Anda di halaman 1dari 8

A.

Daulah Abbasiyah Dalam Lintasan Sejarah


Sejarah telah membuktikan, bahwa kedaulatan kaum muslimin sampai ke
puncak kemulyaan, baik kekayaan, kemajuan ataupun kekuasaan pada masa
daulah Abbasiyah. Kekuasaan daulah Abbasiyah sebagai bentuk lanjut dari
kekuasaan daulah Umaiyah. Dinamakan daulah Abbasiyah sebab para pendiri dan
penguasa daulah ini adalah keturunan al Abbas paman Nabi Muhammad saw.

Daulah Abbasiyah sebagai penerus Bani Hasyim memulai tampuk


kekhalifahan pemerintahan Islam pada tahun 132 H/750 M setelah berhasil
menggulingkan daulah Bani Umaiyah. Daulah Abbasiyah berkuasa selama lima
abad dari tahun 132-656 H. Dinasti Abbasiyah dirintis oleh tiga cucu dari
Abdullah bin Abbas Yaitu : Ibrahim al Imam, Abu al Abbas al Saffah dan Abu
Ja’far al Mansur. Harun Nasution lebih lanjut menegaskan, sesungguhnya Abu a
Abbaslah (750-754 M) yang mendirikan daulah Abbasiyah tetapi pembina
sebenarnya adalah Abu Ja’far al Mansur (754-774 M). Sedangkan Nouruzzaman
Shiddiqi mengemukakan bahwa pendiri daulah ini jika dilihat dari awal
didirikannya ialah Abu al Abbas al Saffah (750-754 M), namun pendiri yang
sesungguhnya adalah Abu Ja’far al Mansur (754-775 M).
Dari pernyataan diatas walaupun berbeda dari segi peristilahan, penulis
memandang ada kesamaan pendapat namun istilah “pendiri” lebih konsisten
daripada pembina, sebab pernyataan awal menggunakan istilah “mendirikan”.
Selanjutnya dalam mengkaji sejarah perlu disebutkan periode-periode daulh
Abbasiyah. Para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas
menjadi lima periode, pembagian ini didasarkan pada perubahan pola
pemerintahan dan politik.
1. Periode pertama (750-847 M) disebut periode pengaruh Persia pertama.
2. Periode kedua (847-945 M) disebut masa pengaruh Turki pertama.
3. Periode ketiga (945-1055 M), masa kekuasaan Dinasti Buwaihi dalam
pemerintahan Khilafah Abbasiyah, periode ini disebut juga masa pengaruh
Persia kedua.
4. Periode keempat (1055-1194 M) masa kekhalifahan Dinasti Seljuk dalam
pemerintahan Khilafah Abbasiyah biasanya disebut juga dengan masa Turki
kedua.
5. Periode kelima (1194-1258 M) masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain
tetapi kekuasaannya hanya efektif di kota Bagdad.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa
keemasannya. Dalam bidang politik jelas kelihatan dengan adanya peralihan
kekuasaan dari Bani Umaya kepada Bani Hasyim yang mendapat sokongan dari
non-Arab muslim. Dalam bidang ekonomi nampak adanya intensifikasi
penarikan pajak dan peningkatan hubungan-hubungan perdagangan serta
mendorong usaha-usaha kerajinan rakyat. Dalam bidang kebudayaan ditandai
dengan munculnya intelektual-intelektual muslim dalam mengembangkan dan
menemukan ilmu-ilmu pengetahuan baru.
Pada Masa puncak keemasan inilah sarjana-sarjana Islam telah
menunjukkan suatu reputasi yang mengagumkan bukan saja bagi dunia Islam
tetapi juga bagi umat manusia. Hal ini terwujud karena adanya dukungan dari
penguasa Abbasiyah, pada zaman Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al
Ma’mun (813-833 M) masa kekuasaan mereka, lembaga pendidikan dan
penelitian dikelola dengan baik.
Daulah ini mencapai usia lebih dari 500 tahun terhitung sejak munculnya
khalifah yang pertama Abu al Abbas 750 M sampai dengan terbunuhnya khalifah
terakhir al Mu’thasim 1258 M, ketika tentara Mongol berhasil memasuki dan
menghancurkan Ibukota Daulah Abbasiyah.
B. Perkembangan Pendidikan Pada Masa
Abbasiyah
Pada awal kekuasaan Abbasiyah wilayah Islam sudah mencapai lautan
Atlantik di wilayah barat, sedang di timur berbatasan denagan negeri Cina, Asia
tengah di utara, serta Afrika tengah di bagian selatan. Bangsa-bangsa di negeri
yang luas ini tunduk di bawah kekuasaan Islam, semua itu memberi sumbangan
yang tak ternilai terhadap terbentuknya peradaban yang begitu cemerlang.
Masa daulah Abbasiyah adalah zaman meramunya ilmu pengetahuan dalam
dunia Islam, tamaddun Islam dalam zaman ini ditandai dengan perkembangnya
ilmu pengetahuan yang begitu pesat. Dimana umat Islam telah membuat jalan
baru bagi kehidupan akal dan kehidupan ilmunya. Adapun ciri-ciri umum
pendidikan Islam pada zaman ini adalah berdirinya sekolah-sekolah dan
munculnya pemikiran-pemikiran pendidikan.
Masuknya Ilmu al-Aqliyah sebagai ciri pertama pendidikan Islam, yang
dimaksud adalah ilmu-ilmu filsafat, matematika, kedokteran, astronomi, kimia
dan sebagainya. Masuk dan berkembangnya al-ulum al-aqliyah adalah karena
usaha para sarjana-sarjana muslim yang giat menterjemahkan manuskrip-
manuskrip peninggalan Yunani, Persia, Hindu dan lain-lain dalam segala macam
ilmu pengetahuan, kemudian dengan bahan-bahan ini sarjana-sarjana Islam
meningkatkan pemikirannya untuk menemukan pengetahuan-pengetahuan baru
yang orisinil dalam bidang falsafah, kedokteran, astronomi, kimia dan lain-lain.
Untuk menggalakkan usaha penerjemahan itu didirikan Perguruan Tinggi Bahasa
(Yunani, Persia, India) dan sebuah dewan penerjemahan yang dinamakan Bait al-
Hikmah yang dipimpin oleh Hunain Bin Ishaq (w. 873 M).
Disamping kemajuan-kemajuan yang tersebut belakangan ini, ilmu-ilmu
naqli juga mengalami masa kemajuannya, sehingga dalam membicarakan
perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah ini, tidak
dapat terlepas dari uraian yang bertalian dengan al ulum al aqliyah. Maka pada
masa ini penulis-penulis Islam telah membedakan ilmu-ilmu ini ke dalam dua
macam ilmu, yaitu al ulum al Aqliyah dan al Ulum al Naqliyah.
Dalam lapangan kedokteran kita dapat melihat sarjana-sarjana muslim
telah mampu menunjukkan kemajuan-kemajuan yang pesat. Ditandai dengan
adanya penemuan obat-obatan, apotik-apotik mulai didirikan dan sekolah-
sekolah farmasi dibangun untuk mendidik ahli farmakologi pertama dalam
Islam. Beberapa risalah mengenai farmakologi mulai disusun oleh seorang
sarjana muslim terkenal Djabir ibn Hayyan 776M. pada permulaan pemerintahan
al Ma’mun dan al Mu’thasim ditentukan bahwa untuk menjadi ahli farmasi harus
sudah lulus dari ujian-ujian yang diadakan untuk itu, demikian pula untuk
menjadi dokter. Para khalifah Abbasiyah mengatur pendidikan kedokteran
dengan mewajibkan para mahasiswa setrelah mendapatkan teori dan praktek
untuk menulis karya ilmiah sebagai syarat untuk mendapat ijazah dan izin untuk
membuka praktek.
Minat besar dari sarjana-sarjana muslim untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan ini sesuai dengan ajaran-ajaran islam, sehingga pada waktu itu apa
yang disebut al hakim bukan saja ahli dalam bidang agama tspi juga menguasai
ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Menurut analisa penulis, dari fakta-fakta sejarah ini, merupakan bukti
bagaimana besarnya minat orang-orang islam untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat dari segi kesehatan. Hal ini dapat kita buktikan dengan hasil usaha
Sinan bin Tsabit yang berhasil meningkatkan pengetahuan kedokteran serta
pengaturan administrasi rumah sakit di Bagdad serta dibangunnya rumah sakit
khusus wanita. Dan dari beberapa rumah sakit dilengkapi dengan perpustakaan
kedokteran, dan hal ini merupakan salah satu faktor penunjang berkembangnya
ilmu pengetahuan pada masa ini.
Adapun bidang astronomi bertambah maju sesudah mendapat bahan-bahan
tambahan dari naskah-naskah yang berasal dari India, Yunani, Persia dan
Caldea. Meskipun sebelumnya umat islam menaruh perhatian terhadap benda-
benda angkasa, namun baru dalam batas-batas untuk membangkitkan rasa iman
atau hal-hal tertentu, akan tetapi penyelidikan ilmiah baru terjadi pada masa
Abbasiyah karena adanya dorongan yang kuat untuk menentukan arah kiblat
yang tepat dan jelas.
Khalifah yang mula-mula sekali memberikan dorongan dalam bidang ini
adalah Ja’far al Mansur karena dialah yang mula-mula sekali memerintahkan
Muhammad al Fazari untuk menerjemahkan Siddhanta suatu risalah yang berasal
dari India.
Dalam bidang filsafat, bermula dari masuknya pemikiran-pemikiran Yunani
yang dimodifikasikan dengan pikiran-pikiran bangsa Timur Tengah dan bangsa-
bangsa Timur lainnya serta disesuaikan dengan prinsip-prinsip Islam. Nama-
nama yang sangat menonjol dalam bidang ini ialah al Kindi (Arab), al Farabi
(Turki) dan Ibn Sina (Persia). Tiga orang ini menjalin sebuah mata rantai dalam
pengkajian filsafat, al kindi berperan sebagai peletak dasar pengharmonisan
antyara filsafat Yunani dengan Islam, al Farabi melanjutkannya dan Ibn Sina
memfinalkannya.
Setelah buku-buku filsafat Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
pada zaman khalifah Harun al Rasyid dan khalifah al Ma’mun, barulahkaum
muslimin sibuk mempelajari ilmu filsafat, bahkan menafsirkan dan mengadakan
perubahan serta perbaikan sesuai dengan ajaran Islam, sehingga lahirlah para
filosof ilmu yang kemudian menjadi pakar dan ahli di bidang filsafat.
Ciri kedua pendidikan Islam masa Abbasiyah ialah berdirinya sekolah-
sekolah. Lembaga-lembaga pendidikan, sebelum zaman daulah Abbasiyah, dalm
dunia Islam belum didirikannya gedung belajar tersendiri, mesjidlah yang
merupakan tempat belajar, mesjid merupakan pusat belajar, baik untuk
pendidikan rendah, menengah hingga pendidikan tinggi.
Masjid merupakan sekolah-sekolah utama yang mepelajari al-qur’an, al
hadist, fiqh. Bermacam-macam ilmu pengetahuan dipelajari pada masa
Abbasiyah I, sedangkan masjid merupakan pusat penting bagi gerakan ilmu
pengetahuan.
Sebagai contoh nyata adalah masjid Basrah yang berfungsi sebagai lembaga
ilmu pengetahuan yang didalamnya ada halaqah al-jadl, khalaqah fiqh, khalaqah
at-tafsir qa al hadist dan lain-lain. Munculnya berbagai khalaqah ini, menurut
hemat penulis merupakan suatu indikasi terhadap maju pesatnya ilmu
pengetahuan serta kemauan kaum muslimin untuk mengembangkan diri melalui
ilmu pengetahuan ini, sedang sekolah sebagai lembaga formal pendidikan belum
ada pada zaman ini.
Sekolah-sekolah dan Universitas-universitasmempunyai pengaruh dalam
membentuk pola kehidupan kaum muslimin. Berbagai ilmu pengetahuan yang
berkembang melalui lebaga pendidikan ini menghasilkan pembentukan dan
pengembangan berbagai aspek budaya kaum muslimin.
Pusat pendidikan tinggi yang sekaligus berfungsi sebagai perpustakaan yang
terkenal di Bagdad adalah Bait al Hikmah. Lembaga ini menggabungkan
perpustakaan sanggar sastra, lingkaran studi yang semuanya di bawah
pengawasan Khalifah. Bait al Hikmah ini menjadi pusat pusat penerjemahan
umat Islam. Di lembaga ini pula al kindi mendirikan sekolah berbahasa Arab
yang mengajarkan filsafat peripatetik[12] yang kemudian dikembangkan oleh al
Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd.
Munculnya sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan formal dalam
dunia Islam adalah merupakan pengembangan dari sistem pengajaran dan
pendidikan yang telah berlangsung di masjid-masjid dan berkembang luasnya
ilmu pengetahuan baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum, maka
semakin banyak diperlukan halaqah-halaqah yang keseluruhannya tidak
mungkin di tampung di masjid.. serta hubungannya dengan usaha
mempertahankan dan mengembangkan aliran keagamaan dari pembesar negara
yang bersangkutan.
Ciri ketiga pendidikan Islam adalah munculnya pemikran-pemikiran
pendidikan. Diantara ciri terpenting, pendidikan Islam pada periode ini adalah
terlibatnya ulama-ulama Islam menulis tentang bahasan pendidikan dan
pengajaran secara luas sebagai wujud perhatian mereka dalam pendidikan.
Sebagai contoh Burhanuddin az Zarnuji yang wafat tahun 591 H, telah menulis
buku Ta’lim al Muta’allim Tariq al ta’lim.
Sebagaimana pembahasan awal bahwa, berkembangnya pendidikan dan
ilmu pengetahuan Islam masa daulah Abbasiyah tidak bisa lepas dari kebijakan
para Khalifah serta sistem pemerintahan yang meliputi berbagai bidang
kehidupan. Menurut Ali Murtopo perkembangan kebudayaan mempunyai unsur
utama yaitu sistem pengetahuan, sistem teknologi, sistem ekonomi, sistem
kemasyarakatan, sistem bahasa, dan sistem religi. Diantara hal-hal yang
mendukung perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah antara lain:
Daulah Abbasiyah selalu berusaha untuk menciptakan suatu kehidupan
yang harmonis antara orang-orang Arab dan non Arab.
2.Terjaminnya stabilitas keamanan.
3.Pembangunan dan penataan sarana pendidikan, dengan tersedianya al
Kuttab, masjid serta al maktabah sebagai akademi dan balai penerjemahan.
4.Menggalakkan penerjemahan ilmu pengetahuan.
5.Penataan dan pembangunan bidang ekonomi.
6. Menjunjung tinggi Ulama’ dan ilmu pengetahuan.
Selain beberpa faktor yang telah disebutkan di atas, masih terdapat
beberapa faktor yang menurut hemat penulis merupakan faktor yang esensial,
faktor tersebut ialah, terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-
bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan ilmu pengetahuan.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang
masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-
bangsa itu memberikan saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan
dalam Islam. Persia misalnya, sangat kuat di bidang pemerintahan serta banyak
berjasa dalam perkembangan dan sastra. Sedang India memberi pengaruh
dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi, sedangkan pengaruh
Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu,
terutama filsafat.
Faktor lain, gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase
pertama pada masa khalifah al Mansur hingga Harun al Rasyid. Pada fase ini
banyakditerjemahkan karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase
kedua berlangsung mulai masa khalifah al ma’mun hingga tahun 300 h. buku-
buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran.
Fase ketiga berlangsung dalam tahun 300 h, terutama setelah adanya pembuatan
kertas. Pada fase ini bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Demikianlah gambaran kemajuan ilmu pengetahuan dan pendidikan yang
pernah dicapai oleh pemerintahan islam, pada masa ini kemajuan pendidikan
seiring dengan kemajuan politik sehingga Islam mencapai kejayaan. Masa
kejayaan ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani
Abbas periode awal.

Anda mungkin juga menyukai