasalahan teknisnya
sistem yang ada berupa tidak terintegrasinya adalah saluran tidak lancar
jaringan drainase, akibat penutupan salah satu mengalirkan air, karena
adanya sampah yang
jaringan yang disebabkan oleh pelebaran jalan.
menyumbat. Sedangkan
Penjelasan lebih lanjut tentang kondisi jaringan Permasalahan Sistem permasalahan sistemnya
drainase di Perumnas Tlogosari, dapat dilihat pada adalah saluran drainase
tabel 2. tidak terintegrasi, karena

96 R. P. Danianti, Sariffuddin/ JPK Vol. 3 No. 2 (2015) 90 – 99


Kondisi Jaringan menjadikan tingkat sensitivitas masyarakat pada
Keterangan
Drainase saat siang lebih tinggi dibandingkan pada saat
ada saluran yang ditutup malam. Tingkat sensitivitas masyarakat akan
untuk pelebaran jalan. semakin tinggi apabila yang berada di rumah
merupakan anggota keluarga berusia balita, lansia
dan perempuan.
Siang
1% 1% Tidak ada anggota
Permasalahan Teknis keluarga
Jaringan drainase di RW 07 12% 1-2 orang
memiliki permasalahan 21%
sistem, karena salah satu 3-4 orang
salurah ditutup dengan
tujuan pelebaran jalan. 5-6 orang
Kondisi drainase sendiri 65%
sudah baik, dan dapat
> 6 orang
mengalirkan air secara
lancar.
Pemasalahan pada jaringan Malam
drainase di RW 19
merupakan permasalahan Tidak ada anggota
teknis, karena drainase keluarga
7%
tersebut kurang lancar 19% 1-2 orang
dalam mengalirkan air. 21%

3-4 orang
53%
Drainase yang memiliki permasalahan teknis dan 5-6 orang
sistem, memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan
dengan drainase yang memiliki permasalahan dari
segi teknis maupun sistem saja. Namun, Gambar 7. Prosentase jumlah anggota keluarga
permasalahan sistem pada drainase memiliki skor saat siang dan malam
lebih tinggi dibandingkan dengan permasalahan
teknis. Hal ini dikarenakan permasalahan teknis Koefisien Dasar Bangunan (KDB) menurut
lebih mudah untuk diselesaikan dengan cara Peraturan Daerah Kota Semarang No 10 Tahun 2004
kerjabakti, normalisasi drainase dan lain Tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK)
sebagainya. Sedangkan permasalahan sistem yang Kota Semarang Bagian Wilayah Kota V (Kecamatan
tidak terintegrasi mengakibatkan aliran air tidak Gayamsari dan Kecamatan Pedurungan) Tahun
sampai ke muara sungai, sehingga menyebabkan 2000-2010 disebutkan bahwa rencana KDB yang
masyarakat terpapar oleh genangan banjir. ditetapkan untuk kawasan perumahan sebesar
60%. Hasil survei menunjukkan bahwa sebesar 97%
Jumlah Anggota Keluarga pada saat siang lebih masyarakat memiliki rumah dengan KDB lebih dari
sedikit dibandingkan pada saat malam, karena 60%, 2% masyarakat memiliki rumah dengan KDB
masyarakat banyak yang melakukan aktivitas di luar 60%, serta 1% sisanya memiliki rumah dengan KDB
rumah pada saat siang hari (lihat gambar 7). Hasil kurang dari 60%. Banyaknya masyarakat yang
survei menunjukkan bahwa pada saat siang, 65% melanggar ketentuan KDB tersebut, menjadikan
masyarakat yang berada di rumah berjumlah 1-2 tingkat sensitivitas dalam menghadapi banjir lebih
orang dan 12% menunjukkan bahwa tidak ada tinggi karena air hujan yang jatuh akan dibebankan
anggota keluarga yang berada di rumah. Namun, kepada saluran drainase, dan tidak ada yang
pada saat malam prosentase terbesar yaitu 53% diresapkan ke dalam tanah. Penjelasan lebih lanjut
menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga yang tentang prosentase KDB masyarakat, dapat dilihat
berada di rumah sebesar 3-4 orang. Kondisi ini pada gambar 8.

R. P. Danianti, Sariffuddin/ JPK Vol. 3 No. 2 (2015) 90 – 99 97


2% 1% kuadran 2, yaitu sebesar 44% pada kerentanan
siang dan 46% pada kerentanan malam. Antara
tingkat kerentanan siang dan malam pun memiliki
perbedaan, dimana pada saat siang hari masyarakat
>60% memiliki kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan
pada saat malam. Secara keseluruhan, jumlah
60% masyarakat yang berada di kuadran 1, 2 dan 3 lebih
banyak dibandingkan dengan masyarakat yang
<60% berada di kuadran 5. Oleh karena itu, sebagian
besar masyarakat di Perumnas Tlogosari masih
berada pada selang toleransi/ batas kemampuan
97% mereka untuk menghadapi banjir yang terjadi atau
masyarakat telah menjadi masyarakat yang
berketahanan dalam menghadapi banjir.
Gambar 8. Prosentase KDB rumah masyarakat
Masing-masing komponen pembentuk kerentanan
Kesejahteraan Masyarakat dapat dilihat dari dipengaruhi oleh beberapa variabel yang memiliki
kemampuan masyarakat untuk menyisakan hasil perkalian skor dengan bobot tertinggi,
pendapatan yang dihasilkan. Hasil kuisioner diantaranya kondisi jaringan drainase, jumlah
menunjukkan bahwa sebesar 75% masyarakat anggota keluarga pada saat siang, Koefisien Dasar
sudah dapat menyisakan pendapatan yang Bangunan (KDB) serta kesejahteraan penduduk.
dihasilkan, dengan prosentase terbesar yaitu 34% Kondisi jaringan drainase yang belum optimal,
masyarakat dapat menyisakan > Rp 450.000,- per sedikitnya jumlah anggota keluarga yang berada di
bulannya (lihat gambar 9). Masyarakat yang sudah rumah saat siang hari, serta banyaknya masyarakat
mampu menyisakan pendapatan yang dihasilkan yang melanggar ketentuan KDB yang telah
memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan ditetapkan, menjadikan hasil skoring pembobotan
dengan masyarakat yang belum bisa menyisakan tinggi sehingga berpengaruh terhadap tingginya
pendapatannya, karena kapasitas adaptasi yang Indek Keterpaparan dan Sensitivitas (IKS).
dimiliki juga lebih tinggi dalam menghadapi kondisi Disamping itu, tingginya kesejahteraan masyarakat
yang tidak terduga akibat bencana banjir yang berpengaruh terhadap Indek Kapasitas Adaptasi
terjadi. (IKA).

Penilaian tingkat kerentanan yang dilakukan hanya


> Rp 450.000,00
berlandaskan pada aspek fisik, sosial dan ekonomi
25% saja. Hal ini menjadi suatu kekurangan penelitian
Rp 250.000,00-Rp
34%
450.000,00
yang belum memperhatikan kebijakan pemerintah.
Penilaian kerentanan ini juga hanya menilai
Rp 50.000,00-Rp
10% 250.000,00
kerentanan rumah tangga saja, dan mengabaikan
kerentanan komunitas.
<Rp 50.000,00
9%
22% Tingkat kerentanan dapat menjadi acuan normatif
Tidak ada pendapatan bagi masyarakat maupun pemerintah untuk
yang bisa disisakan
melakukan adaptasi yang tepat. Dengan
Gambar 9. Prosentase kesejahteraan masyarakat teridentifikasinya kerentanan, masyarakat maupun
pemerintah dapat mengetahui faktor-faktor apa
4. KESIMPULAN saja yang mempengaruhi tingginya tingkat
keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptasi.
Permasalahan banjir yang terjadi setiap tahun, tidak Sehingga bentuk adaptasi yang dilakukan
membuat masyarakat di Perumnas Tlogosari rentan masyarakat ataupun perumusan kebijakan
dalam menghadapinya. Hal ini dibuktikan dengan pemerintah terkait bentuk adaptasi, tepat dan layak
tingginya prosentase masyarakat yang berada di untuk diterapkan.

98 R. P. Danianti, Sariffuddin/ JPK Vol. 3 No. 2 (2015) 90 – 99


Pentingnya meningkatkan kapasitas adaptasi Marfai, M. A., & King, L. (2008). Coastal flood
masyarakat yang berada di rumah pada saat siang management in Semarang, Indonesia.
hari, seperti ibu rumah tangga. Peningkatan Environmental geology, 55(7).
tersebut dapat dilakukan dengan cara pengadaan Mulyana, W., Setiono, I., Selzer, A. K., Zhang, S., Dodman,
D., & Schensul, D. (2013). Urbanisation,
penyuluhan maupun sosialisasi mengenai tanggap
Demographics, and Adaptation to Climate
darurat bencana. Change in Seamarang, Indonesia. International
Institute For Environment And Development
5. DAFTAR PUSTAKA United Nations Populaton Fund(Urbanization
and Emerging Population Issues Working aaper
Abdoullaev, A. (2011). A smart world: A development 11).
model for intelligent cities. Paper presented at PIBA, P. I. B. A. (2014). Pedoman Penanggulangan Banjir.
the The 11th IEEE International Conference on Retrieved from
Computer and Information Technology. http://piba.tdmrc.org/content/pedoman-
BAKORNAS PB. (2007). Pengenalan Karakteristik Bencana penanggulangan-banjir
dan Upaya Mitigasinya di Indonesia. Badan Ristianto. (2011). Kerentanan Wilayah Pesisir Terhadap
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana, Kenaikan Muka Laut (Studi Kasus Wilayah
Jakarta. Pesisir Utara Jawa Barat). (S2), Universitas
Boer, R. (2012). Analisis penilaian tingkat kerentanan. Indonesia, Depok.
Pelatihan Aplikasi Metode Kerentanan. CCROM- Sariffuddin, & Wijaya, A. P. (2014). POLA ADAPTASI
SEAP IPB. Bogor. MASYARAKAT PESISIR GENUK KOTA
Boer, R., Faqih, A., Ardiansyah, M., Kolopaking, L., SEMARANG. Tataloka Jurnal, 16(4).
Rakhman, A., Nurbaeti, B., . . . Anria, A. (2013). Suripin, Helmi, M., & Suhardjono. (2015). The Impacts of
RENCANA AKSI MITIGASI DAN ADAPTASI Climate Change and Land Subsidence on The
PERUBAHAN IKLIM DALAM KERANGKA Urban Drainage System Development in
PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DI DAS Semarang City. Prosiding Seminar Nasional
CITARUM DI KABUPATEN BANDUNG BARAT. Innovation in Environmental Management
Brown, A., Dayal, A., & Del Rio, C. R. (2012). From practice 2015, 63-68.
to theory: emerging lessons from Asia for Usamah, M., Handmer, J., Mitchell, D., & Ahmed, I.
building urban climate change resilience. (2014). Can the vulnerable be resilient? Co-
Environment and Urbanization, 24(2). existence of vulnerability and disaster
Dewi, A. (2007). Community-Based Analysis of Coping resilience: Informal settlements in the
With Urban Flooding : A Case Study in Philippines. International Journal of Disaster
Semarang, Indonesia. (Master), International Risk Reduction, 10.
Institue For Geo-Information Science and Earth Wismarini, T. D., & Ningsih, D. H. U. (2010). Analisis
Observation Enschede, Netherlands. Sistem Drainase Kota Semarang Berbasis Sistem
Ghafur, W. A., Noorkamilah, & Gazali, H. (2012). Informasi Geografi dalam Membantu
RESILIENCE PEREMPUAN DALAM BENCANA Pengambilan Keputusan bagi Penanganan
ALAM MERAPI: STUDI DI KINAHREJO Banjir. Dinamik-Jurnal Teknologi Informasi,
UMBULHARJO CANGKRINGAN SLEMAN 15(1).
YOGYAKARTA (WELFARE JURNAL ILMU Wood, N. J., Good, J. W., & Goodwin, R. F. (2002).
KESEJAHTERAAN SOSIAL, VOL. 1, NO. 1, Vulnerability assessment of a port and harbor
JANUARI-JUNI 2012). WELFARE JURNAL ILMU community to earthquake and tsunami hazards:
KESEJAHTERAAN SOSIAL, VOL. 1, NO. 1, integrating technical expert and stakeholder
JANUARI-JUNI 2012. input. Natural hazards review, 3(4), 148-157.
IPCC. (2001). Climate change 2001: impacts, adaptation, World Bank. (2012). Kota dan Banjir: Panduan
and vulnerability: contribution of Working Pengelolaan Terintegrasi untuk Resiko Banjir
Group II to the third assessment report of the Perkotaan di Abad 21. Washington DC: The
Intergovernmental Panel on Climate Change: World Bank.
Cambridge University Press.
Kementerian Pekerjaan Umum. Pedoman Teknis
Pengurangan Resiko Bencana Berbasis
Komunitas (PRB-BK).

R. P. Danianti, Sariffuddin/ JPK Vol. 3 No. 2 (2015) 90 – 99 99

Anda mungkin juga menyukai